TRADISI BERFILSAFAT DALAM KARYA SASTRA PESANTRAN

C. Naskah Dewi Maleka Sebagai Sastra Pesantren

  Sejarah panjang pesantren di Jawa telah membawa perubahan dan pergeseran sosial yang cukup signifikan bagi masyarakat agama dalam segala aspeknya. Maka cukup beralasan kalau banyak peneliti yang menyimpulkan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan,dakwah, dan agen pembangunan masyarakat yang berbasis pada wawasan dan wacana keislaman. Pada posisi seperti ini Azyumardi tidaklah berlebihan menyatakan bahwa:

  “Dengan posisi dan kedudukannya yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people-entered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development)… Pesantren dengan kyainya memainkan peran sebagai “cultural brokers” (pialang budaya) dalam pengertian seluas-luasnya” (Azyumardi Azra, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam Nurcholish Madjid, 1997; xxv-xxvi)

  Penilaian Azyumardai tersebut sekaligus mendukung tesis Gus Dur yang menyebut pesantren sebagai sub-kultur. Setidaknya ada beberapa unsur yang menguatkan pesantren sebagai sub-kultur yaitu; (1) tradisi kehidupan yang jelas khasunik, berbeda dengan kehidupan di luar pesantren, misalnya model pendidikan Islam yang turun menurun dengan metode badongan, sorogan dan wetonan, (2) ruang pendukung yang khas di pesantren berupa asrama, masjid dan dalem kyai sehingga interaksi tiga elemen pesantren antara kyai, santri dan kitab kuning berjalan secara intensif sehingga memungkinkan terjadinya proses pembentukan tata nilai sebagai

  26 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 26 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Keunikan sub-kultur di pesantren seperti itu bukan berarti pesantren anti perubahan, tetapi tetap terbuka menerima perubahan meski dengan selektif dengan prinsip; al muhāfadhah ‘alal qo dīmi al shāleh wa al akhdzu bi aljadīdi al ashlah. Dengan prinsip ini pesantren akan tetap memelihara nilai-nilai lama yang baik dan melestarikan nilai-nilai baru yang lebih baik.

  Bahkan kecenderungan pesantren yang menekankan aspek terjemahan dengan metode halaqoh (badongan, sorogan dan juga wetonan) dengan sistem makna gandul (jenggot) ke dalam bahasa Jawa dari beberapa kitab berbahasa Arab, hal ini mendorong sebagian santri menungakan kembali hasil renungannya dalam bentuk nadhom puji-pujian dalam bahasa Jawa baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Hal ini telah melahirkan sejumlah karya sastra yang beragam di berbagai pesantren (Edi Sedyowati, dkk, eds, 2001: hal. 111-113).

  Maka kalau pada awalnya pesantren justru memiliki tradisi membaca dan menulis yang sangat kuat terutama di bidang sastra, sampai sekarang pun berbagai puji-pujian yang dilantunkan menjelang shalat jamaah di masjid-masjid atau di jam’iyyah- jam’iyyah dan masjlis taklim sangat berbau sastra dan sangat memperhatikan sajak. Sehingga di lingkungan pesantrenlah justru karya sastra Islam menjadi hidup karena sering dibaca dan dilantunkan mengiringi shalawat Nabi. Tentu masih sering kita dengar syair berikut:

  “Eman temen wong ganteng ora sembanyyangNabu Yusuf luwih ganteng tur sembahyang Iman temen wong ayu ora sembahyangSiti Zulaikha lueih ayu tur sembahyang…

  Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 27

  Gusti kanjeng Nabi lahire ana ing Mekkahdinten isnen rolas maulud tahun gajah…”

  Syair-syair sejenis itu masih sangat bertebaran di kalangan santri, dan memang dalam banyak kasus belum terbukukan dengan baik bahkan tidak diketahui siapa pengarangnya. Namun masih bisa ditemukan beberapa karya sastra pesantren yang berhasil ditulis meski dengan sangat sederhana. Misalnya naskah Sya’ir Kiamat Thaba’ul Khoir yang dikarang Kyai Soemardi, seorang ulama dari

  Syair tersebut juga ditulis dalam bentuk sajak pendek mengupas tentang rahasia hari kiamat. Misalnya ketika mendeskripsikan betapa dahsyatnya hari kiamat, Kyai Soemardi menuliskan sebagai berikut:

  “Allah Ta’ala anekaaken Sedaya makhluk denkumpulaken Makhloek kang kuno lan makhluk kang akhir pada kumpulan

  ing dina akhir Ing arah boemi kang banget panase kabeh makhluk pileng endase Srengenge adoh den gawe perak temboes ing goeloe iku genine” (Soemardi, 1347 H.)

  Sastra pesantren yang menonjol sebagaiman juga contoh di atas banyak berisi tentang ajaran moral, tauhid, tasawuf dan juga filsafat hidup. Namun materi tentang filsafat di kalangan pesantren tampaknya memang kurang begitu ditonjolkan, meskipun sebenarnya bisa kita temukan sejumlah naskah sastra pesantren yang berorientasi filsafat meski masih sangat terbatas. Dari yang terbatas tersebut tanpaknya naskah Dewi Maleka justru lebih kental nuansa filsafatnya. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai dialog yang menjurus pada berbagai pertanyaan yang membutuhkan jawaban mendasarmengakar dan radikal berkaitan dengan asal-usul alam (kosmologi), tujuan hidup (teleologis), penegahuan tentang realitas (epistemologi), amal baik dan buruk (aksiologis) dan seterusnya. Karena muatan isinya yang unik dan filosofis tersebutlah, penulis merasa penting mengaktualkan kembali dan sekaligus mengukuhkan bahwa wacana filsafat di dunia (sastra) pesantren sebenarnya juga ada akarnya, hanya saja belum dikembangkan dengan baik sehingga terkesan terabaikan.

  28 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

D. Dimensi Filsafat Muatan Teks Dewi Maleka

  Salah satu daya tarik muatan cerita Dewi Maleka gaya penulisannya yang naratif-dialogis sehingga tak ada kesan menggurui sama sekali. Dewi Maleka sebagai teks menjadi bebas ditafsirkan oleh pembaca. Apalagi teks ini juga tidak diketahui secara pasti pengarangnya. Bahkan meskipun diketahui pengarangnya bagi Roland Barthes, seorang pakar semiotok, sesungguhnya pengarang sudah tidak lagi mempunyai tempat lagi bagi seoarang author, yaitu pihak atau lembaga yang dianggap memiliki otoritas dalam menentukan makna final (paling otentik). Dalam hal ini teks sudah tidak lagi membutuhkan otoritas (authority) karena makna final tidak dibutuhkan lagi. Maka sebagai institusi, sesungguhnya “pengarang” telah mati (as institution, the author is dead) (Roland Barthes, 1975: 27). Demikain juga dengan kehadiran teks dalam naskah Dewi Maleka ini.

  Cerita Dewi Maleka berawal dari kehadairan Raja Rum yang bernama Maharaja Sarialam yang memiliki seorang putri yang dikenal dengan cantik-menawan, adil, bijaksana dan shalehah.

  “dewi maleka namaknya ﺀ wongayu madeyo utomo ﺀ awas barangkaryane ﺀ atetep ngibadahe ﺀ sabar kalih wicaksono ﺀ abangkit ing barang ngilmu ﺀ usul suluk jawa arab» (asmarandana) ﺀ

  kawiryan wibowo mukti ﺀ sasedayan ingkang romo ﺀ sang soyo wuh baktine ﺀ wong ayu tanpo tanding ﺀ serpati yen ngendiko ﺀ piniharso manis arum ﺀ kadingalapeno jiwo» (Transliterasi Zakiyah, 2007).

  Ketika baginda raja tersebut wafat Dewi Maleka menggantikannya sebagai ratu. Rakyat dan para menteri pun sangat mendukung, menghormati dan sayang kepadanya. Namun yang menjadi keprihatinan punggawa, rakyat dan juga orang- orang sekelilingnya adalah karena Sang Ratu belum bekenan untuk menikah, padahal sudah banyak “sang Arjuna” yang sudah mengajukan lamarannya. Keadaan ini menjadikan Sang Ratu Dewi Maleka (baca; Sang Dewi) menjadi bahan pembicaraan di sekitar istana.

  Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 29

  Mendengar hal ini lalu Sang Dewi memanggil patih dan menterinya agar mereka semua bisa mendengarkan mengapa alasan Sang Dewi belum juga mau menikah. Di hadapan mereka Sang Dewi menjelaskan bahwa bukan berarti beliau tidak mau menikah, tetapi beliau hanya mau menikah kepada orang yang bukan saja pandai dan bijaksana tetapi juga harus shaleh dan berkepribadian baik. Dengan pertimbangan itu, maka Sang Dewi membuka sayembara, siapa saja asalkan lelaki sudah dewasa dan mampu menjawab dengan tepat dan masuk akal atas 100 pertanyaannya, maka ia berhak mengawini Sang Dewi dan bahkan mendapatkan kerajaan Rum. Namun apabila tidak mampu menjawabnya maka ia akan mendapatkan hukum pancung.

  Sayembara tersebut akhirnya disebarluaskan ke berbagai daerah hingga ke pelosok negeri bahkan sampai terdengar di negeri tetangga Mesir. Sampailah berita sayembara ini kepada sosok santri muda dari daerah Turkustan, Mesir. Dia dikenal sosok pemuada yang tampan dan berbudi baik, yaitu Abdul Ngalim. Ngalim begitu mendengar sayembara tersebut langsung sangat tergerak untuk mengikutinya. Maka Sang Ngalim yang sebenarnya Pangeran Turkustan tersebut langsung berangkat ke Rum untuk menghadap Sang Dewi. Begitu sampai di Rum Sang Ngalim melalui Ki Patih dipertemukan dengan Sang Dewi. Begitu ketemu tampaknya Sang Dewi langsung menaruh hati dan terkesan dengan Sang Ngalim. Namun karena konsistensi Sang Dewi akhirnya Sang Ngalim tetap diperlakukan sebagaimana peserta sayembara yang lainnya (Pupuh satu).

  Maka mulailah tanya jawab sebanyak 100 pertanyaan itu berlangsung dengan berbagai masalah yang sangat rumit dan membutuhkan nalar yang masalah yang dipertanyakan dalam seratus pertanyaan termasuk masalah yang sangat berkaitan erat dengan problem filsaat, yaitu antara lain:

1. Masalah Kosmologi

  Kosmologi dalam filsafat merupakan ilmu (logos) tentang asal-usul dan struktur alam semesta. Seluk beluk pertanyaan mendasar tentang alam semesta sebagai suatu sistem yang rasional merupakan bagian dari bahasan kosmologi dalam filsafat. Terkadang kosmologi juga disepadankan dengan kosmogoni yaitu

  30 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 30 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  a. Apa yang lebih dulu dijadikan Tuhan? Huruf Kaf dan Nun yaitu Kun fayakun.

  b. Darimana asalmu? Jawab: dari Bapak ketika menetes (dan) berada di air (saking labete bapa duk tumetes dumunung aneng ing banyu).

  c. Apa yang dijadikan lebih dulu kelak? Jawab: khalaqnahu minannar (Pupuh 2).

  d. Berapa jumlah unsur yang menjadikan manusia? Jawab: enam belas, yaitu: yang dari Allah: roh, nafas, budi, iman. Yang menurut kitab Topah: pendengaran, penglihatan, pengabu (?), dan pengeras. Yang dari ayah; tulang, otot, kulit, dan otak. Yang dari ibu; daging, darah, isi perut, dan sumsum (Pupuh 5).

  Dengan mencermati dialog di atas, kita akan menemukan asal-usul “alam besar” yaitu semesta raya dan “alam kecil” yaitu manusia. Keberadaan alam semesta ini tak lepas dari campur tangan “The Real” yang benar-benar Ada dan Mengada. Ada (wujud) pada dirinya sendiri dan Mengada menjadikan segalanya yang awalnya belum ada menjadi ada. Penetapan kun fayakun (jadilah, maka jadi) adalah sebentuk penyadaran adanya sabda Tuhan di balik segala kejadian. Maka hal ini sekaligus menandaskan bahwa causa prima (sebab dari segala sebab) adalah yang benar-benar “Real”, yaitu Tuhan (baca: Allah).

  Namun dalam dialog tersebut juga menunjukkan pentingnya proses dalam setiap kejadian, termasuk dalam kejadian manusia. Misalnya jawaban atas asal manusia, disitu dijelaskan dengan singkat; “dari Bapak ketika menetes (dan) berada di air”. Secara implisit dalam perkembangan ilmu biologi hal tersebut adalah suatu proses reproduksi dan pembuahan yang terjadi antara sperma dan sel telur. Bahkan secara lebih rinci juga dijelaskan dalam dialog bagian akhir bahwa unsur pembentuk manusia ada enam belas

  Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 31 Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 31

2. Masalah Ontologi:

  Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakekat ada (wujud dan maujud). Ontologi akan mengulas ciri- ciri esensial dari “Yang Ada” dalam dirinya sendiri. Ontologi juga menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti yang luas dengan menggunakan kategori-kategori seperti; adamenjadi, aktualitas potensialitas, nyatatampak, perubahan, waktu, eksistensi noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai yang ada, ketergantugan pada diri sendiri, hal-hal yang terakhir, dasar (Lorens Bagus, 1996: 746). Beberapa masalah ontologis yang disinggung dalam dialog antara Sang Dewi dengan Sang Ngalim antara lain (Transliterasi Titik Pujiastuti, 2006):

  a. Amal apa yang paling baik bagi kita? Jawab: yang berasal dari hati.

  b. Apa yang disebut tunggal? Jawab: Allah

  c. Apa yang disebut empat jisim? Jawab: api, angin, tanah, dan air.

  d. Amal yang bagaimana yang baik? Jawab: amal yang memancar cahayanya, yaitu malaikat.

  e. Apa kepala iman, hatinya, badannya, cahanya, kegelapannya, manisnya, hikmahnya, syariatnya, benihnya, akarnya, rumahnya, daunnya, kulitnya, tujuannya, dan pekerjaannya? Jawab: kepala iman adalah la ilaha illallāh, Muhammadarrarsūlullāh, membaca Al Qur’an adalah hatinya, banyak berdzikir adalah badannya, cahaya iman adalah hati yang bersih dan ucapan yang jujur, gelapnya iman adalah hati yang ingkar, manisnya iman adalah hati yang tulus suci, pohon iman adalah zakat fitrah, hikmah iman adalah takut kepada Allah yang artinya menjalankan perintah yang fardlu dan sunnah, syariat iman adalah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, benih iman adalah ilmu, rumah iman adalah bakti, daun iman adalah menghadap

32 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Allah, kulit iman adalah malu kepada Allah Yang Maha Suci, otak iman adalah doa, akar iman adalah hati yang ikhlas hanya kepada Allah, rumah iman adalah hati mukmin, dan nyawa iman adalah sembahyang sunah (Pupuh 2 dan 3).

