AGAMA LOKAL

AGAMA LOKAL

  Ter (di) pinggirkan di antara Agama Besar

  Zakiyah

  Email: zakiyah_elwayahoo.com

  ABSTRAK

  “Agama” merupakan bagian integral dari kehidupan umat manusia, agama ini mengambil beragam bentuk dan menggunakan berbagai nama. Pada dasarnya agama berhubungan dengan sistem kepercayaan terhadap dewa atau dewa-dewa yang bersemayam dalam kekuatan gaib sesuatu benda. Beberapa kepercayaan disertai dengan peraturan-peraturan, upacara dan ritual pemujaan (Isaacs, 1993). Agama berperan sebagai pengikat para pemeluknya dalam suatu ikatan kepercayaan terhadap Tuhan atau Dewa, sekaligus sebagai sarana penghubung di antara manusia. Agama masuk dalam ruang bawah sadar dan mengejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari para pengikutnya. Agama diartikan sebagai kepercayaan terhadap Tuhan, Dewa dan sebagainya dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Dari sisi bentuknya agama sering didefinisikan sebagai kebudayaan batin manusia yang memiliki potensi psikologis yang mempengaruhi jalan hidup manusia. Sementara itu, apabila dilihat dari segi isinya agama adalah ajaran atau wahyu Tuhan yang tidak bisa dianggap sebagai kebudayaan. Dua gagasan ini kemudian menghasikan dua perbedaan antara agama wahyu dan agama yang dianggap kebudayaan. Kategori pertama biasanya merujuk pada tiga agama besar yang diyakini sumbernya berasal dari Wahyu yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Sedangkan kategori dua berasal dari hasil karya cipta manusia atau masyarakat sendiri, di antaranya adalah ajaran Kun Fu Tse, ajaran

Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 89

  Taoisme, agama Hindu dan Budha. Selain kategorisasi tersebut, ahli antropologi dan sosiologi juga membagi agama menjadi dua kelompok besar yaitu spiritualisme dan materialisme. Spiritualisme merupakan agama penyembah zat yang tidak berbentukgaib; yang kemudian dibagi lagi menjadi agama penyembah Ruh dan penyembah Tuhan. Materialisme memiliki kepercayaan akan adanya Tuhan yang mewujud dalam bentuk benda materi seperti patung, binatang dan berhala.

  Kata Kunci: Agama, Agama Lokal, Agama Besar

A. Pendahuluan

  Ajaran-ajaran agama tumbuh dan berkembang bersama perkembangan manusia. Beberapa ahli sejarah agama menyebutkan bahwa agama ada sejak manusia pertama muncul di dunia, dari masyarakat primitif sampai masyarakat modern, dari belahan bumi barat maupun belahan bumu timur. Kenyataan ini menunjukan bahwa manusia memiliki potensi dasar atau instink agama yaitu manusia sebagai “homo divians” (makhluk ber-Tuhan) atau “homo religious” (makhluk beragama). Sejalan dengan hal tersebut, manusia baik secara kelompok maupun perseorangan selalu

  memiliki agama, meski corak dan bentuknya tidak selalu sama. 1

  Selain itu agama besar yang telah disebutkan (yakni Islam, Kristen, Yahudi) dan ajaran Taoisme, Kun Fu Tse, Hindu dan Budha, masih banyak lagi ajaran atau kepercayaan masyarakat terhadap tuhan atau dewa dibanyak wilayah di dunia yang keberadaannya terbatas pada daerah tertentu. Beberapa diantara agama tersebut adalah Zarathustra yang berkembang di Persia, dan agama Mesir kuno yang memiliki corak polytheisme, animism dan kadang-kadang Toteisme yaitu memuja dewa-dewa, ruh-ruh, dan binatang yang dianggap suci. Sementara itu, di Indonesia juga terdapat banyak ajaran atau agama yang muncul dari masyarakat lokal yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.

  Sistem kepercayaan masyarakat lokal (kemudian disebut agama lokal) ini dalam beberapa kajian dan penelitian sering dimasukkan dalam sub bahasan kebudayaan. Hal ini mungkin

  1 H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, (Jakarta:

  Golden Terayon Press, 1987).

  90 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 90 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, maka dibahas permasalahan agama lokal di Indonesia yang beradaannya semakin terpinggirkan di antara agama-agama bersar. Dalam makalah ini akan dipaparkan tentang agama-agama lokal yang ada di Indonesia, kemudian dilanjutkan pembahasan mengenai fenomena penyebaran agama besar, dan bagaimana campur tangan Negara dalam masalah Agama.

B. Sketsa Agama Asli Nusantara

  Indonesia sebagai negara kesatuan kaya akan keragamaan budaya, bahasa, etnik serta agama. Agama asli penduduk di beberapa daerah ada yang masih tubuh dan berkembang serta ada pula yang sudah mulai terkikis. Berikut akan dideskripsikan beberapa kepercayaan asli masyarakat terhadap adanya Tuhan, Dewa maupun Ruh baik maupun jahat. Deskripsi akan hanya menggambarkan diantara lautan kepercayaan asli penduduk nusantara, hal ini dimaksudkan sebagai ilustrasi awal sebagai jalan untuk memahami fenomena terpinggirkannya keberadaan agama lokal.

  Pertama, masyarakat Mentawai yang mendiami kabupaten Nias mengenal banyak variasi konsep yang berhubungan dengan religi, misalnya, simagere adalah jiwa yang menyebabkan orang hidup, subulungan adalah makhluk halus yang melepaskan diri dari jasad orang mati kemudian menuju dunia ruh atau bersemayam disekitar tempat tinggal manusia seperti dalam bumi, air, udara, pohon besar dan lain sebagainya; kere adalah kekuatan sakti, kina

  Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 91 Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 91

  bencana. 2 Agama asli orang Mentawai adalah arat bulungan. Arat

  berarti adat dan bulungan dari kata bulu (daun). Dalam agama ini ada keyakinan bahwa tidak hanya manusia yang memiliki jiwa namun benda-benda lain juga memiliki jiwa seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, batu, dan air. Jiwa manuisa yang dinamakan magere terletak di ubun-ubun kepala. Pada saat tidur magere suka

  berpetualang keluar dari raganya yang mewujud menjadi mimpi. 3

  Eksistensi konsep dan ajaran mengenai dunia gaib pada masyarakat Mentawai sekarang sudah mulai berkurang karena sebagian besar penduduk Mentawai secara resmi sudah tidak menganut religi pribumi. Masyarakat daerah ini sudah berpindah memeluk agama Kristen, Katolik, atau Islam seiring masuknya penyebaran ajaran

  tiga agama besar tersebut ke wilayah Mentawai. 4

  Kedua, penduduk daerah pantai utara Irian Jaya meskipun secara resmi beragama Kristen, namun pendapat mereka mengenai dunia gaib dan akhirat masih banyak mengacu pada religi mereka mereka yang asli. Sebagai ilustrasi; konsep mengenai dunia akhirat misalnya, adalah jiwa orang mati (fungumu=pikiran) keluar dari tubuh secara berangsur-angsur dan menjadi ruh (kepka) dalam proses menjadi ruh, jiwa orang yang mati tersebut diasingkan dalam rumah supaya suasana kedukaan tidak menulari masyarakat. Setelah terbebas dari ikatan dunia, ruh pergi ke alam baka yang berupa gunung bernama Tardosangu. Selain itu, orang-orang di wilayah ini juga percaya akan sepro yaitu ruh baik dan jahat yang ada di rawa-rawa, rimba belukar, rimba raya, laut, sungai-sungai dan tempat-tempat lainnya. 5

  Ketiga, orang Timor memiliki agama asli yang berpusat pada kepercayaan akan adanya dewa langit Uis Neno yang diyakini sebagai

  2 J. Danadjaja, “Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan,

  3 B. Rudito, “Masyarakat Mentawai di Sebelah Barat Sumatra”, dalam

  Koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993).

  4 J. Danadjaja, “Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah”. 5 Ibid.

  92 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 92 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  diuraikan tersebut. 6

  Keempat, religi asli orang Bugis-Makasar sebelum Islam masuk ke wilayah tersebut adaah percaya pada satu dewa tunggal yang disebut dengan beberapa nama, antara lain Patot-e (dia yang menentukan nasib), dewa Seuwa-e (dewa yang tunggal), Turie-a ‘rana (kehendak yang tertinggi). Kepercayaan lama ini masih eksis pada To Lotang di Kabupaten Sidenreng-Rappang dan pada orang Amma-Towa di Kajang, Kabupaten Bulukumba. Agama To Lotang antara lain bersumber pada mitologi La Galigo; religi To Lotang ini oleh Departemen Agama digolongkan sejenis agama Hindhu Bali, sedangkan orang Amma Towa menyebut diri mereka dengan Islam. 7

  Kelima, orang Puna di desa Cempaka Baru Kecamatan Puttusibau Kabupaten Kapuas Kalimantan Barat telah berkenalan dengan ajaran Katolik sejak akhir perang dunia II, dan dengan agama Protestan pada tahun 1979 serta dengan agama Islam pada tahun berikutnya. Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari orang Punan masih percaya akan adanya kekuasaan arwah nenek moyang yang berada di havun (langit), mereka juga mampu berhubungan dengan ruh nenek moyang, hal ini biasanya dilakukan pada saat

  6 P. Suparlan, “Kebudayaan Timor”, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1988).

  7 Mattulada, “Kebudayaan Bugis Makasar”, dalam Kontjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1988).

  Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 93 Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 93

  Salah satu upacara yang masih dilakukan oleh orang-orang Punan adalah upacara sekewan hanum. Ritual ini dilaksanakan pada bulan terakhir menjelang kelahiran bayi sebagai upaya agar bayi yang ada dalam kandungan lahir dengan selamat dan hidup sempurna tanpa cacat. Fokus upacara ini adalah berpantang melakukan perbuatan jahat dan melukai hati orang lain yang dilakukan oleh suami. Apabila suami tersebut dinyatakan telah berbuat baik oleh dukun (dayung) atau orang tua si ibu, kemudian suami diwajibkan menangkap seekor babi tanpa pertolongan orang lain. Apabila suami mampu menangkap babi tanpa kesulitan, itu pertanda bahwa ia memang telah berkelakuan baik pada hari itu. Babi hasil tangkapan dijadikan sajian pada upacara sekawan hanum.

  Orang Punan juga mempercayai adanya ruh jahat (krongoa) atau disebut pula hantu. Ruh jahat ini berasal dari orang mati yang ruhnya tidak mampu mencapai havum (langit) karena semasa hidupnya banyak melakukan kejahatan. Krongoa ini dapat mendatangkan bencana maupun kesusahan. Langit tempat ruh- ruh manusia dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu tutang havum (langit bagian luar), meruhava havum (langit yang terletak diantara langit pertama dan ketiga, atau disebut juga sebagai langit peralihan antara langit luar dan langit dalam). Tiap lapisan langit ini didiami ruh berdasarkan tingkat baik buruknya kelakuan manusia semasa hidupnya didunia, maka ruhnya nanti akan tinggal di bagian langit yang semakin dalam. 8

  Keenam, penduduk Desa Kanekes di lereng pegunungan Kendeng, Banten Selatan sering disebut Urang Badui atau orang badui. Mereka suka hidup berpindah-pindah seperti yang dulu dilakukan oleh orang Baduwi di Arab dengan sebutan Baduy. Orang Baduy dianggap sebagai pengikut agama Budha meski sebenarnya mereka memiliki agama sendiri yang disebut Sunda Wiwitan. Dasar agama ini adalah penghormatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu kuasa yaitu Batara Tunggal. Konsep dan orientasi keagamaannya ditujukan pada pikukuh supaya orang

  8 A. M. Kartawinata, “Masyarakat Punan di Kalimantan Barat”, dalam

  Koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993).

  94 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 94 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Dalam religi orang Baduy terdapat konsep karuhun, yaitu para pendahulu yang sudah meninggal. Karuhun berkumpul di sasaka domaas yaitu hutan tua di hulu sungai Ci Ujung. Mereka ini memilki kemampuan menjelma dan mendatangi keturunannya melalui hutan kampong. Ada tiga penjelmaan karuhun yakni guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang adalah penjelmaan karuhun yang berfungsi melindungi keturunannya dari segala bentuk mara bahaya baik yang datang dari orang lain maupun makhluk halus seperti demit, jurig, dan setan. Wangatua adalah penjelmaan ruh bapak dan ibu.

  Agama sunda wiwitan memiliki beberpa upacara, diantaranya upacara keagamaan yang dimaksud untuk; (1) menghormati para karuhun, (2) mensucikan pusat bumi dan dunia umumnya, (3) menghormati dan menumbuhkan atau mengawinkan dewi padi, sanghyang asri, (4) melaksankan dan mengekalkan pikukuh. Selain itu, terdapat pula upacara dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk; yaitu mengawinkan sanghyang asri, dewi tanan padi. Dalam hal ini terdapat beragam upacara dalam proses perumbuhan, misalnya mengobati padi dan memetik padi dari pusat sakral tanam padi. 9 (Garna, Y. 1993).

  Ketujuh, di Provinsi Kalimantan Tengah penduduk berdasarkan agama terbagi dalam empat kelompok; (1) penganut agama Islam, (2) golongan pemeluk agama pribumi, (3) kelompok yang menganut agama Kristen, (4) pemeluk Katolik. Umat Islam merupakan kelompok dengan jumlah paling banyak karena saat ini semakin banyak pendatang Islam, di samping itu banyak pula orang asli Kalimantan Tengah atau orang Dayak yang menjadi Islam.

  Religi asli penduduk pribumi adalah agama kaharingan. Sebutan kaharingan merujuk pada kata Darum Kaharingan yang berarti “air kehidupan”, dalam dongeng suci air itu dapat member hidup pada manusia. Umat agama ini percaya bahwa makhluk

  9 Y. Garna, (1993). “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam koentjaraningrat, dkk, Masyarakat Terasing di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

  Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 95 Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 95

  diterima kalau agama mereka dimasukkan ke agama Hindu Bali. 10

C. Penyebaran Agama Besar Dan Marjinalisasi Religi Pribumi

  Enam agama besar yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia semuanya berasal dari Negara lain. Tiga agama Wahyu yaitu, Islam, Kristen, dan Katolik lahir di Asia Barat. Agama Konghucu (kongfutzu) lahir di wilayah Asia Timur, sedangkan Hindu dan Budha bermula ada di wilayah Asia Selatan. Masing- masing agama kemudian menyebar melintasi batas Negara, bahkan mampu menembus sekat benua yakni ke Afrika, Eropa, Amerika

  dan Australia. 11 Islam yang saat ini menjadi agama mayoritas

  penduduk Indonesia merupakan agama yang lahir di semenanjung Arabia sekitar 14 abad yang lalu. Islam memiliki makna penyerahan diri yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah (Tuhan) yang

  10 R. A. Hidayat, “Orang Dayak dan Budaya Kaharingan Studi Orientasi Keagamaan Masyarakat Dayak Penganut Agama Hindu Kaharingan”, Makalah

  dalam Seminar Hasil Penelitian Kompetitif, Balai Litbang Agama Semarang, 19 September 2007.

  11 J. Sou’yb, Agama Agama Besar di Dunia, (Jakarta: Pustaka Alhusna,

  96 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 96 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Dalam konteks Indonesia, misi dakwah agama Islam ini telah mampu menggeser eksistensi agama besar seperti Hindu dan Budha maupun agama asli yang dipeluk oleh orang pribumi. Dari segi jumlah, Islam telah mendominasi yakni telah berhasil sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia bagian barat dan sebagian wilayah Indonesia tengah, serta menjadi minoritas di beberapa daerah Indonesia timur. Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi di Bugis. Agama Kristen (Protestan) dan (Kristen) Katolik pada mulanya merupakan agama yang ada dalam agama Kristen atau sering disebut juga agama Nasrani. Protestan lebih bersikap rasional dan memiliki metode sendiri dalam melakukan pendekatan terhadap kitab suci; mereka tidak banyak melakukan atau menciptakan upacara-upacara kegamaansakramen- sakramen seperti yang ada di Katolik. Sedangkan agama Katolik lebih memfokuskan pada masalah tradisional gerejani daripada merasionalkan ajaran agama. Agama ini lahir di daerah Batlehem dengan kitab suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Agama ini telah menjadi agama terbesar pertama di Dunia, dan menduduki

  urutan ke dua terbesar di Indonesia. 13 Salah satu karakter agama

  ini adalah misi penyebarannya. Para misionaris (pengabar agama Kristen) dengan aktif mengajak orang diluar agama ini untuk mengkuti jalan mereka. Salah satu ilustrasi diantara sekian banyak misi yang pernah dilakukan adalah misi yang dikembangkan di Timor; dalam rangka mengikis kepercayaan asli masyarakat daerah tersebut, para pendeta Kristen melawan pengaruh upacara-upacara dalam siklus hidup, kepercayaan terhadap makhluk halus dan sihir. Orang Timor yang telah resmi masuk agam Kristen harus merusak benda-benda nono untuk ritual keagamaan, apabila mereka melakukan upacara siklus hidup diwajibkan harus digabungkan

  12 H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar.

  13 Ibid.

  Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 97 Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 97

  sudah ada sejak 1500 S.M. bersamaan dengan masuknya bangsa Ariya ke India Utara. Komunitas Ariya dengan kepercayaannya ini berinteraksi dengan suku bangsa Dravida dan suku-suku lainnya dengan kepercayaannya pula, yang kemudian berpadu dan memunculkan agama Hindu. Jadi agama Hindu adalah sinkretisme antara agama bangsa Ariya dengan kepercayaan penduduk asli. Religi ini memiliki kitab suci “Wedha” dan telah mengalami

  perkembangan yakni mampu melintasi batas Negara. 15

  Di Indonesia agama Hindu pernah mengalami puncak kejayaan ketika Kerajaan Maja pahit mencapai puncak kebesarannya. Agama ini mulai mengalami kemunduran bersamaan dengan munculnya kerajaan Islam Demak dan adanya pemberontakan serta perang perebutan kekuasaan di kalangan keluarga-keluarga raja Majapahit. Kerajaan ini mengalami keruntuhan pada tahun 1478, setelah itu kerajaan Demak menjadi dominan di pulau Jawa. 16 . Pada saat ini agama Hindu bersemai di Provinsi Bali dan di beberapa daerah lain sebagai minoritas. Hindu di Bali merupakan perpaduan antara keprcayaan animisme pribumi dengan hinduisme India serta pertemuan antara Siwaisme dan Budhisme yang telah mengalami proses perubahan di Jawa. Agama Hindu Bali atau Hindu Dharma tetap mempertahankan prinsip dari ajaran Hindu dan Budha; Dewa-Dewa yang dipuja tetap berpusat pada Trimurti atau Trisakti yaitu Brahma, Whisnu, dan Shiwa. 17 Dalam agama Hindu Dharma, Dewa yang menjadi titik pusat pemujaan adalah Siwa, karena dewa ini merupakan dewa perusak yang bisa menghancurkan kehidupan manusia serta alam sekitarnya. Untuk menghindari Dewa Siwa marah, maka para pemeluk religi ini melakukan upacara pemujaan terhadap-Nya. Pada upacara-upacara agama ini terdapat beberapa macam Yajnya (Kurban), yaitu Yajnya kecil yang dialaksanakan oleh tiap keluarga dan dalam siklus hidupnya, serta Yajnya besar untuk menjaga alam sekitar dari kehancuran. 18 Dari sedikit gambaran

  14 P. Suparlan, “Kebudayaan Timor ”.

  15 H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar; H. Smith,

  Agama Agama Manusia; J. Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia. tahun

  16 H. M. Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. tahun

  17 Ibid.

  18 Ibid.

  98 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 98 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Agama Budha tumbuh dan berkembang sejak abad ke

  VI S.M. di India utara, diajarkan oleh Sidhrata Gautama. Ajaran Budha memilki kaitan erat dengan agama sebelumnya; agama ini meruapakan usaha pembaruan atas agama Hindu. Pada mulanya Gautama adalah pemeluk agama Hindu yang selalu tinggal di Istana. Keluarganya selalu mencegah datangnya pengaruh dari luar Istana yang bisa menyebabkan lemahnya iman Gautama. Namun demikian Gautama mengalami titik jenuh dengan kemewahan dan kehidupan Istana, ketika ia mulai melihat kenyataan hidup rakyat yang banyak mengalami penderitaan karena sakit, menjadi tua dan mati. Kemudian Gautama memutuskan keluar dari Istana dan berguru pada pendeta-pendeta Hindu yang sedang bertapa di hutan- hutan selama bertahun-tahun; usaha inipun tidak memberikan kepuasan kepada Gautama. Akhirnya ia pergi ke suatu tempat untuk bersemedi guna mendapatkan ilmu yang bisa memberi tuntunan hidup yang memuaskan. Tempar bersemedi ini kemudian disebut Bodgaya; di tempat inilah akhirnya menemukan apa yang dicita- citakan yakni ajaran tentang samsara (sebab akibat penderitaan). 19 Prinsip agama Budha tersimpul dalam kesaksian keimanan yang disebut dengan “tri ratna” (tiga rangkaian ratna mutu manikam). Kesaksian ini berbentuk kredo yang berbunyi “Budham Saranam Gacchami” (saya mencari perlindungan kepada sang Budha), “Dharma Saranam Gacchami” (saya mencari perlundungan kepada Dharma hukum-hukum agama) ”Sagham Saranam Gacchami”

  (saya mencari perlindungan kepada Sangha orde pendeta). 20

  Di Indonesia, agama Budha pernah mengalami masa pasang pada periode Mataram Kuno dengan salah satu peninggalan Monumentalnya yakni Candi Borobudur di Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Dalam perkembangannya agama ini mengalami kemunduran bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Mataram Kuno yang terdesak oleh kekuatan Kerajaan Majapahit. Saat ini agama

  19 Ibid. 20 Ibid.

  Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 99

  Budha menjadi salah satu agama resmi yang diakui pemerintah dengan pemeluk yang menyebar di beberapa wilayah Indonesia.

  Agama konghucu atau Kunfucianisme yang bahasa aslinya disebut Kun Fun Tse lahir dan memiliki banyak pemeluk di Tiongkok. Ajaran-arajan Kun Fun Tse dibangun di atas tradisi dan adat istiadat bangsa Tiongkok. Pokok-pokok ajarannya adalah pertama, setiap manusia harus mempunyai Yen yang berarti harus memiliki kebaikan, budi pekerti, cinta dan kemanusiaan. Kedua, apabila manusia telah memiliki Yen maka akan muncul dalam dirinya Chung Tzu yakni sifat kelaki-lakian yang terpuji seperti bertanggung jawab, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka banyak bicara, sportif dan percaya diri. Ketiga, setelah mempunyai ChunTzu maka manusia telah terikat dengan ‘Li’ yaitu (1) peraturan- peraturan yang menjaga keseimbangan dalam manusia, (2) upacara atau ritual dalam sepanjang hidup manusia. Keempat, setiap insane harus memelihara kekuatan batin yang disebut “TE” yang memiliki makna “kekuatan atau kekuasaan” yang mencakup kekuatan physic dan psychis. 21

  Di Indonesia agama Konghucu lebih banyak dipeluk oleh etnis Cina, pada mulanya agama ini belum diakui oleh pemerintah sebagai agama resmi, namun seiring dengan pergantian pucuk kepemimpinan Negara dan perubahan situasi dan kondisi politik bangsa, Konghucu diakui sebagai agama resmi. Pada masa pemerintahan Gus Dur agama ini mulai mendapatkan pengakuan yaitu dengan dicabutnya surat edaran menteri yang menyebutkan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Sejak tahun 2000 agama ini menjadi satu diantara enam agama yang diakui oleh Negara. 22

D. Kekuasaan Negara Dalam Pembatasan Beragama

  Agama dan Negara dengan semua kekuasaannya adalah dua eniti yang saling terkait dan memiliki jalinan sejarah panjang, keduanya saling berjalan pengaruh-mempengaruhi, serta saling membutuhkan. Secara historis perkembangan dan penyebaran agama-agama tidak terlepas dari aspek Negara (Kerajaan). Misanya

  21 Ibid. 22 M. I. Tanggok, Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu” di Indonesia,

  (Jakarta: Pelita Kebijakan, 2005). 100 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 (Jakarta: Pelita Kebijakan, 2005). 100 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Dari proses penyebaran dan perkembangan agama Islam tersebut di atas diketahui bahwa agama tidak terlepas dari masalah politik kekuasaan. Demikian pula apabila kita merunut sejarah agama besar lainnya seperti Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Agama Kristen dan Katolik misalnya dua agama ini memiliki kaitan erat dengan kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara, yang kemudian hari menjadi penjajah Bangsa Indonesia. Demikian juga dengan agama Hindu dan Budha; dua agama ini tumbuh dan berkembang seiring dengan keberlangsungan kerajaan- kerajaan nusantara. Ketika penguasa mendukung eksistensi sebuah agama maka bisa dapat dipastikan agama tersebut akan mengalami kemajuan, sedangkan apabila penguasa tidak merestui keberadaan suatu agama maka religi tersebut akan sulit brkembang atau bahkan tersisih.

