Identifkasi Hama dan Fungi pada Tanaman Sukun (Artocarpus communis)

(1)

IDENTIFIKASI HAMA DAN FUNGI PADA TANAMAN

SUKUN ( Artocarpus communis)

(Studi Kasus di Kabupaten Simalungun, Langkat, dan Deli Serdang)

Hasil

Oleh :

Sefrina Yanti Siregar 051202001 / Budidaya Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAK

SEFRINA YANTI SIREGAR. Identifkasi Hama dan Fungi pada Tanaman

Sukun (Artocarpus communis). Dibimbing oleh BUDI UTOMO dan YUNASFI. Tanaman sukun yang dibudidayakan di lapangan jarang terserang oleh hama dan fungi, sering tanaman sukun tidak dapat tumbuh dengan baik. Diantara bagian-bagian tanaman sukun, daun merupakan yang paling banyak diserang oleh penyakit. Gejala serangan dapat berupa bintik, bercak, dan lain-lain yang dapat diamati secara langsung di lapangan. Pengamatan langsung di lapangan sangat sulit untuk membedakan berbagai penyebab penyakit. Didasari hal tersebut maka telah dilakukan penelitian di laboratorium yang bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai jenis fungi yang diperkirakan berperan dalam menyebabkan penyakit pada tanaman sukun. Pada hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada daun tanaman jarak pagar yang terserang penyakit ditemukan 1 jenis fungi, yaitu

Fusarium sp.


(3)

ABSTRACT

SEFRINA YANTI SIREGAR. Identification of Fungi Disease Cause at Artocarpus communis. Under Academic Supervision of BUDI UTOMO and

YUNASFI.

Artocarpus communis leaf wich conducting in field attacked many by disease, so

that Artocarpus communis cannot grow better. Among part of Artocarpus

communis leaf represent part of wich at most attacked by disease. Attack sympton

can in the form of blot, pock and others able to perceive directly in field. Direct perseption in field very difficult to deffenrtiate various cause of disease. Constituted by by the mentioned hence have been tried to do research in labolatory with aim to dentify various type of fungi estimated play a part in to cause disease at Artocarpus communis. From research can know that come down with fence castor leaf to be found by 1 type of fungi, that is Fusarium sp.


(4)

RIWAYAT HIDUP

Sefrina Yanti Siregar dilahirkan di Padang Sidempuan, Ujung Padang pada tanggal 09 september 1986, anak kelima dari tujuh bersaudara dari Ayahanda Marwan Siregar dan Ibunda Hj. Yusnah Lubis. Pada tahun 1999 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Taman Pendidikan Islam medan, pada tahun 2002 lulus dari SLTP Darul Hikmah medan, selanjutnya pada tahun 2005 lulus dari (SMU) MAN 3 medan, dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Departemen Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan melalui Jalur PMB (Panduan Minat Belajar).

Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada bulan Juni tahun 2007 di Hutan Mangrove desa Mesjid Lama kabupaten Asahan dan di hutan pegunungan Lau Kawar di kabupaten Karo, dan melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat KPH Bandung Utara pada bulan Desember 2009-Februari 2010.

Penulis melaksanakan penelitian pada bulan Mei-Juni 2010 dengan judul ”Identifikasi Hama dan Fungi pada Tanaman Sukun (Artocarpus communis) (Studi kasus di kabuoaten Simalungun, kabupaten Langkat, dan kabupaten Deli Serdang)” dibawah bimbingan DR. Budi Utomo, SP, MP dan DR. Ir. Yunasfi, MS.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ” Identifikasi Hama dan Fungi pada Tanaman Sukun (Artocarpus communis) ( Studi kasus di kabupaten Simalungun, langkat dan Deli serdang)”.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan, memelihara dan mendidik penulis selama ini. Terima ksih juga buat suamiku Iman Irwansyah Hulu ST, yang selalu mendukung saya dan buat anak saya tersayang Zivana Syahrani Hulu yang selalu menjadi motivasi saya. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak DR. Budi Utomo SP, MP dan Bapak DR. Ir. Yunasfi, Ms, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir. Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuannya selama penulis mengumpulkan data.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kapada staf pengajar dan pegawai di Program Studi Budidaya Hutan Departemen Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

PENDAHULUAN LatarBelakang……….. 1

Tujuan Penelitian... 4

Kegunaan Penelitian……… 4

Kerangka Pemikiran……… 5

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi tanaman Sukun (Artocarpus communis)... 6

Syarat tumbuh... 7

Defenisi Hama dan Fungi... 8

Hama Tanaman Sukun... 11

Penyakit Tanaman Sukun... 13

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian... 15

Bahan... 15

Alat ... 16

Tahapan Penelitian... 16

Pelaksanaan Penelitian... 17

Identifikasi Hama...…. 17

Pembuatan Media biakan... 17

Isolasi Fungi... 18

Identifikasi Fungi... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil hama... 19

Pembahasan hama... 21

Hasil Fungi... 24


(7)

KESIMPULAN DAN SARAN... 35

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka pemikiran... 5

2. Hama Coleoptera:Cerambicydae... 20

3. Hama Coleoptera:Chrysomelidae... 20

4. Hama Isopoda:Chrysomelidae... 21

5. Hama Isoptera:Kalotermitedae... 21

6. Batang sukun yang terserang hama... 22

7. Absidia sp koloni berumur 14 harin pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) konidiofor (a), konidia (b)... 28

8. Aspergillus sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), konidia (b)... 29

9. Curvularia sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) konidiofor (a), konidia (b)... 30

10. Fusarium sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofornya (a), makrokonidia (b)……… 31

11. Penicillium sp koloni berumur 14 pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) konidiofor (a), konidia (b)... 32


(9)

12. Rhizopus sp koloni berumur 14 hari pada

media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) sporangiosfor (a), sporangia (b)... 33 13. Mucor sp koloni berumur 14 hari pada

media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B)


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Hama yang di peroleh dari lokasi penelitian... 19

2. Isolat fungi yang di peroleh dari 3 kabupaten... 24

3. Jumlah genus yang diisolasi dari 3 kabupaten... 25


(11)

ABSTRAK

SEFRINA YANTI SIREGAR. Identifkasi Hama dan Fungi pada Tanaman

Sukun (Artocarpus communis). Dibimbing oleh BUDI UTOMO dan YUNASFI. Tanaman sukun yang dibudidayakan di lapangan jarang terserang oleh hama dan fungi, sering tanaman sukun tidak dapat tumbuh dengan baik. Diantara bagian-bagian tanaman sukun, daun merupakan yang paling banyak diserang oleh penyakit. Gejala serangan dapat berupa bintik, bercak, dan lain-lain yang dapat diamati secara langsung di lapangan. Pengamatan langsung di lapangan sangat sulit untuk membedakan berbagai penyebab penyakit. Didasari hal tersebut maka telah dilakukan penelitian di laboratorium yang bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai jenis fungi yang diperkirakan berperan dalam menyebabkan penyakit pada tanaman sukun. Pada hasil penelitian dapat diketahui bahwa pada daun tanaman jarak pagar yang terserang penyakit ditemukan 1 jenis fungi, yaitu

Fusarium sp.


(12)

ABSTRACT

SEFRINA YANTI SIREGAR. Identification of Fungi Disease Cause at Artocarpus communis. Under Academic Supervision of BUDI UTOMO and

YUNASFI.

Artocarpus communis leaf wich conducting in field attacked many by disease, so

that Artocarpus communis cannot grow better. Among part of Artocarpus

communis leaf represent part of wich at most attacked by disease. Attack sympton

can in the form of blot, pock and others able to perceive directly in field. Direct perseption in field very difficult to deffenrtiate various cause of disease. Constituted by by the mentioned hence have been tried to do research in labolatory with aim to dentify various type of fungi estimated play a part in to cause disease at Artocarpus communis. From research can know that come down with fence castor leaf to be found by 1 type of fungi, that is Fusarium sp.


(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman sukun dapat digolongkan menjadi sukun yang berbiji disebut

breadnut dan yang tanpa biji disebut breadfruit. Sukun tergolong tanaman tropik

sejati, tumbuh paling baik di dataran rendah yang panas. Tanaman ini tumbuh baik di daerah basah, tetapi juga dapat tumbuh di daerah yang sangat kering asalkan ada air tanah dan aerasi tanah yang cukup. Sukun bahkan dapat tumbuh baik di pulau karang dan di pantai. Di musim kering, disaat tanaman lain tidak dapat atau merosot produksinya, justru sukun dapat tumbuh dan berbuah dengan lebat. Tidak heran, jika sukun dijadikan sebagai salah satu cadangan pangan nasional. Sukun dapat dijadikan sebagai pangan alternatif karena keberadaannya tidak seiring dengan pangan konvensional (beras), artinya keberadaan pangan ini dapat menutupi kekosongan produksi pangan konvensional (Pitojo, 1999).

Di Indonesia, daerah penyebaran hampir merata di seluruh daerah, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mengingat penyebaran sukun terdapat di sebagian besar kepulauan Indonesia, serta jarang terserang hama dan penyakit yang membahayakan, maka hal ini memungkinkan sukun untuk dikembangkan. Pohon sukun mulai berbuah setelah berumur lima sampai tujuh tahun dan akan terus berbunga hingga umur 50 tahun. Produktivitasnya cukup tinggi. Dalam satu tahun akan diperoleh buah sukun sebanyak 400 buah pada umur 5 sampai 6 tahun, dan 700 – 800 buah per tahun pada umur 8 tahun. Sukun mempunyai komposisi gizi yang relatif tinggi. Dalam 100 gram berat basah sukun mengandung


(14)

karbohidrat 35,5%, protein 0,1%, lemak 0,2%, abu 1,21%, Fosfor 35,5%, Protein 0,1%, kalsium 0,21%, kadar air 61,8% dan fiber 2% (Djafar dan Rahayu, 2005).