  Mencermati kutipan dialog di atas setidaknya ada tiga problem ontologis yang setidaknya mendapatkan ulasan yang bisa diterima nalar. Pertama adalah hakekat amal yang baik, yakni amal yang benar-benar tulus berangkat dari kesadaran hati yang (ikhlas). Dengan demikian amal yang sesungguhnya bermakna adalah amal yang sedari awal memiliki niat yang tulus-ikhlas. Sehingga tidak karena riya, terpaksa atau karena supaya dianggap wah. Dan perlu diingat tempat bersemayamnya niat adalah ada di hati. Maka ulasan amal yang baik adalah amal yang dari hati bisa dimaknai amal yang dilandasi niat yang tulus dan ikhlas. Amal yang seperti inilah yang akan tetap memancarkan cahaya bagai malaikat.

  Masalah ontologis kedua adalah tentang hakekat yang tunggal. Problem ini sebenarnya sebuah pertanyaan yang pada akhirnya memasuki wilayah yang transenden dan sekaligus memberikan

  Di semesta ini hanya satu sumber otoritas yang paling Mutlak karenanya Yang Tunggal tersebut akan bebas sebebasnya untuk menciptakan yang mungkin ataupun meninggalkannya (fi’lu kulli mumkinin au tarkuhu). Masalah ini sekaligus mengajak pembaca untuk memasuki wilayah tauhid sebagai the core of Islam.

  Masalah ontologis ketiga hakekat iman. Pada saat orang dibingungkan dengan problem iman yang hakiki, Naskah Dewi Maleka memberikan ulasan iman dengan pendekatan rasional yang cukup menarik. Di situ dijelaskan hakekat iman adalah kalimah tauhid, sebuah pengakuan jalan hidup hanya dari Allah dan menuju Allah, serta kesadaran bahwa Nabi SAW adalah utusannya. Disamping itu iman juga harus dibarengi dengan kemauan menelaah dan menyerap muatan Al Qur’an sumber risalah Nabi yang paling otentik dan terjaga kesuciannya. Iman juga harus ada kemauan menjaga hati agar tetap bercahaya diisi dengan dzikir dan pikir yang produktif. Dengan iman manusia akan terdorong untuk amar ma ‘rūf nahi munkar (humanisasi, liberasi dan transensensi). Yang tak kalah menarik iman juga ditandai dengan cintai kepada ilmu,

  Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 33 Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 33

  Kalau selama ini iman cenderung dipahami secara pasif sebagai kata benda hanya percaya dan meyakini, ternyata konsep iman menurut Sang Ngalim tersebut harus dibarengi dengan proses aktif dan kreatif sehingga membuahkan hal-hal baru yang lebih produktif dan memiliki nilai kemaslahatan bagi umat manusia.

3. Masalah Epistemologi:

  Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mebicarakan tentang sumber-sumber, batas-batas dan verifikasi (pemeriksaan nilai kebenaran) ilmu pengetahuan (Haidar Baqir, 2006: 13). Maka sering juga disebut dengan teori pengatahuan, karena ia merupakan pengetahuan tentang pengetahuan (Lorens Bagus, 1996: 212). Masalah epistemologi yang disinggung dalam tanya jawab Sang Dewi dan Sang Ngalim antara lain (Transliterasi Titik Pujiastuti, 2006):

  a. Di mana ‘tempat aksara (buku) tanpa tulisan’? Jawab: penglihatan orang cerdik pandai atau para wali.

  b. Apa arti ‘dian yang menyala tanpa api, tanpa minyak dan tanpa sumbu’? Jawab: sumbunya adalah dzat Allah.

  c. Apa yang dimaksud ‘daun hijau selamanya’? Jawan: hidup manusia yang sejati.

  d. Jelaskan mengapa ada tanggal satu, bulan purnama, dan gerhana, apakah yang disebut arasy kursi? Jawab: semuanya penghulu surga dijaga oleh malaikat. Adapun matahari itu besarnya 360 hari, tempatnya di langit keempat. Di dalam matahari terdapat sebuah pedati. Pedati itu memiliki telinga yang jumlahnya 360, setiap telinga mempunyai dada 360. Setiap dada pedati ditarik 360 malaikat. Jika matahari sedang gerhana, itu tanda sedang masuk ke bahrut, karena malaikatnya terperosok jalannya ke lautan zat. Sebab ketika sedang berjalan mata mereka melihat orang di dunia yang durhaka kepada Allah, mereka kasihan dan memohonkan ampun kepada Allah. Adapun besarnya bulan adalah 60 dunia, tempatnya di langit yang pertama. Sesunggunya ia tak mau sujud kepada Allah, ia bisa besar dan kecil karena dihukum Allah.

34 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Kutipan dialog di atas memberikan landasan epistemologis berkaitan tentang pengetahuan kita tentang wali, dzat Allah, hidup sejati dan kejadian berubahnya tanggal pada bulan, dan bulan pada tahun. Wali termasuk di dalamnya para cerdik pandai itu bagaikan buku yang tanpa aksara, sehingga siapapun yang ingin mengembangkan ilmu dan membuka cakrawala dunia maka harus dekat-dekat dengan buku, karena buku adalah jendela dunia. Dan salah satu buku yang unik adalah buku yang tanpa teks (aksara), yaitu para wali dan cerdik pandai. Maka pesan yang ingin dimunculkan adalah cintailah buku, agar terjauh dari kebodohan dan kesesatan.

  Kemudian tentang Dzat Allah, meskipun dalam Islam ada pesan yang terkenal tafakkaru fi khalqillah wala tafakkaru fi dzatillah, yaitu cukuplah manusia berfikir pada ciptaanNya saja, jangan sampai berfikir pada DzatNya. Namun dialog tersebut memberikan gambaran Dzat Allah tidak dengan definitf karena memang tidak bisa didefinisikan, namun kekuatan Dzat Allah digambarkan mampu menyalakan api, tanpa minyak dan tanpa sumbu. Maka pembaca melalui dialog tersebut diajak untuk berkontemplasi spiritual betapa dahsyatnya kekuatan dan kekuasaan Sang Pencipta. Selanjutnya diserahkan pembaca untuk mencerapnya sesuai dengan pengalaman spiritualnya masing- masing yang sangat personal.

  Di dalam dialog tersebut di atas juga disinggung bagaimana memahami orang yang mencapai hidup sejati. Hidup sejati digambarkan sebagai hidup yang istiqomah (dalam merawat imannya) yang diandaikan bagai daun hijau yang tetap hijau. Tidak gambang dipengaruhi kelompok akidahideologi di luar Islam. Hidup yang istiqomah adalah hidup yang memiliki prinsip sebagaimana Islam memiliki 5 pilar rukun Islam dan 6 rukum iman, bagaimana hal ini istiqomah dijalankan dan diresapi baik secara lahir maupun batin sehingga mampu melahirkan character building dalam dirinya.

  Kemudian yang terakhir terkait tentang terjadinya perubahan pada bulan mulai tanggal satu, bulan purnama hingga terjadinya gerhana bulan, fenomena tersebut tak lepas dari kejadian yang ada di dunia, termasuk ambruknya tatanan moral yang terjadi dalam kehidupan manusia, durhaka kepada Allah. Misalnuya terjadinya gerhana juga tak lepas dari perilaku manusia yang lalai,

  Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 35 Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 35

4. Masalah Aksiologi:

  Aksiologi merupakan cabang filsafat yang berkaitan dengan analisis nilai-nilai yang mencakup arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistemologi dari nilai-nilai. Karenanya aksiologi merupakan studi filosofis tentang hakekat nilai-nilai. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa nilai-nilai merupakan esensi- esensi logis dan dapat diketahui melalui akal (Lorens Bagus, 1996: 212). Dimensi aksiologis dalam muatan teks Dewi Maleka dapat ditemukan dalam tanya-jawab berikut:

  a. Apa yang ‘sangat buruk’? Jawab: menyekutukan Allah.

  b. Apakah yang ‘sangat baik’? Jawab: orang yang langgeng imannya kepada Allah.

  c. Apa yang ‘sangat pahit’ dan apa yang ‘paling manis’? Jawab: yang sangat pahit adalah hati orang miskin, sedangkan yang manis adalah hati orang kaya.

  d. ‘Desa manakah yang terindah’? Jawab: desa yang terindah adalah akhirat.

  e. ‘Desa manakah yang paling buruk’? Jawab: desa yang paling buruk adalah dunia.

  f. Apa yang lebih berat dari gunung? Jawab: kata-kata yang baik, yang setiap kalimat menyebut Allah.

  g. ‘Gelap lebih dari malam, terang lebih dari siang,’ apakah itu? Jawab: yang gelap dari malam adalah orang yang tak tahu syara’ dan yang terang dari siang hati orang yang sudah alim.

  h. Apa yang ‘lebih dingin’ dari air dan ‘lebih keras dari batu’? Jawab: yang lebih dingin dari air adalah hati orang yang

36 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 36 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  i. Apa yang ‘lebih berat dari gunung’ dan ‘yang tajam lebih

  dari keris’? Jawab: ‘yang lebih berat’ dari gunung adalah orang yang sopan santun terhadap sesama dan ‘lebih tajam’ dari keris adalah hati para pendeta dan ulama yang arif.

  Sangat jelas sekali kutipan di atas memberikan gambaran hakekat nilai-nilai baik dan buruk (etika) yang bisa dijadika rujukan dalam beretika. Nilai-nilai baik dan buruk yang menempati urutan pertama ukurannya pada iman yang sejati sebaliknya keburukan yang sangat adalah kemusrikan sebagai representasi yang kafir. Hubungan vertikal manusia dengan Allah menempati posisi yang paling unggul. Nalai baik berikutnya adalah moralitas manusia ketika berinteraksi dengan sesama manusia dan lingkungannya sehingga bersifat horizontal. Hal ini ditunjukkan dengan perumpamaan bahwa kata-kata yang baik dan sopan santun itu lebih berat daripada gunung.

  Sementara nilai-nilai keindahan (estetika) dalam dialog tersebut hakekatnya ada pada kehidupan setelah dunia (akhirat). Sementara keindahan yang terlihat di dunia hanyalah semu, namun manusia sering terperdaya. Hal ini sekaligus memperingatkan kepada manusia nikmatilah keindahan di dunia sekedarnya, jangan berlebihan, karena ada keindahan yang lebih hakiki yaitu ketika di akhirat nantinya.

  Dialog di atas juga menegaskan nilai-nilai kemuliaan yang sesungguhnya adalah bagi mereka yang berilmu. Mereka yang berilmu inilah bagai penerang yang mencerahkan lebih terang daripada sinar mentari pada siang hari. Bahkan kearifan orang yang berilmu (pendeta, ulama) itu lebih tajam dari keris, karena kecemerlangan dzikir dan pikirnya.

5. Masalah Teologi dan Teleologis:

  Teologi dalam filsafat pertama kali diusung oleh Aristoteles sebagai suatu disiplin seraya mengidentikkan dengan filsafat pertama, yang tertinggi dari semua ilmu teoritis. Teologi kajian yang berhubungan dunia ilahi dengan dunia realitas. Studi ini juga sering dikenal dengan metafisika (Lorens Bagus, 1996: 1090-91). Sementara Telelologis kajian filsafat yang berhubungan dengan

  Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 37 Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 37

  Diantara materi tanya jawab yang berhubungan dengan materi teologi dan teleologi dapat dicermati pada kutipan sebagai berikut:

  a. Bagaimana perincian sifat dua pulu (Allah)? Jawab; Wujūd, Qidām, Baqa’, Mukhālafatu lilhawadits, Qiyamuhu Binafsih,

  Wahdaniat, Qudrat, Irādat, Ilmu , Hayyat, Sama’, Bashar, Kalām, Qadīran, Murīdan, ‘Alīman, Hayyan, Samī’an, Murīdan, ‘Alīman, Mutakalliman.

  b. Apa maksud kata-kata Allah itu ada dalam asya? Jawab: Maha Suci Allah Yang Qodim, yang tidak berzaman tidak bermaqam, tidak di bawah tidak di atas, tidak dimasukkan dan tidak dikeluarkan, tidak berpisah dan tidak bercampur, adalah segala yang tercipta.

  c. Nyawa orang mati ke mana perginya, berkumpul atau berpisah? Jawab: tidak berpisah, masih bersanding tetapi seperti layang-layang putus.

  d. Apa sebab mayat dimandikan, dikubur di tanah, disembahyangkan, dan disedekahkan 3, 7, 40, sampai 1000 hari? Jawab: mayat dimandikan karena berasal dari

  tanah, disembahyangkan karena berasal dari mu’adim wujud, disyahadati mayit mendapat kemudahan dan menurut NabiMuhammad agar mendapat syafa’at di kubur, agar ingat kepada Allah, Muhammad, malaikat, Qur’an, hari akhir, tahu ka’bah sebagai kiblatnya, saudaranya, ingat Islam sebagai agamanya, dan imannya. Adapun disedekahkan maksudnya sebagai lambang mati hidupnya rezeki jangan hanya belas kasihan persaudaraan.

  Kutipan di atas cukup bisa mengenal hakikat wujud Allah dengan dua puluh sifatnya yang terinci tersebut. Kesemua sifat 20 tersebut memberikan petunjuk yang detail bahwa sesungguhnya Allah itu segalanya, Maha Mengetahui, Hidup, Melihat, Mendengar, Berkehendak, Kuasa atas segala sesuatu, namun tidak seperti sifat- sifat yang dimiliki oleh manusia atau makhluk lainnya (Mukhālafatu lilhawādits). Sehingga tak bisa terbayangkan secara pasti, namun

  38 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 38 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Sedangkan aspek telologisnya meliputi pembahasannya tentang jiwa dan raga setelah mati kemana mereka bersemayam. Di sini dijelaskan bahwa nyawa tidak akan berpisah tetapi tetap bersanding bagai layang-payang putus yang susah ditebak dimana dan kemana arahnya karena senantiasa melayang-melayang. Hal ini juga sekaligis menjelskan problem eskatologis yang merupakan bagian dari bahasan penting dalam tradisi agama-agama langit. Demikian juga yang menyangkut tradisi perawatan jenazah yang selama ini sudah biasa dilakukan oleh orang Islam, ternyata oleh Sang Dewi juga ditanyakan alasannya. Dan Sang Ngalim juga memberikan penjelasan yang cukup bisa masuk akal, bukan jawaban dalil-dalil yang tekstual.

  Alasan mayat dimandikan karena ia berasal dari air, ia dikubur karena asal manusia berasal dari tanah dan disembahyangkan karena berasal dari mu’adim wujud sebagai wujud sangkan paraning dumadi. Mayit juga biasa disyahadatkan terutama ketika momentum talqin dimaksudkan agar mayit mendapatkan kemudahan dan syafa’at di kubur, tetap ingat kepada Allah, Muhammad, malaikat, Qur’an, hari akhir, tahu ka’bah sebagai kiblatnya, ingat Islam sebagai agamanya, dan imannya. Hal ini sekaligus sebagai wujud tuntutan ilmu (thalab al ilmi) yang terakhir kalinya di liang lahat seperti dalam sebuah sabda Nabi SAW; thalab al ‘ilmu min al mahdi ila allahdi, menuntut ilmu itu (harus berproses terus) mulai dari lahir hingga di liang lahat, life long education.