  Pada konteks yang lebih akhir, pengakuan sebuah agama ditentukan oleh Negara dengan berbagai persyaratan dan kemudian dikukuhkan dengan diterbitkannya sebuah undang-undang. Pada tahun 1978, Menteri Dalam Negeri Indonesia mengelarkan surat edaran nomor 47774054BA.01.2468395 yang menyatakan bahwa agama yang diakui oleh pemerintah adalah Islam, Kristen,

  Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 101

  Katolik, Hindu dan Budha. 23 Dalam peraturan ini hanya ada

  lima agama yang diakui secara resmi, sedangkan agama atau keyakinan diluar kelima agama tersebut secara formal tidak diakui. Konsekuensi dari peraturan ini adalah para pemeluk agama lokal ataupun kepercayaan tidak bisa menyebutkan agama asli mereka dalam KTP (Kartu Identitas Penduduk) dan dokumen-dokumen lain yang didalamnya harus menyebutkan agama. Selain itu, para penganut agama tersebut tidak bisa secara leluasa mengekspresika agama mereka. Pada beberapa kasus orang-orang tersebut akan mengatakan (atau terpaksa menyebutkan) bahwa agama mereka adalah salah satu dari lima agama yang diakui oleh pemerintah meskipun sebenarnya mereka memiliki sistem kepercayaan yang lain. Misalnya ada penganut agama Konghucu, pada saat itu sebagian dari mereka secara formal menyatakan sebgai penganut Budha atau Katolik walaupun sebenarnya dalam keyakinan dan praktek peribadatan mereka adalah Konghucu. Agama Konghucu ini baru diakui secara resmi pada tahun 2000 setelah peraturan tersebut di atas dicabut.

  Disini persoalan agama tidak lagi dimaknai hanya sebagai masalah pribadi, tidak semua pemeluk agama ataupun kepercayaan lokal dapat dengan leluasa mendeklarasikan agama asli mereka secara formal. Negara dengan perangkat hukum dan dengan jelas member batasan bahwa secara resmi hanya ada enam agama yang diakui sedangkan yang lainnya tidak. Religi pribumi seperti sunda Wiwitan, Kaharingan, To Latang, dan Amma Towa serta agama- agama lokal lainnya tidak mendapat tempat resmi dalam Negara.

E. Penutup

  Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga Negara berhak memluk dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing, namun hal ini belumlah cukup karena pada kenyataannya tidak semua agama dan keyakinan mendapatkan pengakuan secara formal oleh Negara. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah dengan jelas membatasi ruang gerak agama lokal. Selain hal tersebut, keberadaan religi pribumi juga mengalami keterdesakan yang disebabkan oleh beberapa hal yakni: (1) adanya

  23 Ibid. 102 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 23 Ibid. 102 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 103

DAFTAR PUSTAKA

  Arifin, H.M. Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar. (Jakarta:

  Golden Terayon Press, 1987) Danadjaja, J. Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah. Dalam

  Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1988)

  Danadjaja, J. Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah. Dalam

  Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1988)

  Garna, Y. Masyarakat Baduy di Banten. Dalam koentjaraningrat,

  Dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993)

  Harsojo. Kebudayaan Sunda. Dalam Koentjaraningrat. Manusia dan

  Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1988) Hidayat, R.A. Ringkasan Hasil Penelitian; Orang Dayak dan Budaya

  Kaharingan Studi Orientasi Keagamaan Masyarakat Dayak Penganut Agama Hindu Kaharingan. Makalah

  dipresentasikan pada Seminar Hasil Penelitian Kompetitif Balai Litbang Agama Semarang, 19 September 2007.

  Isaccs, H.R. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis; Identitas Kelompok

  dan Perubahan Politik. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993)

  Kahmad, D. Sosiologi Agama. (Bandung: Rosda, 2000) Kartawinata, A.M. Masyarakat Punan di Kalimantan Barat. Dalam

  Koentjaraningrat, Dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993)

  Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. (Jakarta:

  Dian Rakyat, 1990). Mattulada. Kebudayaan Bugis Makasar. Dalam Kontjaraningrat.

  Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1988).

104 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Rudito, B.. Masyarakat Mentawai Di Sebelah Barat Sumatra. Dalam

  Koentjaraningrat, Dkk. Masyarakat Terasing di Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993)

  Smith, H. Agama Agama Manusia. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

  1985). Sou’yb, J. Agama Agama Besar di Dunia. (Jakarta: Pustaka Alhusna,

  1983). Suparlan, P. Kebudayaan Timor. Dalam Koentjaraningrat. Manusia

  dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Djambatan, 1988).

  Tanggok, M.I.. Mengenal Lebih Dekat “Agama Konghucu” di Indonesia.

  (Jakarta: Pelita Kebijakan, 2005) Tolkhah, I. Mewapadai dan Mencegah Konflik Antar Umat Beragama.

  Jakarta: Departemen Agama RI Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Hidup Umat Beragama. (2001).

  Agama Lokal Ter (di)pinggirkan di antara Agama Besar (Zakiyah) 105

  106 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  PENGELOLAAN MADRASAH DINIYAH Sistem Nilai dan Kepemimpinan dalam Budaya

  Organisasi pada Madrasah Diniyah Di Kudus

  Kisbiyanto Dosen STAIN Kudus Email:

ABSTRAK

  Madrasah diniyah di Kabupaten Kudus mempunyai peta yang cukup menarik. Dilihat dari sisi kuantitas, madrasah diniyah mempunyai jumlah terbesar (220 madrasah) dibanding jumlah madrasah pada masing-masing jenjang madrasah ibtidaiyah (135 madrasah), madrasah tsanawiyah (57 madrasah), madrasah aliyah (29 madrasah) dan pondok pesantren (101 pesantren). Dari 220 madrasah diniyah di Kudus, hanya ada 7 madrasah diniyah yang mempunyai jenjang lengkap dari ula, wustho dan ulya.

  Penelitian ini dengan pendekatan kuantitatif pada tiga variabel, budaya organisasi dilihat dari sistem nilai dan model kepemimpinan. Indikator budaya organisasi diukur dari aspek-aspek yang meliputi: (1) menggunakan usaha fisik dan mental dalam pelaksanaan pekerjaan secara wajar (seperti orang bermain atau beristirahat), (2) kontrol eksternal dan encaman hukuman bukan alat satu-satunya untuk mencapai sasaran organisasi, (3) kesiapan berusaha secara bertanggung jawab dan tidak hanya menerima sesuatu saja, (4) pembagian yang luas antara individu dalam berimajinasi, ingenuitas dan kreatifitas, (5) potensialitas intelektual manusia umunya hanya dimanfaatkan sebagian. Sistem nilai dikriteriakan sebagai : (1) nilai merupakan suatu kepercayaan seseorang atau sekelompok orang yang meyakini baik atau tidak baik tentang sesuatu, (2) nilai bisa memberikan pemaknaan terhadap suatu obyek berupa benda, sikap, tindakan untuk dimaknai baik-buruk,

  Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 107 Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 107

  Analisis dan pembahasan dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : (1) Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa sistem nilai di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik, (2) Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa kepemimpinan di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik, (3) Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa budaya organisasi di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik, (4)Hasil penghitungan menunjukkan bahwa sistem nilai berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi di madrasah diniyah di Kudus, (5) Hasil penghitungan menunjukkan bahwa kepemimpinan berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi di madrasah diniyah di Kudus.

  Kata Kunci: budaya organisasi, sistem nilai, model kepemimpinan

A. Pendahuluan

  Kecenderungan madrasah diniyah sistem klasikal bertingkat ‘ula (pertama), wustho (menengah), ‘ulya (tinggi) kurang diminati dan kurang diperhatikan masyarakat dari pada Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ). Pada umumnya, sebagian orang tua lebih memberi perhatian anak-anak kecil mereka untuk belajar membaca al-Qur’an di TPQ pada siangsore hari sebagai pendidikan tambahan setelah pagi hari belajar di sekolah formal misalnya madrasah ibtidaiyah (MI) atau sekolah dasar (SD).

  Penyelenggara utama pendidikan nasional adalah Departemen Pendidikan Nasional sebagai lembaga pusat dan dinas pendidikan pada propinsi dan kabupatenkota. Namun, dalam pelaksanaannya, banyak departemen lain menyelenggarakan

  108 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 108 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Jumlah lembaga pendidikan berciri agama Islam di Kabupaten Kudus juga cukup banyak karena secara sosikultural, masyarakat Kudus merupakan komunitas besar dari kaum santri yaitu kelompok masyarakat yang tekun mempelajari dan mengamalkan ajaran agama Islam yang dipeluknya. Jumlah penyelenggaraan pendidikan tersebut (Kandepag Kudus 2007) terdiri dari 135 madrasah ibtidaiyah, 57 madrasah tsanawiyah, 29 madrasah aliyah, 220 madrasah diniyah dan 101 pesantren. Jadi Kabupaten Kudus mempunyai 221 madrasah (pendidikan formal) dan 321 pendidikan madrasah diniyah dan pesantren (pendidikan non- formal). Lembaga pendidikan formal maupun nonformal tersebut di bawah pembinaan Kantor Departemen Agama Kabupaten Kudus yang pembinaannya secara teknis dilaksanakan oleh kepala seksi madrasah dan pendidikan agama (MAPENDA) untuk pembinaan madrasah formal dan kepala seksi pendidikan diniyah dan pondok pesantren untuk pembinaan pendidikan nonformal.

  Madrasah diniyah memang mempunyai masalah krusial dilihat dari beberapa aspek pengelolaannya, terutama tentang sumber daya manusia dan sarana yang dipunyai sebagai lembaga pendidikan Islam. Dilihat dari sudut pandang sumber daya manusia, madrasah diniyyah di Indonesia yang berada di lingkungan pondok pesantren saja mencapai 1.000.966 siswasantri (Yusuf 2006a:159). Jumlahnya akan lebih banyak berlipat-lipat jika dihitung pula jumlah siswa pada madrasah diniyah di desa dan perkotaan yang berlokasi tidak menyatu atau jauh dari pesantren, yaitu madrasah diniyah yang mempunyai siswa dari basis masyarakat pada umumnya (tidak siswa santri yang tinggal di pesantren). Menurut data Ditjen Bagais tahun 2000-2003 jumlah madrasah diniyah 37.600 buah dengan jumlah murid 2.173.012 orang berada di lingkungan pesantren (Yusuf 2006b:275). Sementara menurut data Direktorat Pekapontren, jumlah madrasah diniyyah se-Indonesia 19.014 buah

  Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 109 Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 109

  Keberadaan madrasah diniyah sebagai satuan pendidikan keagamaan jelas terselenggara dan mempunyai peran dalam pendidikan bagi bangsa Indonesia, khususnya pendidikan keagamaan. Madrasah diniyah sangat penting untuk diberi perhatian sebagai upaya pengembangannya, khususnya dilihat dari sisi pengelolaan. Dengan berbagai alasan dan latar belakang di atas, penelitian ini disusun dengan judul pengelolaan madrasah diniyah kepemimpinan, sistem nilai dan budaya organisasi pada madrasah diniyah di Kudus.

B. Sistem Nilai dan Kepemimpinan dalam Budaya Organisasi

1. Sistem Nilai

  Nilai merupakan istilah abstrak yang membutuhkan penjelasan panjang lebar agar tidak terjadi makna salah terhadap pemahaman tentang nilai. Nilai menurut Rokeach dipahami sebagai

  “tipe suatu kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan dimana seseorang bertindak atau

  menghindari suatu tindakan, atau mengenai suatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Ini berarti hubungannya dengan pemaknaan atau pemberian arti obyek”(Eko S, 2003:22)

  Nilai erat kaitannya dengan perilaku organisasi karena suatu nilai meletakkan dasar-dasar untuk memahami sikap dan motivasi seseorang dan nilai juga mempengaruhi persepsi seseorang, sebagaima Robbin menjelaskan :

  “values are important to the study of organizational behavior because they lay the foundation for the understanding of

  attitudes and motivation as well as influencing our perceptions. Individuals enter an organization with preconceived notions of what ‘ought’ and what ‘ought not’ to be. Of course, these notions are not value free.” (Eko S, 2003:24)

  Pengertian dan penjelasan tentang nilai di atas bisa diuraikan dalam beberapa konteks, khususnya dalam kaitannya

  110 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 110 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Sistem nilai adalah prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dapat dipelajari dalam suatu organisasi untuk membantu seseorang memilih di antara berbagai alternatif menyelesaikan konflik dan membuat keputusan. Sebagaimana Rokeach menjelaskan : a value system is a learned organization of principles and rules to help one choose between alternatives, solve conflict and make decision.

  Suatu lembaga pendidikan sangat erat kaitannya dengan nilai. Lembaga pendidikan mempunyai subyek-subyek pelaku dan penyelenggara pendidikan yang terdiri dari person-person berbeda sikap dan perilakunya. Bahkan dalam suatu lembaga pendidikan, sering kali ditemukan perbedaan itu berujung pada konflik antar individu maupun konflik antar kelompok dalam organisasi. Karena itu, untuk diperlukan suatu sistem nilai tertentu yang menjadi landasan norma interaksional antara subyek pendidikan baik kepala sekolah, guru, murid, orang tuawali, anggota komite sekolah dan masyarakat terkait lainnya.

  Tujuan pendidikan nasional itu tentu berbeda dengan tujuan pendidikan di negara lain karena perbedaan sistem nilai yang digunakan dalam menentukan tujuan pendidikan diberbagai negara. Negara Indonesia mempunyai latar belakang budaya, kondisi dan permasalah yang berbeda dengan bangsa lain, sehingga tujuan pendidikan di Indonesia diarahkan kepada pembentukan karakter bangsa sebagaimana dirumuskan di atas.

2. Kepemimpinan

  Kepemimpinan menurut Stogdill adalah proses mempengaruhi aktifitas kelompok dalam rangka penyusunan tujuan organisasi dan pelaksanaan sasarannya (Sulton 2003:24). Kepemimpinan dalam pendidikan dijelaskan oleh Yukl sebagai

  Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 111 Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 111

  “Most definitions of leadership reflect the assumption that it involves as social influence process whereby intentional

  influence is axerted by one person (or group) over other people (or groups) to structure the activities and relationship in a group or organization (Bush 2006:5).

  Selanjutnya, Bush (2006) menjelaskan bahwa kepemimpinan pendidikan dibentuk oleh tiga dimensi dalam kepemimpinan, yaitu kepemimpinan sebagai “pengaruh”, kepemimpinan berkaitan dengan “nilai-nilai” dan kepemimpinan berkaitan dengan “visi”. Jadi kepemimpinan pada hakekatnya merupakan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang-orang dalam organisasi dengan sistem nilai tertentu dan visi tertentu pula untuk mencapai tujuan. Pemimpin tidak bisa efektif jika tidak bisa mempengaruhi orang lain dengan nilai-nilai dan visi kepemimpinan yang jelas.

  Suatu “model” kepemimpinan bisa efektif jika mempunyai kesesuaian tipologi dalam model-modelnya dengan situasi dan kondisi organisasi atau lembaga pendidikan terutama (Bush 2006) tujuan (goal), struktur kelembagaan (structure), lingkungan (environment) dan kepemimpinan itu sendiri (leadership). Model- model kepemimpinan. Jadi model kepemimpinan merupakan kesatuan dari unjuk kerja yang ditampilkan suatu aktifitas memimpin dilihat dari aspek tujuan, struktur, lingkungan dan kemampuan seseorang dalam memimpin.

  Model kepemimpinan dalam manajemen pendidikan antara lain : (1) model formal (formal models), model kolegial (collegial models), model politik (political models), model subyektif (subjective models), model ambiguitas (ambiguity models) dan model kultural (cultural models). Model-model tersebut sangat bervariasi dilihat dari konsep dan operasinya. Dalam praktiknya, model-model akan terlihat sebagai aktifitas yang tidak murni sebagai satu model tertentu, tetapi mungkin akan nampak sebagai model kolaboratif. Misalnya saja, seorang pemimpin pendidikan tradisional cenderung berperilaku dalam model kultural namun secara bersamaan juga berperilaku sebagai pemimpin dengan model politik atau kolegial dan seterusnya. Jadi model kepemimpinan bisa dilihat dari ragam perspektif sehingga kajian tentang model-model kepemimpinan

  112 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 112 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Kepemimpinan yang saat ini banyak mendapat perhatian banyak pihak adalah kepemimpinan partisipatif dimana seorang pemimpin menggunakan pendekatan khusus yaitu melibatkan subyek-subyek organisasi atau lembaga beserta stake holders untuk menentukan tujuan dan bekerja sama dalam mencapainya.

  Kepemimpinan partisipatif dianggap baik dan sesuai dengan pola kehidupam masyarakat kontemporer yang mengedepankan isu demokratisasi (democration), persamaan (equality), kerja sama (team work), kemajemukan (pluralism), multikultural (multicultural) dan keterbukaan dalam manajemen (open management). Kepemimpinan partisipatif juga mempunyai kekhususan dalam meningkatkan peran serta anggota organisasi dalam menuangkan cita-cita, merumuskan tujuan-tujuan bersama dan bekerja secara bersama untuk kepentingan bersama pula. Pemimpin tidak seorang yang super power tetapi lebih sebagai “bapak atau ibu” dan juga teman sejawat.

C. Budaya Organisasi

  Budaya organisasi menurut Owens didefinisikan sebagai

  “…the body of solution to external dan internal problems that has worked consistenly for a group and that is therefore taught

  to new members as the correct way to perceive, think about and feel in relation to those problem…”

  Jadi budaya organisasi dipahami sebagai pola pemecahan masalah eksternal dan internal yang diterapkan secara konsisten bagi suatu kelompok dan karenanya diajarkan kepada anggota- anggota baru sebagai cara yang benar dalam memandang, memikirkan dan merasakan masalah yang dihadapi. Selanjutnya Owens juga menjelaskan bahwa budaya organisasi berarti filsafat, ideologi, nilai-nilai, asumsi-asumsi, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma bersama yang mengikat atau mempersatukan suatu komunitas (Eko S, 2003:11).

  Jadi budaya organisasi sangat terkait dengan sistem nilai yang diyakini dalam suatu organisasi yang dengan nilai-nilai itu komunitas organisasi bersikap, berperilaku dan mengerjakan tugas-tugas keorganisasian untuk mencapai tujuan. Dengan kata

  Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 113 Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 113

  Suatu organisasi atau lembaga pendidikan tentu mempunyai kekhasan sendiri dalam menyelenggarakan pengelolaan pendidikan. Budaya sekolah unggulan berbeda dengan budaya sekolah belum maju. Budaya sekolah di perkotaan cenderung berbeda dengan budaya sekolah di pedesaan. Budaya sekolah formal dan sekolah non-formal juga berbeda.

  Menurut Robins terbentuknya budaya organisasi berasal dari filsafat yang dimiliki oleh pendiri organisasi, selanjutnya budaya tersebut digunakan sebagai criteria dalam mempekerjakan karyawannya. Tindakan manajemen puncak (top leader) menentukan iklim umum dari perilaku yang dapat diterima baik dan tidak baik. Bagaimana karyawan harus diberi sosialisasi tergantung pada tingkat sukses yang dicapai dalam mencocokkan nilai-nilai karyawan baru dengan nilai-nilai oranisasi dalam proses seleksi maupun preferensi manajemen puncak akan metode-metode sosialisasi (Eko S, 2003:19-21). Jadi budaya organisasi berasal dari pandangan hidup dan cita-cita para pendiri (founding fathers) atas organisasi tersebut dan komunitas berikutnya mengikutinya dengan cara kerja yang dicitakan. Misalnya, sekolah keagamaan didirikan untuk mengajarkan ilmu-ilmu agama agar generasi berikutnya tidak buta agama dan tidak meninggalkan agama. Cita- cita kelembagaan ini secara terus menerus akan menjadi ciri khusus lembaga itu dalam membentuk kinerja karyawan dan semua pihak terlibat agar tujuan lembaga itu terwujud. Lambat laun, cara kerja itu menumbuhkan sikap dan perilaku cenderung tetap sebagai budaya organisasi di suatu sekolah.

  Budaya organisasi yang baik bisa dikutip menurut pendapat Mc. Gregor dengan Teori Y dalam Winardi (2004) dan dapat diukur dari aspek-aspek yang meliputi: (1) menggunakan usaha fisik dan mental dalam pelaksanaan pekerjaan secara wajar (seperti orang bermain atau beristirahat), (2) kontrol eksternal dan encaman hukuman bukan alat satu-satunya untuk mencapai sasaran organisasi, (3) kesiapan berusaha secara bertanggung jawab dan tidak hanya menerima sesuatu saja, (4) pembagian yang

  114 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 114 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

D. Profil Lokasi Penelitian

  Madrasah diniyah di Kabupaten Kudus juga mempunyai peta yang cukup menarik. Dilihat dari sisi kuantitas, madrasah diniyah mempunyai jumlah terbesar (220 madrasah) dibanding jumlah madrasah pada masing-masing jenjang madrasah ibtidaiyah (135 madrasah), madrasah tsanawiyah (57 madrasah), madrasah aliyah (29 madrasah) dan pondok pesantren (101 pesantren). Dari 220 madrasah diniyah di Kudus, hanya ada 7 madrasah diniyah yang mempunyai jenjang lengkap dari ula, wustho dan ulya.

E. Analisis Data

  Analisis dan pembahasan dalam penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :

  1. Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa sistem nilai di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik.

  2. Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa kepemimpinan di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik.

  3. Guru madrasah diniyah di Kudus berpersepsi bahwa budaya organisasi di madrasah diniyah adalah dalam kategori baik.

  4. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa sistem nilai berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi di madrasah diniyah di Kudus.

  5. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa kepemimpinan berhubungan secara signifikan dengan budaya organisasi di madrasah diniyah di Kudus.

  Madrasah diniyah sebaiknya segera memperbaiki diri dengan meningkatkan pengembangan sistem nilai dan kepemimpinan yang semakin relevan dengan perkembangan pendidikan keagamaan agar budaya organisasi di madrasah diniyah semakin lama semakin membaik dan meningkat sebagai organisasi atau lembaga pendidikan yang baik.

  Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 115

DAFTAR PUSTAKA

  Arikunto, Suharsimi. 1998. Manajemen Penelitian. Jakarta:Rineka

  Cipta. Bush, Tony. 2006. Theories of Educational Leadership and

  Management. London:SAGE Publications. Data Madrasah Diniyah Kandepag Kab. Kudus Tahun Pelajaran

  2007. Direktori Madrasah, Madrasah Diniyah dan Pondok Pesantren

  Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI 2007

  Ekosusilo, Madyo. 2003. Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul

  Berbasis Nilai. Sukoharjo:Univet Bantara Press. Masyhud, Sulthon, dkk. 2003. Manajemen Pondok Pesantren.

  Jakarta:Diva Pustaka. Singarimbun, Masri dan Efendi, Sofian (Ed). 1995. Metode Penelitian

  Survai. Jakarta:LP3ES. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan

  Kuantitatif, Kualitatif dan R D. Bandung:Alfabeta. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

  Pendidikan Nasional Yusuf, Choirul Fuad dkk. 2006b. Inovasi Pendidikan Agama dan

  Keagamaan. Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbangdiklat Departemen Agama RI.

  Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program

  SPSS. Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Abdurrahman Saleh Abdullah. 1994. Teori-teori Pendidikan

  Berdasarkan Al-Qur’an (Terjemahan H.M. Arifin). Jakarta:Rineka Cipta.

  Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung :Alfabeta. Bass, Bernard M.1981. Stogdill’s Handbook of Leadership A Survey

  of Theory and Research. New York:A Division of Macmilan

116 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Publishing Co., Inc. Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi. Jakarta: Prenada

  Media. Yusuf, Choirul Fuad dkk. 2006a. Isu-isu Sekitar Madrasah.

  Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbangdiklat Departemen Agama RI.

  Pengelolaan Madrasah Diniyah(Kisbiyanto) 117

  118 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

‘ADAH MUHAKKAMAH, SINERGI AGAMA DAN BUDAYA, UPAYA MENUJU KEARIFAN LOKAL

  Jamal Ma’mur Asmani Email: jamil_makmuryahoo.com

  ABSTRAK Mensinergikan antara agama dengan budaya memerlukan

  piranti dukung di antaranya kita kenal dengan istilah ‘adah muhakkamah yang merupakan tradisi sosial dan sumber hukum. Semua itu bertujuan untuk memantapkan keberagamaan kita ditengah kehidupan dan ditengah budaya yang beragam.

  Kajian ini mencoba memotretnya dengan pendekatan referensi kitab pesantren dengan harapan mampu memberikan nuansa baru esensi ‘adah muhakkamah secara utuh sekaligus memunculkan fenomena bagaimana jika tradisi masyarakat bertentangan dengan syara’, bahkan esensi syara’ tertutup oleh adat itu sendiri, apakah ada nilai tawar atau apakah ada jalan lain dalam menyelesaikannya. Untuk itu kaedah ‘adah muhakkamah sangat membutuhkan kepiawaian kita semua dalam memahami budaya dan pesan agama secara tekstual maupun kontekstual, yang ujung- ujungnya menciptakan pesan Islam yang humanis, adaptif, dan membumi.

  Kata kunci: kearifan lokal dan tradisi lokal Islami

A. Pendahuluan

  Salah satu kaedah sumber hukum Islam yang aspiratif, akomodatif, dan fleksibel adalah ‘adah muhakkamah 1 ,yakni suatu

  tradisi yang berkembang di masyarakat menjadi landasan dan sumber

  1 Syeh Jalaluddin al-Syuyuti, Asybah Wa Al-Nadhori, h. 63

  ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 119

  penetapan hukum. Tradisi suatu masyarakat dapat berkembang, berbeda, dan berubah sesuai dengan tingkat peningkatan ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik warganya. Perubahan semacam ini membuat hukum harus proaktif mengikutinya, sehingga tidak out of date. Kaedah ini dalam rangka menghantarkan substansi aplikasi hukum Islam yang harus membawa misi vitalnya, yaitu menciptakan masholihul ibad, kemaslahatan hamba Allah. Kemaslahatan adalah sesuatu yang mendorong kepada kebaikan (positif) dan menghindari kejelekan (negatif). Salah satu indikator dan parameter maslahah bagi manusia adalah tercukupinya kebutuhan primer, sandang, pangan, dan papan. Dalam bahasa agama, indikator keberhasilan maslahah adalah apabila mampu memenuhi lima hak dasar manusia, yaitu menjaga kebebasan beragama (fidzu al-din), melindungi keselamatan jiwa (hifdzu al-nafs), menjaga keamanan harta (hifdzu al-mal), menajaga kebebasan berfikir (hifdzu al- aqli), menjaga kelangsungan keturunan dan prestise (hifdzu al- nasli wa al-irdh). Untuk menjaga realisasi lima hak dasar ini, Islam mempunyai banyak instrument. Qoshos di syari’atkan untuk menjaga keselamatan jiwa, orang murtad di bunuh untuk menjaga agama, zina dihukum untuk menjaga nasab, orang yang menuduh zina dihukum untuk menjaga harga diri, mencuri dihukum untuk menjaga harta, dan minum-minuman keras dihukum untuk menjaga

  akal 2 .

  Dasar kaedah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW. Ma raahu al muslimuna hasanan fahuwa indallahi hasanun sesuatu yang dianggap bagus oleh banyak umat muslim, maka sesuatu tersebut bagus menurut Allah. ‘Adah adalah sesuatu yang berulang- ulang. Sama dengan ‘adah adalah urf, yaitu sesuatu yang menjadi kebiasaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik ucapan, melakukan perbuatan, atau meninggalkannya. Sebagian ahli fiqh mengatakan, bahwa ‘adah lebih umum daripada urf, artinya semua urf adalah adah, dan tidak semua adah adalah urf 3 .

  Salah satu contoh kaedah ‘adah muhakkamah ini adalah batas minimal-maksimal haidh, minimal usia wanita haidh, mengambil buah yang runtuh, menjaga harta yang dicuri, transaksi

  2 Hasyiah Ianatut Tholibin, Juz 4, h. 142 3 Ali Sabbak, Al-Syariatu wa al-Tasyri’, h. 96

  120 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 120 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Misalnya lagi, ketika hadits Nabi menrangkan tidak bolehnya anak kecil membelanjakan harta. Namun, di saat anak kecil sudah pintar dan dapat dipercaya, diperbolehkan membelanjakan harta, misalnya disuruh orang tua membeli kebutuhan sehari-hari.

B. PEMBAGIAN ADAH

  ‘Adah urf dibagi dalam beberapa aspek. Dari aspek ucapan dan tindakan, adah atau urf dibagi dua.

  Pertama, urf qauli (kebiasaan yang berupa ucapan), misalnya kebiasaan manusia menggunakan kata ‘waladun’ pada anak laki- laki, bukan perempuan, walaupun kata ‘waladun’ secara bahasa bisa digunakan untuk keduanya (laki-laki dan perempuan), misalnya firman Allah Swt. Yushikum Allahu fi auladikum li al-dzakari mistlu hadz il untsayain. Allah memberikan wasiat kamu semua dalam masalah anak-anakmua semua, bagi laki-laki seprti bagian dua orang perempuan (Qs. Al-Nisa :11). Kedua, urf amaly (kebiasaan berupa pekerjaan), misalnya kebiasaan manusia membeli tanpa ada transaksi (ijab-qabul), tapi langsung memeberikan uang (dalam khazanah ilmu fiqh dinamakan bai’ mu’athoh).

  Dari aspek keumumannya, ‘addah urf dibagi menjadi dua. Pertama, urf am (kebiasaan umum), yaitu kebiasaan manusia dalam semua Negara di satu waktu, misalnya kebiasaan manusia dalam masalah mandi, kebersihan, tanpa dibatasi hitungan dalam seminggu, dan kebiasaan memakai pakaian. Kedua, urf khos (kebiasaan khusus), yaitu kebiasaan manusia yang ada pada sebagian penduduk Negara, misalnya pada sebagian daerah ada kebiasaan mempercepat pemberian mas kawin dan sebagian daerah lainnya menundanya; kebiasaan ahli perdagangan memberikan tambahan pada pembeli melebihi ukuran jual beli.

  Dari aspek sah dan rusaknya, urf dibagi menjadi dua.

  ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 121

  Pertama, urf shohih (kebiasaan yang sah), yaitu kebiasaan yang tidak bertentangan dengan ketentuan nash dari beberapa nash syari’at dan tidak juga bertentangan dengan satu kaedah dari beberapa kaedah syari’at, walupun dalam masalah tersebut tidak ada nsh khusus. Kedua, urf fashid (kebiasaan rusak), yaitu kebiasaan yang bertentangan dengan hukum-hukum syari’at dan kaedah-kaedahnya yang tetap, misalnya kebiasaan manusia melakukan banyak kemungkaran, seperti transaksi riba, minuman Khamr (minuman keras), judi, dan sejenisnya.

  Tradisi di masyarakat dalam berhutang, ketika mengembalikannya dengan jumlah yang lebih banyak daripada jumlah hutangnya, dalam konteks ini, tradisi masyarakat tersebut tidak bisa dijadikan syarat (pijakan hukum tetap), sehingga haram memberikan pinjaman hutang tersebut. Tradisi itu biarlah berjalan secara alamiyah, artinya, kalau mereka mengembalikan dengan cara lebih baik, tapi kalau suatu saat, karena keterbatasan ekonomi, mereka mengembalikannya dengan jumlah yang sama, tidak apa- apa.

  Yang menjadi masalah dalam kaedah ini adalah apabila tradisi yang berkembang dimasyarakat tersebut bertentangan dengan ajaran prinsip agama, misalnya tradisi animisme dan dinamisme, yang menyebabkan kekufuran dan kemusyrikan, maka jelas, kaedah ini tidak termasuk. Kapanpun Islam menentang segala bentuk kemaksiatan dan kemungkaran. Tradisi yang menyimpang adalah sasaran utama Islam. Barang siapa membolehkannya sedangkan ia tahu status keharamannya, maka ia dihukum kafir dan murtad dan ia berhak masuk neraka selamanya. Ia tetap diharamkan agama, cara merubahnya harus bertahap. Hal ini sesuai dengan tehnik penyebaran dan pembumian ajaran agama Islam yang terkenal dengan mabadi amah (dasar-dasar umum), yang terdiri dari lima hal.

  Pertama, gradualisasi (tadrij). Ketika Nabi di Makkah, konsentrasi beliau adalah meluruskan keyakinan, aqidah mensyaratkan jahiliyah yang menyimpang, tidak pada hal-hal yang teknis-operasional, baru ketika di Makkah, beliau menata masyarakat sampai pada aspek-aspek yang detail, pemerintahan, politik, militer dan lain-lain. Kedua, minimalisasi undang-undang (taqlil min al- taqnin). Hukum yang disyari’atkan disesuaikan dengan kebutuhan

  122 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  dan tuntutan sosial. Banyak sekali al-Qur’an yang turun sebab ada pertanyaan, kasus sosial, dan sejenisnya. Misalnya tentang haidh, cara menginfaqkan harta, dan lain-lain. Ketiga, mempermudah dan meringankan (taisir wa al-takhfif). Allah berfirman, yuridullahu bikum al-yushra wala yuridu bikum al-usra, Allah menghendaki pada kamu kemudahan dan tidak menghendaki kepadamu kesulitan, dalam hadits shohih dijelaskan, ketika Nabi disuruh memilih perkara dua, pasti beliau memilih yang paling mudah, selama tidak dosa. Prakteknya, seperti hadits Nabi dalam masalah siwak, laula an asyuqqa ala ummati la amartuhum bis siwaki inda kulli sholatin, jika tidak menimbulkan kesulitan bagi umatku, niscaya aku memrintahkan mereka siwakan ketika hendak sholat. Keempat, berjalan kemaslahatan manusia (musyarah ila masholihin nasi). Al- Qur’an sering menghapus ayat dan menggantinya dengan tujuan sesuai dengan kemaslahatan manusia. Nabi melarang ziarah kubur, lalu memperbolehkannya. Pijakan keempat ini banyak dilakukan Nabi dengan cara mengabadikan tradisi pra-Islam yang tidak bertentangan dengan inti ajaran Islam, misalnya, soal keselarasan dalam perkawinan, hak waris dan kekuasaan mengatur (wilayah) bagi ashobah, kewajiban diyad bagi aqilah (ashobah pelaku krimial), dan lain-lain. Hal ini dilakukan agar terjadi harmonisasi agama dan budya lokal, sehingga Islam diterima secara mantap.

C. Kearifan Lokal

  Kaidah ‘adah muhakkamah ini dalam praktisnya mengakui budaya lokal dan memberikan sinaran dan sentuhan keagamaan pada tradisi tersebut jika bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam satu ritual budaya, ada nilai lokalitas budaya dan universalitas ajaran Islam yang sudah bersinergi dan terinternalisir dalam budaya tersebut. Dalam konteks ini, kaidah ‘adah muhakkamah ini menjadi bukti kepedulian Islam melestarikan budaya leluhur dengan strategi islamisasi budaya. Bukan dengan penghapusan budaya lokal dengan memunculkan budaya murni arab, atau ‘Arabisasi’ yang berpotensi ditolak warga setempat.

  Contoh aplikasi kaedah ini sebagai metode efektif penyebaran agama Islam di Indonesia. Para ulama nusantara telah mencoba mengadopsi budaya lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang sudah pas tidak diubah, termasuk

  ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 123 ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 123

  Salah satu aktor integrasi keislaman dan kebudayaan lokal tersebut adalah Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang setelah dirombak seperlunya, baik bentuk fisik wayang itu maupun lakonnya. Juga gamelan, yang dalam gabungannya dengan unsur- unsur upacara Islam popular menghasilkan tradisi sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta dan Solo. Juga misalnya tradisi peringatan untuk orang-orang yang baru meninggal (setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari), dan disebut selamatan (acara memohon salamah satu akar dengan kata Islam dan salam yakni kedamaian atau kesejahteraan). Upacara itu juga kemudian disebut tahlilan (dari kata tahlil), yakni, membaca lafal La ilaha illa allah secara bersama-sama, sebagai suatu cara yang efektif untuk menanamkan jiwa tauhid dalam kesempatan suasana keharuan yang membuat orang menjadi sentimental (penuh perasaan) dan sugestif (gampang menerima paham atau pengajaran).

  Sunan Bonang mengubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu menjadi bernuansa zikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transendental. Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang. Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang mengubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa di tafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara naïf (peniadaan) dan istbat (peneguhan). Sementara Sunan Kudus mendekati masyrakat

  124 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Kudus dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha, hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Ini adalah sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

  Banyaknya peran budaya lokal dalam proses formulasi hukum Islam menempatkan budaya lokal dalam posisi strategis. Dalam uraiannya Abdul Wahab Khalaf al-Adatu syari’ah muhakkamah (adat adalah syarat yang dihukumkan). Dan adat istiadat (urf) itu dalam syara’ harus dpertimbangkan. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar praktek penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para pendukungnya beranekan ragam dalam hukum-hukum mereka berdasarkan aneka ragamnya adat kebiasaan mereka. Imam Syafi’I setelah berdiam di Mesir berubah sebagian hukum-hukum perubahan adat kebiasaan (dari Irak ke Mesir). Karena itu, ia mempunyai dua pandangan hukum, yang lama dan yang baru (qaul qadim dan qaul jadid). Dalam fiqh Hanafi banyak hukum yang didasarkan pada adat kebiasaan. Karena itu ada ungkapan-ungkapan terkenal al-ma rufu urfan ka al-masyrutu syarthan, wa al-tsabit bi al-urf ka al-tsabit bi al-nash (yang baik menurut adat kebiasaan adalah baik nilainya dengan syarat yang harus dipenuhi, dan yang mantap benar dalam adat kebiasaan adalah sama nilainya dengan yang mantab benar dalam nash).

D. Pribumi Islam

  Implementasi kaedah ‘adah muhakkamah ini dalam konteks Indonesia pernah dilontarkan oleh KH. Abdurrahman Wahid yang akrab di panggil Gus Dur dengan ide progresifnya Pribumisai Islam. Gus Dur membolehkan al-salamu’alaikum diganti dengan selamat pagi, selamat siang, selamat sore, selamat malam. Memakai pakaian tidak harus ala makkah, memakai jubah. Pribumisasi Islam ala Gus dur dilakukan dengan cara mengambil spirit dan nilai instrinsik yang ada pada suatu ajaran, misalnya, ajaran sedekah pada waktu bulan ramadhan. Di Jawa sudah berlaku selamatan, maka diadakan selamatan berupa “maleman”, sebelum ramadhan ada tradisi selametan namanya “megengan”. Juga ketika mendoakan setahun sekali pada waktu sedekah bumi. Semua tradisi itu dilestarikan, dengan memberikan sentuhan ketauhidan. Akhirnya, tradisi

  ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 125 ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 125

  Menurut Zainul Milal Bizawie, dalam melakukan Pribumisasi

  Islam, langkah-langkah metodologis yang harus ditempuh adalah 4 :

  Pertama, mendudukan secara paralel antara tradisi kultural Arab dan tradisi lokal, antara agaa Islam dengan agama lain sebagai sebuah entitas yang saling menggeluti pemaknaan hidup, sehingga memungkinkan dialektika antara tradisi dan melahirkan tradisi baru atau bentuk keberagaman yang baru. Pribumisasi Islam yang dinamis adalah sebuah proses pergulatan dan interaksi antar berbagai kultur, dimana mengandaikan terjadinya proses-proses dominasi dan hegemoni. Dalam konteks inilah, nafas pergerakan suara lokalitas melakukan formulasi-formulasi alternative sebuah efek dari hegemoni.

  Kedua, pendekatan praktis dan wacana. Pendekatan praktis dikembangkan oleh Piere Bourdieu. Pokok pikiran pendekatan praktis yang paling relefan dalam pembahasan ini adalah bahwa konsep praktis Bourdieu dibedakan dari konsep tindakan Weber. Jika Weber lebih cenderung melihat tindakan sebagai pencerminan ide-ide yang terkandung dalam kebudayaan si pelaku, konsep praktis menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku dan struktur obyektif atau kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang diwariskan dari generasi kegenerasi dalam bentuk simbolik. Implikasi utama dari konsep praktis kubadayaan adalah bahwa simbol-simbol yang terkandung dalam suatu kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis dan sementara, karena keberadaannya tergantung pada praksis para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu, yang mempunyai kepentingan tertentu. Dengan demikian, kebudayaan bukan sekumpulan sesuatu yang harus diterima dan dilestarikan, melainkan merupakan sesuatu yang ‘dibentuk’, suatu konstruksi sosial yang berkaitan erat dengan kepentingan maupun kekuasaan yang sedang berjalan. Pendekatan ini meniscayakan hubungan saling membentuk, saling belajar, dan saling mengambil dalam Pribumisasi Islam sebagai hubungan dialektis antara subyek dan struktur obyektif. Benar, jika tidak dapat lepas dari struktur obyektif itu, namun dalan praksis juga

  4 Zainul Milal Bizawie, “Dialektika Tradisi Kultural, Pijakan Historis dan Antropologis Pribumisasi Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar”, h. 64-67

  126 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 126 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Ketiga, invensi dan inovasi sebagai upaya kreatif menemukan, meratifikasi, merekonsiliasi, mengkomunikasikan, menganyam dan menghasilkan konstruksi-konstruksi baru. Konstruksi tersebut tidak harus merupakan pembaharuan secara total atau kembali ke tradisi masa lalu secara total, melainkan bisa saja hanya pembaharuan terbatas. Sebuah invensi tidak dimaksudkan menemukan tradisi atau autentitas secara literal, mengkopi apa yang pernah dilakukan, melainkan bagaimana tradisi lokal itu menjadi suatu yang dapat dimodifikasi ulang sehingga dalam konteks kekinian jadi relevan. Dengan demikian, pribumisasi Islam merupakan proses yang tak pernah berhenti mengupayakan berkurangnya ketegangan antara ‘norma agama’ dan manifestasi budaya.

E. BEBERAPA CONTOH KONTEMPORER

  1. Sholawat kyai kanjeng dibawah payung budayawan kondang Emha Ainun Najib. Dengan sholawat kyai kanjeng ini, Emha mampu menghibur ratusan juta manusia dan sekaligus mengajak (berdakwah) kepada mereka secara tidak sengaja untuk meningkatkan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah swt. Emha juga membawa pesan-pesan sosial yang berusaha menyebarkan ideologi transformatif untuk mendorong hilangnya

  sentralisme, dan hegemoni, menuju terciptanya keadilan, kesetaraan, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bersama. Lewat kreatifitas dan inovasi yang dinamis, kelompok kyai kanjeng ini sudah melanglang buana kemanca Negara, Inggris, Malaysia, Mesir, Australia, Perancis, dan lain-lain. Emha tidak menentang tradisi dan budaya masyarakat Jawa,

  ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 127 ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 127

  

  2. Dakwah ala KH. Abdullah Gymnastiyar (Aa’ Gym) yang mengandalkan keteladanan, pemberdayaan, dan kemuliaan akhlaq. Aa’ Gym mampu membuat bendera dan lagu kebangsaan Darut Tauhid, yaitu Majemen Qalbu (MQ) dan lagu Jagalah Hati………. Aa’ Gym memberikan contoh dengan berwirausaha dengan kejujuran, kekuatan tawakal pada Allah, memberikan yang terbaik buat konsumen, menjaga kepercayaan, dan selalu berinovasi, berkreasi, dan berkompetisi secara dinamis. Aa’ Gym dalam materi dakwahnya fokus pada pembersihan hati dari segala macam penyakit dan penyulut semangat hidup menuju masa depan yang prospektif. Tasawuf adalah materi utama Aa’ Gym, sehingga ia berhasil keluar dari formalitas dan regiditas fiqh dan permisifisme dan liberalisme budaya dunia modern. Contoh paling jelas adalah ketika film “Buruan Cium Gue” ditayangkan di televisi, dengan keras Aa’ Gym mendesak pemerintah menutup film itu. Dalam sebuah diskusi di sebuah setasion televisi, di antara banyak pembicara, Aa’ Gym memberikan alasan yang rasional dan akseptabel, yaitu hancurnya moral remaja bangsa ini pasca penayangan film itu. Aa’ Gym tidak menggunakan bendera demokrasi, kebebasan, dan skularisme yang kadang menghancurkan pondasi moral bangsa. Strategi jitu Aa’ gym ini membawanya ke se-antero Indonesia dan luar negeri.

  3. Fiqh sosial ala KH. Sahal Mahfudz Kajen Pati. Kyai Sahal menjadikan fiqh bukan sebagai alat pembasmi budaya lokal, kyai Sahal tidak banyak menyentuh masalah sensitif, beliau lebih memprioritaskan pengentasan kemiskinan, pemberdayaan pendidikan, dan pelayanan kesehatan dengan kaca mata fiqh. Fiqh yang selama ini identik dengan hukum halal-haram, dirubah kyai Sahal sebagai alat mentransformasi sosial- ekonomi masyarakat. Karena itulah, fiqh ala kyai Sahal disebut dengan fiqh sosial, fiqh yang berorientasi pada penyelesaian

128 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  pada penyelesaian problem-problem sosial yang sangat kompleks. Masyarakat dibuat senang dan gembira dengan kepedulian besar kyai Sahal dalam memperjuangkan kondisi ekonomi mereka, meningkatkan pendidikan anak-anaknya, dan meningkatkan layanan kesehatan. Merintis dari nol, akhirnya dengan kegigihan dan semangat pantang menyerah, kyai Sahal berhasil membuat BPPM (badan pengembangan pesantren dan masyarakat), BPR Arta Huda (Bank untuk mendanai Program), RSI (Rumah sakit Islam) Pati, dan usaha-usaha lain yang kompetitif. Dengan langkah inilah, kyai Sahal menuai sambutan hangat, dan sosoknya menjadi mascot dan pioneer perubahan sosial yang sukses. Dari sini kyai Sahal melihat kondisi budaya masyarakat setimpal, merubah sedikit-sedikit, atau melestarikannya dengan memberikan spirit spiritual dan religiusitas. Misalnya, kalau dalam fiqh, wanita wajib menutup semua aurat ketika berinteraksi dengan laki-laki, namun tradisi di Indonesia berlawanan dengan ajaran ini, kyai Sahal tidak mengingkari relitas ini, tapi memberikan ruh keagamaan, dengan tetap menjaga barometer moral sehingga terhindar dari kemaksiatan dan kemungkaran, seperti fenomena free sex yang sudah sulit dibendung sekarang ini.