Pohon sukun merupakan salah satu jenis tanaman yang tepat untuk mengatasi masalah lahan kritis. Setelah diadakan penanaman pohon sukun di beberapa pulau di kepulauan Seribu ternyata cocok dan tumbuh dengan baik. Oleh karena itu pohon sukun tidak hanya berfungsi sebagai tanaman penghijauan saja, tetapi buahnya pun berguna untuk menambah gizi penduduk. Jadi dengan adanya usaha untuk menanggulangi lahan kritis, pohon sukun pun berpeluang besar untuk dikembangkan guna menunjang hal tersebut, karena manfaatnya yang begitu besar (Kartikawati dan Adinugraha, 2003).

Tanda-tanda kerusakan yang terjadi pada kayu disebabkan karena faktor-faktor perusak dapat terlihat dari adanya cacat-cacat berupa lobang gerek (bore

holes), pewarnaan (staining), pelapukan (decay), rekahan (brittles), pelembekan (softing), dan lain-lain perubahan yang semuanya merupakan penurunan kualitas

dan bahkan kuantitas karena ada juga yang benar-benar memakan habis kayu. Setiap tanda-tanda kerusakan yang terlihat merupakan gejala spesifik dari salah satu faktor penyebab. Sedangkan adanya tanda serangan itu sendiri sekaligus merupakan kriteria bahwa kayu atau hasil hutan yang bersangkutan telah terserang hama, penyakit atau penyebab lainnya. Dalam praktek kita sering mengabaikan adanya cacat-cacat dan kerusakan-kerusakan lain ditimbulkan oleh faktor-faktor perusak ini. Hanya bila secara ekonomis nilai kerugian telah mencapai ambang tertentu (economic threshold) barulah mulai dicari upaya untuk melakukan tindakan pengendalian tertentu agar kerugian dapat dikurangi sampai minimum dan tidak berlanjut kepada bahan-bahan lain yang belum terserang.


(15)

Sebagaimana telah diutarakan di muka, deteriorasi hasil hutan disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu penyebab utama adalah hama. Hama merupakan istilah umum yang diberikan bagi berbagai hewan penyebab kerusakan dalam bidang pertanian (termasuk kehutanan). Hewan-hewan ini adalah serangga, binatang pengerat, moluska, krustasea dan lain lain. Di antara hewan-hewan penyebab kerusakan kayu, yang paling banyak adalah jenis-jenis serangga. Penyebab utama deteriorasi hasil hutan/kayu dapat dibagi dalam dua bagian yaitu penyebab yang berasal dari unsur-unsur hayati (faktor biologis),dan penyebab yang berasal dari unsur-unsur alami (faktor fisik). Di antara berbagai penyebab biologis hewani, serangga atau insekta (atau Hexapoda) merupakan yang paling banyak jenis-jenis perusaknya. Di samping serangga, terdapat juga beberapa jenis moluska dan krustasea yang merupakan penggerek kayu di laut (marine borers). Penyebab dari faktor biologis nabati (fungi dan bakteria) yang juga disebut penyebab mikrobial merupakan faktor perusak penting di samping serangga (Wikipedia, 2010 ).

Hama yang biasa menyerang tanaman sukun adalah penggerek batang (Xyleberus sp.) dan lalat buah (Dacus sp.). Lubang gerekan pada batang disumbat rapat dengan aspal atau batangnya disiram dengan larutan insektisida sistemik dapat mengatasi serangan. Hama penggerek ini dapat mematikan pohon. Oleh karena itu, bila ada serangan harus cepat diberantas. Penyakit yang biasa mengancam tanaman sukun adalah mati pucuk (Fusarium sp.), busuk buah lunak (Phytophthora palmivora), dan busuk tangkai buah (Rhizopus sp.). Namun, penyakit ini belum merupakan ancaman serius (Eko, 1992).


(16)

Fungi merupakan salah satu faktor biotik terbanyak yang menyebabkan tanaman hutan menjadi sakit. Umumnya penyakit tidak hanya disebabkan oleh satu jenis patogen akan tetapi disebabkan oleh beberapa patogen yang datang atau muncul secara bersamaan ataupun berurutan. Hal ini dapat disebabkan beberapa produksi hutan tanaman yang disebabkan berkurangnya produksi hutan tanaman yang diusahakan (Semangun, 2001) .

Fungi adalah penyebab penyakit paling umum, yaitu jasad renik yang tidak mengandung klorofil dalam struktur tubuhnya. Unit vegetatifnya merupakan struktur satu sel atau benang hifa yang disebut miselium jika berada dalam komplek besar (Widyastuti, dkk, 2004).

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang Identifikasi Hama Dan Fungi Pada Tanaman Sukun (Artocarpus communis) di Kabupaten Simalungun, Langkat, dan Deli Serdang.

Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi berbagai jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman Sukun, di Kabupaten Simalungun, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang.

Kegunaan Penelitian

Memberikan informasi mengenai berbagai jenis hama dan fungi yang menyerang tanaman Sukun baik bagi dunia pendidikan, penelitian, masyarakat, instansi pengusaha-pengusaha yang membudidayakan Sukun .


(17)

Kerangka Pemikiran

Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah untuk merahabilitas lahan kritis yaitu dengan cara menanam tanaman yang berpotensi dapat tumbuh dengan baik di lahan tersebut. Tanaman sukun merupakan salah satu tanaman yang dapat tumbuh di berbagai jenis tanah mulai dari tepi pantai sampai pada lahan dengan ketinggian kurang lebih 600 mdpl. Tanaman ini dikembangkan sebagai sumber bahan pengganti pangan. Adanya serangan hama dan penyakit dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu. Hal ini berdampak kepada tanaman sukun dengan hama dan fungi terlihat pada kerangka pemikiran yang disajikan Pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Hama

Nematoda

Tanaman Artocarpus communis

Virus Bakteri Fungi Penyakit


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi tanaman Sukun (Artocarpus communis)

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Klas : Dicotyledonae Ordo : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus communis Forst. Nama lain : Seedless bread fruit (Inggris)

Pohon, daun dan bunga mirip keluwih. Buah bundar atau agak bundar panjang, kulit mempunyai tonjolan seperti duri lunak, daging kuning pucat atau keputihan, aroma sedap, tidak berbiji, perbanyakannya dengan cara stek, dan sambung.

Tanaman sukun memiliki banyak kegunaan. Buah sukun yang merupakan hasil utama dimanfaatkan sebagai bahan makanan, diolah menjadi berbagai macam makanan, misalnya getuk sukun, klepon sukun, stik sukun, keripik sukun dan sebagainya. Batang pohon (kayu) sukun dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan maupun dibuat papan kayu yang kemudian dikilapkan. Tanaman sukun merupakan tanaman hutan yang tingginya mencapai 20 m, kayunya lunak dan kulit kayu berserat kasar. Semua bagian tanaman bergetah encer. Daunnya lebar sekali, berbentuk menjari, dan berbulu kasar. Batangnya besar, agak lunak, dan bergetah banyak. Cabangnya banyak, pertumbuhannya cenderung ke atas.


(19)

Bunga sukun berkelamin tunggal (bunga betina dan bunga jantan terpisah) tetapi berumah satu. Bunganya keluar dari ketiak daun pada ujung cabang dan ranting. Bunga jantan berbentuk tongkat panjang yang disebut ontel. Bunga betina berbentuk bulat bertangkai pendek (babal) seperti pada nangka. Bunga betina merupakan bunga majemuk sinkarpik seperti pada nangka. Kulit buah menonjol rata sehingga tampak tidak jelas yang merupakan bekas putik dari bunga sinkarpik. Penyerbukan bunga dibantu oleh angin, sedangkan serangga yang sering berkunjung kurang berperan dalam penyerbukan bunga. Pada buah sukun, walaupun terjadi penyerbukan, pembuahannya mengalami kegagalan sehingga buah yang terbentuk tidak berbiji.

Pada keluwih (Artocarpus communis) kedua proses dapat berlangsung normal sehingga buah yang terbentuk berbiji normal dan kulit buah berduri lunak sekali. Duri buah keluwih merupakan bekas tangkai putik bunga majemuk sinkarpik. Buah sukun mirip dengan buah keluwih (timbul). Perbedaannya adalah duri buah sukun tumpul, bahkan hampir tidak tampak pada permukaan buahnya. Selain itu, buah sukun tidak berbiji (partenokarpi). Akar tanaman sukun mempunyai akar tunggang yang dalam dan akar samping dangkal. Akar samping dapat tumbuh tunas yang sering digunakan untuk bibit (Pitojo, 1999).

Syarat tumbuh

Tanaman sukun baik dikembangkan di dataran rendah hingga ketinggian 1200 mdpl yang bertipe iklim basah. Curah hujan antara 2.000-3.000 mm per tahun. Tanah aluvial yang mengandung banyak bahan organik disenangi oleh tanaman sukun. Derajat keasaman tanah sekitar 6-7. Tanaman sukun relatif toleran terhadap pH rendah, relatif tahan kekeringan, dan tahan naungan.


