Penetapan Kadar Parasetamol 500 Mg Dalam Omegrip Tablet Dengan Metode Spektrofotometri Ultra Violet Di PT. Mutifa Medan

(1)

PENETAPAN KADAR PARASETAMOL 500 mg DALAM OMEGRIP TABLET DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI ULTRA VIOLET

DI PT. MUTIFA MEDAN TUGAS AKHIR

OLEH :

PUTRI HANDAYANI HASIBUAN 072410002

PROGRAM STUDI D III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2010

PENETAPAN KADAR PARASETAMOL 500 mg DALAM OMEGRIP TABLET DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI ULTRA VIOLET

DI PT. MUTIFA MEDAN TUGAS AKHIR

OLEH :

PUTRI HANDAYANI HASIBUAN 072410002

PROGRAM STUDI D III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2010

PENETAPAN KADAR PARASETAMOL 500 mg DALAM OMEGRIP TABLET DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI ULTRA VIOLET

DI PT. MUTIFA MEDAN TUGAS AKHIR

OLEH :

PUTRI HANDAYANI HASIBUAN 072410002

PROGRAM STUDI D III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena rahmat dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan Penulisan Tugas Akhir yang berjudul Penetapan Kadar Parasetamol 500 mg Dalam Omegrip Tablet Dengan Metode Spektrofotometri Ultra Violet Di PT. MUTIFA Medan ini sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Sembah sujud dan terima kasih terbesar penulis ucapkan kepada Ayahanda tercinta Fachruddin Hsb, B.A., dan Ibunda tersayang Yusriani Nasution yang telah mendidik, membesarkan, dan memberi motivasi berupa moril maupun materil kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah dan tugas akhir ini dengan baik.

Sepenuhnya penulis menyadari bahwa selama penyusunan Tugas Akhir ini banyak mendapatkan dukungan, bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Maralaut Batubara, M.Phill., Apt., selaku pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing, memberi petunjuk dan saran sampai selesainya Tugas Akhir ini.

2. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisyahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU.

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku ketua Program Studi D-III Analis Farmasi dan Makanan.


(4)

4. Ibu Dra. Nazliniwati, M.Si., Apt., selaku Dosen wali penulis selama melaksanakan pendidikan.

5. Kakanda Mida Fachriani, S.H., dan Dian Eka, Amkeb., abangda Fahriza, dan adinda M.Rasyid Redha yang telah memberikan semangat kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan Tugas Akhir ini.

6. Abangda tersayang Rian yang selama ini memberi perhatian dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.

7. Seluruh Dosen Fakultas Farmasi yang telah memberi ilmu pengetahuan kepada penulis selama ini.

8. Teman-teman terdekat Sri Dewi, Tiwi, Santi, Fida, Denny dan Feli, yang telah banyak membantu penulis selama pendidikan.

9. Seluruh mahasiswa teman seperjuangan Analis Farmasi USU, terima kasih untuk jalinan persahabatan dan kerja sama serta kebersamaan yang indah selama menjalani pendidikan.

Akhirnya penulis mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulisan Tugas Akhir ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa Tugas Akhir ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan senang hati penulis menerima saran dan kritikan yang bersifat membangun. Dan mudah-mudahan Tugas Akhir ini bermanfaat bagi pembaca khususnya di bidang Farmasi.

Medan, Mei 2010 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI .. v

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan dan Manfaat 3

1.2.1 Tujuan . 3

1.2.2 Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat 4

2.2 Pengertian Tablet .. 4

2.3 Syarat-syarat Tablet .. 5

2.4 Parasetamol ... 7

2.4.1 Sejarah Parasetamol . 9

2.4.2 Indikasi . 10

2.4.3 Efek samping dan Toksisitas 11

2.4.4 Farmakokinetika ... 11

2.4.5 Dosis . 11


(6)