E. Kesimpulan

  Beberapa uraian di atas dapat diringkas dalam beberapa kesimpulan penting sebagai berikut;

  a. Tradisi pesantren di Jawa yang sekarang dikenal sebagai akar pendidikan tradisional yang salaf (berorientasi pada

  Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 39 Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 39

  b. Meskipun wacana filsafat di pesantren sekarang terkesan tabu dibicarakan di pesantren, namun pada periode awal pesantren justru masalah filsafat diangkat di pesantren sebagai endapan renungan dengan bahasa yang ringan, dialogis dan menghibur, seperti yang terdapat dalam naskah Dewi Maleka.

  c. Naskah Dewi Maleka adalah bagian dari sastra pesantren yang berisi ajaran-ajan moral dan kearifan hidup yang bernuansa Islam sehingga dapat dijadikan sebagai alternatif kerangka dasar pengembangan filsafat Islam.

  d. Wacana filsafat yang seringkali terkesan rumit dan berat, tetapi melalui naskah Dewi Maleka, ajaran-ajaran kearifan hidup disampaikan secara dialogis, penuh kisah yang mengharukan, menghibur dan tidak menggurui.

  e. Apa yang dituangkan dalam naskah Dewi Maleka dapat dijadikan sebagai alternatif penyadaran moral anak, sehingga nilai-nilai kearifan hidup bisa terinternalisasikan ke dalam pribadi seseorang dengan tanpa paksaan (adoktriner), tetapi justru dengan penyadaran (conscientization) dalam bentuk cerita dan kisah.

  40 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

DAFTAR PUSTAKA

  Naskah Dewi Maleka, (kode BR.No.16), di Perpustakaan Nasional

  Republik Indonesia (PNRI). Azra, Azyumardi, “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan” dalam

  Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997)

  Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996) Barthes, Roland, , The Pleasure of The Text, (New York: Hill and

  Wang, 1975) Baqir, Haidar, Buku Saku Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2006) Pudjiastuti, Titik, “Dewi Maleka, Sebuah Model Karya Sastra Islam-

  Jawa” dalam Naskah dan Studi Naskah, (Jakarta: Akademia, 2006)

  Soemardi, Sya’ir Kiamat Thaba’ul Khoir, PNRI Sedyawati, Edi, dkk (eds), Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum,

  (Jakarta: Balai Pustaka, 2001) Zakiyah, Dewi Maleka; Sebuah Deskripsi Naskah Islam Jawa,

  (Jakarta: Laporan Penelitian Pelatihan Penelitian Naskah Keagamaan 1 November – 6 Desember 2007)

  Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 41 Tradisi Berfilsafat dalam Karya Sastra Pesantren... (Nur Said) 41

  42 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

PERGESERAN LITERATUR DI PESANTREN SALAFIYAH (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Anwariyah, Tegalgubug Lor, Cirebon)

  R. Aris Hidayat IAIN Syeh Nurjati Cirebon Email:

  Abstrak

  Pesantren merupakan lembaga pendidikan khas Indonesia. Namun peran pesantren di masyarakat tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai agent of change dan agent of human development. Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan yang dihadapi pondok pesantren semakin berat, kompleks, dan mendesak sebagai akibat meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tantangan itu menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran di lingkungan pesantren. Salah satu pergeseran yang cukup penting yang perlu diketahui secara mendalam yaitu pergeseran literatur di Pesantren Salafiyah. Pergeseran literatur di Pesantren Salafiyah Al-Anwariyah, Tegalgubug Lor, Cirebon terjadi pada aspek kepengarangan kitab, dan pemaknaan atau pemberian maknaarti. Pergeseran itu berdampak pada hubungan kyai-santri, pemikiranpemahaman keagamaan, dan pelaksanaan ritual keagamaan.

  Kata kunci: Pergeseran, Literatur, Pesantren, Salafiyah

A. Pendahuluan

  Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan khas Indonesia. Pondok pesantren juga dapat dianggap sebagai warisan sekaligus kekayaan kebudayaaan intelektual nusantara. Lembaga pendidikan ini tumbuh dan berkembang ditengah-tengah

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 43 Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 43

  Pada perkembangannya, pondok pesantren menjelma menjadi sebuah lembaga sosial yang memberikan warna khas bagi perkembangan masyarakat sekitarnya. Peran pesantren mengalami perubahan menjadi agen pembaharuan (agent of change) dan agen pembangunan masyarakat (agent of human development ). Meskipun demikian, dalam konteks perkembangan kebudayaan, pesantren memiliki peran yang cukup menonjol yakni tetap berkonsentrasi dan menjadi pelopor dalam mepertahankan dan melestarikan ajaran-ajaran Islam ala Sunni (ahl as-Sunnah wa al-jama’ah) serta mengembangkan kajian-kajian keagamaan melalui khazanah berbagai kitab kuning (al-kutb al-qadimah) dengan tujuan utama untuk memperdalam agama (tafaqqul ad-din).

  Pondok pesantren secara kuantitatif mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Pondok pesantren ini pada umumnya tumbuh dan berkembang di daerah pedesaan dan perkotaan. Berdasarkan data Departemen Agama pada tahun 1987- 1988 jumlah seluruh pondok pesanren di Indonesia tercatat 6.579 buah dengan jumlah santri mencapai 1.213.739 orang. Selanjutnya, data ditempat yang sama pada tahun 2002 menunjukkan bahwa jumlah pesantren diseluruh Indonesia meningkat cukup pesat menjadi 14.067 buah, dengan rincian 8.905 buah pondok pesantren salafiyah, 878 buah pondok pesantren modern atau khalafiyah asrifayah, dan 4.284 buah pondok pesantren campuran atau kombinasi. Demikian pula jumlah santri mengalami peningkatan yang cukup pesat dari 1.213.739 orang pada tahun 1987-1988 menjadi 3.200.000 orang pada tahun 2002.

  Perkembangan pondok pesantren tidak bisa dilepaskan dari keterkaitannya dengan perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Pada awalnya, pondok pesantren menyelenggarakan kegiatan pendidikan keagamaan di masjid dengan beberapa orang santri. Sejalan dengan peningkatan jumlah santri yang ingin menuntut ilmu di pondok pesantren, mulailah dibangun pondok- pondok sebagai tempat tinggal mereka. Pada saat bersamaan Pemerintah Kolonial Belanda juga mendirikan “Volkschoollen”, sekolah rakyat, atau sekolah desaNagari dengan masa belajar tiga tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak sekitar tahun 1870-

  44 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 44 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Pada kenyataannya program itu secara umum tidak mendapat sambutan yang baik dari penduduk pribumi-kecuali di Minangkabau karena menurut mereka mutu pengajaran di sekolah- sekolah rakyat itu rendah. Di samping itu, adanya sikap apriori dari masyarakat khususnya masyarakat Jawa yang menganggap program itu sebagai upaya Pemerintah Kolonial Belanda untuk “membelandakan anak negeri”. Di Minangkabau program itu direspon secara baik oleh penduduk pribumi, terbukti dengan banyaknya surau yang berubah menjadi sekolah nagari. Menurut Azyumardi, perbedaan respon penduduk itu disebabkan oleh perbedaan watak kultural dan pengalaman historis masing-masing masyarakat, baik berkenaan dengan proses dan perkembangan islamisasi maupun dalam berhadapan dengan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Penduduk Indonesia lebih memilih menuntut ilmu di pesantren daripada di sekolah rakyat atau sekolah nagari, karena pesantren menurut mereka tidak hanya sebagai lembaga transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga sebagai pemelihara tradisi Islam dan sebagai lembaga reproduksi ulama. 1

  Respon yang cukup positif ditunjukan oleh kelompok- kelompok Islam moderat, yang memunculkan lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan berbagai model. Model pertama, berupa sekolah-sekolah umum model Belanda tetapi diberi muatan Islam, misalnya sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Abdullah Ahmad di Padang pada tahun 1909. Model kedua, berupa lembaga pendidikan Islam yang menggunakan sistem madras (sistem kelas dan tingkat pendidikan), misalnya sekolah Diniyah Zainuddin Labay al-Yunusiyah, Sumatera Thawalib, Madrasah Jami’atul Khair, dan Manba’ul Ulum Surakarta. Model ketiga, berupa lembaga pendidikan Islam bebrbentuk salafiyah, yaitu pondok pesantren yang menggunakan metode mengajar secara tradisional dengan

  1 Azyumardi Azra, dalam Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, (Jakarta: Paramadina, 1997), h. xiii

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 45 Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 45

  ajaran Islam yang murni sesuai dengan ajaran Nabi Saw.

  Seiring dengan perkembangan zaman, tantangan yang dihadapi pondok pesantren semakin berat, kompleks, dan mendesak, sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tantangan itu menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran di lingkungan pesantren. Salah satu pergeseran yang cukup penting yang perlu diketahui secara mendalam yaitu pergeseran literatur di pesantren salafiyah. Penelitian tentang pondok pesantren selama ini sudah cukup banyak, namun penelitian yang khusus mengkaji tentang pergeseran literatur di pondok pesantren salafiyah masih sangat sedikit. Ulil Abshar Abdala dan Marzani Anwar pada tahun 1985 pernah mengadakan kajian tentang kitab kuning berkenaan dengan masalah fiqhiyah, namun hasilnya hanya terbatas pada sejumlah kitab saja dan tidak disertai motif dan latar belakangnya. Bruinessen juga telah mengadakan inventarisasi kitab-kitab kuning terpopuler yang digunakan di pesantren-pesantren tanah air, tetapi fokus kajiannya hanya terbatas pada tingkat penggunaan atau pemakain saja, sehingga aspek latar atau motif yang mendukung penggunaan kitab-kitab kuning tersebut belum terungkap dengan jelas. Penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Lektur keagamaan pada tahun 2004 di delapan pondok pesantren salafiyah di Jawa menyimpulkan bahwa sangat sulit menemukan kasus pergeseran literatur di pondok pesantren salafiyah karena pada umumnya penjenjangan kitab yang diajarkan di pondok pesantren salafiyah itu bersifat tetap (tsawabit) dan isi kitab lanjutan hampir semua bersifat pengulangan dari kitab sebelumnya (tikrari). Di dalam perjalanannya ditemukan adanya pergeseran literatur yang antara lain disebabkan oleh pergantian pengasuh, pengembangan wawasan, adanya lembaga kajian seperti bahsul masail dan sebagainya, namun hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai pergeseran literatur di pondok pesantren, penulis mengambil lokasi penelitian di Pesantren al-Anwariyyah

  46 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 46 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

B. Aspek-aspek Pergeseran Literatur

  Pergeseran literatur yang terjadi di Pesantren Al-Anwariyyah Desa Tegalgubug Lor, Cirebon ini meliputi aspek kepengarangan kitab, dan pemaknaan atau pemberian makna arti. Pergeseran pada aspek penggunaan kitab mencakup pergeseran pada jenis kitab yang digunakan, rumpun kitab yang digunakan, dan cara atau tehnik mengajarkan kitab. Pergeseran pada aspek jenis kitab yang digunakan mencakup perubahan penggunaan kitab dari kitab kuning ke kitab bukan kitab kuning, perubahan penggunaan kitab dari kitab yang menggunakan huruf Arab ke kitab yang ditulis bukan menggunakan huruf Arab, serta perubahan dari kitab yang non-mukhtashor ke kitab yang mukhtashor.

C. Pengarang Kitab

  Pergeseran literatur pada aspek pengarang kitab terjadi pada masa setelah kemerdekaan Indonesia (tahun 1945-sekarang). Pergeseran pada masa itu dibedakan atas dua periode yakni periode tahun 1945-1970 dan periode tahun 1971-2005. Pergeseran yang terjadi pada periode 1945-1970 berupa pengembangan kitab-kitab yang digunakan oleh para santri, yakni selain kitab yang dikarang oleh Ulama Timur Tengah (Arab) para santri juga menggunakan kitab yang dikarang oleh ulama Jawi, terutama kitab-kitab yang berkenaan dengan bidang Ilmu Fikih. Nama-nama ulama Jawi (Ulama Asia Tenggara) seperti Syeh Nawawi dari Banten, Syeh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Imam Syafi’i dari Sumatra, Mahmud Yunus dari Sumatra, dan Syeh Banjari dari Kalimantan, merupakan sederet ulama Jawi yang sangat besar peranannya dalam pengembangan Ilmu Agama Islam di Indonesia. Perlu juga dikemukakan bahwa pada periode 1945-1970 seiring munculnya toko-toko kitab di beberapa daerah di Indonesia, maka mulai bermunculan pula pengarang- pengarang lokal yang mengarang kitab, menyalin secara utuh, atau menyalin kitab dengan memberikan tambahan keterangan di dalamnya.

  Pada periode 1971-2005 pergeseran yang terjadi berupa pengembangan pengarang kitab dari periode sebelumnya. Pada

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 47 Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 47

D. Penerbit

  Pergeseran literatur pada aspek penerbit terjadi pada periode sesudah kemerdekaan. Pergeseran yang terjadi berupa penggunaan kitab-kitab yang diterbitkan oleh penerbit dari dalam negeri. Dahulu pada periode awal sampai dengan menjelang kemerdekaan, para santri relatif lebih banyak menggunakan kitab- kitab yang diterbitkan oleh penerbit asing, misalnya Dar Ibn Katsir Beirut, Dara al-Fikr Beirut, Dara al-Kutb Mesir, ‘Alam al-Kutb Beirut, Qasm al-‘Ibadat Beirut, Dar al-Ihya Mesir, Bombai, dan Wikalat Al- Muthawa’at Kuwait. Namun pada periode sesudah kemerdekaan, para santri banyak yang menggunakan kitab-kitab yang diterbitkan oleh penerbit lokal, misalnya Thoha Putra Semarang, Menara Kudus, Pustaka Al-Awaliyah Semarang, Dara al-Fikr Surabaya, Syarkat al- Ma’arif Bandung, Nur Asia Jakarta, dan Pustaka Progresif Jakarta.

E. Bidang Ilmu

  Pergeseran literatur pada aspek bidang ilmu terjadi sejak periode awal abad ke-20 hingga sekarang. Pada awal masa abad ke-20 bidang ilmu yang dikaji mengalami pergeseran dari bidang Ilmu Nahwu Sharaf dan tasawuf ke bidang Ilmu Fikih dan nahwu saraf. Pergeseran bidang ilmu yang dikaji ini sangat berkaitan erat dengan kemampuan atau penguasaan bidang ilmu dari pimpinan pesantren itu. Disamping itu, pergeseran ini juga terjadi akibat tuntutan perkembangan jaman dan trend pasar yang ada pada saat itu.