(20)

Di tempat yang mengandung batu karang dan kadar garam agak tinggi serta sering tergenang air, tanaman sukun mampu tumbuh dan berbuah (Khaerudin, 1999).

Defenisi Hama dan Fungi

Hama adalah dalam kegiatan sehari-hari manusia. Walaupun dapat digunakan untuk semua organisme, dalam praktek istilah ini paling sering dipakai hanya kepada Suatu hewan juga dapat disebut hama jika menyebabkan kerusakan pada Contohnya adalah organisme yang menjadi

Hama digolongkan sebagai pengganggu tanaman yang kasat mata seperti keong, kutu, dan ulat. Sementara penyakit merupakan pengganggu tanaman yang tidak kasat mata seperti jamur, bakteri, dan virus. Penyakit hanya terlihat dengan bantuan alat pembesar seperti mikroskop.

Serangan hama dapat mengakibatkan kerusakan yang cukup merugikan. Untuk itulah diperlukan upaya pengendalian dan kontrol terhadap tanaman sehingga dapat mengurangi risiko kerusakan yang lebih parah. Pengendalian hama dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu mekanis, pengaturan sanitasi lingkungan atau ekologi, dan kimiawi.


(21)

Pengendalian hama secara mekanis dilakukan dengan cara menangkap langsung hama yang terdapat pada tanaman. Keong atau ulat dapat ditangkap pada malam atau siang hari saat mereka menempel pada tanaman. Pengendalian mekanis dilakukan bila populasi hama sedikit. Bila populasinya banyak, sebaiknya digunakan cara lain karena tidak efesien dalam hal waktu maupun tenaga kerja. Pengendalian lainnya adalah dengan pengaturan sanitasi lingkungan. Sanitasi yang baik dan terjaga mengurangi kemungkinan hama menyerang tanaman. Sebagai contoh, siput kecil biasanya berdiam di sampah atau rumput-rumput yang lembab. Bila lingkungan tanaman terhindari dari adanya sampah atau kotoran lainnya maka kesempatan siput untuk tinggal di lingkungan tersebut (Pitojo, 1999).

Hama yang umumnya sering menyerang tanaman sukun adalah penggerek batang (Xyleberus sp.) dan lalat buah (Dacus sp.). Lubang gerekan pada batang disumbat rapat dengan aspal atau batangnya disiram dengan larutan insektisida sistemik dapat mengatasi serangan. Hama penggerek ini dapat mematikan pohon (Wikipedia, 2010).

Fungi merupakan salah satu faktor biotik terbanyak yang menyebabkan tanaman hutan menjadi sakit. Umumnya penyakit tidak hanya disebabkan oleh satu jenis patogen akan tetapi disebabkan oleh beberapa patogen yang datang atau muncul secara bersamaan ataupun berurutan. Hal ini dapat disebabkan beberapa produksi hutan tanaman yang disebabkan berkurangnya produksi hutan tanaman yang diusahakan (Semangun, 2001) .


(22)

Penyakit yang biasa mengancam tanaman sukun adalah mati pucuk (Fusarium sp.), busuk buah lunak (Phytophthora palmivora), dan busuk tangkai buah (Rhizopus sp.). Namun, penyakit ini belum merupakan ancaman serius (Eko, 1992).

Tiga karakteristik utama fungi adalah (1) pembentukkan struktur unit dasar yaitu hifa, (2) pembentukan propagul reproduksi yang sebagian besar adalah spora (biasanya bersel satu) dan (3) penyerapan makanan secara heterotrofik (fungi menghasilkan enzim yang diperlukan untuk penguraian bahan – bahan organik, sehingga dapat diserap dalam bentuk larutan). Disamping tiga karakter utama tersebut, fungi juga mempunyai karakter lain yaitu (1) sebagian multiseluler, (2) sebagian besar tidak dapat bergerak / tidak mempunyai bulu cambuk (non – motile), (3) dinding sel kaku, biasanya mengandung kitin dan (4) pertumbuhan tidak tentu (Worral, 2005).

Menurut Yunasfi (2002) Patogen mungkin menyebabkan penyakit pada tumbuhan dengan cara sebagai berikut :

1. Melemahkan inang dengan cara menyerap makanan secara terus-menerus dari sel-sel inang untuk kebutuhannya.

2. Menghasilkan atau menggangu metabolisme sel inang dengan toksin, enzim, atau zat pengatur tumbuhan yang disekresinya.

3. Menghambat transportasi makanan, hara mineral dan air melalui jaringan pengangkut.


(23)

Hama Tanaman Sukun

Menurut Eko, (1992) ada beberapa jenis hama tanaman sukun, antara lain: 1. Bekicot (Achatina Fulica). Bekicot adalah hewan pemakan tumbuh – tumbuhan, terutama bagian yang lunak. Keluarga Mollusca ini berkembang biak dengan bertelur. Gejala serangan bekicot ditandai dengan terputusnya tunas-tunas muda pada stek akar sukun baik persemaian maupun polybag. Bagian yang tidak termakan biasanya berceceran pada sekitar tempat tersebut. Apabila serangan bekicot tidak terlalu berat, tunas baru masih dapat diharapkan tumbuh kembali. Kerugian dari serangan hama ini relatif kecil, apalagi kalo persemaian sukun ditangani dengan cermat. Cara pencegahan yang paling efisien adalah dengan mencari dan membunuh hewan tersebut, serta memusnahkan kelompok telurnya. Selain itu dapat dilakukan dengan cara selalu menjaga kebersihan sekitar tanaman.

2. Yuyu (ketam kecil, keredek). Yuyu banyak dijumpai didaerah tepi pantai. Hewan tersebut mirip ketam, bewarna, biru tua kehitam-hitaman, dengan ukuran yang lebih kecil. Tubuhnya tidak oval, namun cenderung berbentuk persegi, supitnya realtif besar berwarna kemerah-kemerahan.

3. Penggerek buah. Pada buah menjelang tua, sering dijumpai hama tanaman pengerek buah. Gejala penggerek buah biasanya terlihat pada bagian atas atau bagian sisi buah dengan tanda-tanda lubang kehitam-hitaman. Serangan tersebut memasukkan telurnya kepermukaan buah yang mulai menipis, dan agak kasar. Telur kemudian menetas menjadi ulat kecil yang terus berkembang menjadi dewasa. Ulat tersebut berkulit kekuning-kuningan, kepala kecoklat-coklatan, dan panjangnya mencapai lebih dari dua centimeter.


(24)

Apabila serangan pengerek buah terjadi lebih awal, maka buah sukun dapat terganggu pertumbuhannya, bahkan sering gugur. Namun apabila serangan terjadi pada buah sukun menjelang tua, serangan tersebut tidak berakibat parah, karna biasanya, kerusakan hanya terjadi dibagian luar daging buah. Cara pengendalan hama tersebut belum banyak dilakukan oleh para pemilik pohon sukun. Didaerah yang telah maju, upaya pencegahan terhadap pengerek buah ditempuh dengan cara pembungkusan tiap-tiap buah sukun sejak masih muda dipohon. Pengendalian penggerek buah dengan menggunakan insektisida tidak dianjurkan, karena residu insektisida tersebut dapat membahayakan konsumen.

4. Keluang (Pterocarpus edulis). Keluang atau kelambit, dalam bahasa jawa disebut ”Kalong” , adalah bangsa kelelawar besar yang biasa mencari makan diwaktu senja dan malam hari. Gejala serangan keluang dapat diketahui dengan sisa buah yang tidak utuh lagi tergantung diranting pohon. Selain itu dapat pula dilihat bekas kotoran yang bercecer dibawah pohon sukun atau didahan dan pohon sukun. Serangan keluang mengakibatkan buah cacat dan bahkan dapat rusak sama sekali. Apabila serangan tidak berat, buah perlu segera diambil agar tidak busuk dipohon. Pencegahan serangan keluang dapat dikerjakan seperti upaya perlindungan terhadap buah jambu dan lain-lain, yaitu menghalau dengan bunyi-bunyian memakai alat seperti bambu yang dibelah, kaleng atau yang lain. Senapan angin dapat pula digunakan untuk menembak keluang, namun tidak dianjurkan dapat merusak lingkungan satwa. Selain itu jaring pun dapat dimanfaatkan untuk menangkap keluang.


(25)

Penyakit Tanaman Sukun

Menurut Eko, (1992) ada beberapa jenis pada tanaman sukun, antara lain: 1. Mati Tunas Semai, bagi penangkar bibit sukun sering mengalami kesulitan

dari gangguan penyakit mati tunas semai. Serangan penyakit disebabkan oleh faktor kelembaban yang tinggi. Terutama dimusim penghujan, sehingga tunas semai ditumbuhi oleh jamur. Pada bedeng pertunasan sering dijumpai perkembangan mycelia jamur yang berupa jala-jala putih keabu-abuaan. Jamur ini sangat cepat menjalar dipermukaan tanah maupun menenpel pada stek akar yang sedang disemaikan. Jamur tersebut, bila menyerang, akan menyebabkan tunas yang tumbuh dari stek akar mengalami layu pucuk, dan kemudian diikuti oleh bagian bawahnya, mengering dan mati. Cara pencegahan dapat dilakukan dengan melaksanakan persemaian menurut petunjuk teknis yang benar, bedeng persemaian disemprot dengan fungsida, dan penyiraman dan tidak boleh terlalu lembab.