BAB III METODOLOGI

3.1 Tempat Pelaksanaan Penetapan Kadar 13

3.2 Alat-alat ... 13

3.3 Bahan-bahan .... 13

3.4 Pembuatan larutan pereaksi . 13

3.4.1 NaOH 0,1 N . 13

3.5 Pembuatan larutan baku ... 14

3.6 Pembuatan larutan uji ... 14

3.7 Cara penetapan kadar ... 14

3.8 Perhitungan ... 15

3.9 Persyaratan 15

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil .. 16

4.2 Pembahasan .. 16

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan ... 17

5.2 Saran ... 17

DAFTAR PUSTAKA ... 18


(7)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Rasa sakit bukan penyakit tapi tanda atau gejala bahwa kesehatan seseorang terganggu. Pada umumnya, rasa sakit kurang mempunyai arti sebagai tanda peringatan maupun dalam membantu penegakan diagnosis. Dan rasa sakit dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu rasa sakit di permukaan, rasa sakit di dalam, dan rasa sakit somatik. Rasa sakit di permukaan dirasakan di bagian kulit atau selaput lendir, dan pada bagian tertentu. Sakitnya sangat terasa. Rasa sakit di dalam, dirasakan pada organ-organ tubuh yang terdiri atas otot polos. Kedua golongan rasa sakit ini biasanya memerlukan obat-obat yang dapat diperoleh dengan resep dokter (Sartono, 1996).

Rasa sakit somatik, dirasakan di bagian-bagian otot rangka, sendi, dan pembuluh-pembuluh yang tidak jelas letaknya. Rasa sakit somatik antara lain sakit kepala, sakit gigi, pegal-pegal, artritis, dan sebagainya. Rasa sakit somatik yang tidak berat, biasanya dapat dihilangkan dengan obat-obat penghilang rasa sakit yang dapat diperoleh tanpa resep dokter atau dijual bebas (Sartono, 1996).

Rasa nyeri dalam kebanyakan hal hanya merupakan suatu gejala, yang fungsinya ialah melindungi dan memberikan tanda bahaya tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan (rematik, encok), infeksi-infeksi kuman atau kejangan-kejangan otot (Tjay, 2002).


(8)

Sebab-sebabnya rasa nyeri adalah rangsangan-rangsangan mekanis atau kimiawi (atau pula kalor atau listrik), yang dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang di sebut mediator-mediator nyeri (perantara). Zat-zat ini lalu merangsang reseptor-reseptor nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan-jaringan lain. Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensorik ke SSP melalui sumsum tulang belakang ke thalamus (optikus) dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, di mana rangsangan dirasakan sebagai nyeri (Tjay, 2002).

Pada umumnya demam adalah suatu gejala dan bukan merupakan penyakit tersendiri sebagaimana dianggap orang sampai dipermulaan abad ini. Kini para ahli bersepakat bahwa demam adalah suatu reaksi tangkis yang berguna dari tubuh terhadap infeksi. Bila suhu melampaui 40-41oC barulah terjadi situasi kritis yang bisa fatal, karena tidak terkendalikan lagi oleh tubuh (Tjay, 2002).

Untuk menghilangkan rasa sakit atau nyeri yang ringan sampai moderat, serta untuk menurunkan suhu badan pada keadaan panas badan yang tinggi di butuhkan obat yang memiliki efek antipiretik (menurunkan demam) dan analgesik. Dimana antipiretik bekerja dengan meningkatkan eliminasi panas dengan cara menimbulkan dilatasi pembuluh darah perifer dan mebolisasi air sehingga terjadi pengenceran darah dan pengeluaran keringat yang dapat mengakibatkan penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh tersebut adalah hasil kerja obat pada sistem saraf pusat yang melibatkan pusat kontrol di hipotalamus. Adapun contoh obat yang mengandung antipiretik dan analgesik


(9)

antara lain parasetamol, dimana dalam perdagangan biasa parasetamol diformulasikan dalam bentuk sediaan tablet dengan dosis 500 mg untuk tiap tablet. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penetapan kadar parasetamol dalam tablet, apakah telah memenuhi persyaratan yang di tetapkan dengan menggunakan metode spektrofotometri UV (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

1.1 Tujuan dan Manfaat 1.1.1 Tujuan

Untuk mengetahui apakah kadar parasetamol yang terkandung di dalam tablet memenuhi syarat seperti yang tertera pada Pharmacopeia of People s Republic of China, Volume 2, 2005.