  Bidang Ilmu NahwuSharaf masih tetap dijadikan kajian pokok, karena bidang ilmu ini sangat penting dan menjadi dasar untuk penguasaan kitab-kitab selanjutnya. Santri yang lemah penguasaan nahwuSharafnya akan mengalami kesulitan untuk mempelajari, memahami, dan mendalami kitab-kitab dari bidang ilmu lainnya. Sebaliknya, santri yang kuat penguasaan nahwu

  48 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Sharafnya maka mereka akan relatif mudah untuk mempelajari, memahami, dan menguasai bidang-bidang ilmu lainnya. Meskipun demikian, para pengasuh pondok pesantren al-Anwariyyah sepakat bahwa tujuan utama pendidikan di pesantren itu bukan penguasaan nahwu Sharaf semata tetapi tujuan utamanya adalah agar santri dan seluruh warga pesantren itu memiliki akhlak mulia, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penguasaan bidang fikih sangat diperlukan dan ditekankan dalam proses pembelajaran di pesantren itu.

F. Penggunaan Kitab

  Pergeseran literatur pada aspek penggunaan kitab meliputi pergeseran pada jenis kitab yang digunakan, pergeseran pada rumpun kitab yang digunakan, pergeseran pada cara atau tehnik mengajarkan kitab.

1. Jenis Kitab

  Pergeseran literatur berkenaan dengan jenis kitab yang digunakan terjadi sejak awal abad ke-20 tetapi sangat jelas terlihat setelah kemerdekaan. Pergeseran itu ditandai dengan mulai digunakannya kitab-kitab yang bukan kitab kuning, yakni kitab-kitab yang ditulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. Pada masa awal berdiri, pengasuh pesantren al-Anwariyyah tidak pernah menggunakan kitab-kitab lain selain kitab kuning, baik yang menggunakan bahasa Arab maupun yang menggunakan bahasa Jawa. Kitab yang bukan kitab kuning digunakan oleh para santri untuk memperluas pengetahuan dan wawasannya agar tidak tertinggal dari dunia luar pesantren, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan ajaran Islam.

2. Rumpun Kitab

  Pada aspek rumpun kitab ini, pergeseran yang ditemukan hanya pada rumpun Kitab Fikih. Sebagaimana dijelaskan oleh Mudzar (1992:32), rumpun Kitab Fikih yang banyak digunakan oleh pengasuh pesantren di Indonesia bermuara pada empat rumpun kitab yakni kitab yang bermuara atau termasuk rumpun kitab Al- Muharrar karya Imam Rafi’i, rumpun Kitab Taqrib karya abu Syuja’, rumpun Kitab Muqaddimat Al-Hadramiyyah karya Ba Fadhal, dan rumpun Kitab Qurrah Al-‘Ain.

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 49

  Di Pesantren Al-Anwariyyah, pada masa awal berdiri sampai dengan pertengahan abad ke-20 para pengasuh lebih banyak menggunakan Kitab-kitab Fikih yang bermuara kepada Kitab Taqrib tetapi mereka juga menggunakan sebagian dari rumpun kitab lainnya, seperti Syarah ‘Ala Ba Fadhal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh orientasi politik kyai Anwar yang ingin membebaskan masyarakat dari tekanan penjajah. Kyai Anwar menyadari benar dampak negatif dari politik Devide et impera yang diterapkan penjajah pada masa itu, sehingga ia menganggap perlu membentengi masyarakat dari upaya memecah belah itu dengan memperkuat kesadaran perlunya mempertebal rasa percaya diri dan nasionalisme yang tinggi pada diri masyarakat, khususnya masyarakat Tegalgubug. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan mengajarkan Kitab-kitab Fikih yang memuat ajaran tentang perlunya mempertebal rasa percaya diri dan cinta tanah air, agama dan bangsanya, dan jenis kitab yang dipilih adalah kitab- kitab yang termasuk dalam rumpun tersebut, misalnya Kitab Fath Al-Qarib, Kifayat Al-Akhyar, dan Hasyiyah Al-Bajuri.

  Namun pada perkembangannya, ada pergeseran literatur yang digunakan. Pergeseran yang terjadi berupa pengembangan jenis kitan dari rumpun yang berbeda. Rumpun kitab yang digunakan oleh para pengasuh sesudah Indonesia merdeka bertambah dengan digunakannya kitab-kitab dari rumpun Qurrah Al-‘ain, seperti Kitab Fath Al-Mu’in, Nihayah Az-zain, dan I’anah Ath-Thalibin. Kitab-kitab itu dianggap lebih tepat untuk diajarkan kepada santri, khusunya dalam rangka membangun kepercayaan dan kepatuhan yang tinggi kepada guru, pengasuh, dan orang-orang terhormat, baik yang ada di dalam maupun diluar pesantren.

3. CaraTehnik Pengajaran Kitab

  Pergeseran pada cara atau tehnik pengajaran kitab terjadi pada tahun 1970-an, sebagai konsekuensi logis dari pemberlakuan sistem madras di pesantren itu. Pemberlakuan sistem madras menuntut adanya pengelompokan-pengelompokan siswa menurut kategori tertentu, misalnya menurut jenis kitab yang dipelajari, menurt waktu tertentu, dan menurut ketentuan yang disyaratkan di pesantren itu. Hal ini membuat tugas pengasuh menjadi

  50 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 50 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Pendelegasian wewenang mengajar dari pengasuh ke para ustadz atau santri senior ini, pada masa awal pendirian pesantren ini sampai menjelang tahun 1970-an tidak pernah terjadi secara jelas. Alasan yang bisa dikemukakan di antaranya jumlah santri yang ada pada waktu itu terlalu banyak, dan jadwal pengajaran tidak terlalu padat, sehingga dapat dikerjakan sendiri oleh pengasuh. Namun demikian, tidak berarti bahwa pengasuh tidak pernah menyuruh santrinya untuk membantu mengajar. Pengasuh sangat selektif untuk memberikan kesempatan kepada santrinya yang dianggap mampu untuk membantu mengajar, karena pengasuh khwatir terjadi salah pemahaman akibat salah penjelasan.

G. Dampak Pergeseran Literatur terhadap Hubungan Kyai-Santri, PemikiranPemahaman Keagamaan, dan Pelaksanaan Ritual Keagamaan.

  Ajaran agama pada dasarnya bersumber pada teks-teks suci. Berupaya mengenal, mengetahui, memahami, dan mengamalkan ajaran agama berarti berusaha mengenal, mengetahui, memahami, dan mengamalkan isi dari teks-teks suci tersebut. Ajaran agama pada umumnya diabadikan dalam bentuk lektur keagamaan. Dengan demikian, memahami lektur keagamaan dapat dikatakan memahami lektur dari teks-teks suci. Sehingga dapat dipahami apabila lektur keagamaan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan keberagamaan seseorang atau masyarakat.

  Budaya masyarakat pada kenyataannya tidak pernah

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 51 Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 51

  Perbedaan penafsiran itu sangat bergantung pada kemampuan menafsirkan dari pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk itu, misalnya, kyai, pengasuh, dan ustadz. Manakala mereka melakukan penafsiran baru atau melakukan elaborasi pemahaman

  barang tentu dengan sendirinya akan diikuti oleh para santri dan masyarakat pengikutnya. Kyai merupakan tokoh sentral atau tokoh panutan bagi santri dan masyarakat disekitarnya. Sementara itu, kyai juga sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal tersebut adalah latar belakang kehidupan keluarga, latar belakang pendidikan, latar belakang sosio-kultural, dan daya nalarnya, sedangkan faktor eksternal berupa kondisi lingkungan, kondisi politik, ekonomi, paham yang dianut, tuntutan masyarakat, trend pasar, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya.

  Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut para pemuka agama, ulama, kyai di pesantren untuk menentukan sikap dan memberikan respon terhadap perkembangan tersebut. Karena keterbatasan sumber rujukan dan pengetahuan yang dimiliki maka mau tidak mau mereka harus mencari sumber rujukan lain atau melakukan upaya reinterpretasi terhadap referensi yang dimiliki, untuk dijadikan pedoman dalam pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan keagamaan.

  Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memacu pertumbuhan literatur keislaman, yang ditandai dengan samakin

  52 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 52 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Walaupun demikian, pada perkembangannya para pengelola pesantren dihadapkan pada berbagai persoalan yang menuntut untuk dijelaskan secara baik berdasarkan rujukan kitab-kitab yang ada. Oleh karena berbagai keterbatasan yang ada padanya seringkali mereka harus melakukan penafsiran-penafsiran baru atas kitab yang menjadi rujukannya atau mencari di dalam kitab-kitab yang lain. Tuntuta perkembangan zaman yang semakin kuat dan kompleks, serta trend pasar yang berkembang di kalangan santri, telah “memaksa” pengelola pesantren melakukan penyesuasian- penyesuaian agar tetap eksis di tengah persaingan global yang semakin ketat.

H. Dampak Pergeseran Literatur Terhadap Hubungan Santri dan Pengasuh

  Pergeseran literatur yang terjadi di Pesantren Al-Anwariyyah ini ternyata telah menimbulkan dampak terhadap hubungan santri dan pengasuh atau sebaliknya. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada masa awal berdiri, pesantren Al-Anwariyyah dipimpin oleh Kyai Anwar Salifah (Asyaikh al-Alim al-Fadhil Kyai Haji Anwar Salifah). Pada masa kepemimpinan KH. Anwar Salifah itu, menurut penuturan pengasuh pesantren dan para ustadz, jarak hubungan santri dan pengasuh cukup jauh. Gejala itu dirasakan oleh para santri yang pernah “Mondok” ditempat itu. Hal itu terjadi karena kultur masyarakat pada masa itu, yang masih sangat kental dengan warisan Hindu-Jawa, dan sistem pembelajaran yang masih bersifat

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 53 Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 53

  Kultur masyarakat Jawa yang masih menerapkan sistem stratifikasi sosial ala Hindu-Jawa, menjadi figur kyai sebagai tokoh sentral yang sangat dihormati. Kyai dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan sehingga doanya lebih didengar Tuhan dibandingakan dengan doa orang biasa. Oleh karena itu pada kultur masyarakat Hindu-Jawa, sosok kyai menempati posisi paling atas dan sangat dihormati. Selain itu, sistem pembelajaran yang masih tradisional, menempatkan figur kyai menjadi sangat penting dan sentral.

  Sikap penghormatan yang berlebihan kepada kyai pada masa itu ternyata telah menumbuhkan sikap “paternalistik” yang sangat kuat di kalangan santri. Di Pesantren Al-Anwariyyah hal itu semakin diperkuat oleh kelebihan yang dimiliki KH. Anwar Salifah di bidang supranatural (kadigjayaan). Sikap penghormatan yang tinggi itu kemudian diwariskan secara terus-menerus kepada generasi berikutnya. Salah satu media pewarisan kultur “paternalistik” yang sangat strategis adalah dengan literatur KH. Anwar Salifah menggunakan literatur berupa kitab-kitab tertentu untuk membentuk sikap dan perilaku santri, termasuk sikap penghormatan yang tinggi kepada kyai dan pengasuh lainnya.

  Kitab-kitab yang digunakan oleh KH. Anwar Salifah untuk membentuk sikap dan perilaku santri agar senantiasa hormat terhadap kyai dan pengasuh lainnya, di antaranya adalah Kitab Ta’lim Muta’alim, Fathul Mu’in, Fathul Qarib, Sulam Al-Taufiq, Safinah, Bidayat al-Mijtahid, Bafadhal, Risalatul Mahidl, Qawaid al-I’rab, Munjiat al-Qulub, Tafsir Jalalain, dan sebagainya. Meskipun kitab- kitab itu ada yang tidak secara jelas memuat tentang keharusan santri hormat kepada kyai, tetapi secara tersirat telah dipahami bahwa isi kitab itu ada tuntutan untuk menghormati kyai. Selain itu, KH. Anwar Salifah juga mempergunakan kitab yang ditulis sendiri berupa kitab berbahasa Jawa dengan huruf Arab (pegon) yang diambil dari berbagai sumber kitab-kitab klasik, di antaranya Kitab Sabil al-Hidayat dan Kitab Fasholatan. Kitab ini pada awalnya masih berupa tulisan lepas, kemudian oleh putranya yang bernama Muhammad Arsyad Amir, tulisan-tulisan itu dikumpulkan menjadi satu kitab yang oleh KH. Anwar Salifah diberi nama Sabil al-Hidayat. Kitab-kitab tersebut diajarkan oleh KH. Anwar dengan metode

  54 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 54 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Dampak dari diajarkannya kitab-kitab itu, para santri di Pesantren Al-Anwariyyah menjadi sangat tawadhu’ (patuh) kepada kyai dan pengasuh lainnya. Para santri tidak berani mengkritisi isi kitab yang sedang diajarkan oleh kyai. Pada umumnya para santri menganggap hal itu sudah baku atau hadisi, sehingga tidak boleh dikritisi oleh siapapun. Bahkan, dampak lain dari penerapan ajaran dalam kitab-kitab itu di kalangan santri berupa rasa takut untuk merangkap sekolah di sekolah umum karena ada larangan, bahkan intimidasi, dari pengasuh atau ustadz di pesantren itu kepada santri yang ingin sekolah di sekolah umum. Di kalangan pesantren pada masa itu berkembang image atau anggapan bahwa sekolah umum adalah milik pemerintah Belanda, yang identik dengan milik orang kafir, sehingga orang muslim dilarang masuk sekolah umum. Anggapan seperti itu masih ada hingga sesudah kemerdekaan (sekitar tahun 60-an). Disamping itu, karena KH. Anwar Salifah juga memiliki ilmu kedigjayaan atau kesaktian, maka tidak ada santri yang berani untuk menentangnya.

  Sejak berdiri hingga kemerdekaan Indonesia, di pondok pesantren Al-Anwariyyah telah terjadi empat kali pergantian pengasuh. Pengasuh pengganti dari KH. Anwar Salifah adalah KH.R. Rafi’i bin KH. Idris. Dia adalah menantu KH. Anwar Salifah. Pengganti berikutnya adalah KH. Abdullah bin KH. Anwar Salifah, kemudian dilanjutkan oleh KH. Muhammad Arsyad Amir bin KH. Anwar Salifah (adik KH. Abdullah). Pada masa kepemimpinan KHR. Rafi’i, KH. Abdullah, dan KH. Muhammad Arsyad, hubungan santri dan pengasuh masih relatif sama dengan masa sebelumnya dilihat dari tingkat ketawadlu’annya kepada kyai, karena kitab-kitab yang digunakan oleh KHR. Rafi’i, KH. Abdullah, dan KH. Muhammad Arsyad, juga hampir sama dengan kitab-kitab yang digunkan pada masa KH. Anwar Salifah.