2. Spot daun kering, spot daun kering diduga disebabkan oleh jamur. Gejala spot kering, nampak pada daun yang cukup tua, utamanya pada musim kemarau. Daun nampak terang menunjukan bercak-bercak kering bewarna coklat pada permukaannya. Bercak kering tersebut mengakibatkan daun berlubang dan tembus pandang, karena bagian yang mati kemudian terlepas dan tertinggal seperti kasa. Penyakit ini tidak banyak merugikan dan cara pengendaliannya adalah penyemprotan fungisida.

3. Gugur buah, buah sukun besar avokad atau buah yang berumur sekitar satu bulan sering gugur. Penyakit gugur buah tersebut sering dijumpai pada musim penghujan dari pada musim kemarau. Pohon tua yang berbuah lebat


(26)

lebih sering terjadi gejala gugur buah dari pada pohon muda yang sedikit buahnya. Penyakit tersebut diduga disebabkan oleh sejenis Jamur

(Fusarium sp). Gejala penyakit dapat dikenali dari penampang tangkai buah

yang memperlihatkan bercak kecoklatan. Jaringan sel pada tangkai buah sebagian rusak dan tidak berfungsi. Cara pengendalian yang dianjurkan adalah membuat kondisi pohon tetap sehat dan perawatan lingkungan, dan pemupukkan tanaman yang tepat dan teratur.

Penyakit tumbuhan sebagian besar disebabkan interaksi antara aktvitas mikroorganisme dan inangnya. Penyebab penyakit yang disebut patogen dapat berupa virus, bakteri, fungi, atau tumbuhan tinggi. Penyebab penyakit tumbuhan juga dapat berupa faktor lingkungan fisik/kimia baik tempat tumbuh maupun lingkungannya. Pohon-pohon di dalam hutan sering kali baru dapat diserang oleh patogen setelah menjadi lemah pertumbuhannya karena kondisi limngkungan yang tidak optimal (Widyastuti, dkk, 2005).


(27)

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di 3 Kabupaten, yaitu Simalungun, Langkat, dan Deli serdang dan laboratorium Hama dan Penyakit Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara. Penelitian dimulai Mei sampai dengan Juli 2010.

Bahan Dan Alat Hama

Bahan yang digunakan adalah tanaman sukun yang terlihat adanya serangan hama. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaring serangga, killing bottle, botol speciemen, pinset, loup, kertas, pipet/alat penyedot, kain kasa, lampu, silet, kuas kecil dan perangkap hama.

Penyakit

Bahan yang digunakan adalah tanaman sukun yang terlihat adanya serangan penyakit, PDA (Potato Dextrose Agar), alkohol 70 %, kloroks 1%, aquades, streptomisin, kertas tissue, kapas, selotif., label nama, aluminium foil dan metil blue. Alat yang digunakan dalam penelitian adalah cawan petri, labu Erlenmeyer, jarum inokulasi, gelas ukur, gelas objek, gelas penutup, bunsen, otoklaf, oven, kompor, mikroskop cahaya, pisau dan alat-alat tulis.


(28)

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian adalah digunakan sebagai berikut (Tambunan dan Sarwintyas, 1993) :

1. Mengamati langsung tanaman sukun yang terserang hama dan fungi 2. Sampel diambil dari jumlah populasi tanaman yang diamati

3. Penagamatan hama dan fungi diamati dilaboratorium.

Pelaksanaan Penelitian Hama

1. Pengawetan Serangga

Awetan serangga bertujuan untuk mengoleksi serangga agar tidak cepat rusak. Pembuatan awetan ini harus sama dengan aslinya agar mempermudah dalam proses identifikasi.

Awetan serangga dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu : 1. Awetan Kering

Biasanya menggunakan jarum suntik, serangga yang ditemukan disuntik pada bagian abdomen dengan menggunakan formalin dan alkohol, selain itu juga dapat digunakan killing bottle yang sudah standard. Serangga yang sudah diawetkan diatur sedemikian rupa pada media koleksi.

2. Awetan Basah

Menggunakan campuran antara formalin : alkohol : air dengan perbandingan 1 : 3 : 10 ml. Serangga yang dikoleksi dengan cara ini biasanya serangga yang berukuran sangat kecil dan sulit dibuat koleksi keringnya.


(29)

2. Identifikasi Hama

Identifikasi hama dilakukan dengan cara menggunakan buku penuntun identifkasi hama. Hama yang telah diawetkan tadi disesuaikan bentuk dan ciri-ciri hama tersebut pada buku identifikasi hama.

Fungi

1. Pembuatan Media Biakan

Media pembiakan patogen adalah PDA (Potato Dextrose Agar) dibuat dari bahan–bahan yang terdiri atas kentang, dextrose, agar, dan aquades. Kentang dikupas dan dicuci bersih, kemudian dipotong kecil-kecil dengan ukuran lebih kurang 1 x 1 x 1 cm sebanyak 200 gr. Potongan kentang tersebut direbus dalam 800 ml aquades sampai kentang menjadi empuk. Rebusan kentang disaring dengan kain muslin sehingga diperoleh cairan ekstrak kentang yang bening. Selanjutnya dextrose 20 gr dan agar 10 gr ditambahkan ke dalam ekstrak tersebut, dipanaskan dan diaduk hingga homogen. Lalu PDA dimasak sampai homogen. Setelah itu larutan PDA dituang ke dalam labu Erlenmeyer sampai memenuhi setengah volume labu Erlenmeyer dan ditutup dengan kapas steril dan ditutup lagi dengan aluminium foil. Larutan media PDA kemudian dimasukkan kedalam oktoklaf untuk diseterilkan selama 15 menit pada suhu 120-1210c dengan tekanan 1,5 atm. Media yang telah diseterillisasi selanjutnya ditunggu sampai hangat kuku untuk bisa dituang kedalam cawan petri.


(30)

2. Isolasi

Bagian daun, batang dan akar tanaman yang diambil 1 x 1 cm, kemudian dibersihkan dengan menggunakan air steril selanjutnya direndam didalam kloroks 1 % selama 2-3 menit untuk sterilisasi permukaan. Bagian daun, batang, akar ini kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan diatas tissue yang steril. Bagian daun, batang dan akar ini selanjutnya ditempatkan pada media PDA dan cawan petri. Pada cawan-cawan petri ditempatkan masing-masing bagian tanaman pada kondisi di suhu ruang dan ditunggu sampai fungi tumbuh dari bagian-bagian daun. Fungi yang telah tumbuh dan berkembang secepatnya dipindahkan kecawan petri lainnya yang berisi media PDA untuk mendapatkan biakan murni.

3. Identifikasi Fungi

Biakan murni fungi diremajakan pada media PDA, dan diinkubasi selama 5-7 hari pada suhu ruang. Fungi yang telah tumbuh pada media, diamati ciri-ciri makroskopisnya yaitu ciri koloni seperti sifat tumbuh hifa, warna koloni dan diameter koloni. Fungi juga ditumbuhkan pada kaca objek. Potongan agar sebesar 4 x 4 x 2 mm yang ditumbuhi fungi diletakkan pada kaca objek, dan ditutup dengan gelas penutup. Biakan pada kaca objek ini ditempatkan dalam kotak plastik yang telah diberi pelembab berupa kapas basah. Biakan kaca ini dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai fungi tumbuh cukup berkembang. Fungi yang berkembang diamati ciri mikroskopisnya yaitu ciri hifa, tipe percabangan hifa, serta ciri-ciri konidia. Ciri-ciri yang dapat ditabulasi, kemudian dicocokkan dengan buku panduan identifikasi fungi.


(31)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Hama

Data hasil pengamatan dibeberapa daerah dapat dilihat bahwa hama yang paling banyak ditemukan adalah Famili Kalotermitidae sebanyak 9 ekor pada 2 daerah pengamatan , yaitu di daerah Sidamanik dan Desa Jatisari sementara yang paling sedikit adalah Famili Cerambicydae yaitu hanya 1 ekor didaerah Kasindir. Table 1. Hama yang diperoleh dari lokasi pengambilan penelitian.

No. Desa Kecamatan Kabupaten Ketinggian jumlah Hama jmlh tan (ordo:Family)

1 Kasindir Jorlang Hataran Simalungun 542 mdpl 5 Isopoda 2 Coleoptera: Cerambycide 1 2 Sidamanik Manik maraja Simalungun 357mdpl 6 Isopoda 1

Isoptera:

Kalotermitidae 4 Coleoptera: Chrysomelidae 1 3 Kbn Kelapa Sicanggang Langkat 57 mdpl 7 Isopoda 2

Coleoptera: Chrysomelidae 1 4 Mekar Sari Deli Tua Deli Serdang 61 mdpl 4 Isopoda 2

5 Jati Sari Lubuk Pakam Deli Serdang 63 mdpl 12 Isoptera: 5 Kalotermitidae 5

Coleoptera: Chrysomelidae 2 Jumlah 34 22


(32)

Gambar 2. Coleoptera: Cerambycidae

Hama ini merupakan jenis hama penggerek batang tanaman sukun. Pada batang terlihat ada bekas-bekas lubang gerekan berukuran sekitar 5 mm ketika kulit batang dibuka. Pada saat identifikasi hama ini tergolong famili Cerambycidae (Borror, 1996).