1.1.2 Manfaat

Untuk menambah pengetahuan dan keterampilan, khususnya tentang penetapan kadar parasetamol dalam sediaan tablet.


(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat

Obat adalah suatu bahan atau campuran bahan yang di maksudkan untuk di gunakan dalam menentukan diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau hewan termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh manusia (Anief, 1991).

Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan keracunan. Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh penyembuhan (Anief, 1991).


(11)

Tablet adalah bentuk sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke dalam lubang cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995).

Komposisi utama dari tablet adalah zat berkhasiat yang terkandung di dalamnya, sedangkan bahan pengisi yang sering digunakan dalam pembuatan tablet yaitu bahan penghancur, bahan penyalut, bahan pengikat, bahan pemberi rasa dan bahan tambahan lainnya (Ansel, 1989).

2.3 Syarat-Syarat Tablet

Syarat-syarat tablet adalah sebagai berikut (Syamsuni, 2007) : 1. Keseragaman ukuran.

2. Diameter tablet tidak lebih dari tiga kali dan tidak kurang dari satu sepertiga kali tebal tablet.

3. Keseragaman bobot dan keseragaman kandungan

Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot jika zat aktif merupakan bagian terbesar dari tablet dan cukup mewakili keseragaman kandungan. Keseragaman bobot bukan merupakan indikasi yang cukup dari keseragaman kandungan jika zat aktif merupakan bagian terkecil dari tablet atau jika tablet bersalut gula. Oleh karena itu, umumnya farmakope


(12)

mensyaratkan tablet bersalut dan tablet yang mengandung zat aktif 50 mg atau kurang dan bobot zat aktif lebih kecil dari 50% bobot sediaan, harus memenuhi syarat uji keseragaman kandungan yang pengujiannya dilakukan pada tiap tablet.

4. Waktu hancur

Waktu hancur penting dilakukan jika tablet diberi per oral, kecuali tablet yang harus di kunyah sebelum di telan. Uji ini dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang ditetapkan pada masing masing monografi. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlalu sempurna. Pada pengujian waktu hancur, tablet dinyatakan hancur jika ada bagian tablet yang tertinggal di atas kasa, kecuali fragmen yang berasal dari zat penyalut. Kecuali dinyatakan lain, waktu yang diperlukan untuk menghancurkan keenam tablet tidak lebih dari 15 menit untuk tablet tidak bersalutdan tidak lebih dari 60 menit untuk tablet bersalut.

5. Disolusi

Disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui banyaknya zat aktif yang terabsorbsi dan memberikan efek terafi di dalam tubuh. Kecepatan absorbsi obat tergantungpda cara pemberian yang dikehendaki dan juga harus dipertimbangkan frekuensi pemberian obat. 6. Penetapan kadar zat aktif


(13)

Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat aktif yang terkandung di dalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Bila zat aktif obat tidak memenuhi syarat maka obat tersebut tidak akan memberikan efek terapi dan juga tidak layak untuk dikonsumsi.

2.4 Parasetamol

H3C

O

HO NH

Struktur Asetaminofen (parasetamol)

N- acetyl-para-aminophenol Berat molekul 151.17 Rumus empiris C8H9NO2

Pemerian : Serbuk hablur, putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit.

Kelarutan : larut 1:70 dalam air dingin, 1:20 dalam air mendidih, 1:7 dalam etanol, 1:13 dalam aseton, 1:40 dalam gliserol, 1:9 dalam dalam propilen glikol. Larut dalam metanol, dimetilformamida, etil diklorida, etil asetat, dan dalam larutan alkali hidroksida.