  Pergeseran yang terjadi pada masa itu hanya pada penambahan jenis kitab yang dikaji oleh para ustadz dan pengasuh. Pada masa kepemimpinan KH. Anwar, jenis kitab yang dikaji ditekankan Kitab-kitab Fikih dan Kitab-kitab Tasawuf, namun dalam perkembangannya Kitab-kitab Tasawuf kurang mendapat penekanan oleh penerusnya dan lebih menekankan pada Kitab- kitab Fikih. Hal berdasarkan anggapan bahwa Kitab-kitab Fikih

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 55 Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 55

  Hubungan santri dan pengasuh di Pesantren al-Anwariyyah mulai mengalami sedikit pergeseran sejak masa kepemimpinan KH. Sofwan, KH. Ahmad Amin, KH. Zaini Siradj, dan KH. Rahmatullah (sekarang). Pada masa kepemimpinan kyai-kyai tersebut, pola pendidikan di pesantren telah mengalami perubahan. Apalagi pada masa sebelumnya kegiatan pembelajaran dilakukan dengan pola diniyah (keagamaan) murni salaf atau tradisional, maka pada masa kepemimpinan kyai-kyai tersebut mulai mengadopsi sistem pembelajaran sekolah dengan ciri-ciri siswa dikelompokkan secara klasikal dalam satu jenjang tertentu, dan kurikulumnya disusun dalam kurun waktu tertentu (tahunan dan semester), dan dimulai kajian-kajian. Dampak dari hal tersebut terhadap hubungan santri dan pengasuh adalah pemberlakuan sistem sekolah memberikan ruang gerak yang lebih luas kepada santri untuk mengembangkan diri dan mengurangi ketergantungan dirinya terhadap pengasuh. Walaupun demikian, hal itu tidak serta merta terjadi begitu saja namun melalui proses yang sangat panjang dan memerlukan keberanian dari para santri untuk melakukannya. Kualitas pengembangan diri santri sangat ditentukan oleh keberanian dirinya untuk mencari referensi literatur kitab yang berbeda dengan kitab yang menjadi rujukan para pengasuhnya, misalnya dalam kegiatan kajian atau bahsul masail. Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa pemberlakuan sistem sekolah menjadikan hubungan santri dan pengasuh menjadi semakin longgar.

  Pergeseran hubungan santri dan pengasuh itu juga terjadi pada sistem sekolah dengan tuntutan adanya sistem pembagian waktu yang cukup ketat dan pemberian materi yang cukup beragam, yang tidak mungkin dilakukan sendiri oleh pengasuh. Dengan demikian, perlu adanya pendelegasian kewenangan dari

  56 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 56 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Perubahan pola hubungan santri dan pengasuh ini juga terkait dengan perubahan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di luar pondok. Sejak masa kepemimpinan KH. Shofwan, tepatnya ketika Desa Tegalgubug dipimpin oleh kepala desa atau kuwu KH. Munaji bin KH. Muqayyim, perkembangan perekonomian masyarakat semakin meningkat. Perlu dikemukakan bahwa mayoritas masyarakat Tegalgubug pada masa itu hingga sekarang memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Pada mulanya masyarakat berdagang kipas dari kain, kemudian berkembang menjadi berdagang kain atau sandang “BS”6, dan sekarang masyarakat mulai mengembangkan usahanya menjadi pengusaha kain dan sandang, yang sudah dikenal di berbagai pelosok Indonesia. Bahkan, pasar sandang di desa ini, menurut masyarakat setempat, merupakan pasar tradisional khusus sandang tingkat desa terbesar di Asia Tenggara.

  Peningkatan perekonomian masyarakat desa tersebut ternyata mempengaruhi orientasi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di lingkungan pesantren. Pada masa sebelumnya, orientasi kehidupan masyarakat terfokus pada pengembangan kehidupan pokok pesantren namun sejak perekonomian masyarakat maningkat fokus orientasi kehidupan masyarakat terpecah menjadi dua. Sebagian anggota masyarakat yang secara genealogis dan intelektual terkait langsung dengan tanggung Jawab atas keberlangsungan pondok pesantren maka ia lebih menekuni upaya pengembangan pondok pesantren. Adapun sebagian anggota masyarakat lainnya yang kurang memiliki kemampuan dalam bidang keagamaan dan tidak memiliki hubungan

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 57 Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 57

  Santri “nduduk” atau santri pribumi, banyak yang terlibat dalam kegiatan perekonomian bersama dengan para ustadz dan pengasuh. Para santri-santri tersebut bukan sebagian pemain utama tetapi hanya sebagai pembantu, misalnya membantu menjaga barang dagangan, membantu mengangkat atau menurunkan barang, membantu mengantarkan barang dagangan ke konsumen dan sebagainya. Bahkan tidak sedikit santri yang dipercaya ustadz atau pengasuh untuk mengurus pengelolaan barang dagangan, mulai dari mencari barang dagangan atau kulakan (JW), dan menjual kembali barang dagangan itu. Peran santri disesuaikan dengan kemampuan dan waktu yang dimiliki para santri itu. Para santri senior pada umumnya memiliki kemampuan yang lebih baik dan waktu luang yang lebih banyak untuk membantu kegiatan ekonomi pengasuh atau ustadz dibandingkan dengan santri yunior. Oleh karena itu, hubungan santri senior relatif lebih intens (akrab) dengan para pengasuh atau ustadz dibandingkan dengan santri yunior. Hal itu sangat berbeda dengan pengasuh atau dengan para ustadz pada masa kepemimpinan KH. Anwar hingga sebelum kemerdekaan.

  Ada fenomena menarik dari konteks hubungan santri dan pengasuh atau ustadz di Pesantren Al-Anwariyyah. Santri atau ustadz (lokal maupun pendatang) yang sudah merasa berhasil dalam bidang ekonomi maka dia kurang tertarik untuk bersaing memperebutkan kursi kepemimpinan dalam kepengurusan di pesantren. Sebagian di antara mereka justru lebih tertarik untuk menekuni bidang ekonomi daripada menjadi pemimpin di pesantren. Alasannya, menjadi pemimpin pesantren harus mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk pesantren, sehingga hampir tidak ada waktu untuk menekuni bidang ekonomi. Meskipun demikian, karena pada umumnya mereka memiliki harta yang cukup dan memiliki hubungan geneologis dengan pengasuh pesantren maka mereka lebih senang membantu untuk kepentingan pesantren tanpa mengharapkan imbalan baik materi maupun non materi. Bahkan

  58 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 58 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  

I. Dampak Pergeseran Literatur terhadap Pola Pemikiran Pemahaman Keagamaan

  Pergeseran penggunaan literatur di Pesantren Al-Anwariyyah Tegalgubug Lor, Cirebon ini juga berdampak pada aspek pemikiran atau pemahaman keagamaan dari para santri di daerah itu. Dampak yang dirasakan dari adanya pergeseran penggunaan literatur itu berupa terbukanya peluang yang semakin luas bagi santri untuk mengembangkan pemikiranpemahamannya tentang isi kitab-kitab klasik yang dipelajarinya untuk menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi. Di kalangan santri mulai tumbuh kesadaran bahwa pemikiran dan pemahaman yang disampaikan oleh pengasuh bukan satu-satunya pilihan untuk diyakini kebenarannya. Mereka mulai memiliki keberanian untuk mencari rujukan lain selain rujukan yang dipergunakan oleh pengasuh. Hal itu terutama terjadi di kalangan santri senior karena mereka telah diberi keleluasaan oleh pengasuh untuk mengembangkan kemampuannya dalam hal memahami isi kitab.

  Pergeseran penggunaan literatur juga berdampak secara terbatas pada sikab santri dalam memahami isi kitab-kitab klasik. Santri menjadi semakin kritis dalam menafsirkan isi atau kandungan kitab-kitab yang dipelajarinya, termasuk Kitab Suci Al-Qur’an. Salah satu contoh sikap kritis itu diperlihatkan ketika membahas tafsir dalam bahtsul masa’il, misalnya ketika menafsirkan kata quru’ dalam QS. Al-Baqarah [2]:288 yang arti selengkapnya, “wanita- wanita yang dicerai hendaklah menahan dirinya (menunggu) tiga kali quru’….”. di dalam ayat ini kta quru’ berifat ambigu atau masytarakah (mempunyai arti lebih dari satu). Kata itu bisa berarti menstruasi (haydh) dan dapat pula berarti dalam keadaan suci (thuhr). Untuk mencari pemahaman atas kata itu mereka merujuk kepada para ahli terdahulu. Umar ibn Khattab, Ali bin

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 59

  Abi Thalib, Ibn Mas’ud, dan Abu Musa Al-Asy’ari, menafsirkan kata “aqra” (bentuk tunggal, mufrad dari kata quru’) dengan tafsiran menstruasi (haydh). Tafsiran itu juga dipegangi oleh Sa’id Al- Musayyab, Atha’, dan beberapa kelompok tabi’in serta sejumlah ahli hukum Islam lainnya. Di pihak lain, Aisyah, Zayd Ibn Tsabit dan Ibn Umar meriwayatkan bahwa mereka menafsirkan kata “aqra” yang terdapat pada ayat di atas dengan tafsiran masa suci serta di antara menstruasi (athhar). Perbedaan tafsiran mengenai ayat hukum di atas berakibat terjadinya perbedaan dalam penentuan masa iddah (menunggu) bagi seorang wanita yang dicerai. Menurut tafsiran pertama, masa iddah itu adalah setelah usainya menstruasi ketiga, sedangkan menurut tafsiran kedua, masa iddah selesai dengan dimulainya menstruasi ke tiga. Menyikapi perbedaan pendapat ini, para santri senantiasa berusaha mencari rujukan yang lebih kuat dalam kitab-kitab yang ada, meskipun dalam praktek seringkali pada akhirnya harus mengikuti pendapat kyai atau pengasuh. Contoh lainnya yakni dalam menyikapi persoalan adzan dan iqamat bagi mayat yang akan dikubur. Di beberapa daerah di Jawa masih banyak warga masyarakat yang melakukan adzan dan iqomat ketika mengubur mayat. Mereka yang melaksanakan hal itu berpendapat bahwa tidak ditemukan larangan untuk melakukannya selama niat melakukan hal itu untuk kebaikan si mayat dan orang yang melayat, sedangkan pihak yang tidak melaksanakannya berpendapat bahwa melakukan hal itu termasuk Bid’ah (melakukan sesuatu yang tidak ada dasarnya) dan ada larangan melakukan hal-hal yang bersifat bid’ah. Perbedaan pendapat yang terjadi di masyarakat akibat perbedaan penafsiran terhadap kitab-kitab rujukan itu menuntut adanya sikap kritis santri dalam memberikan penjelasan dan kepastian hukum atas berbagai persoalan yang dihadapinya.

  Dalam menyikapi perbedaan penafsiran terhadap isi kitab itu para santri tidak hanya mencari rujukan dari kitab-kitab yang bermadzhab Syafi’i (dalam hal Fikih) tetapi juga mencari kitab-kitab yang bermadzhab lain, misalnya Madzhab Hanbali (Imam Ahmad Bin Hanbal), Hanafi (Imam Abu Hanifah), dan Imam Maliki (Imam Malik). Sikap itu diperbolehkan oleh pengasuh selama hanya dalam tataran wacana pemikiran atau pemahaman. Sikap itu diperlukan santri untuk pengayaan pengetahuan dan keilmuan.

  Sikap kritis santri di Pesantren Al-Anwariyah juga terlihat

  60 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  ketika memilih pengarang kitab, penerbit, bidang studiilmu yang ditekuni, jenis kitab yang dipelajari, penggunaan bahasa, rumpun kitab yang dipelajari, dan tehnik mempelajari kitab-kitab klasik. Dahulu ketika pesantren ini di pimpun oleh KH. Anwar Salifa, kitab-kitab yang dipelajari santri hampir seluruhnya dikarang oleh pengarang-pengarang asing (Arab), sebab pada masa itu belum banyak kitab-kitab yang dikarang oleh pengarang lokal (Indonesia) dan ada kesulitan bagi santri untuk memperolehnya. Pada saat sekarang, kitab-kitab yang dibutuhkan santri sudah tersedia cukup banyak di toko-toko kitab. Dengan cukup tersedianya berbagai kitab klasik dan kontemporer itu, ternyata sebagian santri terutama santri yunior lebih tertarik untuk mencari kitab-kitab yang dikarang oleh pengarang dalam negeri. Alasan mereka terutama karena kitab-kitab yang dikarang oleh pengarang lokal atau dalam negeri harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan kitab-kitab yang dikarang oleh pengarang asing. Selain itu, mereka menganggap bahwa kitab-kitab yang dikarang oleh pengarang lokal relatif lebih mudah diperoleh di toko bukukitab. Demikian pula dalam hal penerbit, sebagian santri khusunya santri yunior juga lebih tertarik untuk mencari kitab yang diterbitkan oleh penerbit dalam negeri, misalnya Thoha Putra Semarang, Menara Kudus, Dar Al- Fikr Surabaya, Pustaka Al-Alawiyah Semarang, Pustaka Progresif Jakarta, dan sebagainya.

  Pergeseran penggunaan literatur di pesantren ini juga berpengaruh terhadap pemahaman santri dalam bidang studi ilmu yang dipelajarinya. Pada masa kepemimpinan KH. Anwar Salifa, kitabliteratur yang digunakan lebih banyak berkaitan dengan bidang ilmu tasawuf sedangkan pada masa sekarang (kepemimpinan KH. Rahmatullah) kitabliteratur yang digunakan lebih banyak berkaitan dengan bidang Ilmu Fikih. Perubahan bidang ilmu yang menjadi pusat perhatian pengasuh ini menjadikan perhatian santri juga terpengaruh. Perhatian santri yang pada masa lalu lebih terfokus pada bidang tasawuf, pada saat ini berubah menjadi lebih banyak mempelajari Kitab-kitab Fikih. Dengan demikian, santri pada saat sekarang tentunya lebih menguasai Ilmu Fikih dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Kitab-kitab Tasawuf menurut para santri relatif lebih sulit dipahami, sebaliknya Kitab- kitab Fikih selain lebih mudah dipelajari juga dianggap lebih

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 61 Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 61

  Dalam hal penggunaan bahasa, menurut sebagian santri, yang penting dapat dengan mudah dipahami. Penggunaan bahasa yang mudah dipahami lebih diminati daripada penggunaan bahasa yang berbelit-belit, tanpa mengurangi esensi dari isi kitab yang dipelajari. Pada masa awal berdiri, pengasuh (KH. Anwar Salifa) lebih sering menggunakan kitab-kitab klasik berbahasa Arab dengan penjelasannya menggunakan bahasa Jawa, sedangkan pada masa sekarang, para pengasuh atau ustadz masih menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab tetapi penjelasannya kadang-kadang menggunakan bahasa Indonesia. Adapun di kalangan santri sekarang, untuk santri yunior, kadang-kadang menggunakan kitab terjemahan dan penjelasannya menggunakan bahasa Indonesia dan Jawa. Hanya sebagian kecil saja yang masih menggunakan bahasa Jawa.

  Dalam hal rumpun kitab yang dipelajari, ada kecenderungan dari pengasuh untuk menggunakan kitab-kitab dari rumpun yang disepakati oleh penganut paham Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam bidang fikih, misalnya, pengasuh di Pesantren Al-anwariyah lebih memilih menggunakan kitab-kitab dari rumpun Al-Muharra karya Imam Rafi’i, rumpun Taqrib karya Abu Syuja’, rumpun Muqaddimat Al-Hadramiyah, dan rumpun Qurrah Al-‘Ain karya Zainuddin Al- Malibari. Meskipun demikian, tidak semua Kitab-kitab Fikih dari keempat rumpun itu digunakan, misalnya, Kitab Tuhfah al-mahtaj, mughni al-muhtaj, taqrir, dan tuhfah al-habib.