Gambar 3. Coleoptera: Chrysomelidae

Hama ini merupakan hama penggerek batang tanaman sukun. Serangan terjadi sama seperti famili Cerambycidae. Pada batang terdapat bekas gerekan berupa lubang-lubang tanaman (Borror,1996).


(33)

Gambar 4. Isopoda

Hama ini juga tergolong penggerek batang tanaman sukun. Hama ini ditemukan pada bagian akar tanaman. Pada akar terlihat banyak sisa-sisa bahan tanaman dan kotoran-kotoran hama tersebut. Identifikasi hanya sampai kelas, karena kurangnya buku identifikasi yang membahas tentang Isopoda (Borror, 1996).

Gambar 5. Isoptera: kalotermitidae

Hama ini merupakan jenis rayap. Pada gejala serangan terlihat ada jalur lintasan rayap dan hidup secara berkelompok. Hama ini ditemukan di pangkal batang tanaman (Borror, 1996).


(34)

Pembahasan

Ada beberapa Famili dari hama yang diperoleh dilokasi penelitian umumnya adalah jenis penggerak batang pada tanaman sukun. Ini dapat dilihat pada saat pengambilan data hama pada tanaman sukun ketika dilakukan pengelupasan kulit ataupun dipermukaan batang tanaman telihat ada lubang-lubang bekas gerekan. Gerekan-gerekan ini dapat menyebabkan kematian pada tanaman karena mengganggu transportasi nutrisi ke bagian atas tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Eko (1997) yang menyatakan bahwa gejala yang tampak pada pohon yang tergerek adalah adanya lubang-lubang yang berukuran 3–5 mm yang ditutupi serbuk kayu hasil gerekan. Dari dalam lubang gerekan tersebut keluar cairan kental bercampur kotoran hama. Menurut Borror (1996) bahwa serangga menggerek masuk ke dalam kayu atau kambium pohon yang hidup umumnya adalah kumbang terutama famili (Cerambycidae, Buprestidae, Scolytidae, dan Curculionidae).

Dari hasil dan data pengamatan dapat dilihat serangan hama pada (Gambar 6) bahwa pada daerah dataran tinggi dengan ketinggian 860 mdpl pada desa manik maraja, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, terdapat batang sukun yang terserang hama penggerek yang dapat mengurangi produktivitas sukun, dan dapat menyebabkan layu pada bagian pucuk batang.serta dapat mengakibatkan pembusukan pada tangkai batang.

Kendala dalam pertumbuhan sukun adalah serangan hama, seperti pada batang hama terdapat lubang akibat serangan hama penggerek batang (borer) yang dapat menurunkan produktivitas buah sukun (Tridjaja, 2003).


(35)

Gambar 6. Batang sukun terserang hama

Bagian batang merupakan bagian yang sangat mudah untuk terserang hama penggerek yang dapat merusak bagian batang yang menyebabkan layu pada bagian pucuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Pitojo (1999) bahwa serangan hama penggerek dapat menyebabkan pembusukan dan kematian pada tanaman yang terserang oleh hama penggerek sukun.

Pada Desa Jatisari, Kabupaten Deli Serdang tingkat atau jumlah hama tergolong tinggi. Hal ini kemungkinan dikarenakan jumlah tanaman yang terdapat di daerah tersebut cukup tinggi maka hama juga semakin banyak, karena banyak tanaman dapat menjadi inangnya.

Pada daerah Jati Sari, ditemukan Famili Kalotermitidae. Famili ini merupakan jenis rayap. Pada tanaman yang terserang dapat mengalami kematian karena rayap mampu menyerang dari akar dan menggerek ke bagian tengah tanaman, untuk gejala daun akan menguning dan dapat terlihat ada jalan lintasan untuk rayap menggerek. Untuk pengendalian dapat dilakukan dengan termisida ataupun menuangkan insektisida disekitar batang tanaman.


(36)

Fungi

Pengamatan gejala penyakit pada tanaman sukun dilakukan pada saat pengambilan sampel dilapangan dengan mengamati secara visual pada lokasi pengambilan sampel. Pengamatan secara visual tidak bisa dijadikan acuan dalam menentukan jenis fungi yang menyerang tanaman. Oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan jenis fungi dilaboratorium dengan menggunakan mikroskop.

Hal ini sesuai dengan pendapat Semangun (2001) bahwa pengamatan secara visual dilapangan tidak dapat digunakan dalam menentukan berbagai jenis fungi yang menyerang tanaman. Untuk dapat menentukan jenis fungi yang menyerang tanaman dilakukan penelitian dilaboratorium. Perlunya melakukan identifikasi disebabkan karena banyak penyakit yang memiliki gejala yang hampir sama sehingga sulit untuk dibedakan.

Hasil penelitian yang dilakukan dilaboratorium menunjukkan ada beberapa jenis-jenis fungi yang berbeda-beda dari ketiga lokasi tersebut.

Tabel 2. Isolat Fungi yang diperoleh dari 3 kabupaten.

Kode Kelas Ordo Famili Species A.s1 Ascomycetes Pleosporales Pleosporaceae Curvularia sp A.s2 Zygomicetes Mucorales Mucoraceae Mucor sp B.s1 Zygomicetes Mucorales Mucoraceae Rhizopus sp B.s2 Zygomicetes Mucorales Absidiaceae Absidia sp B.s3 Ascomycetes Eurotiales Eurotiaceae Aspergillus sp D.s1 Deutromycetes Moniliales Tuberculariaceae Fusarium sp A.d1 Zygomicetes Mucorales Mucoraceae Mucor sp A.d2 Ascomycetes Pleosporales Pleosporaceae Curvularia sp B.d1 Ascomycetes Eurotiales Eurotiaceae Aspergillus sp B.d2 Zygomicetes Mucorales Absidiaceae Absidia sp D.d1 Zygomicetes Mucorales Absidiaceae Absidia sp A.l1 Ascomycetes Pleosporales Pleosporaceae Curvularia sp A.l2 Zygomicetes Mucorales Mucoraceae Mucor sp B.l1 Ascomycetes Eurotiales Eurotiaceae Penicillium sp D.l1 Zygomicetes Mucorales Absidiaceae Absidia sp D.l2 Zygomicetes Mucorales Absidiaceae Absidia sp


(37)

Berdasarkan jumlah genus fungi yang ditemukan dilokasi, genus yang terbanyak adalah Absidia sp, dengan jumlah 5 species, yaitu 31,25 % dari 16 species yang ditemukan, diikuti Curvularia sp dan Mucor sp masing-masing 18,75 %, Aspergillus sp yaitu 12,5 %, dan diikuti oleh Penicillium sp, Rhizopus sp, dan Fusarium sp masing-masing 6,25 %. Pada tabel 3 disajikan jumlah genus yang diisolasi dari 3 kabupaten.

Table 3. Jumlah Genus yang diisolasi dari 3 kabupaten.

Genus Fungi jumlah species persentase (%)

Absidia sp 5 31,25 %

Curvularia sp 3 18,75 %

Mucor sp 3 18,75 %

Aspergillus sp 2 12,5 %

Penicillium sp 1 6,25 %

Rhizopus sp 1 6,25 %

Fusarium sp 1 6,25 %

16 100 %

Karakteristik fungi berdasarkan warna permukaan koloni (Tabel.3) didominasi oleh warna putih yang bervariasi. Fungi yang memiliki warna permukaan koloni putih sebanyak 6 species yaitu Curvularia sp (A.s1), Fusarium sp (D.d1), Absidia sp (D.l1), Curvularia sp (A.d2), Absidia sp (D.l1) dan

Curvularia sp (A.l1). Fungi yang memiliki permukaan koloni abu-abu kehitaman

ditemukan sebanyak 4 species yaitu, Mucor sp (A.s2), Absidia sp (B.d2),

Rhizopus sp (B.s1), dan Mucor sp (A.l2), sedangkan fungi yang memiliki

permukaan koloni warna putih kekuningan sebanyak 3 species yaitu Absidia sp (B.s2), Mucor sp A.d1), dan Absidia sp (D.d1), dan fungi yang memilki koloni warna hijau keputihan sebanyak 2 species yaitu Aspergillus sp (B.s3) dan

Aspergillus sp (D.d1). Fungi yang memiliki warna koloni hijau kehitaman


(38)

Hasil penelitian dilaboratorium menunjukkan pertumbuhan 16 jenis fungi pada media PDA tidak sama. Pertumbuhan koloni fungi yang paling cepat adalah

curvularia sp. Fungi ini dapat menutupi seluruh media biakan pada hari ke-2

dengan diameter 12 cm. Sedangkan fungi Mucor sp , merupakan fungi yang paling lambat pertumbuhanya dibandingkan dengan fungi-fungi yang lainnya. Tabel 4. Ciri-ciri Mikroskopik beberapa jenis fungi pada tanaman sukun.

