Etika Pemerintahan di Indonesia

E. Etika Pemerintahan di Indonesia

Karena ilmu pemerintahan itu sama sebagaimana ilmu-ilmu kenegaraan lainnya yang banyak berkonotasi pada masalah kekuasaan, maka dikhawatirkan timbul kecenderungan pada kesewenang-wenangan, oleh karena itu diperlukan etika yang berakhir dari moral dan norma agama. Kebanyakan orang merasa bahwa norma-norma dan hukum-hukum mempunyai peranan yang besar dalam bidang etika. Karena kalau tidak demikian apapun yang diatur akan menemukan kesewenang-wenangan, dan akhirnya gilirannya menjadi ketiranian. Etika artinya sama dengan kata Indonesia „Kesusilaan‟, kata dasarnya adalah, susila kemudian diberi awalan ke dan akhiran an. „Susila‟ berasal dari bahasa Sansekerta, „Su‟ berarti baik, dan „Sila‟ berarti norma kehidupan. Jadi „Etika‟ berarti menyangkut kelakuan yang menuruti norma-norma kehidupan yang baik. Asal kata „etika‟ itu sendiri sebenarnya berasal dari perkataan Yunani „Ethos‟ yang berarti watak atau adat. Kata ini identik dengan asal kata „Moral‟ dari bahasa Latin „Mos‟ (bentuk jamaknya adalah „Mores‟) yang berarti adat atau moral hidup. Jadi kedua kata tersebut (etika dan moral) menunjukkan cara berbuat yang menjadi adat karena persetujuan atau praktek sekelompok manusia.

Dengan demikian etika dapat diartikan sebagai suatu atau setiap kesediaan jiwa seseorang untuk senantiasa taat dan patuh kepada seperangkat peraturan-peraturan kesusilaan. Berbagai kasus yang non etis (tidak beretika) terjadi di sekililing kita, beberapa diantaranya yang dapat tercatat antara lain sebagai berikut:

i) Seorang tukang becak yang matanya terasa sedikit gatal berobat ke rumah sakit. Oleh dokter serta merta mata tersebut dioperasi, dengan catatan setelah pulang jangan dibuka balutnya sampai kemudian datang lagi untuk diperiksa dalam berobat jalan. Sayang, di rumah balut mata tersebut terbuka dan sang istri menyaksikan sendiri rongga mata suaminya bolong berlubang. Rupanya sang dokter lebih butuh uang hasil penjualan kornea mata yang melekat pada mata pasiennya, daripada menghargai organ tubuh terpenting pasiennya itu.

ii) Masih dari segi medis, seorang perawat menjawab dengan tegas permintaan seorang ibu yang datang menggendong anaknya karena demam panas. “Ibu tidak disiplin, mengapa datang jam begini, besok saja kembali lagi.” Sang ibu dengan berhiba menjawab: “Bukankah besok hari Minggu”. Dengan gamblang petugas yang disiplin ini menangkis: “Kalau begitu ibu kembali lagi hari Senin, sekarang saya harus mengerjakan tugas lain, saya bukan hanya melayani ibu saja, banyak tugas yang harus diselesaikan”.

iii) Kejadian perampokan, pencurian, pencolongan dan penodongan di suatu kota sulit sekali dideteksi, karena pelakunya selalu tidak diketahui ke mana larinya dan di mana tempat tinggalnya. Tetapi ketika suatu kali seseorang berhasil melacaknya, orang tersebut menjadi terperangah karena menyaksikan sang perampok dengan mulus lari dari penjara tempat tinggalnya. Ia memang sengaja dilepas oleh petugas penjara, untuk mencari tambahan penghasilan mereka bersama, sudah barang tentu hasilnya dibagi-bagi.

iv) Seorang wakil rakyat yang duduk di majelis, mewakili kaum buruh yang diperjuangkan haknya agar tidak senantiasa ditekan dan dirugikan. Tetapi yang bersangkutan pada kenyataannya sehari-hari terlibat kasus penyiksaan pada pembantu rumah tangganya sendiri. Betapa memprihatinkan seorang pembantu yang lugu ternyata mendapat perlakuan yang sangat menyedihkan, gajinya tidak dibayarkan, ia juga mendapat siksaan berat sekujur tubuhnya penuh dengan bekas tindakan kekerasaan. Seperangkat perlakuan yang dilakukan majikannya antara lain menyiram dengan air panas, menyetrika punggung, menendang, menembak kakinya dengan senapan angin, memborgol, tidak memberi makan, tidak membayarkan gaji, serta memperkosa.

v) Beberapa orang petugas keamanan dan ketertiban, mengejar sekelompok anak muda yang baru saja dilaporkan habis memperkosa seorang gadis belia. Tetapi sewaktu gerombolan anak-anak muda itu masuk ke rumah ayahnya yang menjadi pejabat teras daerah pemerintah setempat, para petugas keamanan dan ketertiban tersebut tidak lagi melanjutkan pengejaran buruannya, mereka hanya berputar- putar saja sekeliling rumah, gentar untuk masuk ke dalam. Kejadian itu kemudian hanya hilang begitu saja.

vi) Para pejabat keuangan dan kebendaharawan berusaha untuk ikut melakukan pembelian, yang seharusnya dipesan bagian pengadaan perlengkapan dan pembelian. Sehingga pemborong dan toko yang merasa dijadikan langganan, untuk melancarkan perdagangannya memberikan komisi pada sang pejabat.

Pada giliranya terjadi kerancuan, barang yang dipesan tidak lagi memenuhi target permintaan, asal jadi dan merugikan negara, karena sang pejabat yang disogok tidak mempunyai keberanian untuk membantah, tender telak dimenangkan secara kolega atau bahkan primordial. Seluruh kejadian di atas dilakukan oleh aparat pemerintah yang sempat disajikan oleh berbagai media massa. Sepertinya kasus-kasus non etis di atas sudah menjadi hal yang tidak asing lagi di dekitar kita. Sudah seharusnya kita membenahi diri masing- masing di saat aparat pemerintah pun tidak lagi bisa dijadikan sebagai acuan.

BAB III