H uman Development Index atau

H uman Development Index atau

HDI yang sering diterjemahkan menjadi Indeks Pembangunan

Manusia (IPM), akhir-akhir ini muncul sebagai salah satu isu yang telah men- dunia, dan merupakan indikator yang digunakan secara global dalam menun- jukkan tingkat keberhasilan (outcome) pembangunan dan kemakmuran yang dicapai oleh suatu negara. IPM diter- bitkan oleh Program Pembangunan PBB (UNDP) untuk membandingkan tingkat keberhasilan pembangunan di 177 negara di dunia. Indonesia pada tahun 2004 ini berada pada urutan ke-111, satu tingkat di atas Vietman, namun masih di bawah negara-negara tetangga lainnya seperti Singapura, Malaysia, Philipina, maupun Thailand. Tabel di bawah ini menggam- barkan peringkat IPM tahun 2000-2004 di beberapa negara ASEAN. Menyakitkan memang, tetapi itulah kenyataan yang harus diterima. Menjadi negeri yang kaya akan sumberdaya alam, berpenduduk besar, dan memiliki budaya yang beragam tampaknya tidak selalu men- jamin terciptanya kemakmuran dan kese- jahteraan bagi rakyatnya.

Tulisan berikut akan menguraikan pergeseran paradigma pembangunan selama ini hingga dipilihnya IPM sebagai indikator keberhasilan pembangunan yang memadai, serta pelajaran yang dapat diambil dari rendahnya peringkat IPM Indonesia saat ini dalam upaya mendorong pembangun- an prasarana dasar, terutama prasarana sanitasi di Indonesia.

Pergeseran Paradigma Pem- bangunan

Perkembangan di empat dekade terakhir ini menun- jukkan ada pergeseran pemiki- ran tentang paradigma pem- bangunan di dunia. Pada deka-

de 60-an, pembangunan lebih berorientasi pada produksi

(production centered development), yang menilai hasil pembangunan dari kemaju- an fisik. Pada dekade 70-an, terjadi per- geseran yang menekankan hasil pemba- ngunan pada besarnya pertumbuhan yang dicapai (distribution growth deve- lopment) dengan menggunakan indikator makro ekonomi seperti GNP/GDP, dan kemudian diikuti oleh paradigma lain yang berorientasi pada pemenuhan kebu- tuhan dasar masyarakat (basic need de- velopment) pada dekade 80-an. Paradig- ma ini mengukur keberhasilan pemba- ngunan dengan menggunakan indeks mutu hidup (Physical Quality Life Index), yang mengacu pada 3 parameter utama, yaitu Angka Kematian Bayi, Angka Harap- an Hidup, dan Tingkat Melek Huruf.

Pada dekade 90-an, keberhasilan pembangunan tidak bisa hanya diukur dari pembangunan fisik, produksi dan distribusi, serta kebutuhan dasar masyarakat, tetapi keberhasilan pemba- ngunan juga harus dilengkapi dan diukur dari keberhasilan pembangunan manu- sia. Istilah pembangunan manusia dipo- pulerkan oleh UNDP setiap tahun sejak 1990, yang didefinisikan sebagai proses memperbesar pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people's choices). Dalam hal ini, masyarakatlah yang menentukan prioritas sesuai dengan kebutuhannya serta menetapkan indika- tor keberhasilannya.

Dalam konteks pembangunan manu- sia, pertumbuhan ekonomi memang diperlukan karena merupakan dasar bagi pembangunan manusia. Namun demi- kian, karena secara empiris terbukti bah- wa pertumbuhan ekonomi tidak secara otomatis meningkatkan pembangunan manusia, maka diperlukan intervensi untuk memperhatikan juga sektor sosial, khususnya yang berkaitan dengan upaya perbaikan kesejahteraan seperti pen- didikan, perbaikan infrastruktur kese- hatan, serta pelayanan sosial lainnya. Hal ini dianggap penting untuk menghindari terjadinya ketimpangan dan kesenjangan sosial akibat kebijakan yang condong pada pertumbuhan ekonomi semata. Kita memang sempat berhasil membangun

ekonomi, dengan pertumbuhan rata-rata 7 persen per tahun, namun manusia yang dihasilkan adalah manusia-manusia yang tidak memiliki nilai, egois dan menjadikan harta kekayaan seba- gai segala-galanya. Akibatnya bangsa ini manjadi bangsa yang rakus. Teori trickle-down effect yang memperkirakan bahwa kese- jahteraan akan menetes ke bawah, tidak pernah terjadi. Akibatnya orang yang kaya akan semakin kaya, sementara yang miskin