Kode Species Warna Koloni Diameter (cm) Atas Bawah / Umur 7 (Hari) A.s1 Curvularia sp Putih Kuning pupus 6,25

A.s2 Mucor sp Abu-abu kehitaman Hitam 10

B.s1 Rhizopus sp Abu-abu kehitaman Kuning pupus 11

B.s2 Absidia sp Putih kekuninagn Kuning pupus 10

B.s3 Aspergillus sp Hijau keputihan Kuning pupus 10

D.s1 Fusarium sp Putih Kuning pupus 9

A.d1 Mucor sp Putih kekuningan Kuning pupus 6,6 A.d2 Curvularia sp Putih Kuning pupus 7,9 B.d1 Aspergillus sp Hijau keputihan Kuning pupus 7,75 B.d2 Absidia sp Abu-abu kehitaman Hitam 10,5 D.d1 Absidia sp Putih kekuningan Kuning pupus 9,6 A.l1 Curvularia sp Putih Kuning pupus 12

A.l2 Mucor sp Abu-abu kehitaman Hitam 10

B.l1 Penicillium sp Hijau kehitaman Hitam 12

D.l1 Absidia sp Putih Putih pupus 10 D.l2 Absidia sp Putih Putih pupus 8,5

Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian, species fungi yang terdapat pada ketiga lokasi ( kab. Simalungun, kab. Deli Serdang, kab, Langkat) terdiri dari 16 species yaitu, Curvularia sp, Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp, Aspergillus sp Fusarium sp dan Penicillium sp

Berdasarkan hasil frekuensi kehadiran fungi, Absidia sp merupakan fungi yang paling banyak jumlahnya yaitu 5 species , dari 16 species yang ditemukan, sedangkan frekuensi kehadiran Mucor sp dan Curvularia sp yaitu masing-masing


(39)

3 species, sedangkan dari kehadiran Aspergillus sp 2 species, dan kehadiran

Rhizopus sp, Penicillium sp dan Fusarium sp masing-masing 1 species.

Tingginya kehadiran fungi pada tanaman sukun pada ketiga lokasi penelitian Menurut Sutedjo dkk (1991) disebabkan faktor lingkungan yang terdapat pada lokasi yang mendukung pertumbuhan fungi, seperti suhu udara, kelembaban udara, Ph tanah, dan ketersediaan nutrisi dalam tanah. Lingkungan yang sesuai pada pertumbuhan fungi akan merangsang kelimpahan dari sejumlah fungi tanah sehingga terlibat dalam proses seperti pembentukan tanah, penghancuran serasah, ketersediaan unsur hara, daur ulang, dan metabolisme pada tanaman. Menurut Rao (1994) kuantitas dan kualitas bahan organik yang ada dalam tanah mempunyai pengaruh langsung terhadap fungi karena fungi dalam tanah nutrisinya heterotrofik.

Berdasarkan hasil penelitian, variasi keanekaragaman fungi pada Kab. Simalungun lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh karena kondisi tanah tanaman sukun, lebih subur, hal ini didukung oleh kandungan substrat dalam tanah yang mampu mendukung pertumbuhan fungi dalam tanah, dimana kualitas dan kuantitas bahan organik yang ada didalam tanah. Fungi sebagian besar memanfaatkan sisa-sisa bahan organik dengan mudah, tetapi jumlahnya dalam tanah bervariasi dan tergantung pada speciesnya masing-masing.


(40)

Gambar 7. Absidia sp koloni berumur 14 harinpada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) konidiofor (a), konidia (b)

Absidia sp (Gambar 7) berdasarkan penelitian merupakan fungi yang

memberi manfaat bagi tanaman Pteridium aqualinium (Bacon, 2000). Menurut Sukarno (1999) umumnya ditemukan pada daerah tropis dan hidup secara simbiosis mutualistik pada tanaman. Absidia sp berfungsi mendekomposisi bahan organik dalam tanah, dan membantu penyerapan unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam pertumbuhannya. Pertumbuhan koloni Absidia sp sangat cepat.

Pada saat berumur 7 hari koloni Absidia sp sudah menutupi keseluruhan permukaan media PDA. Bentuk koloni Absidia sp tampak seperti kapas, dan berwarna abu-abu. Menurut Gandjar (1999) hifa Absidia sp berwarna kecoklatan, dan seringkali terdapat tetes-tetes cair yang melekat pada tubuhnya dan memiliki dinding halus hingga agak kasar, kadang-kadang tubuh Absidia sp memiliki septa. Sporangiosfornya berpigmen agak pucat, berdinding halus hingga agak kasar, tampak sederhana dan kadang-kadang sporangiosfornya bercabang. Absidia sp memiliki banyak spora, berwarna abu-abu kecoklatan ketika matang dan berdinding transparan. Sporangiosporanya bervariasi bentuknya dari semi bulat, hingga elips.

A B

b a


(41)

Gambar 8. Aspergillus sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk Mikroskopik (B), konidiofor (a), konidia (b)

Menurut dwijoseputro (1978), Aspergillus sp terdapat dimana-mana, baik di daerah kutub maupun di daerah tropik, dan hampir pada setiap substrat.

Aspergillus sp memilki fungsi penting bagi tanaman, Aspergillus sp dapat

berperan dalam merambat N bebas dari udara dan melarutkan fosfat di dalam tanah yang berfungsi sebagai perekat dalam pembentukan agregat tanah yang dapat dijadikan sebagai nutrisi Organik bagi tanaman. Oleh sebab itu Aspergillus sp memiliki asosiasi simbiotik dengan tumbuhan dan berperan penting dalam menjaga tingkat kesuburan alami tanah, selain itu Aspergillus sp juga dapat menekan perkembangan penyakit pada tanaman yang disebabkan oleh patogen tanah (Goto, 1999, Bruggen 2000, Budi 2000).

Menurut ilyas (2007) faktor yang menyebabkan tingginya kehadiran

Aspergillus sp memiliki sebaran kosmopolitan, yang dapat menghasilkan spora

vegetatif (konidia) dalam jumlah yang besar dan pertumbuhannya yang sangat cepat. Menurut Syarifuddin (2002) Tingginya kehadiran Aspergillus sp disebabkan karena aspergillus sp mampu bertahan hidup pada kondisi yang rendah.

A B

a


(42)

Beberapa ahli telah mengisolasi dan meneliti bahwa Aspergillus sp adalah fungi yang bermanfaat (endofit) dari berbagai tanaman diantaranya, tanaman Gambir (Ilyas et al, 2008), pada pohon Prosopis cineraria (Praven et al, 2008), tanaman Mangrove (Maria et al, 2005), tanaman Juniperus communis (Kusari, 2008), tanaman Calotropis procera (Rezwana et al, 2007), tanaman Whitania

somnifera (Rezwana et al, 2010), dan pada tanaman kelapa sawit (Rizki, 2008).

Bentuk koloni Aspergillus sp pada media PDA ketika berumur 7 hari berwarna hijau keputihan. Pada umur 10 hari koloni Aspergillus sp hampir menutupi seluruh permukaan media PDA. Pertumbuhannya sangat cepat dan menyebar, koloni Aspergillus sp pada umumnya tipis. Menurut Gandjar (1999) konidia Aspergillus sp berwarna putih kemudian krem, dan agak basah pada koloni yang masih segar. Konidia Aspergillus sp sering kali ada yang kecil dan berbentuk bulat hingga semi bulat, dan memiliki dinding tipis dan halus./

Gambar 9. Curvularia sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) konidiofor (a), konidia (b)

Curvularia sp (Gambar 9) berdasarkan penelitian Ravindra et al, (2008),

merupakan fungi yang bermanfaat pada bakung Cantharanthus roseus, menurut Vijai et al, (2006) Curvularia sp merupakan fungi bermanfaat pada tanaman

Azardirachta indica, dan pada tanaman kelapa sawit (Rizki, 2008).

A B

b


(43)

Menurut Rao (1994) Curvularia sp pada tanaman mampu mendokomposisikan bahan organik dalam tanah, mengoksidasi aneka garam Mn, meningkatkan kadar fosfor, dan berperan sebagai agen biokontrol terhadap berbagai patogen tanaman dalam tanah.

Berdasarkan penelitian Saragih (2005) tingginya kehadiran Curvularia sp pada daerah tropis disebabkan oleh faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhannya. Menurut Gandjar (1999) koloni Curvularia sp memiliki warna coklat dan bentuknya mirip beludru atau kapas. Konidiofornya berbentuk tunggal atau berkelompok, tampak sederhana, lurus atau membengkok.

Pada umumnya konidia Curvularia sp berbentuk geniculate, berwarna coklat dan memucat. Porokonidia (konidia) Curvularia sp memiliki septa pada tubuhnya antara 3-4 septa.

Gambar 10. Fusarium sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), Konidiofornya (a), makrokonidia (b)

Fusarium sp (Gambar 10) merupakan patogen yang menyebabkan

penyakit pada tanaman sukun, patogen ini menyerang daun yang menyebabkan nekrotik. Walaupun patogen ini umum pada tanaman, tetapi serangan yang ditimbulkan tidak menyebabkan kerugian ekonomi yang begitu berarti.

A B

a


(44)

Menurut Gandjar (1999) konidiofor Fusarium sp semua berbentuk lateral dan bercabang-cabang, kemudian percabangannya semakin banyak dan lebat. Makrokonidia Fusarium sp pada umumnya berbentuk sabit, langsing, dan bersepta mulai 3 hingga 5. Bentuk koloni Fusarium sp pada umur 4 hari berwarna putih bersih, kemudian pada hari ke 7 koloninya mulai mengalami perubahan warna. Warna koloni berubah menjadi warna orange kekuningan hingga hari ke 10, dan pertumbuhan koloni Fusarium sp pada hari yang sama telah menutupi seluruh permukaan koloni.