  4. Iwan Fals, sebagai musisi terkenal, bukan hanya sebagai budayawan ansich, ia menggunakan lagu-lagunya sebagai alat mengkritik penguasa tiran yang suka menumpuk-numpuk harta dan menggunakan semua cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Gara-gara itu, ia masuk dalam penjara. Namun, setelah keluar dari penjara, ia bertambah popular, pengemarnya semakin fanatik, dan ia menjadi idola di banyak kalangan.

  5. Rhoma Irama, raja dangdut ini sangat terkenal menciptakan dan menyanyikan lagu yang bernuansa Islami, misalnya Judi, Wanita Sholihah, dll. Ia mampu menciptakan penyatuan dangdut Indonesia dengan Melayu. Lewat dangdut, Rhoma berdakwah. Walaupun materinya kerap kali menyinggung tradisi negatif (judi, zina, minum-minuman keras, dan lain- lain), tapi masyarakat menerimanya, karena disana ada sisi estetikanya.

‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 129

  6. Nasyid. Lagu ala Melayu ini sangat digemari anak-anak muda, karena dikemas secara modern dan kontekstual. Pesan-pesan keagamaan dan moral ia selipkan dalam bait-bait lagunya, sehingga dengan enak orang mendengarkan dan meresapi kandungan maknanya.

  7. Rebana Modern. Rebana model ini dilengkapi alat modern seperti orjen. Walaupun menurut para ulama fiqh, alat ini digolongkan haram, namun, sebagai bentuk dakwah, ia meruapakan terobosan yang positif-konstruktif. Justru, sering terjadi kyai juru dakwah yang tidak menggunakan rebana ini, tapi melarangnya dengan keras, didemo para penggemarnya. Ini menunjukan ketidak dewasaan psikologis sang kyai dalam melihat pluralitas budaya masyarakat. Rebana modern adalah bentuk kompromi antar budaya tradisional dan perkembangan musik dan masyarakat yang menuntut inovasi dan kreasi yang tidak ketinggalan zaman. Disatu sisi membawa pesan moral, disisi lain menghibur.

F. Agenda Masa Depan

  Kontekstualisasi kaidah ini mendapat momentum aktualnya ditengah eskalasi gejala purifikasi ajaran Islam dari segala macam bentuk TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat). Kalau ada budaya lokal yang tidak sama dengan budaya Islam, lalu dikatakan TBC, itu adalah sebuah vonis yang menyakitkan. Dilihat dari perspektif dakwah, vonis semacam ini sangat kotraproduktif, karena menimbulkan gesekan dan kontradiksi sosial. Masyarakat lokal yang mempunyai budaya khas daerahnya jelas tidak menerima langkah radikalisasi tersebut dalam bentuk purifikasi. Mereka ingin tetap menghormati warisan leluhur. Solusi terbaik dari ini adalah islamisasi budaya dalam arti melestarikan budaya lokal dengan memberikan sentuhan nilai keagamaan dan spiritualitas, sehingga budaya lokal tersebut justru mampu dimanfaatkan sebagai jendela dakwah efektif, tanpa melukai perasaan dan warisan leluhur.

  Eskalasi gerakan purifikasi yang ingin mencari otentisitas dan originalitas Islam, atau ingin menegakkan arabisasi ini sudah masuk dalam semua aspek kehidupan. Regenerasi kelompok ini, lambat laun, semakin cepat dan kuat. Gerakan bawah tanah yang dilakukan dikampus-kampus umum, mushola, masjid, dan majelis-

  130 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 130 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

G. Tantangan Bagi Kader Muda

  Kaedah ‘adah muhakkamah ini mengharuskan kita memahami tradisi dan budaya masyarakat setempat secara arif, bijaksana, dan mendalam. Ini mengharuskan kita mengkaji ilmu- ilmu sosial, budaya, psikologi, dan politik. Lalu kita harus cerdas mengambil permata dari ajaran Islam yang bertebaran di banyak sumber, al-Qur’an, Hadits, ijma’, Qiyas, dan jutaan kitab-kitab fiqh. Dalam konteks ini, tugas kita adalah kontekstualisasi ajaran agama sehingga up to date dan relevan dengan perkembangan zaman.

  Disisi lain, secara progresif, kita juga dituntuk untuk menciptakan tradisi baru yang bisa diterima kalangan masyarakat umum. Tradisi baru tersebut sesuai dengan denyut nadi perkembangan sosial dan mengandung pesan-pesan keagamaan. Dua hal ini sangat urgen sifatnya.

  Menurut KH. Muchid Muzadi, kebesaran Islam yang tercabut dari budaya lokalnya akan bersifat tentatif, sementara, tidak bisa abadi. Contoh yang paling mudah adalah Spanyol. Semua kehebatan Islam ada di negeri ini. Militernya kuat, peradaban, seni, dan intelektualnya maju. Namun, karena kedatangannya dengan cara kekutan militer dan kekuasaan, maka kekuatan militer dan kekuasaan mundur, Islam juga mundur. Kekuasaan habis, Islam juga Habis.

  Oleh sebab itu, pendekatan yang baik adalah dengan pendidikan persuasif. Tetapi, aturan-aturan, bukanlah hukum publik, malah kalau bisa sistem budaya, hukum, adat-istiadat mengacu berlangsungnya hukum Islam, meskipun tanpa paksaan. Sebab, kalau dipaksakan secara formalistik, seperti yang dikehendaki oleh orang-orang Islam politik, Islam akan sangat rentan. Kyai Mukhid

  ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 131 ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 131

  Contoh kreasi tradisi kontemporer diatas adalah teladan dan tantangan bagi kader muda Islam untuk aktif-kreatif-produktif menciptakan atau meneruskan langkah-langkah yang sudah dirintis para pendahulu tersebut.

  Wali Songo mampu menciptakan kreasi yang luar biasa, diteruskan generasi sesudahnya, lalu apa yang sudah kita sumbangkan untuk penyebaran dan internalisasi nilai Islam di era modern sekarang ini? Atau kita hanya bisa membanggakan generasi masa lampau, tanpa mau menciptakan tradisi baru yang spektakuler dan eksponsional yang bisa kita jadikan ‘peninggalan berharga’ untuk generasi yang akan datang?

  Ingat firman Allah, Tilka ummatun qad kholat, laha ma

  kasabat wa lakum ma kasabtum, wala tusaluna amma kanu

  yamalun, itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya, dan bagimu apa kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggung jawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan. (al-Baqarah 1: 141) [21]

  Semoga kita senantiasa mampu melestarikan tradisi lama yang positif dan mampu membuat tradisi baru yang lebih inovatif- progresif, sesuai kaedah Al-muhafadzatu bi al-jadidi al-ashlah, amin.

132 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  DAFTAR PUSTAKA al-Syuyuti, Jalaluddin. Asybah Wa al-Nadhori

  Hasyiah Ianatut Tholibin Sabbak, Ali. Al-Syariatu wa al-Tasyri Asybah Wa al-Nadhoir Asybah wa al-Nadhoir Al-Syariatu wa al-Taasyri Asybah wa al-Nadhoir Bughyah al-Mutarsyidin Khalaf, Wahab,Abdul. Khulasoh al-Tasyri al-Islami, cet. Ke-VIII Pribumisaasi Islam, Tashwirul Ahkam, edisi No. 14 Tahun 2003 Madjid, Kholis, Nur. 2000, Islam, Doktrin dan Peradaban, ,

  Paramadina, cet. IV Pribumisasi Islam, Tashwirul Afkar

  Islam, Doktrin dan Peradaban

  Bizawie, Milal, Zainul. Dialektika tradisi cultural, pijakan historis

  dan antropologis Pribumisasi Islam, dalam Jurnal Tashwirul Afkar

  Nuansa Fiqh Sosial, LKis, 1994, Era Baru Fiqh Indonesia, kajian pemikiran kyai Sahal, Sumanto

  al-Qurtuby, Cermin Yogyakarta, 1999 Arabisasi, Bukan Islamisai, Wawancara dengan KH. Muchid Muzadi,

  dalam jurnal Tashwirul Afkar Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, CV Penerbit

  Diponegoro, Bandung Jawa Barat, 2000

  ‘Adah Muhakkamah Sinergi Agama dan Budaya (Jamal Ma’mur Asmani) 133

  134 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

KAJIAN KRITIS TERHADAP AJARAN DAN GERAKAN AL-QIYADAH AL-ISLAMIYAH

  Joko Tri Haryanto Email: joko_tri75yahoo.com

  ABSTRAK

  Beberapa waktu lalu umat Islam di Indonesia dikejutkan dengan munculnya aliran al-Qiyadah al-Islamiyah yang mengakui Ahmad Mushaddeq sebagai seorang Nabi baru pengganti atau penerus Nabi Muhammad saw. Ajaran ini lengkap pula dengan formulasi syahadat yang baru dan hilangnya beberapa kewajiban-kewajiban ritual agama Islam. Ajaran ini akhirnya difatwa sesat dan dilarang perkembangannya, serta pemimpinnya Ahmad Mushaddeq yang memproklamirkan diri sebagai Rasul ditangkap dan dihukum 4 tahun penjara atas tuduhan penodaan terhadap agama Islam. Menariknya, meskipun memiliki ajaran yang bertentangan dengan ajaran mainstream Islam, aliran ini berhasil menggalang pengikut ribuan. Kajian ini dimaksudkan untuk membongkar kerangka berpikir dari ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah.

  Kata Kunci: Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Ajaran, Gerakan.

A. Pendahuluan

  Kemunculan kelompok al-Qiyadah al-Islamiyah di paruh akhir 2007 ini dapat dikatakan sebagai aliran keagamaan yang fenomenal. Kemunculannya yang tiba-tiba melalui media massa, langsung mendapatkan reaksi keras dari berbagai kalangan di

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 135 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 135

  Oleh karena keyakinan al-Qiyadah al-Islamiyah tentang keRasulan semacam ini maka, merekapun memiliki syahadat dengan versi yang berbeda dengan lafal yang lazim diucapkan umat Islam. Syahadat yang lazim yaitu asyhadu alla ilaaha illallah waasyhadu anna muhammadar Rasulullah. Sedangkan syahadat mereka, asyhadualla ilaaha illallah waasyhadu anna Al-Masih Al-Maw’ud Rasulullah. Selain itu pengikut jamaah al-Qiyadah al- Islamiyah ini juga meyakini bahwa ibadah-ibadah dalam agama Islam belum wajib untuk dilakukan, yakni salat, puasa, zakat dan haji karena dalam pandangan mereka ibadah-ibadah itu akan dilakukan bila agama Islam telah tegak dimuka bumi, sementara sekarang ini dianggap belum.

  Fenomena al-Qiyadah al-Islamiyah tidak hanya ajarannya saja yang di nilai menyesatkan, tetapi juga sangat mengejutkan ketika al-Qiyadah al-Islamiyah ini mengklaim bahwa jumlah pengikut mereka telah berjumlah 41.000 orang se Indonesia sehingga sangat menarik untuk mengetahui tentang ajaran al- Qiyadah al-Islamiyah. Meskipun pada akhirnya ajaran dan aliran al-Qiyadah al-Islamiyah ini dilarang oleh kejaksaan, bahkan Ahmad Mushaddeq juga telah dihukum 4 tahun dengan tuduhan penodaan agama, kajian mengenai ajaran dan gerakan al-Qiyadah al-Islamiyah ini tetap menarik mengingat keberhasilannya mempengaruhi banyak kalangan umat Islam untuk bergabung.

  Kajian ini didasarkan pada wawancara dengan tokoh- tokoh al-Qiyadah al-Islamiyah di Yogayakarta serta kajian terhadap dokumen-dokumen modul pembelajaran mereka. Diantara

  136 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 136 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

B. Pokok-Pokok Ajaran Al-Qiyadahal-Islamiyah

  Al-Qiyadah al-Islamiyah memiliki tokoh utama yaitu Ahmad Mushaddeq, Nama aslinya Haji Abdussalam, lahir 21 april 1944, pernah menjadi pelatih bulu tangkis dan pelatih KONI Bogor serta pensiunan PNS Pemkab Bogor. Ia belajar tentang agama Islam dan mempelajari al-Quran secara otodidak, karena itu ia memiliki pemahaman dan pemikiran sendiri tentang Islam. Kegiatan al- Qiyadah telah dimulai sejak tahun 2000, di Gunung Sari, Desa Gunung Bundar, Kec. Cibung Bulan, Kab. Bogor, 20 km dari Bogor ke arah Sukabumi. Awalnya kegiatan ini tidak mempunyai masalah, sampai pada tanggal 23 Juli 2006 Ahmad Mushaddeq memproklamirkan diri sebagai Rasul yang baru yang bergelar Al-Masih al-Maw’ud. Ia mengaku diangkat sebagai Nabi dan Rasul setelah tarekatbertapa selama 40 hari di gunung Bundar, Bogor.

  Al-Qiyadah Al-Islamiyah memiliki arti kepemimpinan yang Islami, baik karena dijalankan secara Islam maupun bagi umat Islam. Kepemimpinan ini penting untuk menegakkan Dien Islam. Masalah Dien Islam dan keRasulan al-Masih al-Maw’ud inilah yang menjadi fokus utama ajaran al-Qiyadah al-Islamiyah. Bangunan ajaran yang disusun, paradigma berfikir, struktur organisasi dan aktivitas-aktivitas aaal-Qiyadah merupakan bentuk penerjemahan dari konsep Dien Islam tersebut.

1. Dien Islam dan Umat Islam

  Al-Qiyadah membongkar makna al-Dien yang oleh kebanyakan orang diartikan sebagai agama. Agama Islam mengajarkan rahmatal lil alamin, agama Nasrani mengajarkan cinta kasih, tetapi kenyataannya orang-orang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin dan terjadi penindasan dimana- mana. Kejahatan dan kriminalitas meningkat, kolusi, korupsi, seks bebas, pornografi, narkotika, dan sebagainya menjamur dimana-

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 137 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 137

  4 hal untuk mewujudkan pengabdian kepada Allah, yaitu:

  a. Kesatuan umat yang diikuti oleh kesatuan akidah dan visi hidup.

  b. Tegaknya sultan yaitu kekuasaan politik yang kokoh (ulil amri);

  c. Sempurnanya hukum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia;

  d. Basis teritorial yang mewujudkan cita-cita Islam sebagai khalifah fil ardi.

  Dengan demikian Dien Islam intinya pada syari’at atau hukum yang baru dapat dikatakan sempurna jika didukung oleh sarana hukum, aparat hukum dan legitimasi umat Islam. Umat Islam yang dimaksud adalah umat manusia yang telah bersedia untuk masuk kedalam Dien Islam secara Kaffah, yakni komunitas umat yang mengikat diri dengan tauhid kepada Allah dan mewujudkan pengabdian kehidupan ini hanya kepada Allah sebagai Rabb, Malik dan Ilah. Komunitas atau umat diluar kategori ini berarti umat Thaghut atau umat musyrik dan kafir.

2. Sunatullah dan 6 Fase Perjuangan

  Ketetapan Allah dalam alam semesta dan kehidupan manusia yang tidak pernah berubah, inilah yang dimaknai sebagai sunatullah oleh al-Qiyadah. Pada alam semesta tergambarkan dalam rotasi pergantian siang dan malam, dan siklus hidup dari lahir hingga mati. Di alam insan atau peradaban manusia, terlihat dari kejayaan dan keruntuhan suatu bangsa, termasuk didalamnya adalah tegaknya Dien Islam laksana siang dengan cahaya Allah dan kemudian runtuh digantikan oleh Dien Thaghut seperti zulumat atau kegelapan. Keadaan ini akan bergulir berganti-gantian, demikian sudah menjadi ketetapan Allah, karena sebelum menciptakan alam

  138 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 138 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Dalam sunatullah tidak ada kekuasaan yang berkuasa selamanya, melainkan ada waktu ajalnya. Ini digambarkan dalam rentang sejarah kekuasaan Dien Islam bergantian dengan Dien Thaghut. Pada suatu masa Nabi Musa berhasil menegakkan Dien Islam, namun karena umat Nabi Musa tidak lagi konsisten dengan Dien Allah maka digantikan dengan kekuasaan Romawi, kemudian Nabi Isa berhasil menegakkan Dien Islam (pandangan Al-Qiyadah, Isa Al-Masih tidak mati dibunuh dan tidak mati disalib, tetapi ia diselamatkan oleh Allah dan akhirnya berhasil mengalahkan bangsa Romawi serta mendirikan kembali kekuasaan Bani Israil di Yerusalem, sebagaimana penafsirannya terhadap ayat-ayat dalam injil) lantas runtuh lagi karena penyelewengan ajaran, hingga kemudian masuk era Mekah yang jahiliyah, lalu Nabi Muhammad menegakkan kembali Dien Islam, lantas runtuh lagi karena umat Islam tidak lagi konsisten berpegangan pada Al-Quran sehingga sekarang menjadi kekuasaan Thaghut (menurut Al-Qiyadah jatuhnya Dien Islam dan dicabutnya Ruh Al-Quran yang artinya dunia memasuki era Dien Thaghut dimulai pada era kekhalifahan Islam di Baghdad dihancurkan oleh Kubilai Khan dari Mongol atau bangsa Barbar tahun 1304). Bandingkan dengan kajian sejarah, kehancuran kekhalifahan Abbasiyah pada masa pemerintahan khalifah Al-Mu’tasim akibat serangan tentara mongol terjadi tahun 6561258 M yang dipimpin oleh Hulagu Khan, cucu dari Kubilai Khan (Munthoha, dkk., 1997: 73). Dengan melihat rentang waktu dan pola yang telah ditetapkan Allah, maka akan tiba saatnya Dien Islam akan tegak menggantikan Dien Thaghut. Jadi setelah Nabi Muhammad, akan turun ada lagi Nabi dan Rasul, seorang Mesias sang pembebas, yaitu Al-Masih yang dijanjikan Allah (Al-Masih Al- Maw’ud) yang dibangkitkan dari bangsa Ummi dan Ajam. Dengan kedatangan Al-Masih Al-Maw’ud, maka dengan kekuasaan Allah akan bangkit kembali Darussalam kedua pada sekitar tahun 2024 M.

  Untuk menegakkan kembali Dien Islam berdasarkan sunatullah ini maka rujukannya terdapat dalam Al-Quran secara teori dan perjalanan Rasul sebagai aplikasi. Dengan mengambil pelajaran dari penciptaan alam semesta dan manusia, maka

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 139 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 139

3. KeNabian dan Al-Masih Al-Maw’ud

  Berdirinya Dien Islam tidak bisa lepas dari peran para Rasul yang ditunjuk oleh Allah. Al-Qiyadah meyakini semua Nabi yang diyakini oleh umat Islam, bahkan seringkali mengutip perjuangan Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Ya’kub, Nabi Isa dan sebagainya. Dengan kesatuan misi keRasulan yaitu menegakan Dien Islam, semua Nabi-nabi tersebut diyakini semuanya adalah mukmin. Tidak ada istilah Yahudi, dan Nasrani, karena Allah tidak menurunkan Agama Yahudi dan Nasrani, yang ada adalah ajaran millata Ibrahim hanifa. Nabi-nabi itu menyeru kepada umat manusia untuk mentauhidkan Allah, yakni utama mengajarkan dan mengenalkan Allah sebagai Rabbul alamin, pengatur, penguasa dan yang harus ditaati oleh semua manusia.

  Pengertian Nabi berasal dari kata naba’a artinya berita, Nabiyyun artinya penyampai berita yakni berita dari Allah. Kata Rasul berasal dari rasala atau arsala yang artinya mengutus, kata Rasulan yang berarti utusan dan kata mursil yang artinya pihak yang mengutus. Dengan pemaknaan bahasa ini, al-Qiyadah menunjukkan bahwa dalam al-Quran banyak kalimat yang menunjukan bahwa Rasul itu bisa siapa saja, seperti dalam QS. al-Qamar: 27, onta betina; QS. al-Maidah: 31; burung gagak; QS. al-A’raf: 57, angin; QS. al-Mulk: 17, badai; bahkan QS. Maryam: 83, syaitan yang dikirim untuk menghasut orang-orang berbuat maksiat.

  Dengan dasar itu, menurut al-Qiyadah siapa saja dapat menjadi Nabi. Istilah Nabiyullah adalah kata majemuk atau idafah yang artinya siapa saja diutus membawa berita oleh Allah. Sedang istilah Rasulullah adalah nama bagi seorang yang telah behasil membawa Dien al-Haq menjadi tegak berkuasa diatas Dien-dien yang lainnya yang ada di dunia. Nabi Muhammad sendiri sebelumnya adalah manusia biasa, ana basyara mitslukum, “sesungguhnya aku

  ini hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diberi wahyu.” 1

  1 QS. Al-Kahfi (18): 110.

  140 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Istilah khataman Nabiyyin dari kata khatama-khatimun yang artinya menutup atau menggenapi, dan Nabiyyun dari kata naba’a berarti berita. Frase ini mengandung pengertian penggenap nubuwwah. al-Qiyadah menggambarkan bahwa posisi Yesus juga khatama Nabiyyin karena menggenapi nubuwah Nabi Yesaya, Ahmad Ibn Abdullah atau Nabi Muhammad menjadi khatam Nabiyyin 2

  karena menggenapi Nubuwah Yesus 3 . Sedangkan nama-nama

  Muhammad, menurut al-Qiyadah dengan mengartikan surat al-Fath ayat 29, adalah gelar bagi orang-orang yang berhasil mendzahirkan atau mewujudkan tegaknya Dien Allah, sehingga Nabi Musa dan Nabi Isa mendapat Nama Muhammad juga sebagaimana Ahmad ibn Abdullah dipanggil Muhammad.

  Kemudian Nabi Muhammad juga menubuwahkan tentang hadirnya NabiRasul sebagai penolong yang dijanjikan setelah beliau. al-Qiyadah merujuk pada QS. al-Jum’ah : 2-3 sebagai dasar datangnya Nabi untuk bangsa ummi yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Istilah ummi biasanya diterjemahkan sebagai buta huruf, tetapi oleh al-Qiyadah diartikan sebagai bangsa yang tidak berasal dari Bani Israil dan bukan dari Arab (ummi dan ‘ajam) yaitu al-Masih al-Maw’ud. Konsekuensi dari ajaran tentang ajaran keNabian al-Maih al-Maw’ud ini adalah penerimaan dan kepatuhan kepada al-Masih al-Maw’ud dengan bersyahadat kepada al-Maih al- Maw’ud.