Titik leleh : 168-172oC

pH : 5,3-6,5

Stabilitas : Laju penguraian parasetamol dalam larutan bervariasi tergantung pada pH dan temperatur. Parasetamol dapat dihidrolisis oleh katalis asam maupun


(14)

katalis basa, dan merupakan hal yang utama yang berkenaan dengan parasetamol, ion hidrogen dan konsentrasi ion hidroksida. Laju penguraian parasetamol secara langsung tergantung pada konsentrasi parasetamol dan tidak dipengaruhi kekuatan ion. Pada rentang pH 2-9 energi aktivasi penguraian parasetamol 73,22 kJ/mol dan reaksi hidrolisis minimum pada pH 5-7 (Ditjen POM, 1995).

Tablet parasetamol mengandung tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket (Ditjen POM, 1995).

Parasetamol adalah metabolit fenasetin dengan khasiat analgetik dan antipiretik yang sama (sedikit lebih lemah dari pada asetosal). Sifat-sifat farmakokinetiknya lebih kurang sama dengan fenasetin, efek-efek sampingnya lebih ringan, khususnya tidak nefrotoksis dan tidak menimbulkan euphoria dan ketergantungan psikis. Karena tidak menimbulkan perdarahan lambung seperti asetosal, maka pada tahun-tahun terakhir parasetamol banyak sekali digunakan di Indonesia sebagai analgetikum-antipiretikum yang aman (Tjay, 2002).

Parasetamol atau asetaminofen merupakan obat analgesik dan antipiretik yang popular dan banyak digunakan di Indonesia, baik dalam bentuk sediaan tunggal maupun kombinasi. Penyerapan obat dalam saluran cerna cepat dan hampir sempurna, kadar plasma tertinggi dicapai 1-2,5 jam (Siswandono dan Soekardjo, 1995).

Parasetamol mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal,


(15)

parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretik, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Asetaminofen (Sartono, 1996)

Diantara ketiga obat tersebut, Asetaminofen mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak dibawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Asetaminofen, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahwa kombinasi Asetosal dengan Asetaminofen bekerja lebih efektif terhadap demam dari pada jika diberikan sendiri-sendiri (Sartono, 1996).

2.4.1 Sejarah Parasetamol

Sebelum penemuan asetaminofen, kulit sinkona digunakan sebagai agen antipiretik, selain digunakan untuk menghasilkan obat antimalaria, kina.Karena pohon sinkona semakin berkurang pada 1880-an, sumber alternatif mulai dicari. Terdapat dua agen antipiretik yang dibuat pada 1880-an, asetanilida pada 1886 dan fenasetin pada 1887. Pada masa ini, parasetamol telah disintesis oleh Harmon Northrop Morse melalui pengurangan p-nitrofenol bersama timah dalam asam asetat gletser. Biarpun proses ini telah dijumpai pada tahun 1873, parasetamol tidak digunakan dalam bidang pengobatan hingga dua dekade setelahnya. Pada 1893, parasetamol telah ditemui di dalam air kencing seseorang yang mengambil fenasetin, yang memekat kepada hablur campuran berwarna putih dan berasa pahit. Pada tahun 1899, parasetamol dijumpai sebagai metabolit asetanilida. Namun penemuan ini tidak dipedulikan pada saat itu (Amelia, 2009).


(16)

Pada 1946, Lembaga Studi Analgesik dan Obat-obatan Sedatif telah memberi bantuan kepada Departemen Kesehatan New York untuk mengkaji masalah yang berkaitan dengan agen analgesik. Bernard Brodie dan Julius Axelrod telah ditugaskan untuk mengkaji mengapa agen bukan aspirin dikaitkan dengan adanya methemoglobinemia, sejenis keadaan darah tidak berbahaya. Di dalam tulisan mereka pada 1948, Brodie dan Axelrod mengaitkan penggunaan asetanilida dengan methemoglobinemia dan mendapati pengaruh analgesik asetanilida adalah disebabkan metabolit parasetamol aktif. Mereka membela penggunaan parasetamol karena memandang bahan kimia ini tidak menghasilkan racun asetanilida (Amelia, 2009).