J. Dampak Pergeseran Literatur pada Pelaksanaan Ritual

Keagamaan

  Terjadinya pergeseran literatur dalam berbagai aspek itu, selain berdampak pada hubungan santri dengan pengasuh atau sebaliknya, dan pada pemikiran atau pemahaman keagamaan santri, juga ada yang berdampak pada pelaksanaan ritual keagamaan.

62 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Dampak pergeseran itu dapat berupa perubahan perilaku dalam melaksanakan praktek ritual keagamaan, misalnya praktek peribadatan shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunah.

  Perubahan dalam pelaksanaan shalat wajib akibat pemahaman yang berubah, misalnya ketika membaca Surat al- Fatihah pada awal masing-masing rakaat. Dahulu ada pemahaman bahwa membaca Surat al-Fatihah boleh dilakukan secara terus- menerus atau bersambung, namun setelah mereka mempelajari isi Kitab Sabilul Hidayah karya Muhammad Arsyad Amir, ternyata cara membaca seperti itu tidak benar, sehingga sejak saat itu para imam dan makmum di Pesantren al-Anwariyah selalu membaca al-Fatihah dengan cara membaca ayat demi ayat secara terpisah atau tidak bersambung. Mereka menyatakan bahwa membaca al- Fatihah harus memenuhi syarat yakni berhenti karena ada tanda qolla atau alwaqfu ‘aula yang artinya utama diam di akhir ayat. Perubahan pemahaman tentang cara membaca Surat al-Fatihah yang diikuti dengan perubahan perilaku tersebut menunjukkan adanya pergeseran dalam pelaksanaan ritual keagamaan yang disebabkan oleh pergeseran dalam pemahaman isi literatur.

  Selain itu, perubahan perilaku pada pelaksanaan ritual shalat juga terjadi ketika ada halangan, yakni ketika belum selesai dalam membaca Surat al-Fatihah sampai membaca amin kemudian mengalami bersin. Dahulu memiliki pemahaman bahwa ketika sedang membaca al-Fatihah kemudian mengalami bersin maka sebaiknya segera mengucapkan “alhamdulillah” lalu melanjutkan membaca ayat lainnya yang belum selesai. Namun pemahaman itu berubah karena di dalam Kitab Sabilul Hidayah dijelaskan bahwa apabila sedang membaca al-Fatihah kemudian mengalami bersin maka tidak dibenarkan mengucapkan kata-kata yang lain, misalnya kata “alhamdulillah”, subhanallah, “innalillah”, dan sebagainya. Jadi, seandainya ada seseorang sedang melakukan shalat dan dia membaca surat al-fatihah kemudian dia mengalami bersin atau lainnya, dan dia mengucapkan “alhamdulillah”, maka bacaan Surat al-Fatihahnya tidak sah dan harus diulang. Perubahan perilaku tersebut menunjukkan adanya dampak dari terjadinya pergeseran literatur pada aspek pemahaman isi kitab.

  Dampak pergeseran literatur terhadap pelaksanaan ritual keagamaan lainnya adalah dalam pelaksanaan Shalat Tarawih.

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 63

  Dilihat dari jumlah rakaatnya, ada perbedaan pelaksanaan Shalat Tarawih di lingkungan pesantren ini. Dahulu semua santri, ustadz dan pengasuh di pesantren ini melaksanakan Shalat Tarawih dengan dua puluh rakaat ditambah wirid tiga rakaat atau lima rakaat atau tujuh rakaat sehingga menjadi dua puluh tiga rakaat, atau dua puluh lima rakaat, atau dua puluh tujuh rakaat, tetapi kebanyakan para santri di pesantren ini melaksanakan Shalat Tarawih dua puluh rakaat ditambah Shalat Witir tiga rakaat sehingga menjadi dua puluh tiga rakaat. Akibat dari berkembangnya pemahaman keagamaan di kalangan santri, khususnya tentang pelaksanaan Shalat Tarawih, maka di kalangan santri sekarang ada yang melaksanakan Shalat Tarawih dengan delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat, sesuatu hal yang tidak lazim dilakukan oleh santri di pesantren salafiyah pada umumnya. Pelaksanaan Shalat Tarawih yang dilakukan oleh penghuni pesantren pada umumnya adalah sebagaimana yang dilakukan kebanyakan orang yang berpaham Ahlussunnah wal Jamaah dari organisasi Nahdhatul Ulama. Dengan demikian, hal itu menunjukkan adanya pergeseran perilaku ritual keagamaan akibat adanya pergeseran pemahaman terhadap isi literatur di pesantren ini.

K. Penutup

  Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, (1) Di Pesantren Slafiyah Al-Anwariyah desa Tegalgubug Lor, Kecamatan Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, telah terjadi pergeseran literatur secara terbatas. Pergeseran yang terjadi mencakup perubahan pada aspek kepengarangan, kepenerbitan, bidang keilmuan, dan penggunaan kitab. Pergeseran pada aspek kepengarangan kitab berkenaan dengan keasalan kepengarangan kitab, yakni dari pengarang kitab asing ke pengarang kitab dalam negeri (lokal). Pergeseran pada aspek kepenerbitan juga berkenaan dengan keasalan penerbit kitab, yakni dari penerbit asing ke penerbit dalam negeri (lokal). Pergeseran pada aspek bidang keilmuan berkenaan dengan jenis bidang ilmu yang menjadi penekanan, yakni dari bidang ilmu tasawuf dan nahwusaraf. Pergeseran aspek penggunaan kitab berkenaan dengan jenis kitab yang digunakan, rumpun kitab yang digunakan, dan cara atau tehnik pengajaran kitab oleh guruustadzpengasuh kepada santri. Pergeseran pada

64 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  jenis kitab mencakup pergeseran dari jenis kitab kuning ke kitab bukan kuning (kontemporer) dan pergeseran dari kitab berbahasa Arab ke kitab berbahasa Jawa atau Indonesia. Pergeseran pada rumpun kitab berkenaan dengan pergeseran pada rumpun Kitab Fikih, mencakup pergeseran dari Kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i, Taqrib karya Abu Syuja’, dan Muqadimat al-Hadramiyah, ke rumpun Kitab Qurrah al-‘Ain karya Zainuddin al-Malibari. Meskipun demikian, pergeseran itu tidak mencakup semua jenis kitab dari rumpun-rumpun tersebut melainkan hanya jenis-jenis kitab tertentu. Pergeseran pada cara atau tehnik mengajarkan kitab mencakup pergeseran dalam pemberian arti, yakni dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia, dan pergeseran dalam penggunaan kitab, yakni dari kitab asli ke kitab terjemahan. Kedua pergeseran itu hanya terbatas pada santri yunior atau tingkat dasar. (2) Pergeseran literatur di Pesantren Al-Anwariyah terjadi dalam rentang waktu yang cukup panjang. Pergeseran itu secra umum dikelompokkan dalam empat periode atau fase perubahan, yakni periode pertama, yakni periode awal berdiri (1809) sampai akhir abad ke-19 (1899). Periode kedua, yakni periode awal abad ke-20 (1900) samapai menjelang kemerdekaan (1945). Periode ketiga, yakni periode awal kemerdekaan sampai tahun 1970-an. Periode ke empat, yakni periode sesudah berlakunya sistem madras tahun 1970 sampai sekarang (2005). (3) pergeseran literatur di Pesantren Al-anwariyah disebabkan oleh paling tidak tiga hal, yakni pergantian kepemimpinan di pesantren itu, tuntutan perkembangan zaman, dan trend pasar yang berkembang pada saat itu. Pergantian pimpinan di Pesantren Al-Anwariyah telah terjadi berkali-kali. Nama-nama Pimpinan Pesantren Al-Anwariyah sejak pertama hingga hingga terakhir adalah KH. Anwar Salifah (pendiri), KH. Rafi’i (menantu KH. Anwar Salifah), KH. Abdullah (putra KH. Anwar Salifah), KH. Muhammad Arsyad Amir (putra KH. Rafi’i), KH. Ahmad Amin (putra KH. Muhammad Arsyad Amir), KH. Shofwan (adik KH. Ahmad Amin, putra KH. Muhammad Arsyad Amir,), KH. Zaini Siradj (menantu KH. Muhammad Arsyad Amir), dan KH. Rahmatullah (sekarang). Tuntutan perkembangan zaman menghendaki agar pesantren itu melakukan penyesuaian-penyesuaian, khsusnya tentang sistem pendidikan yang diterapkan agar pesantren itu tetap diminati oleh masyarakat. Selain itu, trend pasar juga menghendaki agar santri

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 65 Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 65

  Pergeseran literatur di Pesantren Al-Anwariyyah telah berdampak pada empat aspek, yakni aspek hubungan santri dengan pengasuh atau sebaliknya, aspek pemikiran atau pemahaman keagamaan santri, aspek pelaksanaan ritual keagamaan, pemahaman isi kitab, menyebabkan terjadinya perubahan secara terbatas sikap santri terhadap pimpinan dan pengasuh pesantren. Sikap santri berubah dari tawadlu’ yang asal taatpatuh menjadi tawadlu’ yang rasional. Penambahan pengetahuan atau penafsiran isi berbagai kitab yang dibacadikaji juga menyebabkan terjadinya pengembangan pemikiran atau pemahaman santri terhadap berbagai permasalahan aktual yang terjadi di mayarakat. Pergeseran literatur juga berdampak pada pelaksanaan ritual keagamaan di pesantren itu, misalnya dalam praktek pelaksanaan peribadatan shalat, baik wajib maupun sunah. Di samping itu, pergeseran literatur juga berdampak pada tanggapan santri atas terjadinya pergeseran itu. Pada umumnya santri menanggapi positif terjadinya pergeseran itu, karena terjadinya pergeseran itu membuat santri semakin leluasa menentukan pilihan dan semakin tidak tergantung pada salah satu sumber belajar yaitu pengasuh saja melainkan juga dari referensi-referensi lain yang dapat dibaca atau diperolehnya dengan mudah.

66 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

DAFTAR PUSTAKA

  Aceh, Aboebakar. Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Solo:

  Penerbit Ramadhani, 1985 Asrohah, Hanun. Pelembagaan Pesantren Asal-Usul dan

  Perkembangan Pesantren di Jawa. Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Informasi Penelitian dan Diklat Keagamaan, 2004.

  Azra, Azyumardi dalam Nurcholis Madjid. Bilik-bilik Pesantren,

  Jakarta, Paramadina, 1997. Bagian Data dan Informasi Pendidikan Ditjen Kelembagaan Agama

  Islam, Statistik Pondok Pesantren Seluruh Indonesia Tahun 2002-2003, Jakarta, 2003.

  Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat,

  Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Penerbit Mirzan, 1995.

  Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1982. Djunaedi, Mahbub. Nahdlatul Ulama: Sejarah dan Politik. Bandung,

  PT Remadja Rosda Karya, 1993. Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,

  1981. Ismail, Muhammad Syuhudi, Prof. Dr. Paradigma Baru Memahami

  Hadits Nabi. Jakarta: Kerjasama Penerbit Insan Cemerlang dan PT Inti Media Ciptanusantara, tt.

  Kartodirdjo, Sartono. Protest Movement in Rural Java. Kuala

  Lumpur: Oxford University Press, 1978. Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS,

  1994. Mudzar, Atho’. Pendekatan Studi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

  Cet. IV, 2002. Proyek Peningkatan Pondok Pesantren Ditjen Pembinaan

  Pergeseran Literatur di Pesantren Salafiyah... (R. Aris Hidayat) 67

  Kelembagaan Agama Islam. Direktori Pondok Pesantren. Jakarta, 2000

  Rahardjo, Dawam. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta, LP3ES,

  1980. Salim, Abd. Muin. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogayakarta: Penerbit

  Teras, 2005. Wahid, Marzuki, dkk. Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan

  dan Transformasi Pesantren. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

  Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam Indonesia. Jakarta:

  Penerbit Mutiara Sumber Widya, 1995.

  68 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

DOKTRIN DAN GERAKAN PESANTREN DI CILEGON BANTEN

  Fadullah Instansi Paris Email: hamnamllkk

  Abstract

  Pesantren merupakan lembaga pendidikan umat Islam di Indonesia dengan tujuan membangun sumber daya manusia untuk menjadi para ulama, karena itu mengadakan gerakan moral dan spiritual yang di wadahi organisasi tarekat. Adapun doktrin yang disampaikan pesantren ada tiga yaitu mujahadah, ijtihad dan jihad. Mujahadah merupakan landasan gerakan moral dan spiritual yang diwadahi dengan gerakan tarekat yang banyak terdapat di Pesantren Indonesia, tidak terkecuali pesantren di Cilegon. Doktrin kedua adalah ijtihad sebagai landasan gerakan intelektual yang member bekal kemampuan pada para santri agar bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi dengan berlandaskan pada al qur’an dan sunnah. Sementara itu, doktrin ketiga adalah jihad sebagai landasan gerakan sosial dan radikalisme politik.

  Kata kunci:

A. Pendahuluan

  Daerah Cilegon sesuai namanya merupakan tanah rawa yang belum banyak dirambah dan dihuni orang. Namun pada masa keemasan kerajaan Banten di bawah Sultan Ageng Tirtayasa (1651- 1672) dilakukan pembukaan lahan pertanian di daerah Serang dan Cilegon, dengan merubah rawa menjadi persawahan. Sejak itu

  Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 69 Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 69

  mendalam 1 . Penduduk Cilegon taat dalam melaksanakan berbagai kewajiban syari’at, sehingga diasosiasikan secara dekat dengan

  militansi Islam 2 . Militansi Islam ini tidak terlepas dari peran ulama

  (Pakih Najmuddin) melalui institusi qadhi, pesantren dan gerakan tarekat. Keberadaan pesantren di Cilegon tidak terlepas dari kerja dakwah ulama pengembara asal Demak Jawa Tengah. Ia adalah Ki Abu Sholeh (1768-1809) dan Mas Burhan. Abu Sholeh menetap dan dikubur di gunung Santri. Beliau memberi pengaruh terhadap dakwah dan gerakan sosial di Bojonegara. Dari iklan Ki Abu Sholeh mendirikan perguruan Islam “al-Khairiyah” Tjitangkil oleh KH. Syam’un, cucu KH. Wasyid Beji. Sedangkan Mas Burhan menetap di Cibeber, berdakwah dan menyebarkan Islam, serta membangun pondokan yang digunakan untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakat sekitarnya. Hal ini berlangsung sekitar 1779-1813, kemudian pindah dan menetap sampai akhir hayatnya di kampung Pangsoran Bojonegara. Dari iklan Mas Burhan mendirikan madrasah Al-Jaharatunnqiyah Tjibeber oleh KH. Abdul Latif.