4. Al-Quran dan Wahyu

  Meskipun al-Qiyadah meyakini Ahmad Mushaddeq sebagai Rasul yang baru setelah Nabi Muhammad, tetapi kitab suci yang dipergunakan adalah al-Quran, yaitu kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad dan diyakini oleh umat Islam. Al- Quran ini sebagaimana umat Islam yang lain, dipandang sebagai kitab suci yang sempurna, sehingga tidak perlu diturunkan lagi kitab suci selain yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad. al-Quran yang dipandang sudah sempurna ini pula yang membuat al-Qiyadah merasa tidak perlu menggunakan keterangan- keterangan hadis dan sunah Nabi Muhammad dalam menguatkan ajaran-ajarannya. Termasuk juga dalam melakukan kajian terhadap

  2 QS. Al-Ahzab (33): 40) 3 Al-Kitab Yohanes (14): 10-17.

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 141

  Al-Quran mereka menggunakan pedoman dari tafsir wa ta’wil al- Quran yang disusun oleh al-Qiyadah, dengan menekankan metode tafsir ayat dengan ayat (menurut Buddie Thamtomo alias Ahmad Mushaddeq Tsany, ketua al-Qiyadah di Yogyakarta, bahwa yang paling tepat menafsirkan ayat al-Quran adalah dengan ayat al-Quran Karena yang mampu memberi makna atau tafsir yang paling tepat hanya Allah, yaitu melalui firmannya Al-Quran tanpa menggunakan keterangan dari riwayat dan hadis Nabi Muhammad). Oleh karena itu pula maka al-Qiyadah tidak mempercayai peristiwa Isra’ Mi’raj sebagai peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad, karena peristiwa yang disebutkan dalam QS. al-Isra’: 1 tersebut langsung berhubungan dengan ayat-ayat selanjutnya yang berisi riwayat Nabi Musa. Jadi menurut al-Qiyadah, Isra’ Mi’raj ini merupakan simbol dari kejayaan Bani Israil dalam menegakan Dien pada masa Nabi Musa sehingga diangkat oleh Allah menjadi pemimpin dunia. Hadis Nabi yang sekarang ini ada diragukan kebenarannya, karena baru disusun beberapa abad setelah Nabi Muhammad wafat Ahmad Mushaddeq mengatakan, “Hadis yang ada sekarang disusun 350 tahun setelah Nabi wafat. Dari 500 ribu hadis terkumpul 500 hadis, sehingga Bukhari harus diperiksa. Buat apa menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak pasti padahal dalam al-Quran semuanya sudah ada.” 4

  Kajian terhadap al-Quran terutama melakukan tafsir ta’wil, yaitu mempelajari makna ruh dalam ayat-ayat al-Quran. Bagi al- Qiyadah, kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ahli tafsir selama ini sudah tidak lagi aktual, karena belum mampu membangkitkan minat manusia untuk menjadikan al-Quran ini suatu kitab yang “Hidup” yang dipandang sebagai wahyu “instruksi” Allah yang aktual pada hari ini kepada orang-orang yang membacanya.

  Al-Quran maknanya adalah al-Kitab, yaitu suatu kumpulan firman Allah yang dikodifikasikan menjadi Mushaf atau buku. Sedangkan didalam bacaan ada yang menjadi esensi, yaitu wahyu. Karena itu hakikat wahyu berbeda dengan al-Quran. Wahyu yang diberikan kepada manusia melalui para Rasul itu bisa dicabut atau dilenyapkan kembali oleh Allah. Keberadaan ruh Allah atau wahyu inilah yang membedakan Rasul dengan manusia biasa. Menurut

  4 Majalah Tempo, 11 November 2007.

  142 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 142 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Istilah malaikat adalah personifikasi dari ruh Allah, Malaikat Jibril bukanlah suatu pribadi tetapi hanya ismun atau penamaan dari firman Allah. Dengan demikian firman Allah adalah Malaikat Jibril atau wahyu itu sendiri yang merupakan energi spirit Allah, atau disebut juga ruh Allah yang seharusnya ada dalam kalbu setiap manusia. Kelahiran seorang Nabi dan Rasul bukan pada kelahiran darah dan daging, melainkan kelahirannya selaku pengemban wahyu Allah atau penyampai firman Allah. Yaitu sebagai pribadi Ruhul Qudus, pada saat pribadi itu dibaptis atau dikuatkan dengan firman Allah. Itulah hakikat Ruhul Qudus.

C. Konsep Peribadahan Al-Qiyadah Al-Islamiyah

  Konsep ibadah dalam pandangan al-Qiyadah juga berada dalam konteks pemahaman tentang Dien Islam, yaitu berlakunya atau tegaknya sistem aturan hidup kehidupan menurut aturan Islam dan berada dalam kekuasaan Islam (undang-undang hukum dan teritorial Islam), yang sampai pada hari ini belum tegak kembali. Oleh karena itu peribadahan yang dimaksudkan oleh al-Qiyadah adalah aktivitas untuk mendukung tegaknya kembali Dien Islam yang dimaksudkan tersebut. Secara tegas, al-Qiyadah menyimpulkan makna ibadah adalah upaya berijtihad memenangkan Dien Islam, aqimuddin. Oleh karena pada masa sekarang ini Dienul Islam dianggap belum berdiri, maka dianalogikan sama dengan periode makkiyah di zaman Nabi Muhammad di mana ritual syara’ belum diwajibkan.

1. Bacaan syahadat

  Perbedaan yang paling menyolok antara al-Qiyadah dengan umat Islam pada umumnya adalah perbedaan pembacaan syahadat. Syahadat yang umunya diucapkan dan dipahami oleh umat Islam adalah: asyhadu alla illaha illallah wa asyhadu anna muhammadan Rasulullah, saya bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasul utusan Allah. Sedangkan bacaan syahadat dari al-Qiyadah adalah: asyhadu alla

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 143 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 143

  Al-Qiyadah merubah syahadat Rasul juga berdasarkan pada paradigma yang diyakininya, bahwa masa kerasulan Nabi Muhammad telah selesai dengan jatuhnya Dien Islam, yakni diberlakukannya sistem dan hukum Islam akibat jatuhnya peradaban Islam di Baghdad oleh pasukan Mongol. 5 Maka dengan runtuhnya Dien Islam tersebut, maka masuklah umat manusia ini ke era zulumat (kegelapan) dan dalam rentang waktu tertentu yang diyakini sebagai sunatullah, maka akan kembali lagi zaman cahaya dimana Dien Islam akan kembali tegak berdiri, dan tentunya itu diperlukan Nabi yang baru, yaitu Ahmad Mushaddeq, yang selam ini telah menjadi al-Masih al-Maw’ud.

  Berdasarkan keyakinan tersebut, maka perubahan syahadat menjadi konsekuensi yang dipandang logis. Untuk menguatkan syahadat versi al-Qiyadah ini, diberikan alasan lain, yaitu orang yang bersaksi harus berada di TKP (tempat kejadian perkara) artinya bahwa seseorang yang bersaksi benar-benar menyaksikan karena berada dalam masa yang sama. Oleh karena itu dianggap tidak sah bersaksi terhadap kerasulan Muhammad sedang Nabi Muhammad berada di era yang sangat jauh di belakang, dan yang paling tepat adalah bersaksi terhadap Rasul yang hari ini hadir dan masih hidup yaitu al-Masih al-Maw’ud.

2. Pengertian Salat

  Sebagaimana diterangkan di depan, bahwa al-Qiyadah belum mewajibkan pelaksanaan salat lima waktu dan ibadah ritual lainnya karena berpandangan pada masa ini sama dengan fase makkiyah pada masa Nabi Muhammad di mana masa itu belum turun perintah menjalankan kewajiban-kewajiban ritual tersebut. Namun tidak hanya berdasarkan hal itu saja al-Qiyadah tidak memberi perhatian pada pelaksanaan ritual salat, tetapi al-Qiyadah memiliki pandangan yang tersendiri tentang makna salat yang masih terkait dengan konsep besarnya tentang Dien Islam.

  Berangkat dari sebuah hadis sahih yang artinya “salat itu tiang Dien, barang siapa menegakkan salat maka dia menegakkan

  Majalah Tempo, 11 November 2007

  144 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Dien, dan barang siapa menegakkan salat maka ia merobohkan Dien.” Berdasarkan konsep tentang Dien Islamnya, al-Qiyadah tidak mengganti atau mengartikan istilah Dien dengan agama. Menurut al-Qiyadah, mengartikan Dien dalam hadis ini sebagai agama, akan menimbulkan banyak kontradiksi, banyak orang yang menunaikan salat, tetapi apakah sekarang ini Dien Islam telah tegak? (Dalam kegiatan taklim atau diskusi yang waktunya melewati waktu salat, salat dapat ditinggalkan karena taklim sendiri sudah merupakan salat, demikian menurut al-Qiyadah).

  Dengan uraian tersebut, al-Qiyadah mengembalikan pemahaman kepada konsep Dien Islam, maka aktivitas salat adalah aktivitas menegakan Dien. Salat menegakkan Dien dapat mencegah perbuatan keji dan munkar karena adanya hukum yang tegas seperti hukum Qishas, hukum potong tangan bagi pencuri, rajam atau jild bagi pezina sesuai dengan al-Quran pasti akan membuat orang jera melakukan kekejian dan kemungkaran tersebut. Mengingat Allah dalam konsep salat menegakkan Dien bukan dengan membayangkan wajah Allah, atau hanya menghafal bacaan (mantra), tetapi mengingat Allah adalah melaksanakan dan mematuhi hukum Allah karena paham bahwa hukum Allah pasti berlaku. Ruku’ dan Sujud sebenarnya hanya symbol dari ketundukan dan kepatuhan. Itu sebabnya ruku’ dan sujud senantiasa digandeng identik dengan

  kata sami’na wa ata’na. 6 Bukti ketundukkan adalah tanda bekas

  sujud, yaitu bukti sejarah adanya pemberlakuan hukum Allah.

  Dengan berdasarkan pada argumen di atas, al-Qiyadah tidak mewajibkan pelaksanaan salat secara ritual. Terlebih lagi dengan pandangan tentang ajaran sitati ayyam sebagai marhalah perjuangan menegakkan Dien Islam, maka pada saat sekarang masih berada pada tahapan jahron yang berarti berada dalam fase makkiyah, maka belum ada kewajiban menjalankan ritual salat sampai memasuki fase madinah, yaitu pada saat tahapan qital.

3. Enam Program Ibadah

  Berdasarkan pemahaman tentang ibadah tersebut di atas, al-Qiyadah menerapkan 6 program ibadah, atau aktivitas yang dinilai sebagai praktek sebenarnya dari ibadah sesuai konsep mereka. Keenam program ibadah tersebut adalah:

  6 QS. Al-Hajj (22): 18.

Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 145 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 145

  Ibadah salat yang wajib menurut al-Qiyadah hanya salat di waktu malam hari saja. Salat malam atau Qiyamul lail telah diperintahkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad pada awal kenabian beliau, yaitu pada surat kedua yang turun, surat al-Muzammil (73) yaitu ayat 1-6. Karena itu salat malam menjadi kewajiban bagi pengikut al-Qiyadah.

  b. Hafiz Quran

  Dengan program ini, maka al-Quran tidak hanya dikaji, tetapi sekaligus juga dihafalkan. Bagian al-Quran yang paling utama untuk dihafalkan adalah surat dalam juz

  29, serta ayat-ayat lainnya yang secara praktis berhubungan dengan doktrin ajaran al-Qiyadah (para rain atau mukmin mubalig yaitu pengikut al-Qiyadah yang telah memenuhi syarat untuk menyampaikan ajaran-ajaran al-Qiyadah pada umumnya mampu hafal dalil-dalil al-Quran yang sesuai dengan materi yang disampaikan pada umat atau orang yang tertarik pada al-Qiyadah) melalui tafsir wa ta’wil al- Quran yang disusun oleh Ahmad Mushaddeq (al-Masih al- Maw’ud).

  c. Talwiyah

  Makna talwiyah adalah menyampaikan, yang dimaksud adalah aktivitas untuk menyampaikan ajaran al-Quran ini kepada orang lain agar tertarik untuk masuk menjadi pengikut al-Qiyadah. Aktivitas Talwiyah ini hanya diperuntukkan bagi pengikut al-Qiyadah yang sudah mencapai taraf pengaderan tertentu yaitu rain atau mu’min muballig. Bagi para pemula atau anggota baru belum boleh menyampaikan ajaran al-Qiyadah kepada orang lain (hal ini dengan maksud untuk melindungi pengikut pemula yang belum kokoh keyakinan dan pengetahuannya tentang ajaran al-Qiyadah kalau dibantah atau didebat yang menyebabkan keraguan terhadap al-Qiyadah).

  d. Ta’liman

  Kegiatan ta’liman atau keilmuan adalah kegiatan pengaderan yang sifatnya rutin dan gradual yang dilakukan oleh dan untuk semua anggota al-Qiyadah. Termasuk pemula, setelah melalui tahapan misaq akan mendapatkan

  146 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 146 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

e. Tafiyatus Suhuf

  Tafiyatus suhuf atau merapatkan barisan adalah upaya pembenahan dan penguatan struktur organisasi al- Qiyadah. Bentuk konkritnya dengan mengembangkan atau membuka cabang-cabang baru sehingga dapat melakukan upaya rekrutmen lebih intensif dan menjangkau jaringan yang lebih laus, termasuk didalamnya adalah menambah misbah-misbah baru. Selain itu juga merapatkan barisan dengan melakukan koordinasi antar struktur dan wilayah sehingga masing-masing anggota dapat saling mengenal antar misbah, meskipun dalam kerjanya misbah ini akan bergerak secara sendiri.

  f. Sadaqah

  Sadaqah berasal dari kata sidiq; benar atau membenarkan. Setiap pengikut al-Qiyadah harus meyakini kebenaran dan membenarkan ajaran-ajaran al-Qiyadah ini, terutama konsep dasar penegakkan Dien Islam. Bentuk pembenaran tersebut secara teoritis adalah keyakinan dalam diri masing-masing anggota dan diwujudkan dalam bentuk konkrit berupa maliyah atau harta khususnya berbentuk uang. Sadaqah atau sedekah ini merupakan ibadah wajib bagi setiap pengikut al-Qiyadah, tetapi jumlahnya tidak ada ketentuan dan tidak ada paksaan. Namun pernah diketahui pada saat awal perkembangan al-Qiyadah di Yogyakarta ada anggota baru yang dimintai dana dengan jumlah tertentu, sehingga orang tersebut menolak dan keluar dari al-Qiyadah. Dikemudian hari orang tersebut dihubungi lagi oleh al-Qiyadah dan diklarifikasikan kalau sumbangan itu tidak ada ketentuannya, boleh berapa saja, tetapi orang tersebut tetap menolak kembali ke al-Qiyadah. 7

D. Struktur Sosial Organisasi

1. Dikotomi Ummah

  Dengan pandangan semacam ini muncul dikotomi ummah,

7 Wawancara dengan Ahmad Saefuddin, 20 November 2007.

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 147 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 147

  Antara ummah muslim dan ummah musyrik terdapat garis pembeda atau furqan. Dalam praktiknya yang dimaksud ummah yang masih musyrik adalah mereka yang tidak bersedia untuk masuk ke dalam al-Qiyadah. Pada saat seseorang menyatakan bersedia bergabung dengan al-Qiyadah maka saat itu dianggap berhijrah kepada Islam dan menjadi muslim. Kesediaan ini diwujudkan dalam bentuk inisiasi atau baiat yang berisi pengucapan perjanjian dengan Allah atau misaq. Dengan demikian pembeda dan garis pemisah antara dua ummah tersebut adalah pengambilan janji atau misaq ini.

  Namun demikian, pengikut al-Qiyadah dalam menjalin hubungan dengan lingkungannya atau relasi sosialnya cukup baik. Para pengikut al-Qiyadah dituntut untuk tampil dengan baik, necis, modis dan trendi. Perilaku inklsuif secara sosial, penampilan yang rapi, keren, modis dan tidak menunjukkan sebagai aktivis agama dengan dandanan yang menyimbolkan agama seperti baju koko, jilbab, panggilan ustadz atau kiai. Bahkan dalam penyampaian materi juga tidak mengucapkan salam, tapi cukup basmalah agar mudah diterima oleh masyarakat, khusunya kalangan muda. Dalam relasi sosial ini mereka membangun kelompok yang berpenampilan inklusif dimana memungkinkan mereka bebas bergerak mendekati orang yang hendak direkrut menjadi pengikutnya. Dalam penampilan sehari-hari al-Qiyadah tidak menampakkan sikap yang eksklusif atau berbeda dengan orang lain, mereka berpenampilan biasa. Hanya mereka memiliki tradisi bersalaman yang khas, yaitu setelah berjabat tangan dengan cara yang biasa, lalu segera dilakukan dengan berjabat dengan agak keras. Jabatan tangan semacam ini biasa dilakukan oleh olah ragawan atau militer.

  148 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Kebalikan dengan ini, relasi spiritual yang dikembangkan oleh al- Qiyadah bersifat eksklusif yang memandang orang lain diluar komunitas mereka sebagai orang kafir dan musyrik, serta salvation claim yang menganggap keselamatan yang dijanjikan Allah adalah untuk kelompok mereka saja. Itu sebabnya sekalipun keluarga sendiri dan beragama Islam, kalau tidak bersedia mengikuti al- Qiyadah akan tetap di cap kafir atau musyrik.

2. Struktur Sosial dan Keorganisasian

  Golongan muslim-mukmin adalah golongan mereka sendiri, dibagi golongan strata sosial yang berdasarkan tugasnya dalam kelompok, yaitu ummat dan rain. Ummat atau ra’yah atau rakyat berarti yang diperintah atau dipimpin. Secara umum, umat adalah orang yang berada dalam bimbingan, pelayanan dan pengawasan anggota al-Qiyadah lainnya yang lebih senior. Atau dengan istilah dalam Multi Level Marketing (MLM), ummat ini adalah down line. Dengan demikian semua anggota pemula pasti berposisi sebagai ummat. Golongan yang termasuk dalam kategori ummat lainnya adalah perempuan, karena al-Qiyadah memiliki pandangan yang partiarkhis. Hal ini merujuk sejarah Nabi Muhammad yang memosisikan perempuan dipinggir gelanggang sosial. Argumen yang yang diungkapkan adalah penghormatan terhadap posisi nisa (perempuan) merupakan cikal bakal seorang ibu (ummi) yang derivasi kata ini muncul istilah ummat, sehingga seorang perempuan selamanya berposisi sebagai ummat.

  Ra’in berarti pengembala, atau disebut juga mu’min muballigh. Mereka bertugas memberi pengajaran, tempat berkonsultasi, melayani dan mengawasi ummat. Posisi Roin terhadap ummat dalam hal ini adalah sebagai up line. Tugas yang diemban oleh Roin ini selain menuntut pengetahuan keislaman Versi al-Qiyadah, juga menuntut pengabdian pelayanan yang sungguh-sungguh terhadap ummatnya (down line), khususnya bagi ummat pemula. Pelayanan ini dapat dilihat dari pelakuan Roin terhadap Umat yang menjadi tenggung jawabnya. Semisal pada waktu taklim, ummat akan dijemput dan diantar jika tidak punya kendaraan sendiri, atau dibelikan pulsa kalau di-SMS tidak membalas karena tidak punya pulsa, dan setiap hari di cek perkembangan dalam mengkaji al- Quran.

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 149

  Al-Qiyadah tidak mendasarkan bentuk keorganisasiannya berdasarkan teritorial, melainkan berbasis pada ummat. Hal ini mirip dengan sistem di gereja yang jamaah gereja tidak didasarkan pada wilayah teritorial tertentu, tetapi pada institusionalisasi hubungan pendetapastur dengan jamaat. Struktur al-Qiyadah juga berdasarkan juga penguasaan Roin kepada Ummat, sehingga seorang Roin bisa saja mengembalakan ummat diluar wilayah teritorinya. Secara teknis struktur keorganisasiannya meliputi: Misbah, merupakan level paling bawah dan ujung tombak pengembangan al-Qiyadah untuk melakukan talwiyah yaitu perekrutan masa pengikut. Buruj, level yang mengkoordinir misbah- misbah, sekaligus menyelenggarakan taklim (kajian keilmuan) bagi ummat di level ini. Siraj, level di atas buruj, dan Tariq, merupakan struktur tertinggi yang berada di Jakarta dan berlevel nasional yang pimpinannya adalah Ahmad Mushaddeq yang mengaku sebagai al- Masih al-Maw’ud yang ditunjuk oleh Allah menjadi Nabi dan Rasul.

  Masing-masing level struktur tersebut, terdapat kepengurusan yang terdiri dari Mala Awwal atau pimpinan tertinggiketua. Mala Tsany atau wakil ketua, wazir atau sekertaris, seksi-seksi bidang yang disebut qismul. Qismul dalam satu struktur organisasi paling sederhana meliputi qismul maliyah (bidang keuangan), qismul tarbiyah (bidang pendidikan), qismul mu’azah (bidang umum), qismul khiswah (bidang perlengkapan) dan qismul difa’ (bidang keamanan). Dalam struktur yang lebih lengkap lagi ditambah dengan qismul ummah (bidang sumber daya manusia) dan pengurus perwakilan daerah atau jazirah.

  Jumlah pengikut al-Qiyadah menurut versi mereka adalah 41.000 orang se Indonesia dengan rincian di Padang, Sumatera Barat 1306 orang, Lampung 1467 orang, Batam 2.320 orang, DKI Jakarta 8.972 orang, Tegal Jawa Tengah 511 orang, Cilacap Jawa Tengah 1.446 orang, Yogyakarta 5.114 orang, Makasar Sulawesi Selatan 4.101 orang, dan Surabaya 2.710 prang. Dari jumlah tersebut

  60 pengikut al-Qiyadah adalah Mahasiswa (Suara Merdeka 31 Oktober 2007). Posisi Yogyakarta menduduki jumlah pengikut terbanyak kedua setelah Jakarta, yaitu 5114 orang (Data dari media nampaknya bersumber dari kepolisian, sedangkan menurut Budie Thamtomo 23 November 2007), yang 90 di antaranya adalah Mahasiswa dan pelajar. Jumlah perempuan yang ikut Al-Qiyadah di

  150 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Yogyakarta ini tidak begitu banyak sekitar 100 orang saja. Selain umat Islam, yang menjadi sasaran dakwah mereka juga termasuk umat agama lain. Dari jumlah pengikut al-Qiyadah di Yogyakarta,

  10 di antaranya adalah beraga Nasrani, dan 2 dari agama Hindu dan Budha (kalau di Indonesia juga mengesahkan keberadaan agama Yahudi, pasti juga akan didakwai oleh Al-Qiyadah, meskipun belum yang dari agama Yahudi, tetapi ada dari beberapa orang pengikut yang merupakan warga keturunan Yahudi yang beragama

  Nasrani). 8 Dari tingkat fanatisme dari ajaran kelompok, al-Qiyadah membagi umat atau pengikut al-Qiyadah ini dalam tiga golongan yaitu Zalimin, Muhtasiq, dan Sabiq. Golongan Zalimin adalah pengikut al-Qiyadah yang keluar dari kelompok al-Qiyadah ini dengan berbagai alasan, golongan Muhtasiq adalah golongan yang masih mengambang dan tidak mempunyai ketetapan hati, kadang ikut kadang tidak, dan golongan sabiq adalah anggota yang loyal terhadap al-Qiyadah. Diwilayah Yogyakarta jumlah golongan Dzalimin ini mencapai 55, golongan Muqtasid 7, dan golongan sabiq 38.

3. Proses Perekrutan dan Pengaderan Ummat

  Oleh karena Al-Qiyadah Al-Islamiyah ini menggunakan pendekatan nasional dan logika dalam menyampaikan ajaran mereka, maka kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dakwah mereka adalah kelompok muda dan pelajar, seperti pelajar dan Mahasiswa. Biasanya proses dakwah berlangsung melalui interaksi personal, seperti diskusidialog, ngobrol-ngobrol, atau curhat yang oleh Ra’in kemudian ditindaklanjuti dengan mengajak untuk mengkaji al-Quran guna mencari solusi bebagai persoalan pribadi maupun personal (pendekatan personal ini sangat efektif seperti teori jarum suntik komunikasi karena komunikator atau sang Roin tidak hanya menyampaikan pesannya melalui verbal, tetapi didorong masuk ke dalam diri komunikan atau sang calon melalui hegemoni psikis, intelektual dan emosi).

