Bila Dolbun Dipermalukan

Bila Dolbun Dipermalukan

FOTO:BAMBANG PURWANTO

Percik 25

Bangladesh mencari internet, ada yang mencari wartel dan sandal. Penulis sen- diri mencari kamera kacangan berhu- bung kamera digital ngadat kepanasan. Malamnya ada brifing oleh Dishari (Decentralized Total Sanitation Project) Team Bangladesh. Mereka menjelaskan tentang program "dishari" yang telah berlangsung sekitar 3 tahun ini.

Pagi hari setelah sarapan, rombongan kami dengan didampingi Umme Farwa Daisy (project manager dhisari), Swarna Kazi (program asistant WB Bangladesh) dan Shafiul Azam Ahmed (WSP Bangla- desh) dan Haider W Yaqub (Plan Bangla- desh) dengan bus menuju ke Desa Subarnakholi dan Khamarpara di Khan- sama, Dinajpur District. Sebelumnya ada pertemuan singkat di kantor Plan Bangladesh.

zzz

Patroli Anti-Dolbun di Desa Subarnakholi dan Khamarpara, Bangladesh

Perubahan perilaku

Turun dari bus rombongan penulis disambut penduduk desa Subarnakholi baik laki-laki, perempuan, tua, dan muda. Masing-masing ingin memamer- kan WC-nya. Jangan dibayangkan WC seperti di rumah Anda, tapi yang namanya wc tak lebih adalah "cubluk" sederhana. Ada yang terbuat dari seng. Harganya tak lebih dari 15 Taka (Rp. 2.250). Sedangkan yang memakai plas- tik seharga 75 Taka (Rp. 11.250) dan yang beton 500 Taka (Rp. 75.000). Jadi terbayang kan bagaimana murah dan sederhananya. Sedangkan dinding penutup hampir sebagian besar terbuat dari anyaman jerami. Pelajaran penting yang diperoleh di sini adalah ba- gaimana mengubah perilaku, dari kebi- asaan mereka sebelumnya yang mem- buang hajat di sembarangan tempat; kebun, tanah lapang, sawah menjadi membuang hajat di "wc-nya" masing- masing.

Budaya malu

Kebiasaan membuang hajat di kebun alias "dolbun" (modol di kebun/sunda, open defecation), bagi penduduk Desa Subarnakholi dan Khamarpara berlang- sung turun temurun. Tak heran ada semacam sindiran ''kalau kita berjalan sudah mulai mencium bau kotoran manu- sia berarti kita sudah mendekati perkam- pungan, dan bau ini sudah bisa tercium pada jarak 300-an m. Dengan latar be- lakang kebiasaan ini mulailah babak baru bagi masyarakat kedua desa tersebut untuk menghilangkan kebiasaan dolbun tersebut.

Diperlukan waktu 6 bulan untuk melakukan mobilisasi tenaga fasilitator. Azizul Islam-lah yang menjadi fasilita- tornya. Awalnya ia gencar memberikan penyuluhan, memobilisasi masa, dan membuat peta desa yang berisi informasi rumah-rumah penduduk mana yang sudah ada WC-nya mana yang belum (komunal). Dari hasil rembug warga di- sepakati setiap rumah membangun sen- diri WC-nya disesuaikan dengan kemam- puan ekonomi yang bersangkutan. Ma- kanya ada yang sangat sederhana dengan bahan seng yang dibentuk, bahan plastik,

dan campuran pasir semen. Pem- bangunan fisik tersebut memakan waktu sekitar 1 bulan lamanya. Bagi warga yang masih membuang hajat di sembarangan tempat akan diperolok oleh warga dan anak-anak. Ada patroli dolbun ramai- ramai. Mereka akan meniup peluit bila melihat warga sedang dolbun.

Lagu Sanitasi

Salah satu upaya warga kedua desa untuk membuat warga tidak lagi mem- buang hajat sembarangan adalah mencip- takan lagu, tarian, dan drama sanitasi. Salah satu contoh lagu sanitasi untuk anak-anak yang kalau diterjemahkan sebagai berikut; Jangan buang hajat di sembarang tempat, Kalau masih buang hajat sembarangan kita tidak akan main dengannya, Tidak ada seorangpun yang mau pergi bersamanya, Jika tidak berhenti buang hajat sembarangan kamu akan mendapat malu/aib, Dan akhirnya sholatmu (Namaz) tidak sempurna. Pada akhir kunjungan rombongan sempat di- suguhi tarian sanitasi oleh anak-anak. Walaupun sederhana dengan pakaian seadanya dan tabuhan panci aluminium, tarian tersebut cukup terasa sakral, apala-