  Daerah Cilegon lambat laun berkembang sangat pesat dan menjadi heterogen, sehingga pada tahun 1816 berubah status menjadi Kewedanan (districh). Pada tahun 1892 kewedanan Cilegon tercatat sebagai daerah yang paling padat penduduknya

  sewilayah Banten 3 . Kewedanan Cilegon ini meliputi tiga kecamatan,

  yaitu kecamatan Cilegon, Kecamatan Bojanegara, dan Kecamatan Pulomerak. Kantor Kewedanan (disrich) Cilegon masih ada dan

  1 Sartono Kartodirjdo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), h. 54

  2 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 248

  3 Ibid. h. 53

  70 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 70 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Kota Cilegon berkembang sebagai daerah pesantren yang lekat dengan gerakan tarekat, Kiai mempunyai pengaruh di kalangan rakyat, tidak saja di bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang gerakan sosial-politik (pemerintahan) dan kemasyarakatan. Bahkan, pesantren dan gerakan tarekat di Cilegon berubah menjadi gerakan ideologis yang radikal, seperti terlihat dalam peristiwa

  jihad “Geger Cilegon” pimpinan KH. Wasid 1888 4 . Para ulama beserta

  santri dan rakyat menentang penindasan kolonial belanda yang telah merampas hak-hak rakyat, dan mengubah sepihak tatanan politik yang mengarah pada keuntungan penjajah. Pesantren dan gerakan tarekat merupakan pembela rakyat, terutama kaum petani, dan bercita-cita mengembalikan kejayaan Negara dengan didasarkan pada nilai-nilai Islam, kemanusiaan, dan keadilan.

  Pada masa perjuangan kemerdekaan, para ulama melalui pesantren dan gerakan tarekat perguruan Islam “Al-Khairiyah” Citangkil, “al-Jauharatunnaqiyah” Cibeber, dan “al-Athfal” di Cubling Cigading sangat aktif memobilisasi gerakan rakyat. Mereka belajar militer kepada Jepang. Ketika Jepang terusir dari Indonesia oleh sekutu yang diboncengi Belanda, laskar ulama santri terdidik kemiliteran Jepang ini menolak dan melawan Belanda yang datang lagi untuk menjajah. Pada masa revolusi fisik, tahun 1945-1949, para ulama mengisi kekosongan jabatan pemerintahan dan militer. Kyai Ahmad Khatib sebagai residen Banten, KH. Syam’un (pimpinan perguruan Islam “Al-Khairiyah” Citangkil Cilegon) sebagai panglima Devisi seribu merangkap Bupati Kabupaten Serang, Kyai Tb. Abdul Halim sebagai bupati Pandeglang, dan Kyai Muhammmad Hasan sebagai bupati Lebak, Syeh H. syukur Alwan sebagai kepala polisi daerah Banten, Lurah Kamid sebagai kepala polisi daerah Serang, KH. Sayuthi sebagai kepala polisi daerah Cilegon, KH. Suhaimi sebagai Wedana Cilegon, KH. Juhri (Jaha Anyar) sebagai Wedana Anyar, H. mukmin sebagai Wedana Ciomas, KH. Juhri (Pontang) sebagai Wedana Pontang, Abdul Latif sebagai Camat Bojanegara, KH. Ali Jaya sebagai Camat Cinangka, KH. Mahmud sebagai Camat

  4 Halwani Michrob dan A. Mudjahid Chudhairi, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara, 1993), h. 194

  Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 71

  Ciomas, KH. Abdul Halim (Mancak) sebagai camat Mancak, KH. Abdul Jalil sebagai Camat Grogol, Tahir Hanafi sebagai Camat Ciruas,

  H. ahmad Hudain sebagai camat Cirenang, H. Muhammad Sanan sebagai Camat Tirtayasa, H. Jala Ruha sebagai camat Keroncong, Ki Kabir sebagai camat Petir, H. Abdul Hamid sebagai camat Cikande, dan KH. Sohari (Cibeber) sebagai camat Cilegon.

  Fakta sejarah ini membuktikan bahwa agama (Islam) merupakan kekuatan revolusioner yang memimpin gerakan sosial untuk mengubah masyarakat. Ini merupakan peran signifikasi pesantren dan tarekat sebagai pranata agama untuk melawan penjajah Belanda, dan membuktikan efektifitas pesantren dalam membina kader untuk pengadaan satuan-satuan laskar barisan perjuangan kemerdekaan. Pesantren dan gerakan tarekat menempatkan posisi kepemimpinan ulama (Kyai) dalam keduduan yang terhormat sebagai Mursyid. Dalam posisi itu, para ulama berhasil memanfaatkan semua potensi sumber daya daerah, termasuk kekuatan jawara, dengan memposisikan jawara sebagai subordinat (pengawal gerilya) ulama (Kyai) dalam usaha membebaskan Negara dari segala penjajah, menegakkan kebenaran, dan etika kesusilaan Islam.

  Bertolak dari latar belakang masalah diatas, signifikansi pesantren dan gerakan tarekat dalam mendorong gerakan sosial politik. Persoalan yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah apakah ajaran atau doktrin yang mendorong para santri melakukan mobilisasi sosial, modernisasi dan pembaruan? Kajian memusatkan diri pada penelaahan terhadap beberapa variabel: pesantren sebagai the agen of sosial change (agen perubahan sosial), dan cita- cita sosial yang menggerakkan individu dan institusi melakukan perubahan.

B. Asal Usul Pesantren

  Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Menurut Professor Johns istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C.C. berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa india berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, ajaran ahli kitab suci Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci,

  72 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 72 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Makna pesantren dalam tradisi Islam berarti tempat belajar kitab suci dari seorang Kyai yang ahli dalam bidang agama dengan segala tata nilai kesopanan, kesederhanaan pola hidup, dan kesetaraan pola hidup, dan kesetaraan sosial yang melingkupinya selalu berkonotasi langsung dengan ajaran Islam. Bentuk pesantren sebagai hasil cipta akal budi tetap dan khas, tetapi isinya diganti dengan spirit Islam. Karena itu, pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional umat Islam Indonesia untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.

  Pendidikan pesantren merupakan kelanjutan dari pengajian al-Qur’an tingkat dasar di rumah Guru Ngaji 5 . Bermula pada

  waktu anak-anak berumur kira-kira 5 tahun menerima pelajaran menghapal beberapa surat pendek Juz ‘Amma dari orang tuanya atau belajar dirumah guru ngaji tetangganya. Setelah mereka berumur 7 atau 8 tahun belajar nglalar (membaca alphabet Arab dan secara bertahap diajar untuk dapat membaca Al-Qur’an sesuai makhrij al-huruf dan tajwid). Pengajian al-Qur’an itu berupa belajar membaca beberapa bagian al-Qur’an mulai surat al-Fatihah dan kemudian surat-surat pendek dalam Juz ‘Amma (terdiri dari surat

  78 [an-naba’] sampai surat 144 [an-nas]). Di samping itu, diajarkan pula perukunan, yang berisi peraturan dan tata cara bersuci, wudlu, shalat, dan beberap do’a. Pada tingkat tertentu pengajian pengajian ditambah dengan pelajaran berjanzi dan qasidah yang memang mendukung kelestarian dan pengembangan tradisi keislaman masyarakat. Setelah pengajian itu selesai, biasanya diadakan upacara tamatan atau selamatan khataman. Acara ini dilengkapi dengan khitanan (sunatan) untuk murid laki-laki dan diberi hadiah bekakak ayam plus ketan punar. Perisiwa ini sekaligus menandai perubahan status murid dari anak-anak menjadi akil baligh (dewasa secara biologis) dan wajib melaksanakan ibadah, seperti shalat, puasa, dan sebagainya.

  Bagi beberapa anak yang berbakat dari keluarga tertentu dapat melanjutkan pelajaran pada tingkat kedua ngaji kitab. Aktifitas

  5 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), h. 21

  Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 73 Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 73

C. Tujuan Pesantren

  Pesantren memiliki dinamika dan perkembangan yang khas, mulai dari pengajian al-Qur’an, pondok rombeng, dan kemudian muncul madrasah. Atas dasar dinamika dan perkembangan pesantren terebut, dirumuskan tujuan pendidikan pesantren di kota Cilegon sebagai berikut:

  1. Mendidik muslim yang dapat melaksanakan syari’at agama (Islam). Lulusan pesantren harus mempunyai kemampuan melaksanakan syari’at agama (Islam) secara nyata dalam rangka mengisi, membina, dan mengembangkan suatu peradaban Islam, walaupun tidak tergolong pada predikat “ulama” yang menguasai ilmu-ilmu syari’at secara khusus.

  2. Pendidikan pesantren pada tahap ini mementingkan aspek praktis dari ajaran Islam. Materi pengajian bersifat aplikatif yang dituntut pengalamannya dalam kehidupan sehari- hari, bukan pada banyaknya materi (subject matter) yang dikuasasi secara kognitif. Dalam konteks ini paling tidak santri harus memahami dan menghayati materi keimanan, ibadah (shalat, zakat, puasa, haji), dan akhlak (tata krama) serta fikih munakahat dan mawaris, karena materi-materi tersebut terkait langsung dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat sehari- hari.

  3. Mencetak ulama yang menguasai ilmu-ilmu syari’at; mendidik santri yang mampu berijtihad. Pada tingkat kompetensi ini, lulusan pesantren dicanangkan menjadi pengawal umat, yang memberi peringatan dan pendidikan kepada masyarakat di

  74 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 74 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  4. Lulusan pesantren diharapkan dapat mengemban tugas ulama sebagai pewaris Nabi yang sanggup mengarahkan dan memimpin masyarakat keluar dari situasi kritis yang dilematis dengan keputusan dan tindakan nyata yang tegas sesuai prinsip- prinsip syari’at. Oleh karena itu, mereka diharakan menguasai ilmu-ilmu syari’at tidak hanya sebagai nilai-nilai universal yang normatif, tetapi juga menguasai tata cara implementasi niali- nilai tersebut dalam suatu mekanisme yang serasi dengan penataan dengan suatu peradaban kultur tertentu.

  5. Mendidik santri sebagai kader pejuang yang sanggup menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, membebaskan masyarakat dari kemusyrikan dan perbudakan manusia. Pada tingkat kompetensi ini, santri dicetak sebagai ulama sekaligus pemimpin umat dan pemimpin bangsa yang mampu menggelorakan semangat jihad fi sabilil haq dan memahami arah perkembangan masyarakat. Keberhasilan rancangan ini dapat disaksikan dengan tampilnya kepemimpinan ulama di Banten pada masa revolusi, mulai dari lurah, camat, kepala polisi, bupati sampai Presiden.

D. Fungsi Pesantren

  Pesantren lebih dikenal sebagai institusi pendidikan. Walaupun dalam kenyataannya, pesantren juga berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama serta aktif dalam kegiatan bela Negara dengan semangat jihad fi sabilillah. Hal ini dibuktikan dengan gerakan kyai-santri bersama rakyat pada zaman perang kemerdekaan dan pada zaman revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan. Tidak sedikit pesantren yang dijadikan markas perjuangan, tempat berunding dan menyusun strategi, bahkan gudang rahasia untuk menyimpan rahasia.

  Ciri sistem pendidikan pesantren adalah berasrama (boarding scool) dan proses pembelajarannya diorientasikan untuk menanamkan keimanan lewat aktivitas peribadatan serta mengembangkan khazanah intelektual muslim zaman klasik melalui kitab kuning, sehingga pesantren sebagai lembaga pendidikan

  Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 75 Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 75

  Pesantren sebagai lembaga sosial menampung anak dari berbagai unsur dalam segala lapisan masyarakat muslim, tanpa membeda-bedakan tingkat sosial ekonomi orang tuanya. Biaya pendidikan sangat murah, dan di lain pihak pesantren juga membebaskan biaya pendidikan bagi anak-anak yatim dan orang- orang yang lemah dalam bidang ekonomi. Kebijaksanaan pesantren ini disertai dengan bimbingan kyai kepada santri untuk hidup sederhana dan rendah hati, bersikap mandiri dalam mengatur keperluannya sendiri (seperti memasak, mencuci pakaian, mengatur uang belanja, merencanakan belajar, dan sebagainya) dan mengatur kegiatan kepesantrenan secara bersama dengan penuh inisiatif, terutama berkenaan dengan kegiatan-kegiatan kokurikuler, dari sejak pembentukan organisasi santri, penyusunan program, pelaksanaan peribadatan, keamanan, kebersihan, olah raga, kesenian, koperasi, sampai pelaksanaan dan pengembangannya. Dalam pada itu, kyai di pesantren juga membantu para santri untuk dapat membiayai diri sendiri selama belajar di pesantren dengan mengajak dan melibatkan santri membajak sawah milik kyai ustadz, beternak, berdagang, dan seterusnya.

  Sebagai lembaga penyiaran agama, masjid pesantren juga berfungsi sebagai masjid umum, yaitu sebagai tempat belajar agama dan ibadah bagi msyarakat umum. Masjid pesantren sering digunakan untuk menyelenggarakan majelis taklim (pengajian), diskusi keagamaan, dan sebagainya, oleh masyarakat umum. Selain itu, kyai dan para santri senior, juga memiliki tanggung jawab dakwah untuk memberikan pengajian rutin di daerah dakwah masing-masing, di masjid-masjid dan majelis-majelis taklim di lingkungan pesantren. Hal ini, disesuaikan pada prinsip bahwa pesantren adalah tempat mencari ilmu dan sekaligus mengabdi. Karena itu, terutama santri senior di pesantren bukan hanya belajar, tetapi juga harus membantu kyai mengajarkan ilmu yang telah dikuasainya kepada santri yang lain dan masyarakat.

  Ketiga fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan ketiga fungsi ini pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan masyarakat umum. Hal ini dapat dilihat dari dukungan dan bantuan masyarakat sekitar terhadap

  76 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 76 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

E. Doktrin Pesantren

  Para pendidik di kalangan pesantren percaya bahwa kualitas pribadi diperoleh dengan kesungguhan, dengan prinsip man jadda wajadda. Landasan dan sekaligus indikator kualitas kesungguhan ini dirumuskan dalam terma Ju-H-Dun: mujahadah, ijtihad dan jihad. Kualitas rohani diukur dengan kesanggupannya melakukan mujahadah kepada Allah; kualitas intelek (akal) diukur dengan kesanggupannya melakukan ijtihad dalam merespon dan menjawab problem kehidupan masyarakat; dan kualitas jasad diukur dengan kemampuannya melaksanakan jihad fi sabilillah, memimpin gerakan dalam membela kelompok masyarakat yang lemah dan yang tertindas.

F. Mujahada: Landasan Gerakan Moral dan Spiritual

  Gerakan moral dan spiritual pesantren dimotori organisasi tarekat atau aliran tentang cara mendekatkan diri kepada Tuhan, yang menekankan amalan praktis. Tokoh gerakan ini dikenal dengan Wali Songo, antara lain Syaih Nur al-din Ibrahim bin Mawlana Izra’il, yang kemudian lebih dikenal dengan julukan sunan Gunung Jati memapankan diri di kasultanan Cirebon. Islam masuk dan menggarami bumi Cilegon, Banten melalui silsilah sunan Gunung Jati dan pawarta Islam yang dibawa dari Demak dan Cirebon.