  Apabila sang calon ini kelihatan tertarik atau setuju dengan pemikiran-pemikiran al-Qiyadah maka sang calon akan diberi materi pendahuluan yang bertema “Musyrik”. Materi ini menekankan

8 Wawancara dengan Budie Thamtomo, 23 November 2007.

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 151 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 151

  Setelah sembilan materi ini disampaikan dengan tuntas, maka tahap berikutnya umat akan dikirim dalam suatu kegiatan selama dua hari yaitu, kegiatan Tarqiyatul Khas bil khas (TKBK). Dalam kegiatan ini, ummat akan di tes dan diajak sharring tentang sembilan materi yang disampaikan sehingga materi tersebut semakin dipahami dan dihayati. Selain itu, di dalam TKBK ini keanggotaan ummat akan diteguhkan lagi dengan melakukan misaq kedua yang intinya perjanjian untuk ketaatan terhadap kelompok, menjalankan amanah dan tanggung jawab sebagai anggota al- Qiyadah. Dalam misaq kedua ini syahadatnya sudah berbeda dengan syahadat yang umum, yaitu ashadu alla ilaha illallah wa ashadu anna al-masih al-maw’ud Rasulullah. Dengan misaq kedua ini yang disebut misaq amanah, umat benar-benar menjadi anggota al-Qiyadah, dan mendapat kewajiban untuk melakukan talwiyah sebagai ra’in atau mu’min muballig (sebelum memasuki TKBK, yakni dalam masa ‘uzlah, para umat pemula tidak diperbolehkan untuk menyampaikan kegiatan atau meteri al-Qiyadah kepada orang lain, karena ditakutkan kalau ada perdebatan akan kalah dapat menurunkan mental dan kepercayaan kepada al-Qiyadah).

  152 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Dalam acara TKBK ini umat akan mendapatkan nama al-Qiyadah, sebagai tanda hijrah atau perpindahan akidah.

E. Analisis Kritis

  Pemikiran al-Qiyadah berfokus pada serangkain konsep- konsep antara lain: Dien Islam, Sunatullah, KeNabian al-Masih al-Maw’ud dan Wahyu. Keempat konsep ini terjalin dalam suatu kerangka pikir yang melahirkan bangunan pemikiran, doktrin dan konsekuensi religius maupun sosial bagi penganutnya. Secara umum, kerangka pikir al-Qiyadah ini menggunakan pendekatan politik (sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan atau upaya pencapainnya secara praktis), sehingga setiap kerangka mengandung muatan politik tertentu.

  Dengan konsep ajaran al-Qiyadah, kehidupan di dunia ini, termasuk peristiwa alam semesta dan sejarah umat manusia, terikat dalam suatu pola tertentu, tetap dan berlaku sebagai blueprint Allah dalam menjalankan roda kehidupan semesta ini termasuk kehidupan manusia yang disebut dengan sunatullah. Penjelasan tentang sunatullah ini “diseret” oleh al-Qiyadah dengan pola kesejarahan politik Nabi-Nabi, yang hasilnya adalah bahwa ada suatu pola tertentu dan baku dalam perjalanan Nabi-Nabi tersebut hingga Nabi Muhammad. Pada sunatullah dari kesejarahan Nabi- Nabi itu mencakup tegak dan runtuhnya Dien Allah atau Dien Islam, sebagaimana sunatullah terjadi pergantian siang dan malam.

  Untuk membawa Dien Islam kembali tegak, maka dibutuhkan seorang Nabi atau Rasul yang ditunjuk oleh Allah untuk memimpin umat Islam mencapai Darussalam. Oleh Karena sunatullah memiliki pola yang tetap dan kontinyu, maka setelah Nabi Muhammad berhasil menegakkan Dien Islam, kemudian mengalami keruntuhan, maka akan tiba saatnya Dien Islam itu akan bangkit kembali dan dipimpin oleh seorang Rasul yang dipilih Allah. Dengan demikian adanya Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad adalah suatu keniscayaan dan sunatullah. Dan Rasul yang ditunjuk oleh Allah adalah al-Masih al-Maw’ud, untuk membebaskan umat manusia dari kekuasaan Thaghut untuk kembali dalam Dien Allah atau Dien Islam.

  Dien Islam adalah sistem kehidupan yang berasal dari aturan Allah, maka al-Masih al-Maw’ud untuk menegakkan Dien Islam akan mengemban wahyu dari Allah yaitu Al-Quran. Umat Islam

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 153 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 153

  Al-Masih al-Maw’ud dalam menegakkan Dien Islam membutuhkan komitmen dari umatnya dalam bentuk kesaksian berupa syahadat dan pernyataan kesaksian (misaq) kepada Allah untuk menjalankan amanah yang ditetapkan olehnya. Tanda komitmen dan kesetiaan ini harus diwujudkan dalam bentuk enam ibadah, yang sesungguhnya adalah upaya memberi dukungan terhadap upaya menegakkan Dien Islam. Fase-fase dakwah yang dilakukan menyesuaikan dengan tahapan dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad yang dipandang sesuai dengan sunatullah yang dimaksud (sittati ayyam). Enam fase dakwah tersebut adalah fase sirran, fase jahran, fase hijrah, fase qital, fase fathu makkah, dan fase madinah munawarah. Dengan berbagai hal ini maka Dien Islam diyakini akan dapat tegak berdiri. Dari kerangka yang demikian ini, muncul konsekuensi-konsekuensi ajaran yang dalam pandangan umat Islam pada umumnya dianggap menyimpang.

1. Tafsir Politis Al-Qiyadah: Kelemahan Metodologi

  Penafsiran yang dilakukan al-Qiyadah ini lebih cenderung pada tafsir politik, yakni penafsiran terhadap teks-teks al-Quran dengan maksud-maksud menguatkan argumentasi politik tertentu. al-Qiyadah menafsirkan al-Qura’an untuk kepentingan argumentsi pandangan politik mereka yaitu tegaknya Dien Islam sebagai kekuasaan politik Islam.

  Penafsiran al-Qiyadah terhadap ayat-ayat al-Quran yang disebutnya tafsir wa ta’wil, sebenarnya bukan hal yang baru dalam metode penafsiran al-Quran yang selama ini sudah dilakukan oleh mufassir. Berbagai aspek penafsiran dengan metode-metode tafsir yang ada tersebut juga sudah pernah dilakukan, termasuk ta’wil. Dengan demikian anggapan al-Qiyadah bahwa ilmu-ilmu tafsir yang

  154 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 154 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Demikian juga penafsiran al-Quran yang dilakukan oleh al- Qiyadah dengan melakukan tafsir ayat dengan ayat dapat digunakan menurut ilmu tafsir, tetapi cukup hanya itu. Kualitas penafsir dan penguasaan metode tafsir oleh sang penafsirnya dalam kajian tafsir sangat penting untuk menentukan sejauh mana hasil penafsiran ini dapat dipercaya dan diterima. Dari sisi kualitas penafsir di al- Qiyadah, tidak diketahui kualitas keilmuan dan kepribadiannya, inipun menjadi kelemahan dalam tafsir al-Qiyadah maupun penggunaan hujjah al-Quran bagi argumen mereka. Para ulama tafsir mensyaratkan, dalam kegiatan tafsir selain mencari makna dalam ayat-ayat al-Quran, juga harus melihat pada sunah Nabi dan hadis-hadis, melihat pada keterangan para sahabat dan mengetahui kaidah bahasa Arab. 9

  Banyak ayat-ayat al-Quran yang dipergunakan oleh al- Qiyadah menjadi tidak tepat untuk menguatkan argumen tentang ajaran-ajaran mereka karena persoalan metodologi. Di antara kelemahan yang mendasar dari penafsiran al-Quran sebagai hujjah mereka adalah melupakan ayat dari konteks turunnya ayat, atau asbabun nuzul, tidak mempertimbangkan gaya bahasa yang dipergunakan al-Quran sehingga derivasi makna dari suatu kata tidak menjadi pertimbangan penafsiran, dan yang paling jelas adalah pemaksaan tafsir suatu kalimat atau kata sesuai dengan kepentingan al-Qiyadah sendiri.

2. Argumen yang A-Historis: Penafsiran sejarah yang Kontradiksi

  Dalam membangun argumennya, al-Qiyadah banyak membangun dalil-dalil kesejarahan yang diambil dari bibel dan al-Quran. Sepintas penggunaan dalil tersebut cukup meyakinkan, terutama dalam membangun sunatullah. Namun penggunaan dalil- dalil sejarah tersebut sayangnya tidak ditunjukan dengan bukti- bukti sejarah dan referensi kesejarahan yang cukup. Kisah-kisah Nabi Musa dan Nabi Isa yang ditunjukkan untuk membangun struktur dalam pola sunatullah yang diyakini al-Qiyadah tidak

  9 Nasrudin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001). h. 267

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 155 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 155

  Konsep Dien Islam yang hendak dicapai oleh al-Qiyadah juga merupakan suatu konsep yang utopis karena tidak mendasarkan konsep ini pada aspek kesejarahan dan sosiologis. al-Qiyadah menggambarkan bahwa Dien Islam akan tegak dengan jalan berdirinya suatu kekhalifahan atau daulah atau Negara bangsa yang menganut aturan Islam, kekuasaan Islam dan ketaatan umat Islam. Ditinjau dari sejarah, perjalanan politik Islam sampai sekarang ini belun ada kesepakatan para ulama dan cendekian muslim sehubungan dengan politik Islam pada level praktis. Bentuk kekuasaan politik Islam, bentuk Negara dan sistem pemerintahan yang selama ini berjalan tidak memiliki suatu bentuk baku.

  Pemikiran atas umat yang unggul, juga sangat utopis belaka karena pluralis manusia juga sebenarnya suatu sunatullah. Penyeragaman umat Islam, suatu hal yang tidak dapat dipikirkan dan diterima. Menjadi persoalan besar untuk menyatukan manusia dalam suatu tatanan kehidupan yang serba tunggal dan seragam. Persoalan lebih lanjut, adalah bagaimana orang-orang itu akan dapat bersedia, karena dalam wilayah yang sangat luas dan masyarakat yang besar, mengakomodir kepentingan bersama bukanlah suatu hal yang ringan.

  Ketidakpercayaan al-Qiyadah terhadap otentisitas hadis juga bisa dijawab melalui keilmuan hadis yang sangat ketat dalam penyelidikan kesahihan suatu hadis. 10 Pengakuan al-Qiyadah menolak hadis-hadis Nabi Muhammad saw. juga kontradiksi dengan anjuran untuk meneladani Nabi Muhammad, sebagaimana dilakukannya dalam menyusun enam fase perjuangan. Ajaran-ajaran Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad, tidak tentang peribadahan terlebih lagi dengan kemasyarakatan selalu berhubungan konteks sosial masyarakat Arab pada waktu itu, maka menafikkan hadis dan sunah, mencabut Islam dari konteksnya. Pemikiran yang tidak berlandaskan pada sumber-sumber kesejarahan pasti akan a-historis dan tidak dapat membumi.

  Fase-fase dakwah tersebut kalau dicoba “dibayang- terapkan” dalam konteks sekarang ini, fase sirran dan jahran

  10 Ahmad Husnan, Kajian Hadits Metode Takhrij, (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 1993), h. 35.

  156 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 156 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

3. Kelompok “sempalan” Messiansik: Sebuah Gugatan Sosial

  Fenomena aliran atau jama’ah yang dianggap “menyimpang” dari pemahaman dan pengamalan yang umum dilakukan umat Islam, seperti jamaah al-Qiyadah al-Islamiyah, sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam sejarah perkembangan agama Islam, sejak Nabi Muhammad saw. wafat, telah terjadi perpecahan diantara umat Islam dalam bentuk aliran atau paham. Kelompok yang kemudian berhasil menggauli kelompok lain atau berada dipihak kekuasaan biasanya menjadi kelompok mainstream. Kelompok yang berada diluar atau keluar dari mainstream inilah yang disebut kelompok sempalan (split group) (istilah kelompok sempalan menjadi sebutan berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap aneh, alias menyimpang dari akidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat). Istilah ini, agaknya, terjemahan dari kata “sekte” atau “sektarian”, kata yang mempunyai berbagai konotasi negatif, seperti protes dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopolis kebenaran, dan fanatisme. Di Indonesia ada kecenderungan untuk melihat gerakan sempalan terutama sebagai ancaman terhadap stabilitas dan

  keamanan dan untuk segera melarangnya. 11

  Kajian tentang gerakan sempalan selalu beranjak pada pengertian mainstream (arus utama) atau ortodoks, oleh karena gerakan sempalan adalah tindakan menyimpang dari suatu mainstream atau ortodoksi tertentu. Dalam kasus Indonesia ortodoksi Islam terwakili oleh lembaga keagamaan yang dominan,

  11 Martin Van Bruinessen, “Gerakan Sempalan di Kalangan Umat Islam Indonesia: Latar Belakang Sosial Budaya” “Sectarian Movements in Indonesian

  Islam: Social and Cultural Background”), Ulumul Qur’an, Vol. III No. 1, 1992, h. 16.

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 157 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 157

  atau tidak sesat. 12

  Fatwa MUI No. 4 tanggal 3 Oktober 2007 menetapkan 10 kriteria ajaran yang termasuk kriteria sesat, yaitu:

  1. Mengingkari salah satu rukun Iman dan rukun Islam

  2. Mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syar’i yaitu al-Quran dan Sunnah

  3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran

  4. Mengingkari otentisitas atau kebenaran isi ajaran al- Quran

  5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaedah-kaedah tafsir

  6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam

  7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul

  8. Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir

  9. Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok- pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syari’at seperti

  haji tidak ke baitullah, misalnya salat fardu tidak lima waktu.

  10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan

  kelompoknya. Terlepas dari persoalan “kesesatan” al-Qiyadah, kelompok

  ini memiliki perhatian besar terhadap perkembangan sosial yang terjadi di masyarakat. Kemunculan suatu gerakan sosial di masyarakat tidak pernah lepas dari konteks masyarakat itu sendiri. Hal ini mengungkapkan pertanyaan yang muncul tentang mengapa di Yogyakarta muncul al-Qiyadah dan mengapa pula pengikutnya kebanyakan adalah kelompok muda yaitu pelajar dan mahasiswa.

  Melihat kota-kota besar sebagai basis pengikut al-Qiyadah,

  12 Ibid.

  158 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 158 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  tidak mempunyai akses kepada modernisasi. 13

  Penelitian Martin tentang rakyat miskin di kota Bandung, terutama dilingkungan kampus seperti yang juga terdapat di Sleman Yogyakarta polarisasi sosial-ekonomi mahasiswapelajar dapat memicu terjadinya konflik budaya, pada akhirnya masing- masing akan melakukan solidasi kelompok. Terlebih mahasiswa yang berasal dari desa, sederhana, moralis, maka tawaran dari kelompok yang “agamis”, kritis dan moralis akan memberi mereka

  “rumah, at home” yang nyaman, saling percaya dan melindungi. 14

  Terhadap modernisme, al-Qiyadah lebih memilih sikap religiusnya terhadap perkembangan situasi sosial masyarakat dengan mengembalikan pada firman Allah. Pola deduksi ini biasanya ditunjukan dalan sikap purifikasi atau pemurnian kembali ke sumber asal, seperti yang dilakukan oleh kaum calvinis, protestanian dan pembaru. Dalam konteks Islam di Indonesia, sikap ini digambarkan dengan semboyan “kembali kepada al-Quran dan as-sunah”. Namun yang ditunjukan oleh al-Qiyadah dengan penggalian kembali sumber religiusitas sangat ekstrem dalam pandangan umat Islam, yaitu hanya kembali kepada Al-Quran, dan menolak hadis dan sunah yang dianggap tidak “murni”, sehingga akhirnya menjadi inkar sunnah.

  Al-Qiyadah juga berbeda dengan berbagai gerakan fundamentalis Islam yang berbalik arah ke tradisi awal, bentuk simbol fisik ditonjolkan untuk menunjukkan komitmen pada tradisi seperti jenggot, surban, baju gamis dan sebagainya, Al-Qiyadah

  13 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, (Bandung: Mizan, 1991), h. 205. 14 Martin Van Bruinessen, h. 160.

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 159 Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 159

  Kebutuhan al-Qiyadah terhadap aktualisasi sumber religius ke dalam dunia obyektif, menuntut adanya otoritas tafsir atas sabda Tuhan tersebut. Otoritas ini oleh al-Qiyadah diserahkan kepada al- Masih al-Maw’ud, sang pembebas umat dari penjajahan umat “Dien Thaghut” yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Ia merasa sebagai sang messias atau al-mahdi yang akan membawa umat manusia menuju zaman dan negeri kesempurnaan yang diistilahkan al- Qiyadahdengan Dien Islam. Gerakan messianisme sebenarnya juga bukan hal yang baru, tradisi masyarakat ditemukan kepercayaan datangnya sang penolong yang memberi harapan eskatologis dan kebahagiaan di masa yang akan datang. Di masyarakat Jawa dikenal istilah Ratu Adil; di tradisi Yahudi-Nasrani ada istilah messias dan millennium; ditradisi Islam dikenal istilah al-Mahdi, orang yang ditunjuk oleh Allah untuk membebaskan manusia dari pengaruh Dajjal dan akan menegakkan syari’at Islam.

  Dari gambaran tersebut, Nampak al-Qiyadahjuga memiliki visi millenialistik (millennium= 1000 tahun; konsep yang biasanya pada tradisi Yahudi-Kristen, tetapi secara figurative dapat diterapkan pada setiap konsep mengenai era yang sempurna di

  mana datang) 15 , memunculkan sosok sebagai messias, sang ratu adil,

  juru selamat atau imam mahdi, bahkan sebagai Rasul Allah. Ajaran messianistik al-Qiyadahini menarik karena: pertama, terjadinya deprivasi (perampasan hak), dalam konteks ini, situasi sosial Sleman, dan kota-kota urban lainnya, terjadi tingkat kemiskinan yang mencolok, berkurangnya akses lapangan kerja, penindasan budaya dan sebagainya yang dimaknai sebagai penghalang bahkan perampasan terhadap hak pribadi untuk menjadi sejahtera, bahagia dan sebagainya. Kedua, pertentangan-pertentangan kronis di antara pemimpin-pemimpin masyarakat, dan tokoh-tokoh agama, mengakibatkan kritis figur.

  15 Sylvia L.Thrumpp, (ed), Gerakan Kaum Mahdi, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 84.

  160 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Ketiga, adanya daya tarik estetis dan pembayangan tradisi millennial dengan situasi-situsai lingkungan, alangkah baiknya kalau semua keadaan menjadi sempurna. Keempat, kecenderungan universal manusia untuk menciptakan harapan eskatologia, harapan pelipur lara, hoppeness atas situasi-situasi yang menghimpit kehidupan mereka. 16 Oleh karena itu sebagaimana gerakan messianic yang lain, kehadiran al-Qiyadah merupakan protes sosial kemasyarakatan yang tidak membahagiakan penghuninya.

F. Penutup

  Al-Qiyadah Al-Islamiyah beberapa waktu ini menyita perhatian masyarakat karena beberapa ajarannya dipandang sesat oleh kalangan umat Islam. Beberapa hal dari pandangan Al-Qiyadah yang dipandang sesat diantaranya adalah Al-Qiyadah mengakui adanya Nabi dan Rasul setelah Nabi Muhammad; Al-Qiyadah mempercayai Ahmad Mushaddeq atau Al-Masih Al-Maw’ud sebagai Rasul yang baru; Al-Qiyadah tidak mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan ibadah sebagaimana yang ada dalam Rukun Islam; al-Qiyadah tidak menganggap orang lain di luar kelompok sebagai orang kafir atau musrik; dan Al-Qiyadah tidak menggunakan hadis dan sunah sebagai sumber ajaran atau ingkar sunnah. Pandangan Al-Qiyadah dianggap sesat tersebut tidak lepas dari kerangka yang dibangun melalui penafsiran terhadap Al-Quran secara bebas dalam perspektif politis yang difokuskan pada penegakan Dien Islam atau kekuasaan “politik Islam” dengan prasyarat adanya Nabi baru yaitu Al-Masih Al-Maw’ud. Karena itu dari sisi ajarannya ini, Al-Qiyadah memiliki kecenderungan fundamentalis-revivalis-messiantik yang dapat berpotensi menjadi aliran radikal.

  Ajaran-ajaran Al-Qiyadah menarik bagi kelompok muda yang tengah mencari identitas dan komunitas, didukung pula oleh situasi masyarakat yang berada dalam kancah urbanisasi dan modernisasi, dimana mobilitas penduduk yang cepat, hubungan tradisional terpinggirkan, terjadinya polarisasi, marginalisasi dan proses atomisme mengakibatkan gerakan yang memberikan harapan kehidupan yang sempurna, harapan eskatologis menjadi sangat menarik.

  16 Ibid., h. 29

  Kajian Kritis Terhadap Ajaran dan Gerakan al-Qiyadah (Jiko Tri Haryato) 161

DAFTAR PUSTAKA

  Husnan, Ahmad. Kajian Hadis Metode Tkhrij, Jakarta: Pustaka Al-

  Kautsar, 1993 Fatwa MUI No. 4 tanggal 3 Oktober 2007 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Bandung: Mizan, 1991 Bruinessen, Martin Van, “Gerakan sempalan di kalangan umat

  Islam Indonesia: latar belakang sosial Budaya” (“sectarian movements in Indonesian Islam: social and cultural

  background”), Ulumul Qur’an vol. III No. 1, 1992 Bruinessen, Martin Van, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, Yogyakarta:

  Benteng, 1998 Munthoha, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII

  Press, 1997 Baidan, Nasrudin, Metode Penafsiran Al-Quran, Yogyakarta: Pustaka

  Pelajar, 2001 Thrumpp, Sylvia, L. (ed), Gerakan Kaum Mahdi, Bandung: Pustaka,

  Dokumen Al-Qiyadah:

  “Rhulul Qudus yang turun kepada Al-Masih Al-Maw’ud”, Pebruari

  2007 “Tafsir wa Ta’wil Al-Quran”, 17 Mei 2002 “Ummah Perjanjian”, At-Tariq Riayah Nisa, 6 Mei 2007 Materi Taklim Tentang “Ibadah: Perjuangan Menegakkan Dien

  Islam” Materi Taklim Tentang “Dien Islam” Materi Taklim Tentang “Kedatangan Nabi dan Rasul” Materi Taklim Tentang “Keilmuan Salat” Materi Taklim Tentang”Musyrik” Materi Taklim Tentang “sunatullah”

  162 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

DAKWAH PADA MASYARAKAT MARGINAL DI KAMPUNG PECINAN ARGOPURO KUDUS

  Mubasyaroh Dosen STAIN Kudus Email: Muba_syirayahoo.com

  ABSTRAK

  Islam sebagai salah satu agama dakwah di dalamnya terdapat upaya oleh umatnya untuk menyebarluaskan isi kebenaran ajaran agamanya. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh da’i dalam aktifitas dakwahnya, seperti ceramah, nasehat, diskusi, bimbingan dan penyuluhan serta metode yang lain. Dalam hal ini Quraish Shihab mengingatkan bahwa metode apapun yang baik tidak menjamin keberhasilan suatu dakwah secara otomatis. Akan tetapi keberhasilan dakwah ditunjang oleh faktor-faktor yang lain diantaranya

  kepribadian da’i dan ketepatan pemilihan materi. 1 Demikian

  pula kegagalan da’i disebabkan karena ketidaktepatan pemilihan materi atau pemilihan metode yang kurang tepat dan keterbatasan da’i dalam pemilihan metode. Disamping itu kegagalan dakwah juga bisa disebabkan karena materi dakwah tidak sesuai dengan konteks (situasi dan kondisi)

  Islam merupakan agama yang universal, egaliter dan inklusif. Tiga konsep mendasar itulah yang memberikan nuansa lebih dibanding berbagai tradisi agama yang lain. Dari prinsip-prinsip fundamental itu, kemudian melahirkan nilai-nilai dogmatis yang bisa diejawantahkan dalam tradisi- tradisi demokratis, kosmopolit. dan pluralis: suatu ciri dari pola peradaban modern yang bervisi futuristik.