Gambar 11. Penicillium sp koloni berumur 14 pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) konidiofor (a), konidia (b)

Penicillium sp (Gambar 11) menurut berbagai penelitian merupakan fungi yang endofit pada jati putih (Sukanyanne et al, 2005), pada tanamaman

Melia azadarach (Regina et al, 2003), tanaman Prosopis cineraria (Preveen et al,

2008), Calotropis procera (Rezwana et al, 2007), tanaman Gambir (Ilyas et al, 2008), dan pada tanaman kelapa sawit (Rizki, 2008).

Penicillium sp merupakan fungi yang banyak digunakan dalam bidang medis karena kemampuannya dalam menghasilkan antibiotik untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen. Selain itu Penicillium sp mempunyai kemampuan dalam menghasilkan enzim urea reduktase dan fosfatase yang

A B

b


(45)

berperan dalam penambat N bebas dari udara dan pelarut P yang berfungsi sebagai perekat dalam pembentukan agregat tanah dan mampu menekan

perkembangan penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen (Goto, 1999; Bruggen, 2000; Budi, 2000),

Pertumbuhan koloni Penicillium sp pada umumnya sangat cepat dan bentuk permukaan koloninya mirip seperti beludru, dan memiliki warna hijau kecoklatan. Menurut Gandjar (1999) konidiofor Penicillium sp bercabang tidak teratur dan berdinding halus. Fialidnya sering soliter, berbentuk silindris, berdinding halus, berwarna hijau redup dalam jumlah yang sangat banyak.

Gambar 12. Rhizopus sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) sporangiosfor (a), sporaangia (b)

Berdasarkan penelitian Rhizopus sp merupakan fungi yang endofit pada tanaman Broussonetia popyrifera, Celtis accidentalis, Ligustrum lucidum (Errasti, 2010), dan pada belimbing (Pratella 2003). Menurut Gandjar (1999)

Rhizopus sp memiliki koloni awalnya berwarna keputihan kemudian berubah

menjadi coklat keabu-abuan. Hal ini disebabkan karena warna coklat yang berasal dari sporangiosfor dan coklat kehitaman yang berasal dari sporangia. Pada umur 4 hari koloni Rhizopus sp sudah membesar dan pertumbuhan koloninya sangat cepat. Sporangia Rhizopus sp berbentuk bulat hingga semibulat dan berwarna coklat kehitaman saat matang. Bentuk sporangiosfora Rhizopus sp pada umumnya

A B

a b


(46)

tidak teratur, bulat, elips dan memiliki garis pada permukaannya. Sporangiosfornya tidak berwarna hingga berwarna coklat gelap, dan memiliki dinding halus.

Gambar 13. Mucor sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) sporangiosfor (a), sporangia (b)

Mucor sp merupakan jenis fungi yang bersifat endofit pada tumbuhan

daun wungu (Graptohyllum pictum) menurut strobel and daysi (2003). Mucor sp (Gambar 13), menurut Gandjar (1999) miselium Mucor sp tersebar luas didalam ataupun diatas substrat, tanpa rizoid, dan pada umumnya banyak memiliki percabangan. Sporangia biasanya tegak lurus pada simpodial sporangiosfora, dan memiliki banyak warna. Mucor sp memiliki kolumela dengan variasi bentuk dan tipe, ada yang berwarna dan ada pula yang tidak berwarna. Zigospora pada misellium tidak pada bagian percabangan khusus dan tidak memiliki pembungkus, gametangia tumbuh lurus.

A B

a b


(47)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

jenis hama yang di peroleh pada tanaman sukun ada 4 jenis dan yang paling banyak adalah jenis Kalotermitidae terdapat pada daerah sidamanik dan fungi ada 7 jenis, dan fungi yang menyebabkan penyakit pada tanaman sukun adalah Fusarium sp pada daun sukun.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui fungi-fungi apa saja yang dapat menyebabkan penyakit (patogen) pada tanaman sukun.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2007.BudidayaSukun.http://ayobertani.wordpress.com/2009/04/27/budid aya-sukun/.[30/03/2010;12.34].

Anonimous,2010.Pengendalian Hama dan Penyakit.

hama dan

penyakit.(diakses 3 Mei 2010)

Anonimous, 2010. Budidaya sukun. www.Grameen Foundation.com (diakses tanggal 3 Mei 2010).

Borror, D.J., C.A. Triplehorn., dan N.F. Johnson., 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Budi, S. W. 2000. Hydrolitic enzyme activity of Paennibacillus sp. Strain b2 and

effect of the antagonistic bacteriumon cell integrity of two soil borne pathogenic fungi. Aplied Soil Ecology. 15:191-199.

Bruggen, A. H. C. V. 2000. In search of biological indicators for soil health and diseases supression. Aplied Soil Ecology. 15:25-26.

Carrol, G.C. 1988. Fungal endophytes in steam and leaves. From latent pathogens to mutualistic symbiont. Ecology.69:2-9

Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2002. Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Dwidjoseputro.1978. Pengantar mikologi. Edisi Kedua. Bandung. Penerbit Alumni. Hlm. 92-172.

Djafar, & S. Rahayu. 2005. Grubi dari Sukun Muda. Surat kabar Sinar Tani

Yogyakarta.

Eko, A.T. 1997. Bibit Sukun Cilacap, 2003. Penebar Kanisius. Yogyakarta.

Gandjar.I.,Samson.R.A.Karinvanden, T.V.,oetari.A.santoso.I.1999. pengertian Kapang Tropik Umum. Universitas Indonesia. Jakarta.

George, Gangga, Varma, Sasikumar, Saji, 2005. Endophytic mycoflora of inner bark of Azadirachta indica A. Juss.


(49)

Gong Li Juan and Shun Xing Guo, 2008. Endophytic fungi from Dracaena

ambodiana and Aquilaria sinensis and antimicrobial activity. African

Journal of Biotechnology Vol. 8 (5), pp. 731-736, 6 March, 2009 Available online at p://www.academicjournals.org/ajb.issn 1684-5315 @ 2009 Academic Journal.

Ilyas. M, atit kanti, yuliasri jamal, hertina, andria agusta, 2008. Biosystematic and culture collection laboratory, microbiology division, reseach centre for biology, Indonesian institute of sciences (lipi), cibinong-bogor 16911. 2 Phytochemistry Laboratory, Botany Division, Research Centre for Biology, Indonesian institute of sciences (LIPI), Cibinong-Bogor 16911.

Kartikawati, N.K dan H.A. Adinugraha. 2003. Teknik Persemaian dan Informasi Benih Sukun. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Maria, G.L., Sridhar, K.R. and Raviraja, N.S. (2005). Antimicrobial and enzyme.activity of mangrove endophytic fungi of southwest coast of india. Journal of agriculture Technologi 1:xx.xx.

Pitojo,S. 1999. Budidaya Sukun. Kanisius. Jakarta.

Petrini,O.T.N, Sieber, L.Toti dan O.Viret. 1992. Ecology metabolite production and substrate ultilization in endophytic fungi. Natural Taxins.1:185-196. Praveen Gehlot, 2N.K. Bohra and 1 D.K. Purohit. 2008. Endophytic microflora of

inner Bark of Prosopis cinnera- a Key Stone Tree Species of Indian Desert. American Eurasian Journal of Botany, 1 (!): 01-04, 2008 ISSN 1995-8951© IDOSI Publication, 2008.

Rao, N.S.S 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Universitas Indonesia. Jakarta.

Regina M. Geris dos Santos and Edson Rodrigues-Fo.2003, Further Meroterpenes Produced by Penicilluim sp., an Endophyte Obtained fom Melia azadarach. Z. Naturforsch. 58c, 663; 669 (2003): received January 22/March 11, 2003 Ravindra N. Kharwarl1,2,*, Vijay C. Verma, Gary Stobel and David Ezra, 2008.

The Endophytic Fungal complex of Chataranthus roseus (L.) G. Don. Centre of Advanced Study in Botany, Banaras Hindu University, Varansi. Rezwana khan1,3, saleem shasdazd2, m. iqbal choudary3, Shakeel a. Khan 1 and

aqeel ahmad 1. 2007. Biodiversity of Endophytic fungi isolated From


(50)

Rizky, 2008. Isolasi dan Uji Antagonis Fungi Enopit Akar Kelapa sawit (Elaaeis

guineensis jacq.) terhadap Ganoderma boninensisakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.

Strobel,G.A, W.M. Hess, E, Ford, R, S,Sidhu and X, Yang. 1996. Taxol from fungal endophytes and the issue of biodivesrsity. Journal of industrial

microbiology.17:417-425.

Sutedjo.M.M Kartasapoetra. A.G. Sastroatmodjo.R.D.S. 1991. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

Suharna, N.1999. Pengaruh Perlakuan Perendaman dadalam Air sebelum Pemindahan terhadap Pemulihan Biak-biak monoscus spp yang mengering. Jurnal mikrobiologi tropika. 2 (1) : 74-80.

Syarifuddin. A. 2002. Teknik identifikasi Mikroorganisme Penyedia unsur hara tanaman pada ultisol pulau buru. Buletin teknik pertanian. Vol. 7 Nomor 1. 2002.

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sinaga, M. S. 2003. Ilmu Penyakit Hutan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sumardi dan S. M Widyastuti.2004. Dasar-Dasar Perlndungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tambunan K, dan Sarwintyas P. 1993. Sari Laporan Penelitian dan Survey. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Widyastuti, S.M, Sumardi, Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yunasfi, 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit dan Penyakit yang disebabkan oleh Jamur. Universitas Sumatera Press. Medan. Wikipedia. 2010. Ham Wikipedia. 2010. Pengendalian Hama.