2.4.2 Indikasi

Parasetamol berguna untuk menurunkan panas dan nyeri ringan sampai sedang seperti sakit kepala, mialgia, nyeri pasca persalinan dan keadaan lain, dimana aspirin efektif sebagai analgesik. Parasetamol atau Asetaminofen saja adalah terapi yang tidak adekuat untuk inflamasi seperti arthritis rheumatoid, sekalipun ia dapat dipakai sebagai tambahan analgesik terhadap terapi anti inflamasi. Untuk analgesik ringan, Aseataminofen adalah obat yang lebih disukai pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau bilamana salisilat tidak bisa di toleransi. Ia lebih disukai dari pada aspirin pada pasien dengan hemophilia atau dengan riwayat ulkus peptikum dan pada mereka yang mengalami bronkospasme


(17)

yang dipicu oleh aspirin. Berbeda dengan aspirin, asetaminofen tidak mengantagonis efek-efek, agen-agen urikosurik (Katzung, 2002).

2.4.3 Efek samping dan Toksisitas

Keuntungan utama asetaminophen terhadap aspirin adalah kurangnya daya toksik pada lambung dan tidak adanya efek pada agregasi platelet. Akan tetapi, daya toksik asetaminophen terhadap hepar bisa berakibat serius dan over dosis yang akut sebesar 10-15 g dapat menyebabkan nekrosis hepar yang fatal (Woodley dan Whelan, 1992).

2.4.4 Farmakokinetika

Asetaminophen di berikan secara oral. Penyerapan dihubungkan dengan tingkat pengosongan perut, dan konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30-60 menit. Asetaminophen sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian dimetabolisme oleh enzim mikrosomal hati dan diubah menjadi sulfat dan glukoronida acetaminophen, yang secara farmakologis tidak aktif. Kurang dari 5% diekresikan dalam keadaan tidak berubah. Metabolit minor tetapi sangat aktif (N-acetyle-p-benzoquinone) adalah penting dalam dosis besar karena efek toksisnya terhadap hati dan ginjal. Waktu-paruh asetaminophen adalah 2-3 jam dan relative tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan kuantitas toksik atau penyakit hati, waktu-paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih (Katzung, 2002).


(18)

Nyeri akut dan demam bisa diatasi dengan 325-500 mg empat kali sehari dan secara proporsional dikurangi untuk anak-anak (Katzung, 2002).

2.5 Spektrofotometri

Absorpsi spektrofotometri UV-Vis adalah istilah yang digunakan ketika radiasi ultraviolet dan cahaya tampak diabsorpsi oleh molekul yang diukur. Alatnya disebut UV-Vis spektrofotometer. Spektrofotometer UV-Vis (Ultra Violet-Visible) adalah salah satu dari sekian banyak instrumen yang biasa digunakan dalam menganalisa suatu senyawa kimia. Spektrofotometer umum digunakan karena kemampuannya dalam menganalisa begitu banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal preparasi sampel apabila dibandingkan dengan beberapa metode analisa (Herliani, 2008).

Spektrofotometri uv-vis adalah pengukuran serapan cahaya di daerah ultraviolet (200-400 nm) dan sinar tampak (400-800 nm) oleh suatu senyawa. Serapan cahaya uv atau cahaya tampak mengakibatkan transisi elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Panjang gelombang cahaya uv atau cahaya tampak bergantung pada mudahnya promosi elektron. Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak (senyawa


(19)

berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan dari pada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang lebih pendek (Herliani, 2008).