  Dakwah Islam dalam pelaksanaannya harus memperhatikan

  1 Quraish Shihab, Membumikan al-Quran dan Peranan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Mizan, Bandung, 1995, hlm.94

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 163 Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 163

  Kata

  Kunci: Dakwah Islam, Marginal, Metode Dakwah,Mauidhah Hasanah

A. Pendahuluan

  Agama Islam adalah agama dakwah. Berhasil atau tidaknya umat Islam dalam mencapai kualitas hidup baik kehidupan dunia maupun akhirat adalah karena sejauh mana dakwah bisa mengajak umat untuk berbuat kebaikan, memperkuat akidah, akhlak, dan kualitas muamalah yang bisa memberi manfaat untuk sesama. Namun, dalam kenyataannya sampai saat ini masih banyak umat Islam yang belum mampu memahami Islam itu dengan benar sehingga berdampak pula pada kualitas kehidupan umat itu sendiri. Masih banyak para juru dakwah yang terjebak pada bentuk dakwah yang hanya sering menyalahkan, cenderung keras dan suka memvonis atau mengecam. Padahal dakwah itu sendiri sebaiknya disampaikan dengan bahasa yang baik, santun dan menyentuh langsung pada masalah sehari-hari yang dihadapi umat.

  Dari segi populasi pun, umat Islam itu setiap hari bertambah jumlahnya. Jadi tak bisa dikatakan dakwah itu gagal. Cuma kita cemas, ada sesuatu yang terabaikan dari prinsip asas dakwah itu. Prinsip asas dakwah itu adalah fikih akhlak. Dari sejarah Islam sendiri kalau kita coba pahami, fikih akhlak adalah sesuatu yang utama dalam dakwah. Inilah yang ditanamkan Rasulullah dalam dakwahnya yaitu iman dan akhlak. Ibadah adalah implementasi dari iman dan akhlak itu.

  Pada sisi lain banyak orang yang beribadah tapi akhlaknya tidak baik yaitu shalat, tapi dia juga korupsi. Dia shalat, tapi ucapannya tidak baik, suka menyinggung dan menyakiti orang lain. Hal ini terjadi karena kita mengabaikan fikih akhlak. Yang dilakukan Rasulullah dengan risalahnya (zaman kerasulan Muhammad) adalah memperbaiki akhlak; “Aku diutus adalah untuk memperbaiki akhlak.” Inilah yang menjadi pijakan bagi Rasulullah untuk membentuk masyarakat yang kemudian disebut

  164 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 164 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Banyak orang berdakwah dengan tidak mempertimbangkan obyek dakwah (jamaah) sehingga dakwah jadi tak tepat sasaran. Kemudian juga dakwah sering hanya menjelaskan soal halal-haram, surga-neraka, memproduksi pahala sebanyak-banyaknya. Dan juga ada kecendrungan dakwah yang hanya menaakut-nakuti orang dengan ancaman bencana di dunia dan siksaan neraka. Padahal mestinya juru dakwah itu banyak bicara tentang hal-hal riil yang dihadapi umat misalnya kondisi ekonomi yang berat sehingga banyak orang putus asa dan sebagainya.

  Kampung Pecinan merupakan salah satu perdukuhan di Kudus yang seluruh masyarakat penghuninya adalah masyarakat marginal yang merupakan masyarakat relokasi dari bantaran Kaligelis, dengan mayoritas pekerjaan mereka bekerja di jalanan. Berbagai pekerjaan meraka antara lain: pengamen, pengemis, juru parkir illegal (juru parkir liar), kuli dan sedikit sebagai karyawan perusahaan.

  Fokus penelitian dengan pendekatan antropologi agama secara umum adalah mengkaji agama sebagai ungkapan kebutuhan makhluk budaya yang meliputi: (1) pola-pola keberagamaan manusia, dari perilaku bentuk-bentuk agama primitif yang mengedepankan magic, mitos, animisme, totemisme, paganisme pemujaan terhadap roh, dan polyteisme, sampai pola keberagamaan masyarakat industri yang mengedepankan rasionalitas dan keyakinan monoteisme; (2) agama dan pengungkapannya dalam bentuk mitos, simbol-simbol, ritus, tarian ritual, upacara pengorbanan, semedi, selamatan; (3) pengalaman religious, yang meliputi meditasi, doa, mistisisme, sufisme,

  Penelitian dengan perspektif antropologi pada umumnya menggunakan perspektif mikro atau paradigm humanistic,

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 165 Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 165

  Pada tulisan ini penulis akan memaparkan hasil penelitian tentang Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus.

B. Rumusan Masalah

  Adapun permasalahan yang akan penulis angkat dalam penelitian ini adalah model dakwah seperti apakah yang dilakukan oleh da’i pada masyarakat marginal di Kampung Pecinan Argopuro Kudus?

C. Metode Penelitian

1. Metode penelitian

  Penelitian ini adalah field Research atau penelitian lapangan yaitu jenis penelitian yang menggunakan data lapangan sebagai sumber utama, sehingga penelitian ini akan menangkap gejala dari obyek atau perilaku yang diamati . Adapun metode yang digunakan adalah metode penelitian kualitataif yaitu metode peneltian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, dimana peneliti adalah instrumen kunci. 2

  Alasan pemilihan metode ini adalah:

  1) Untuk memahami makna dibalik data yang nampak. Gejala

  sosial sering tidak bisa dipahami berdasarkan apa yang diucapkan dan dilakukan orang karena setiap ucapan dan tindakan orang sering mempunyai makna tertentu.

  2) Untuk memahami interaksi sosial. Interaksi sosial yang

  kompleks hanya dapat diurai kalau peneliti melakukan penelitian dengan metode kualitatif. Dengan demikian akan dapat ditemukan pola-pola hubungan yang jelas.

  3) Untuk memastikan kebenaran data, karena data sosial

  sering sulit dipastikan kebenarannya. Dengan metode

  2 Sanapiah Faisal, Penelitian Kualitatif, dasar dan Aplikai, YA3, Malang, 1990,hlm.57

  166 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 166 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  a. Populasi dan sampel

  Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh Spradley dinamakan “ social situation” atau situasi sosial yang terdiri dari atas tiga elemen yaitu: tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial tersebut dapat dinyatakan sebagai obyek penelitian yang ingin dipahami secara lebih mendalam tentang apa yang terjadi di dalamnya. Pada situasi sosial atau obyek penelitian ini peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang ada pada tempat tertentu.

  Sampel dalam penelitian ini adalah nara sumber atau partisipan, informan maupun teman. Dalam penelitian ini populasinya adalah da’i aktif pada masyarakat marginal dan informan lain yang mengetahui masalah yang terkait dalam penelitian ini.

  Adapun teknik pengambilan sampelnya, sebagaimana lazimnya dalam penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, yang dapat berupa lembaga tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi soaial tersebut. Berdasarkan pertimbangan diatas, maka teknik pengambuilan sampelnya adalah dengan snowball sampling , yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit , lama-lama menjadi besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit tersebut belum mampu memberikan data yang lengkap, maka mencari orang lain lagi yang dapat digunakan sebagai sumber data. Dengan demikian jumlah sampel akan semakin besar, seperti bola salju yang menggelinding, lama-lama semakin besar.

  Pertimbangan dalam memilih informan menurut Sanafiah Faisal harus berdasarkan pada kriteria:

  1) Mereka yang menguasai atau memahami sesuatu melalui

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 167 Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 167

  2) Mereka yang tergolong masih sedang berkecimpung atau

  terlibat , pada kegiatan yang tengah diteliti

  3) Mereka yang mempunyai waktu yang memadai untuk

  dimintai informasi

  Mereka menyampaikan informasi secara obyektif 1

2. Instrumen Penelitian

  Dalam penelitian ini instrumennya adalah peneliti itu sendiri. Oleh karena peneliti sebagai instrumen, maka harus divalidasi yang meliputi validasi terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif dan hal-hal yang terkait. Sebagai human instrument, peneliti berfungsi menetapkan focus penelitian. Memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya. Setelah fokus penelitian pasti dan jelas, maka pengumpulan data dikembangkan dengan teknik pengumpulan data yang lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini teknik pengumpulan datanya adalah :

  a. Metode observasi partisipatif

  Obsersi partisipatif merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti mengamati dengan terlibat langsung pada obyek, perilaku atau situasi yang diamati. Susan Stainback menyatakan” In participant observation, the researcher observer what people do, listen to wahat they ay, and participates in their activities” menurutnya dalam observasi partisipatif peneliti mengamati apa yang dikerjakan orang, mendengarkan apa yang mereka ucapkan, dan berpartisipasi dalam aktivitas mereka. 3

  Dalam observasi partisipatif, peneliti akan mengamati dengan langsung terlibat dalam kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh masyarakat marginal Desa Argopuro, Hadipolo Jekulo .Kudus

  3 Susan Stainbac, William Stainback, Understanding Conduting Qualitative Research, KendallHunt Publishing Company Dubuque, Iowa, 1988,

  p.89. 168 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 p.89. 168 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Wawancara merupakan teknik pengumpulan data melalui tanya jawab antara dua orang atau lebih guna saling tukar informasi dan ide, sehingga dapat direkonstruksi makna dalam suatu topik tertentu.

  Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semiterstruktur (semistructure interview), wawancara ini juga termasuk dalam kategori in-dept interview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas jika dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya. Dalam melakukan wawancara, peneliti perlu mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dikemukakan oleh informan.

  Wawancara semiterstruktur digunakan untuk menggali data yang terkait dengan aktivitas mad’u pada mayarakat marginal Argopuro Hadipolo, Jekulo Kudus, serta aktivitas mereka secara lebih mendalam. Adapun hal-hal yang ditanyakan dalam wawancara ini menyangkut pengetahuan, pengalaman, pendapat, perasaan, indra serta latar belakang atau demografi informan. 4

  c. Metode Dokumentasi

  Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, yang dapat berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental seseorang. Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Dokumentasi digunakan untuk menggali data yang terkait dengan jumlah masyarakat marginal Desa Argopuro, kondisi sosial budaya serta kondisi para da’i di Desa Argopuro

  d. Metode Triangulasi

  4 Sugiyono, Op.cit., halm.322-324. Lihat juga Patton dalam.Qualitative Evaluation Method, Beverly Hillls, CA. Sage Publication Inc 1980, hlm207-211.

  Menurutnya ; sebelum peneliti melakukan wawancara harus mempersiapkan paling tidak 6 jenis pertanyaan berkaitan dengan pengalaman atau perilaku, pendapat atau nilai, perasaan, pengetahuan, indra dan latar belkang atau demografi

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 169

  Metode triangulasi merupakan metode pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data yang telah ada. Dengan teknik ini berarti peneliti mengumpulkan data sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data. Oleh karena itu dengan menggunakan teknik triangulasi dalam pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan lebih tuntas, konsisten dan pasti. Disamping itu, metode triangulasi akan lebih meningkatkan kekuatan data, bila dibandingkan dengan hanya satu pendekatan.

  Ada empat macam teknik triangulasi yang dapat digunakan yaitu:

  a. Triangulasi data atau triangulasi sumber data.

  b. Triangulasi metode, yaitu dengan menggunakan berbagai metode pengumpulan data untuk menggali data sejenis

  c. Triangulasi peneliti. Diharapkan dengan beberapa peneliti yang melakukan penelitian yan sama dengan pendeatan yang sama akan menghasilkan hasil yang sama pula atau hamper sama.

  d. Triangulasi teori yaitu dalam membahas satu permasalahan yang sedang dikaji, peneliti tidak menggunakan satu perspektif teori.

E. Teknik analisis Data

  Adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga mudah dipahami, dan temuannya dapat diformulasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit- unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari serta membuat kesimpulan .Adapun langkah-langkah dalam analisis data adalah:

1. Reduksi data

  Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, trnsformasi data kasar, yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Reduksi data

  170 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 170 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

2. Penyajian data

  Yaitu menyajikan sekumpulan informasi yang tersusun dan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian datanya biasanya dilakukan secara naratif. 5

  Pada tahap ini akan disajikan data penelitian yang berisi tentang profil da’i, metode yang digunakan dalam berdakwah serta perkembangan dakwah Islam pada masyarakat marginal Desa Argopuro, Hadipolo. Jekulo Kudus dilihat dari aspek sosio antropologi dan mauidhah hasanah.

3. Menarik kesimpulanverifikasi

  Langkah terakhir dalam analisis data adalah kesimpulan verifikasi. Kesimpulan terhadap hasil penelitian disimpulkan secara induktif.

F. Kerangka Teori

  1. Konsepsi Dakwah Islam

  Berda’wah berarti menyampaikan sesuatu kepada orang lain yang bersifat mengajak untuk merubah suatu keadaan yang tidak baik kepada yang baik dan terpuji. Da’wah Islamiyah memerlukan teknik penerapan yang akurat sesuai dengan keadaan dan perkembangan zaman, terutama di kalangan masyarakat pedesaan yang dinamis dan berkembang. Change to progress merupakan watak dari masyarakat yang menunjukkan sesuatu kepada kemajuan. Terhadap masyarakat berkategori ini, metode berda’wah merupakan salah satu alternatif yang harus diperhitungkan dan dipersiapkan sebaik mungkin.

  Dakwah dalam arti proses penyebaran ajaran Islam telah dinyatakan sebagai disiplin ilmu memiliki onyek, ciri-ciri dan

  5 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial Agama,Remaja Rosdakarya Bandung, 2001, hlm. 194-195

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 171 Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 171

  dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa dakwah bukan hanya merupakan usaha untuk mengubah way of thinking, way of feeling dan way of life manusia sebagai sasaran dakwah kearah kualitas yang lebih baik, sehingga dalam prosesnya akan melibatkan berbagai faktor yang saling terkait dalam kesatuan sistem dakwah 7

  Tulisan ini mencoba memberikan alternatif baru sebagai salah satu upaya yang amat sederhana dalam menyampaikan da’wah di tengah-tengah masyarakat pedesaan yang terbelakang. Di hadapan kita terlihat berbagai kemajuan ilmu dan teknologi yang berkembang amat pesat, sementara manusia terbuai oleh kemajuan tersebut. Menghadapi kenyataan ini peran serta para da’i harus lebih digalakkan dalam rangka menyelamatkan manusia dari dampak negatif yang diakibatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia modern dan pengaruh globalisasi yang semakin menguat. Dampak negatif dari era globalisasi dan lajunya perkembangan dunia modern akan menjerumuskan umat manusia bila tidak bisa diantisipasi dengan baik dan benar oleh para da’i dan tokoh masyarakat.

G. Pengertian Da’wah

  Da’wah menurut pengertian secara etimologis adalah ajakan, seruan, panggilan dan undangan. Sedangkan menurut pengertian terminologis secara umum, da’wah adalah : “Suatu pengetahuan yang mengajarkan cara-cara atau metode untuk menarik perhatian umat manusia, agar mengikuti suatu ideologi atau ajaran tertentu”. Istilah lainnya menyebutkan, bahwa ilmu da’wah adalah pengetahuan

  6 Terminologi dakwah yang dimaksud adalah suatu ilmu yang dapat digunakan dalam berbagai upaya untuk menyampaikan pesan maupun ajaran

  Islam kepada umat manusia dengan muatan akidah, syari’ah (ibadah) dan akhlak. Lihat Ahmad Ghalways, al-Dakwah Ushuluha wa Wasailuha ( Kairo al-Kitab al- Misyri, 1987, hlm. 10

  7 Yang dimaksud dengan sistem dakwah adalah hubungan antara faktor dakwah yang terdiri dari subyek dakwah, obyek dakwah, metode dakwah,

  media dakwah, materi dakwah dan tujuan dakwah. Jaringan sistematik ini bermuara pada tujuan dakwah. Lihat Bisri Affandi dalan “Metodologi Penelitian Dakwah:Sketsa Pemikiran Pengembangan Ilmu Dakwah, Ramadhani, Slo 1991, hlm.9. Sebagaimana dikutip oleh Aswadi dalam artikelnya yang berjudul Mujaalah Sebagai Metode Dakwah dalma jurnal Ilmu Dakwah Vol.13 No.1 April 2006, hlm.

  85 Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006

172 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 172 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Pengertian da’wah menurut ajaran Islam adalah : “Mengajak umat manusia dengan hikmah dan kebijaksanaan agar mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya”. Syeikh Ali Mahfudz mengemukakan

  pengertian da’wah sebagai berikut : ”Mengarahkan manusia agar melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka agar

  berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat”. Al-Ustadz Bahiyul Huli dalam kitabnya “Tadzkirrud Du’at” berpendapat : “Da’wah

  adalah memindahkan umat manusia dari satu situasi kepada situasi yang lain”.

  Berda’wah melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar adalah merupakan kewajiban bagi umat Islam, di mana saja mereka menurut kemampuan masing-masing. Allah berfirman :

  “Hendaklah ada diantaramu umat yang menyerukan kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf atau yang baik dan mencegah yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran 104).

  Rasulullah Bersabda :

  “Siapa diantaramu melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka hendaklah dengan lisannya, jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itulah iman yang paling lemah”. (H.R. Muslim).

  Di dalam hadits lain Nabi bersabda :

  “Sampaikan dariku meskipun satu ayat”. (HR. Bukhari). Rasulullah SAW melaksankan da’wah dengan penuh

  kebijaksanaan dan menggunakan metode-metode yang tepat, sehingga perjuangannya yang teramat singkat, hanya memakan waktu sekitar 23 tahun mampu merubah suatu masyarakat jahiliyah yang diliputi kedzaliman dan kebodohan menjadi masyarakat yang beradab. Masyarakat yang seluruh anggotanya saling berbuat baik, tolong-menolong dan berhasil membentuk peradaban dunia yang luhur.

  Di samping itu, Rasulullah juga sangat memperhatikan keadaan objek da’wah, sehingga mereka dapat dibimbing dengan

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 173 Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 173

  “Maka dengan rahmat dari Allah, engkau bersifat lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap kerasdan berhati kasar, tentulah mereka melarikan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal”. (Q.S. Ali Imran 159).

  Berdasarkan kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, agar umat Islam dapat melanjutkan da’wah dengan sebaik-baiknya, maka hendaklah para da’i menjadikan Rasulullah sebagai rujukan dan teladan dalam segala kehidupan. Untuk tujuan itu, seorang dai hendaklah memperhatikan ketentuan-ketentuan berikut ini :

  - Mengetahui tentang al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai

  dasar-dasar pokok dari agama Islam. - Memiliki ilmu pengetahuan yang menjadi pelengkap

  da’wah, seperti teknik berda’wah dan strategi, psikologi, sejarah kebudayaan Islam, Sejarah perkembangan da’wah, perbandingan agama dan sebagainya.

  - Menguasai bahasa umat yang akan diajak kepada jalan

  yang diridhai oleh Allah. Demikian juga ilmu rethorika, kepandaian berbicara, mengarang, menulis uraian yang ilmiah dan sebagainya.

  - Seorang da’i harus bersikap penyantun, berpandangan

  luas dan berlapang dada, sebab apabila sempit, keras dan kasar, orang-orang disekelilingnya akan tidak simpati dan meninggalkan ajakannya, sebagaimana dijelaskan al- Qur’an dalam surat Ali Imran 159 tersebut di atas.

  - Memiliki mental yang kuat, tabah, berkemauan keras,

  bersikap optimis, walaupun menghadapi berbagai macam problem, rintangan dan tantangan.

  - Bersikap ikhlas semata-mata mencari keridhaan Allah

  dalam segala langkah dan perbuatan.

2. Konsepsi Masyarakat Marginal

  Dalam pandangan sosiologi agama ada hubungan antara sosiologi dan agama. Terkait dengan ini Elzabeth K Nottingham

  174 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 174 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral. Tipe masyarakat ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Tidak ada lembaga lain yang relatif berkembang selain lembaga keluarga, agama menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan masyarakat dari masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, kemungkinan agama memasukkan pengaruh yang sakral ke dalam sistem nilai- nilai masyarakat yang mutlak.

  b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang. Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepa sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Tetapi pada saat yang sama, lingkungan yang sakral dan yang sekuler sedikit-sedikit masih dapat dibedakan. Misalnya, pada fase-fase kehidupan sosial masih diisi oleh upacara-upacara keagamaan, tetapi pada sisi kehidupan lain, pada aktivitas sehari-hari, agama kurang mendukung. Agama hanya mendukung masalah adat-istiadat saja. Nilai- nilai keagamaan dalam masyarakat menempatkan fokus utamanya pada pengintegrasian tingkah laku perseorangan, dan pembentukan citra pribadi mempunyai konsekuensi penting bagi agama. Salah satu akibatnya, anggota masyarakat semakin terbiasa dengan penggunaan metode empiris yang berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam mengganggu masalah-masalah kemanusiaan sehingga lingkungan yang bersifat sekuler semakin meluas. 8

  c. Kemiskinan

  Diantara ciri lain yang menandai masyarakat marginal adalah kemiskinan yang dialami sebagian besar warganya. Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai

  8 Elizabeth K. Nottingham, Religion and Society, terj. Abdul Muis Naharong, CV.Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 31-69

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 175 Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 175

  Pada masyarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problema sosial karena sikap yang membenci kemiskinan. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetapi karena harta miliknya dianggap baik cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan desebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer sehingga timbul tunakarya, tuna susila dan sebagainya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya problem tersebut adalah karena salah satu lembaga pemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga pemasyarakatan di bidang ekonomi. 9

  d. Ketidakmampuan menyesuaikan diri

  juga menjadi penyebab masyarakat termarginalkan atau terpinggirkan yaitu karena tidak mampu menyeesuaikan diri. Hal ini menyebabkan mereka ditolak oleh masyarakat di sekitarnya. Mereka mengalami proses demoralisasi dan tidak mampu menyeesuaikan diri dengan lingkungannya. Khusunya yang menyangkut kehidupan para pelaku kriminal misalnya; pelacur, penjahat, alkoholik, dan penjudi-penjudi kronis bisanya menjalani kehidupan tanpa harapan dan menutup diri dari kehidupan dunia sekitarnya.

  Pribadi marginal ini adalah seorang yang dihadapkan

  9 Soerjono Soekanto, Sosilogi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 406-407

  176 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 176 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  1. Warga negara keturunan asing (minoritas rasial atau hibrid-rasial)

  2. Keturunan para imigran

  3. Kaum intelektual dengan mental ”emansipasi” tinggi

  4. Warga pendatang yang gagal memperoleh pekerjaan yang layak 10

3. Peran pemimpin terhadap perubahan sosial

  Pada sisi lain pemimpin agama atau pembimbing agama memiliki peran bagi perubahan sosial, secara detail dapat dilihat sebagai berikut:

  a. Pemimpin agama sebagai motivator

  Tidak dapat disangkal bahwa peran para pemimpin agama sebagai motivator bagi masyarakat sudah diakui. Dengan ketrampilan dan kharisma yan dimilikinya, para pemimpin agama telah berperan aktf dalam mendorong suksesnya kegiatan-kegiatan pembangunan. Terlibatnya para pemimpin agama bagi perubahan sosial terutama didorong oleh kesadaran untuk ikut secara aktif memikirkan permasalahan-permasalahan yang sangat kompkles dihadapi umat. 11 Para pemimpin agama dapat memberikan semangat kepada masyarakat untuk selalu giat berusaha.