Wordpress. 2009. Budidaya Sukun. http://ayobertani.wordpress.com /2009/04/27/ budidaya-sukun/.


(1)

berperan dalam penambat N bebas dari udara dan pelarut P yang berfungsi sebagai perekat dalam pembentukan agregat tanah dan mampu menekan

perkembangan penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen (Goto, 1999; Bruggen, 2000; Budi, 2000),

Pertumbuhan koloni Penicillium sp pada umumnya sangat cepat dan bentuk permukaan koloninya mirip seperti beludru, dan memiliki warna hijau kecoklatan. Menurut Gandjar (1999) konidiofor Penicillium sp bercabang tidak teratur dan berdinding halus. Fialidnya sering soliter, berbentuk silindris, berdinding halus, berwarna hijau redup dalam jumlah yang sangat banyak.

Gambar 12. Rhizopus sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) sporangiosfor (a), sporaangia (b)

Berdasarkan penelitian Rhizopus sp merupakan fungi yang endofit pada tanaman Broussonetia popyrifera, Celtis accidentalis, Ligustrum lucidum (Errasti, 2010), dan pada belimbing (Pratella 2003). Menurut Gandjar (1999) Rhizopus sp memiliki koloni awalnya berwarna keputihan kemudian berubah menjadi coklat keabu-abuan. Hal ini disebabkan karena warna coklat yang berasal dari sporangiosfor dan coklat kehitaman yang berasal dari sporangia. Pada umur 4 hari koloni Rhizopus sp sudah membesar dan pertumbuhan koloninya sangat cepat. Sporangia Rhizopus sp berbentuk bulat hingga semibulat dan berwarna

A B

a b


(2)

tidak teratur, bulat, elips dan memiliki garis pada permukaannya. Sporangiosfornya tidak berwarna hingga berwarna coklat gelap, dan memiliki dinding halus.

Gambar 13. Mucor sp koloni berumur 14 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B) sporangiosfor (a), sporangia (b)

Mucor sp merupakan jenis fungi yang bersifat endofit pada tumbuhan daun wungu (Graptohyllum pictum) menurut strobel and daysi (2003). Mucor sp (Gambar 13), menurut Gandjar (1999) miselium Mucor sp tersebar luas didalam ataupun diatas substrat, tanpa rizoid, dan pada umumnya banyak memiliki percabangan. Sporangia biasanya tegak lurus pada simpodial sporangiosfora, dan memiliki banyak warna. Mucor sp memiliki kolumela dengan variasi bentuk dan tipe, ada yang berwarna dan ada pula yang tidak berwarna. Zigospora pada misellium tidak pada bagian percabangan khusus dan tidak memiliki pembungkus, gametangia tumbuh lurus.

A B

a b


(3)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

jenis hama yang di peroleh pada tanaman sukun ada 4 jenis dan yang paling banyak adalah jenis Kalotermitidae terdapat pada daerah sidamanik dan fungi ada 7 jenis, dan fungi yang menyebabkan penyakit pada tanaman sukun adalah Fusarium sp pada daun sukun.

Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui fungi-fungi apa saja yang dapat menyebabkan penyakit (patogen) pada tanaman sukun.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2007.BudidayaSukun.http://ayobertani.wordpress.com/2009/04/27/budid aya-sukun/.[30/03/2010;12.34].

Anonimous,2010.Pengendalian Hama dan Penyakit.

hama dan

penyakit.(diakses 3 Mei 2010)

Anonimous, 2010. Budidaya sukun. www.Grameen Foundation.com (diakses tanggal 3 Mei 2010).

Borror, D.J., C.A. Triplehorn., dan N.F. Johnson., 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Budi, S. W. 2000. Hydrolitic enzyme activity of Paennibacillus sp. Strain b2 and

effect of the antagonistic bacteriumon cell integrity of two soil borne pathogenic fungi. Aplied Soil Ecology. 15:191-199.

Bruggen, A. H. C. V. 2000. In search of biological indicators for soil health and diseases supression. Aplied Soil Ecology. 15:25-26.

Carrol, G.C. 1988. Fungal endophytes in steam and leaves. From latent pathogens to mutualistic symbiont. Ecology.69:2-9

Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2002. Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Dwidjoseputro.1978. Pengantar mikologi. Edisi Kedua. Bandung. Penerbit Alumni. Hlm. 92-172.

Djafar, & S. Rahayu. 2005. Grubi dari Sukun Muda. Surat kabar Sinar Tani

Yogyakarta.

Eko, A.T. 1997. Bibit Sukun Cilacap, 2003. Penebar Kanisius. Yogyakarta.

Gandjar.I.,Samson.R.A.Karinvanden, T.V.,oetari.A.santoso.I.1999. pengertian Kapang Tropik Umum. Universitas Indonesia. Jakarta.

George, Gangga, Varma, Sasikumar, Saji, 2005. Endophytic mycoflora of inner bark of Azadirachta indica A. Juss.


(5)

Gong Li Juan and Shun Xing Guo, 2008. Endophytic fungi from Dracaena ambodiana and Aquilaria sinensis and antimicrobial activity. African Journal of Biotechnology Vol. 8 (5), pp. 731-736, 6 March, 2009 Available online at p://www.academicjournals.org/ajb.issn 1684-5315 @ 2009 Academic Journal.

Ilyas. M, atit kanti, yuliasri jamal, hertina, andria agusta, 2008. Biosystematic and culture collection laboratory, microbiology division, reseach centre for biology, Indonesian institute of sciences (lipi), cibinong-bogor 16911. 2 Phytochemistry Laboratory, Botany Division, Research Centre for Biology, Indonesian institute of sciences (LIPI), Cibinong-Bogor 16911.

Kartikawati, N.K dan H.A. Adinugraha. 2003. Teknik Persemaian dan Informasi Benih Sukun. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta.

Maria, G.L., Sridhar, K.R. and Raviraja, N.S. (2005). Antimicrobial and enzyme.activity of mangrove endophytic fungi of southwest coast of india. Journal of agriculture Technologi 1:xx.xx.

Pitojo,S. 1999. Budidaya Sukun. Kanisius. Jakarta.

Petrini,O.T.N, Sieber, L.Toti dan O.Viret. 1992. Ecology metabolite production and substrate ultilization in endophytic fungi. Natural Taxins.1:185-196. Praveen Gehlot, 2N.K. Bohra and 1 D.K. Purohit. 2008. Endophytic microflora of

inner Bark of Prosopis cinnera- a Key Stone Tree Species of Indian Desert. American Eurasian Journal of Botany, 1 (!): 01-04, 2008 ISSN 1995-8951© IDOSI Publication, 2008.

Rao, N.S.S 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Universitas Indonesia. Jakarta.

Regina M. Geris dos Santos and Edson Rodrigues-Fo.2003, Further Meroterpenes Produced by Penicilluim sp., an Endophyte Obtained fom Melia azadarach. Z. Naturforsch. 58c, 663; 669 (2003): received January 22/March 11, 2003 Ravindra N. Kharwarl1,2,*, Vijay C. Verma, Gary Stobel and David Ezra, 2008.

The Endophytic Fungal complex of Chataranthus roseus (L.) G. Don. Centre of Advanced Study in Botany, Banaras Hindu University, Varansi. Rezwana khan1,3, saleem shasdazd2, m. iqbal choudary3, Shakeel a. Khan 1 and

aqeel ahmad 1. 2007. Biodiversity of Endophytic fungi isolated From Calotropis procera (ait) R. Br. Pak. J. Bot., 39(6): 2233-2239.


(6)

Rizky, 2008. Isolasi dan Uji Antagonis Fungi Enopit Akar Kelapa sawit (Elaaeis guineensis jacq.) terhadap Ganoderma boninensisakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan.

Strobel,G.A, W.M. Hess, E, Ford, R, S,Sidhu and X, Yang. 1996. Taxol from fungal endophytes and the issue of biodivesrsity. Journal of industrial microbiology.17:417-425.

Sutedjo.M.M Kartasapoetra. A.G. Sastroatmodjo.R.D.S. 1991. Mikrobiologi Tanah. Rineka Cipta. Jakarta.

Suharna, N.1999. Pengaruh Perlakuan Perendaman dadalam Air sebelum Pemindahan terhadap Pemulihan Biak-biak monoscus spp yang mengering. Jurnal mikrobiologi tropika. 2 (1) : 74-80.

Syarifuddin. A. 2002. Teknik identifikasi Mikroorganisme Penyedia unsur hara tanaman pada ultisol pulau buru. Buletin teknik pertanian. Vol. 7 Nomor 1. 2002.

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuahan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sinaga, M. S. 2003. Ilmu Penyakit Hutan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sumardi dan S. M Widyastuti.2004. Dasar-Dasar Perlndungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Tambunan K, dan Sarwintyas P. 1993. Sari Laporan Penelitian dan Survey. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Widyastuti, S.M, Sumardi, Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yunasfi, 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit dan Penyakit yang disebabkan oleh Jamur. Universitas Sumatera Press. Medan. Wikipedia. 2010. Ham Wikipedia. 2010. Pengendalian Hama.

Wordpress. 2009. Budidaya Sukun. http://ayobertani.wordpress.com /2009/04/27/ budidaya-sukun/.