BAB III

METODOLOGI

3.1 Tempat Pelaksanaan Penetapan Kadar

Penetapan kadar dilakukan di laboratorium Quality Control PT. Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan.

3.2 Alat-alat

Spektrofotometer, neraca analitik, labu tentukur 250 ml, labu tentukur 100 ml, pipet volume 3 ml, beaker glass 100 ml, gelas ukur 100 ml, erlenmayer 250 ml, mortar dan alu, pipet tetes, spatel,corong.

3.3 Bahan-bahan

Larutan NaOH 0,1 N, aquades, tablet omegrip produksi PT. Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan.

3.4 Pembuatan larutan pereaksi


(20)

Ditimbang NaOH sebanyak 4 gram lalu dilarutkan dalam 1 L aquades bebas CO2.

3.5 Pembuatan larutan baku

Ditimbang seksama sejumlah 52,0 mg Parasetamol baku. Masukkan ke labu tentukur 250 ml, tambahkan 50 ml larutan NaOH 0,1 N dan tambahkan 50 ml aquades, dikocok sampai larut. Lalu encerkan dengan aquades sampai garis tanda, kocok dan saring. Pipet 3,0 ml larutan, masukkan ke labu tentukur 100 ml, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH 0,1 N. Encerkan dengan aquades sampai garis tanda, kocok. Ukur serapan larutan pembanding (A).

3.6 Pembuatan larutan uji

Ambil 20 tablet dan timbang masing-masing tablet, lalu digerus sampai homogen. Ditimbang seksama serbuk tablet setara dengan lebih kurang 52,0 mg Parasetamol. Masukkan kedalam labu tentukur 250 ml. Ditambahkan 50 ml larutan NaOH 0,1 N dan tambahkan 50 ml aquades, dikocok selama ± 15 menit. Lalu encerkan dengan aquades sampai garis tanda, kocok dan saring. Pipet 3,0 ml larutan, masukkan ke labu tentukur 100 ml, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH 0,1 N. Encerkan dengan aquades sampai garis tanda, kocok. Ukur serapan larutan uji (B).


(21)

Ukur serapan larutan A dan B dalam kuvet pada panjang gelombang serapan maksimum 257 nm dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N dan aquades (1 : 9) sebagai blanko.

3.8 Perhitungan

Kadar parasetamol dalam tablet dihitung terhadap jumlah yang tertera pada etiket (%).

Vu Fu Au Br Bb

X X X X X100%

Vb Fb Ab Bu Ke

Keterangan :

Vu = Volume larutan uji (ml) Vb = Volume larutan baku (ml) Fu = Faktor pengenceran larutan uji Fb = Faktor pengenceran larutan baku Au = Absorbansi larutan uji (nm) Ab = Absorbansi larutan baku (nm) Bb = Bobot baku yang ditimbang (mg) Bu = Bobot bahan uji yang digunakan (mg) Br = Bobot rata rata tablet (mg)

Ke = Kandungan parasetamol yang tertera pada etiket (mg)


(22)

Mengandung Parasetamol tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil yang diperoleh dari penetapan kadar Parasetamol dalam tablet omegrip adalah 104,02%. Contoh perhitungan dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 19.

4.2 Pembahasan

Dari hasil analisa yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa kadar Parasetamol dalam tablet omegrip adalah 104,02%. Ini berarti kadar Parasetamol dalam tablet omegrip memenuhi persyaratan seperti yang tertera pada Pharmacopeia of The People s Republic of China, Volume 2, (2005), yaitu mengandung parasetamol tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. Penetapan kadar parasetamol dilakukan dengan cara spektrofotometri. Dimana untuk menetapkan kadar parasetamol digunakan panjang gelombang serapan maksimum 257 nm, dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N dan aquades (1 : 9) sebagai blankonya.


(23)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kadar parasetamol dalam tablet omegrip produk PT. MUTIFA Medan 104,02%, sehingga memenuhi persyaratan Pharmacopeia of The People s Republic of China, Volume 2, (2005), yakni 95,0-105,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.