  Dengan demikian para pemimpin agama telah mampu membuktikan kemampuannya untuk berbicara secara rasional dan tetap membangkitkan gairah serta aksi masyarakat dalam meraih susuatu yang dicita-citakannya. 12

  b. Pemimpin agama sebagai pembimbing moral

  Peran kedua yang dimainkan para pemimpin agama di masyarakat dalam kaitannya denga perubahan

  10 Kartini Kartono, Patologi Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 41-42

  11 M.Masykur Amin (ed.), Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikiran Islam, LKPSM-NU,Yogyakarta, 1989, hlm. 3-4

  12 Hiroko Horikosi, Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987, hlm.

  225-226

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 177 Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 177

  c. Pemimpin agama sebagai mediator Peran lain para pemimpin agama adalah sebagai wakil dari masyarakat dan sebagai pengantar dalam menjalin kerjasama yang harmonis diantara banyak pihak dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingannya di masyarakat dan lembaga-lembaga keagamaan yang dipimpinnya. 14

  Untuk membela kepentingan-kepentingan ini, para pemimpin agama biasanya memposisikan diri sebagai mediator 15 diantara beberapa pihak di masyarakat, seperti antara masyarakat dengan elite penguasa dan antara masyarakat miskin dengan orang-orang kaya. Melalui para pemimpin agama, para elite penguasa dapat memahami apa yang diinginkan masyarakat,dan sebaliknya elite penguasa dapat mensosialisasikan program-programnya kepada

  13 Ibid. Hlm.8 14 Hiroko,Loc.Cit.hlm.228-229 15 Peran ini sebenarnya diihami oleh nilai-nilai ajaran agama itu sendiri

  yang secara tradisional mempunyai fungsi sebagi ”pemersatu”. Sebab sebagian besar sejarah umat manusia yang ada secara empiris, agama telah memainkan peranan penting dalam memberikan tirai simbol-simbol yang melingkupi segalanya bagai integrsai masyarakat yang berarti. Beraneka macam makna, nilai dan kepercayaan yang ada pada suatu masyarakat, akhirnya dipersatukan dalam sebuah penafsiran menyeluruh tentang unsur realitas yang menghubungkan kehidupan manusia dengan dunia(kosmos) secara keseluruhan, sehingga secara sosiologis dan psikologis memungkinkan manusia merasa betah tinggal di alam semesta dan terhindar dari penyakit homeless mind, merasa tak berumah atau rasa kesepian di tengah-tengah keramaian . Lihat Peter L.Berger, dan Hansfried Keliner,” Pluralisasi Dunia Kehidupan,” dalam Hans Dieter Eers (peny.)”Teori Masyarakat, Proses Peradaban dalam Sistem Dunia Modern, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988, hlm.49-51

  178 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 178 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Munculnya kerjasama antara para pemimpin agama di satu pihak dengan kalangan kaya pengusaha di pihak lain merupakan fenomena sosial yang umum terjadi di kalangan umat beragama. Di Eropa misalnya, persekutuan bahkan kemanunggalan antara gereja dengan kalangan tuan tanah dan elite penguasanya merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Hal ini terjadi juga di kalangan umat agama lain, termausk Islam. Persekutuan seperti ini tetap berlangsung sampai sekarang. 17

  Dari sudut keagamaan, kerjasama keagamaan, kerjasama para pemimpin keagamaan dengan kalangan hartawan dan penguasa bukan sesuatu yang baru. Sebab, sesungguhnya kerjasama para pemimpin agama dengan kalangan kaya dan penguasa, pada prinsipnya, tidak dinilai buruk. Agama, bagaimanapun merupakan rahmat bagi selurh alam. 18

  Dalam kaitan inilah pentingnya kehadiran para pemimpin agama sebagai mediator pemberdayaan masyarakat lemah melalui kerjasama dengan elite penguasa dan golongan orang kaya. Sehingga, pada gilirannya, kesenjangan sosial dapat ditekan sedemikian rupa, tidak menimbulkan gejolak sosial yang mengancam keharmonisan hubungan masyarakat secara horizontal.

  16 Menurut Wolf, seperti dikutip Horikoshi, konsep mediator ini dapat didefinisikan sebagai orang-orang atau kelompok yang menempati posisi

  penghubung dan perantara antara masyarakat dan sistem nasional yang bercorak perkotaan. Bergantung pada posisi strukturnya dalam jaringan masyarakat yang kompleks, mediator ini dapat diperankan oleh pemimpin tradisional yang membentengi titik-titik rawan dalam jalinan yang meghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih luas, dan serng bertindak sebagai penyangga atau penengah antara kelompok-kelompok yang saling bertentangan, menjaga terpeliharanya daya pendorong dinamika masyarakat yang diperlukan bagi kegiatan-kegiatan mereka. Lihat Hiroko, Loc.Cit.hlm5

  17 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002,hlm.142

  18 Masdar Farid Masudi, Agama Keadilan Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, hl.202-205

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 179

H. Temuan Penelitian

1. Kondisi Geografis Kampung Pecinan Hadipolo Kudus

  Dukuh Argopuro yang menjadi lokasi penelitian ini ada satu RT yaitu masuk RT.6 RW.2.Desa Hadipolo dan berada di wilayah Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus. Letaknya berada di aliran sungai Jekulo yang bermuara di Lautan Jawa. Mayoritas penduduk Hadipolo, bermata pencaharian sebagai karyawan, wiraswasta, pekerja di jalanan dan buruh bangunan.

  Dengan kebudayaan yang relatif sedikit maju dibanding beberapa tahun sebelumnya, penduduk Dukuh Argopuro dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun. Adapun batas-batas wilayah Dukuh Argopuro yang merupakan bagian darai Desa Hadipolo memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

  a. Luas dan batas wilayah

  1. Luas desakelurahan : 516.500 Ha

  2. Batas wilayah

  a. Sebelah Utara

  : Desa Honggosoco

  b. Sebelah Selatan : Desa Tenggelas

  c. Sebelah Barat

  : Desa Ngembalrejo

  d. Sebelah Timur : Desa Jekulo

  b. Orbitrasi (jarak dari pusat pemerintahan desakelurahan)

  1. Jarak dari pusat pemerintahan kecamatan : 25 km

  2. Jarak dari ibukota KabupatenKotamadya Dati II : 8 km

  3. Jarak dari ibu kota propinsi Dati I : 56 km

  4. 19 Jarak dari ibu kota negara : 420 km Perumahan perumahan sosial “Pecinan”, Hadipolo, Kudus

  secara geografis termasuk terletak dalam perkampungan yang relatif tak terlalu ketinggalan yakni di desa Hadipolo. Desa Hadipolo pada 1985-an pernah sebagai pemenang dalam lomba desa tingkat kaputen Kudus, bahkan mewakilinya untuk maju pada lomba desa tingkat propinsi Jawa Tengah. Keberadaan desa tersebut termasuk strategis karena dilewati jalan raya besar jurusan Semarang- Surabaya, sehingga arus transportasi dan komunikasi relatif lancar. Karena itu desa Hadipolo dalam posisi ini memili citra yang positif

  19 66 Dikutip dari papan monografi Balai Desa Hadipolo pada tanggal 25

  Oktober 2008 180 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 Oktober 2008 180 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Hal ini menurut kepercayaan masyarakat setempat tak lepas dari “leluhur” atau dalam bahaya lokal disebut “danyang” daerah tersebut dikenal sebagai ahli pembuat keris “wesiaji” yang dikenal dengan “mbah Kyai Gusti”. Beliau dikenal sebagai seorang empu yang ternama pada zamannya bahkan beliau juga dikenal sebagai murid dari Sunan Muria Kudus, Raden Syahid.

  Sebagaimana dikenal luas bahwa salah satu ciri masyarakay Jawa adalah pengaruh budaya nenek moyang yang kuat sehingga menjadi “mode of thinking” dalam menjalani hidup dan memaknai hidup termasuk dalam membangun kekuatan ekonomi. Karena itu masyarakat Hadipolo sejak dulu mengembangkan kerajinan “pandai besi” sebagai representasi paradigmatik terhadap tradisi nenek moyang yang pernah ada sebelumnya. Maka hingga sekarang Hadipolo menjadi sentral “pandai besi” di kabupaten Kudus.

  Sedangkan perumahan sosial “Pecinan” tersebut terletak di bagian tengah Desa Hadipolo, kira-kira 8 km sebelah timur kota Kudus. Daerah tersebut semula adalah lahan “tanpa tuan” karena menurut cerita masyarakat setempat adalah tempat peninggalan komunitas keturunan Cina yang karena satu dan lain hal mereka meninggalkan lokasi tersebut. Sebagian menjelaskan komunitas keturunan Cina yang “lari” dari daerah tersebut karena mereka tidak menemukan kenyamanan bahkan sering diganggu oleh makhluk halus yang selalu saja datang silih berganti.

  Namun sebagian yang lain menceritakan bahwa keberadaan keturunan Cina yang eksodus besar-besaran itu tak lepas dari ancaman politik lokal yang cenderung menganggap keturunan Cina sebagai ancaman ekonomi masyarakat lokal. Karena itu mereka tak tahan bertahan terlalu lama di kompleks tersebut. Sebagian yang lain menjelaskan daerah tersebut sebagai bekas kuburan Cina yang

  sudah lama tidak terawat sehingga musnah tiada bekas. 20

  Dengan berbagai versi yang ada yang jelas daerah tersebut tak lepas dari adanya peninggalan keturunan Cina yang lama tak terawat, lalu diambil alih oleh pemda Kudus dan dalam jagka waktu yang lama kosong tak dimanfaatkan. Namun yang jelas keberadaan

  20 Wawancara peneliti dengan Syafii, Hanafi dan K. Ahmad Yasin warga desa Hadipolo, pada Juli 2008.

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 181 Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 181

  Maka dalam kondisi citra positif Desa Hadipolo yang sedang melambung tersebut tiba-tiba muncul kebijakan dari Pemda Kudus untuk merelokasi kompleks kumuh di belantar Sungai Kaligelis Kudus agar dipindahkan ke kompleks Pecinan, Hadipolo. Hal ini tak lepas dari keinginan baik pihak pemda Kudus agar para anak- anak jalanan dan keluarga tuna wisma segera tertangani oleh dinas sosial sehingga mereka bisa hidup lebih layak dan mandiri hidup dalam hunian yang permanen.

  Karena itu Pemda Kudus melalui dinas sosial pada tahun 1990-an membangun perumahan sangat sederhana (RSS) yang khusus diperuntukkan bagi tuna wisma terutama yang berasal dari pinggiran Kaligelis Kudus. Pemda Kudus memberikan syarat yang sangat ringan yaitu hanya dengan menunjukkan KTPKartu keluarga dengan sistem cicilan harian sebesar Rp 900,- (sembilan ratus rupiah) selama lima belas tahun.

  Proses relokasi ini dilakukan dalam dua tahap yaitu; tahap pertama tahun 1990 dan tahap dua tahun 1993. Kini penghuni Perumahan Sosial Pecinan tersebut terdiri dari 115 rumah dengan jumlah penduduk kira-kira 500 orang dengan komposisi laki-laki sejumlah 214 orang dan perempuan 300an orang.

  Pada awalnya masyarakat Hadipolo sebagian besar menolak kebijakan relokasi komunitas tuna wisma dari Kaligelis yang dipindahkan ke daerah Hadipolo, karena menurut warga setempat, kehadirian mereka dianggap sebagai ancaman keamanan bagi masyarakay Hadipolo. Hal ini tak lepas dari stigna negatif masyarakat Hadipolo terhadap anak-anak jalanan yang hidupnya dianggap tidak jelas hanya menjadi “biang keladi” dari berbagai tindakan-tindakan mulai dari pencurian, pencopetan hingga tawuran.

  Sebagian besar warga Hadipolo merasa tidak nyaman dengan kehadiran para tuna wisma tersebut, apalagi citra desa Hadipoli yang sebelumnya sudah dikenal sebagai desa unggulan dan sekaligus sebagai pemenang lomba desa pada beberapa tahun sebelumnya. Kehadiran kompleks perumahan sosial ini, bagi kebanyakan warga Hadipolo dikhawatirkan hanya akan

  182 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 182 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Sebagai dampak sosialnya, warga perumahaan Pecinan terutama anak-anak yang menjadi korban. Mereka dari tahun ke tahun merasa terpinggirkan dalam kehidupan sosial masyarakat di Hadipolo tersebut. Bahkan dalam pendidikan warga perumahan Pecinan tersebut merasa didiskriminasikan, karena mereka dianggap sebagai “keluarga kotor” yang tak mendapatkan pendidikan dari orang tuanya. Karena itu anak-anak mereka banyak yang tak mau sekolah hanya gara-gara diolok-olok oleh teman lainnya sebagai anak jalanan.

  Namun seoring dengan berjalannya waktu serta proses komunikasi sosial yang berjalan secara alami, pada kahirnya warga perumahan “Pecinan” semakin mendapat pengakuan dari warga setempat, meski sebagian masih tetap tidak bisa menghilangkan stigma negatif yang terlancur ada sejak kehadirannya. Namun paling tidak perkembangan komunikasi yang lebih terbuka semakin terbangun, setidaknya dapat dilihat ketika diantara mereka memiliki “gawe” mereka sebagian saling mengundang untuk sekedar ikut “tradisi slametan” atau mengikuti jam’iyah tahlil rutin setiap malam jumat.

  Meskipun demikian ancaman kecurigaan ketika terjadi kasus pencurian atau perilaku negatif lain yang terjadi di Hadipolo dalam banyak hal komunitas pecinan seringkali sebagai “tertuduh”. Bahkan ancaman konflik sosial pun semakin rawan ketika komunikas sedang buntu. Hal ini sebagaimana pernah terjadi pada tahun 2006 dengan terjadinya tawuran antara warga perumahan sosial dengan penduduk setempat. Beberapa rumah warga perumahan sosial hancur, dan juga banyak yang terluka baik warga pribumi maupun warga perumahan sosial hanya gara-gara kesalahpahaman ketika salah seorang warga perumahan Pecinan menghadirkan Orkes Dangdut dalam rangka punya gawe resepsi pernikahan.

  Karena itu kehadiran masyarakat pendatang yang kebanyakan dari tuna wisma di Hadipolo tersebut perlu mendapatkan penanganan dan pendampingan secara berkesinambungan agar mereka semakin diakui oleh masyarakat lain sebagai bagian dari manusia yang memiliki hak untuk hidup, berkumpul, memperoleh pendidikan dan mendapatkan kecukupan secara ekonomi sehingga menemukan kebahagianan dan kesejahteraan yang sejati.

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 183

2. Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Perumahan Sosial “Pecinan”, Hadipolo, Kudus

  Konstruksi sosial komunitas “Pecinan” tak lepas dari kebiasaan mereka yang biasaya sebagai pribadi yang bebas hidup dalam dunia yang “keras”. Di jalanan, pasar, mall, pusat-pusat pariwisata serta terminal bus adalah tempat keseharian mereka. Mereka sudah terbiasa hidup ala kadarnya, sehingga mereka memiliki daya tahan yang tinggi baik secara fisik maupun mental

  Sebagian besar mereka dalam mempertahankan hidupnya adalah sebagai pengemis terutama yang sudah terlalu tua dan anak-anak, sebagai pengamen bagi yang masih muda baik putra maupun putri, sebagai pengumpul barang bekas dan juga sebagian ada yang terpaksa mencopet dan sejenisnya. Namub sebagian besar mereka tetap berusaha untuk mendapatkanmemenuhi kebutuhan ekonomi mereka dengan jalan yang benar, meski dalam bentuknya yang masih rendahan.

  Karena itu kebiasaan mereka yang hidup di jalanan ini menjadikan mereka sungguh kuat dari terpaaan angin malam maupun panasnya sianr mentari pada siang hari. Namun meskipun mereka kurang tidur karena pada malam hari seringkali begadang, esok harinya sudah bangun pagi-pagi betul untuk “mengobyek” sekedar demi sesuap nasi.

  Kebiasaan mereka bertahun-tahun yang hidup dalam dunai yang keras sewakti masih hidup di pinggir Kaligelis Kudus, ternyata tidak juga berubah meski sudah pindah di kompleks perumahan baru di “Pecinan”, Hadipolo, Kudus.

  Meski sudah sering ada penyuluhan dari dinas sosial pemda Kudus dan sejumlah lembaga terkait di Komunitas ”Pecinan” tersebut, ternyata tetap belum mampu mengubah kebiasaan mereka yang lebih senang meminta-minta (pengemis), pengamen dan juga sebagai pengumpul barang bekas. Namun sebagain ada yang mulai mengembangkan profesi lain dengan mengemudikan angkutan becak.

  Karena itu hingga sekarang sumber ekonomi Komunitas ”Pecinan” kebanyakan adalah sebagaimana kebiasaan ketika masih di pinggir Kaligelis. Sementara kondisi sosial yang ada juga masih cenderung keras, penampilan meraka terutama yang laki-laki banyak yang bertato. Namun yang jelas etos mereka sangat tinggi

  184 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 184 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

3. Kondisi Dakwah Masyarakat Perumahan Sosial “Pecinan” Hadipolo, Kudus

  Kehidupan mereka di perumahan Komunitas «Pecinan» disamping dalam setiap hari harus membayar cicilan rumah meski tak besar, juga memiliki tanggung jawab untuk memberi makan keluarga demi mempertahankan kelangsungan hidupnya.

  Karena itu urusan pendidikan untuk anak-anak mereka kurang begitu diperhatikan. Kebanyakan anak-anak Komunitas «Pecinan» adalah putus sekolah di jenjang SD dan tingkat SLTP. Bahkan mereka yang semestinya masih usia SD, kebanyakan mereka sudah keluar rumah sebagai pengamen membantu pemasukan ekonomi untuk keluarganya. Meskipun demikian ada beberapa orang sekitar 15-20 orang yang sudah berhasil menamatkan SLTP (MTs dan SMP serta SMUMA). Termasuk anak-anak yang sebagai peserta peletihan life skill dan pelatihan pengelolaan TPQ yang diselenggrarakan oleh P3M STAN Kudus ini adalah kelompok tersebut, disamping juga melibatkan mereka yang putus sekolah bahkan yang tidak sekolah.

  Karena itu model dakwah yang diselenggarakan di tempat dimana mereka tinggal (di perumahan Pecinan) seperti TPQ Al Muhajirin sangat berarti bagi mereka disamping itu, fokus utama kegiatan dakwah dilaksanakan di musalla almuhajirin yang berada di pertengahan tempat tinggal penduduk. Karena dengan demikian akan memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengikuti kegiatan keagmaan secara lebih efisien karena tidak harus pergi jauh. Dalam kerangka inilah menjadi penting menghidupkan kembali TPQ Al Muhajirin, lembaga pendidikan satu-satunya yang dimiliki oleh Komunitas ”Pecinan” itu. Ditempat inilah kegiatan keagamaan baik berupa sekolah maupun ceramah-ceramah keagamaan dilakukan.

  Adapun metode dakwah yang digunakan adalah dengan mau’idhah hasanah yaitu suatu dakwah dengan menggunakan nasehat yang baik. Hal ini dilakukan oleh da’i yang betempat tinggal di lokasi tersebut. Dai atau mualligh yang ada di Dukuh Argopuro adalah Bapak Sumarto, berusia sekitar 40 tahun. Alamat asalanya adalah dari Desa Muryolobo Kecamatan Nalumsari Kabupaten

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 185

  Jepara, Bapak Sumarto tinggal di Dukuh Argopuro bersamaan dengan dibukanya dukuh tersebut sekitar tahun 1993. Ia melaksanakan kegiatan dakwah karena merasa terpanggil melihat kondisi masyarakat Dukuh Argopuro yang belum begitu mengenal ajaran Agama Islam. 21

  Sumarto sebagai tokoh agama berpenampilan sederhana dengan mamanjangkan jambang, sehingga kesan sebagai orang Islam dengan penganut aliran tertentu nampak padanya.

  Sebagai da’i yang tinggal bersama masyarakat Argopuro, Sumarto sangat memahami kondisi sosiologis dan psikologis masyarakat yang jadi mad’unya, sehingga dalam menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan metode ceramah atau mauidhah hasanah dan denga menggunakan bahasa sederhana yang sangat mudah dipahami oleh mad’unya. Disamping itu dengan tinggal ditempat yang sama, sewaktu-waktu dia dapat menyampaikan pesan dakwahnya tanpa harus dilakukan dalam situasi formal.

I. Materi dakwah

  Sebagaimana kita ketahui bahwa materi dakwah dapat dibago tiga yaitu:

  - Aqidah - Syari’ah - Akhlak Secara inci dapat penulis sebutkan materi dakwah di Dukuh

  argopuro adalah sebagai berikut:

  a. Pengajian malam Jum’at, materi pokoknya adalah:

  1. Pendalaman aqidah islamiyah

  2. Pendalaman kaifiyah ubudiyah

  3. Pendalaman ahlussunnah waljama’ah

  b. Fashalatan, materi pokoknya adalah:

  1. Memberikan contoh-contoh gerakan shalat

  2. Memberikan makna gerakan shalat

  3. Mengontrol gerakan-gerakan shalat

  4. Mengontrol ucapan-ucapan (hafalan) do’a dalam shalat

  21 Wawancara dengan Bapak Sumarto, dai mualligh Dukuh Argopuro, pada tanggal 5 Nopember 2008

  186 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 186 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  1. Mengetahui huruf-huruf hijaiyah

  2. Mengetahui cara-cara membacanya sesuai dengan makhraj dan tajwidnya

  d. Hafalan surat-surat pendek dan do’a-do’a, materi pokoknya adalah:

  1. Menghafal surat dhuha sampai surat an-Nas

  2. Menghafal do’a-do’a dalam perbuatan sehari-hari

  3. Memberitahukan makna yang terkandung dalam surat dan do’a tersebut 22

J. Penutup

  Islam sebagai agama yang universal sangat memperhatikan manusia sebagai individu, kare na individu merupakan dasa bagi terciptanya masyarakat yang sejahtera, makmur, berkeadilan dan damai. Suatu masyarakat tidak akan sejahtera, damai, aman dan berkeadilan, jika tidak ditanamkan sedini mungkin makna dari nilai-nilai kedamaian, keadilan dan kesejahteraan kepada setiap individu dari masyarakat, karena masyarakat pada hakekatnya komunitas yang terdiri dari individu-individu yang hidup di suatu daerah yang mempunyai keinginan dan tujuan yang sama untuk saling dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Manusia tidak akan mampu bertahan hidup hanya dengan kesendirian (individual) tanpa bantuan orang lain.

  Sikap dan tingkah laku da’i merupakan salah satu faktor keberhasilan dakwah yang dilakukan, masyarakat pelaku dakwah senantiasa mengamati dan meniru sikap yang dimiliki da’i. Sebagai seorang da’i sikapnya haruslah merupakan cerminan dari tingkah lakunya sehari-hari.

  Keberhasilan dakwah yang dilakukan di Kampung Pecinan Argopuro Kudus diantaranya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu; metode yang digunakan, profil dai dan materi yang disampaikan sesuai dengan kondisi mad’u, serta sesuai dengan situasi dan kondisi yang terdapat pada masyarakat tersebut.

  22 Wawancara dengan Sumarto, mubaligh Dukuh Argopuro dan berdomisili ditempat tersebut pada 26 Oktober 2008

  Dakwah pada Masyarakat Marginal di Kampung Pecinan (Mubasyaroh) 187