  Kehadiran pesantren menyatu dengan dinamika kehidupan

  masyarakat 6 . Ia membawa nilai baru yang secara mudah disebut

  “nilai putih” atau nilai-nilai moral keagamaan seraya menggeser “nilai hitam” yang lebih dahulu ada dalam masyarakat, yaitu nilai- nilai rendah yang tidak terpuji seperti “molimo” (nilai lima), yakni: maling (mencuri), madon (melacur), minum (mabuk-mabukan), madat (candu), dan maen (judi); dan sifat tidak terpuji seprti guna- guna atau santet (dan pengaruh “ilmu-ilmu hitam” lainnya) dan sebagainya.

  Pesantren dengan semangat sufismenya berhasil menjadikan dirinya sebagai pusat gerakan pembangunan moral

  6 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994),

  h. 21

  Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 77 Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 77

  Pesantren dengan lingkungannya yang khas mengajarkan disiplin dalam menegakkan shalat dan pelaksanaan kewajiban Islam lainnya. Pesantren mengatur jadwal belajar berdasarkan siklus waktu shalat, seperti ba’da dzuhur, qabla maghrib, dan seterusnya. Karel A. stenbrink melukiskan:

  “Untuk meresapkan jiwa keislaman, pesantren tidak hanya dihormati sebagai tempat belajar, tetapi lebih ditekankan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya dipenuhi dan diresapi dengan nilai- nilai agama. Tidak ada tempat lain dimana shalat didirikan dengan taat. Pada siang hari, dimana-mana orang dapat mendengar para santri membaca al-Qur’an dengan lagu yang indah, memperbaiki bacaan dengan tajwid yang benar, atau hanya untuk mengharap pahala dari membaca al-Qur’an. Pada malam hari juga dapat dijumpai suasana orang membaca al-Qur’an, melagukan kalam ilahi, dan mendirikan shalat di tengah keheningan malam”. 7 (Karel

  A. Steenbrink, 1994: 16)

G. Ijtihad: Landasan Gerakan Intelektual

  Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia, pada awalnya hanya tempat ngaji, yang berfungsi sebagai alat islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur pendidikan, yakni; (1) ibadah untuk menanamkan iman, (2) tabligh untuk menyebarkan ilmu, (3) amal untuk mewujudkan kegiatan kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari 8 . Semua materi pengajian bersifat aplikatif yang dituntut pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga penekanannya bukanlah pada

  7 Karel A. Steenbrink, 1994. H. 16 8 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, (Jakarta: Gema Insani Press,

  1997) , h. 71

  78 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 78 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Dalam perkembangan selanjutnya, pesantren megajarkan tata bahasa Arab (qawa’id lughah al-‘arabiyah) dan logika (mantiq) untuk mempelajari al- Qur’an dan sunah nabawiyah secara mendalam melalui kitab kuning, warisan khazanah intelektual muslim klasik yang paling orisinil, dan mendakwahkannya pada masyarakat secara luas dengan bahasa rakyat. Dalam kerangka itu, imege sebagai lembaga ”Tafaqquh fi al-din”, yang berfungsi: (1) transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam, (2) pemeliharaan tradisi Isalm, dan (3) reproduksi ulama.

  Menurut KH. M. yunus Ghazali (tokoh al-jauharatunnaqiyah) dan KH. Fathullah Syam’un (tokoh al-Khairiyah) dasar doktrin gerakan intelektual adalah firman Allah Qs. At-Taubah9, ayat 122 sebagai berikut:

  “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semua (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang agama, dan untuk member peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadnya supaya mereka itu dapat menjaga diri. ”

  Sabda Rasulullah saw.:

  “Dari Hamid bin Abdurrahman ra. Bahwa ia mendengar Mu’awiyah berkhutbah katanya:”barang siapa dikehendaki Allah akan memperoleh kebaikan, diberi oleh Allah pengertian secara mendalam dalam hal agama. Sungguh, saya hanyalah membagi-bagikan [menyampaikan, menyiarkan, dan mengajarkan] saja, sedangkan yang memberi [pada hakikatnya] adalah Allah. Selama umat Islam berdiri teguh berpegang teguh pada ajaran Allah maka tidak akan pernah ataupun penentang-penentang mereka yang sanggup membinasakan mereka samapai kiamat datang.” (HR. Bukhari).

  Para kyai Cilegon menafsirkan ayat dan hadits diatas merujuk pada pandangan Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari bi Syarh al-Bikhari, bahwa ayat dan hadits diatas mengandung tiga pemikiran: Pertama, keutamaan tafaqquh fi al- din. Kedua, pemberi ilmu pada hakikatnya adalah Allah. Ketiga,

  Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 79 Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 79

  Doktrin pertama tentang keutamaan tafaqquh fi al-din menegaskan bahwa syarat diterimanya amal perbuatan adalah ilmu. Amal tanpa ilmu akan ditolak. Karena itu, Islam mengajarkan kepada umat muslimin untk belajar sepanjang hayat, sejak dalam kandungan hingga wafat. Umar ibn Khattab mengajak umat muslimin untuk belajar secara sungguh-sungguh sebelum lanjut usia. Tujuan belajar dimaksud, menurut ibn Abbas adalah agar menjadi insan rabbani yang hukama’, fuqaha, sekaligus ulama’. Menurut ibn Arabi, insan rabbani adalah ilmuan yang tekun megajarkan ilmu kepada orang lain dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Allah berfirman:

  “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata):”Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya….”(Qs. Ali- Imran3: 79).

  Doktrin kedua, menegaskan bahwa kebenaran hanyalah milik Allah. Pengetahuan manusia tentang kebenaran tidak hanya diperoleh melalui usaha (belajar), melainkan juga anugerah Allah kepada orang-orang yang dibukakan mata hatinya. Allah mengajarkan manusia sesuatu yang tidak diketahui (karenanya juga tidak pernah terpikirkan) sebelumnya. Kesadaran demikian ini, include pada konsep belajar umat Islam selain prinsip kesungguhan atau juhd prinsip kesucian hati dan sikap kerendahan hati untuk memperoleh mukasyafah, serta tangguh jawab moral seorang ilmuan untuk mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu tersebut. Kesadaran ini membebaskan intelektual muslim dari sikap mental yang inferior dan intelektual arrogance sekaligus. Mengajar adalah cara belajar yang efektif, karena mengajar merupakan bagian dari sedekah jariah. Semangat intektualisme Islam semacam ini ditegaskan dalam riwayat berikut:

  “Janganlah mereka iri hati kecuali kepada dua orang. (1) orang yang diberi harta oleh Allah kemudian dipergunakannya

  80 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 80 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Doktrin ketiga tentang sekelompok orang Islam yang konsisten dalam kebenaran. Menurut imam Bukhari mereka adalah ahl-‘ilm. Menurut imam Ahmad ibn Hanbal, mereka adalah ahl-hadits. Sedangkan menurut imam Nawawi, mereka adalah khairul ummah. Mereka adalah golongan intelektual dan dapat disebut mujahid (orang yang berijtihad), faqih (ahli hukum Islam), muhaddits (ahli hadits), atau zahid (ahli suffi) yang konsisten melaksanakan perintah Allah, menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Bahwa komunitas pesantren dibina menjadi kualitas masyarakat utama sebagaimana firman Allah berikut:

  “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia: menyuruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Qs. Ali-Imran3:110).

H. Jihad Landasan Gerakan sosial dan Radikalisme politik

  Dalam konteks politik, Islam di Cilegon berfungsi sebagai kelengkapan ideologis yang amat kuat untuk melawan kaum kafir belanda. Islam di tengah perjuangan kemerdekaan efektif sebagai senjata ideologis-politik dan pangkal tolak kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, dan perlawanan kepada penajajah. Pekikan takbir Allahu Akbar mampu menggugah semangat prajurit santri untuk bertempur mengusir penjajah dari bumi peritiwi. Dalam hal ini, kyai selalu menempatkan Negara pada posisi yang wajib dibela dan dipertahankan. Karena itu, dalam kondisi tertentu pesantren dijadikan markas perjuangan, tempat berunding dan menyusun strategi, bahkan gudang rahasia untuk menyimpan senjata.

  Para kyai memperkuat garis perjuangan dengan semangat “Hubbul Wathon Minal Iman”; membela republik adalah perang dijalan Allah, dan gugur dalam pembelaan itu adalah mati syahid. Jihad adalah seruan kepada agama yang hak (benar) yang didasarkan pada landasan berikut:

  Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 81

  “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan sorga bagi mereka. Mereka berperang dalan jalan Allah lalau mereka membunuh atau terbunuh. (itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakan yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah9: 111)

  Kaitannya dengan jihad, kebencian dan penentangan kalangan pesantren di Cilegon terhadap Belanda dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi.

  Pertama, uzlah atau pengasingan diri. Mereka menyingkir ke desa-desa atau tepat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan suasana kolonial Belanda. Itulah sebabnya mengapa kebanyakan pesantren berada di desa. Para kyai berpandangan bahwa di desa lebih terjaga dari pengaruh moral dan budaya asing yang destruktif. Sikap uzlah kalangan pesantren ini masih bisa disaksikan saat ini, misalnya masih ada kyai yang mengharamkan Tv dan radio. Sikap uzlah ini dijiwai dengan semangat jihad pada tahapan pertama.

  “Dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan- jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Qs. Al-An’am6: 153)

  Semangat isolasi pesantren dari sitem kolonial pada umumnya, secara simbolik, tercermin dalam sikap kyai yang mengharamkan apa saja yang datang dari Belanda, sejak yang cukup prinsipil seperti ilmu pengetahuan (dan huruf latin) sampai hal yang sederhana seperti celana, dasi, sepatu, dan lain-lain. Penolakan ini didasarkan pada sebuah hadits: man tsyabbaha bi qaumin fa huwa min hum. Maka meniru kaum Belanda dengan, misalnya, memakai celana, membuat yang bersangkutan termasuk kaum belanda yang “kafir” itu. Karena itulah, meskipun secara politik dan ekonomi perjuangan kaum santri kalah dan Indonesia di kuasai kolonial Belanda, tetapi secara sosial dan budaya umat Islam dipandang berhasil luar biasa. Jalan ini yang pada awalnya diambil oleh ki Hasyim, pendiri Madrasah al-athfal di Lijajar, Cigading.

  Kedua, bersikap non kooperatif dan mengadakan perlawanan secara diam-diam. Selain menelaah kitab dan

  82 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012 82 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  “Allah berfirman:”seungguhnya Allah membela orang- orang yang beriman. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat. Telah didizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar maha kuasa menolong mereka itu (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampong halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata;”Tuhan Kami hanya Allah”. Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja- gereja, rumah-rumah ibadah orang yahudi dan masjid-masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Allah, sesungguhnya Allah pasti menolong orang-orang yang menolong (agama) Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, yaitu orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang munkar dan kepada Allah-Lah kembali segala urusan.” (Qs. Al-Hajj22: 22-41).

  “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Qs. Al-anfal 8: 60)

  Aspirasi kyai yang sangat nasionalistik dan patriotik menilai bahwa ikut dan memperoleh pendidikan Belanda merupakan suatu kekurangan. Terlibat dan berhubungan dengan birokrasi pemerintah (kolonial) haram hukumnya. Mereka mengharamkan menjadi pegawai pamongpraja. Menjadi pegawai Negara sama dengan menjadi pembantu atau antek-antek penjajah. Karena itu, pesantren di bawah pimpinan kyai dengan tradisi kemandirian dan kesederhanaan banyak melahirkan wirausahawan pribumi. Kaum

  Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 83 Doktrin dan Gerakan Pesantren di Cilegon Banten (Fadlullah) 83

  Ketiga, berontak dan mengadakan perlawanan fisik trhadap Belanda. Pejuang kyai, kaum santri dan dunia pesantren ini merupakan manifestasi sikap muslim sejati yang tidak rela menyaksikan ketidak adilan dan pelanggaran atas hal-hak kemanusiaan. Para kyai menggunakan jalan gerilya. Hal ini didasarkan pada jiwa jihad, sebagaimana firman Allah:

  “Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka dimana saja kamu menemui mereka dan janganlah kamu ambil seorangpun di antara mereka menjadi pelindung, dan jangan (pula) menjadi penolong, kecuali orang-orang yang meminta perlindungan kepada suatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu ada perjanjian (damai) atau orang-orang yang datang kepada kaum sedang mereka merasa keberatan untuk memerangi kamu dan memerangi kaumnya. Kalau Allah menghendaki, tentu mereka memberi kekuasaan kepada mereka membiarkan kamu, dan tidak memrangi kamu serta mengemukakan perdamaian kepadamu maka Allah tiak memberi jalan bagimu (untuk menawan dan menumbuh) mereka.” (Qs. An-Nisa’ 4: 89-90)

  Pada zaman Belanda, dengan dilandasi iman tauhid dan demi menegakkan kebenaran dan keadilan, para kyai, santri, dan dunia pesantren di Banten bangkit mengangkat senjata mengadakan perang sabil untuk menentang penjajah Belanda yang kafir. Pemberontakan itu merupakan respon umat Islam untuk melepaskan diri dari penindasan dalam wujud pemberlakuan tanam paksa. Peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan petani yang meletus pada tahun 1834, 1836, dan 1849.

  Pemberontakan pecah kembali pada tahun 1880. Gerakan perlawanan ini dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail, Haji Marzuki, dan Haji Wasid. Perlawanan para kyai dan kaum santri yang paling menonjol di banten pada abad ke-19 adalah peristiwa yang dikenal dengan “geger Cilegon” pada tanggal 9 juli 1888. Tokoh mentukan dalam peristiwa geger Cilegon ini adalah Haji Wasid. Api perjuangan Ki Wasid ini kelak dilanjutkan oleh cucunya, K.H. Syam’un, pendiri Madrasah al-Khairiyah Citangkil.

  84 Jurnal Ad-Din, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2012

  Motifasi jihad ini bukan saja dilandasi semangat cinta tanah air dan bela Negara melainkan didorong dalam kerangka menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Dimenifestasikan dalam bentuk upaya merombak tatanan sosial-ekonomi-politik yang tidak sesuai dengan aturan agama, utamanya kemusyrikan. Perang geger Cilegon 1888 itu menurut halwani Michrob adalah berawal dari tindakan Ki wasid beserta para santrinya menebang pohon kepuh besar di Lebak Kapuh yang oleh sebagian penduduk dianggap keramat dapat menolak balak bencana dan meluluskan apa yang diminta asal saja memberikan sesajen bagi jin pbubggu pohon pahala tersebut.

  Ki Wasid tidak dapat kompromi dengan kemusyrikan. Tetapi tindakan ki Wasid ini dipersalahkan oleh Belanda karena melanggar hak orang lain. Pada tanggal 18 november 1987 Ki Wasid di vonis

  bersalah, sehingga dikenakan denda 7,50 golden 9 (Mihrob: 197-8).

  Pada saat yang lain, menara langgar di Jombang tengah dirobohkan atas perintah asisten Residen Goebels, diserta surat edaran yang berisi larangan azan, shalawatan, dan takhrim mejelang shalat subuh dengan suara keras. Dalam hal ini, dalam penafsiran para kyai Cilegon saat itu, berlakulah firman Allah;

  “Dan pergilah kaum musyrikin sebagaimana mereka pun memerangi kamu dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Taubah9: 36)