5.2 Saran

Diharapkan kepada PT. Mutiara Mukti Farma Medan agar terus meningkatkan mutu produknya sehingga dapat menjaga kepercayaan masyarakat.


(24)

DAFTAR PUSTAKA

Sartono. (1996). Obat-obat Bebas Dan Bebas Terbatas. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Halaman 6, 8.

Tjay, dan Rahardja. (1978). Obat-obat Penting edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 231, 244.

Siswandono dan Soekardjo. (1995). Kimia Medisinal. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. Halaman 544.

Anief, M. (1991).Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press. Halaman 3.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 4, 43, 649.

Ansel, C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.Jakarta: Cetakan Pertama, Penerbit Universitas Indonesia Press. Halaman 244.

Syamsuni, A.H. (2007). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC. Halaman 61.

Amelia. (2009). Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol Dalam Sediaan Oral Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). http://seputarobat.blogspot.com/2009/06/parasetamol-obat-demam-dan-nyeri.html. Tgl: 11 mei 2010.

Katzung, G. (2002). Farmakologi: Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Halaman 484.

Woodley, dan Whelan. (1992). Pedoman Pengobatan. Yogyakarta: Penerbit Essentia Medica dan Andi Offset. Halaman 5.


(25)

Herliani. (2008). Spektrofotometri. Pengendalian Mutu Agroindustri-Program D4-PJJ. http://seputarobat.blogspot.com/2009/06/parasetamol-obat-demam-dan-nyeri.html. Tgl: 11 mei 2010.


(1)

Ditimbang NaOH sebanyak 4 gram lalu dilarutkan dalam 1 L aquades bebas CO2.

3.5 Pembuatan larutan baku

Ditimbang seksama sejumlah 52,0 mg Parasetamol baku. Masukkan ke labu tentukur 250 ml, tambahkan 50 ml larutan NaOH 0,1 N dan tambahkan 50 ml aquades, dikocok sampai larut. Lalu encerkan dengan aquades sampai garis tanda, kocok dan saring. Pipet 3,0 ml larutan, masukkan ke labu tentukur 100 ml, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH 0,1 N. Encerkan dengan aquades sampai garis tanda, kocok. Ukur serapan larutan pembanding (A).

3.6 Pembuatan larutan uji

Ambil 20 tablet dan timbang masing-masing tablet, lalu digerus sampai homogen. Ditimbang seksama serbuk tablet setara dengan lebih kurang 52,0 mg Parasetamol. Masukkan kedalam labu tentukur 250 ml. Ditambahkan 50 ml larutan NaOH 0,1 N dan tambahkan 50 ml aquades, dikocok selama ± 15 menit. Lalu encerkan dengan aquades sampai garis tanda, kocok dan saring. Pipet 3,0 ml larutan, masukkan ke labu tentukur 100 ml, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOH 0,1 N. Encerkan dengan aquades sampai garis tanda, kocok. Ukur serapan larutan uji (B).


(2)

Ukur serapan larutan A dan B dalam kuvet pada panjang gelombang serapan maksimum 257 nm dengan menggunakan larutan NaOH 0,1 N dan aquades (1 : 9) sebagai blanko.

3.8 Perhitungan

Kadar parasetamol dalam tablet dihitung terhadap jumlah yang tertera pada etiket (%).

Vu Fu Au Br Bb

X X X X X100%

Vb Fb Ab Bu Ke

Keterangan :

Vu = Volume larutan uji (ml) Vb = Volume larutan baku (ml) Fu = Faktor pengenceran larutan uji Fb = Faktor pengenceran larutan baku Au = Absorbansi larutan uji (nm) Ab = Absorbansi larutan baku (nm) Bb = Bobot baku yang ditimbang (mg) Bu = Bobot bahan uji yang digunakan (mg) Br = Bobot rata rata tablet (mg)

Ke = Kandungan parasetamol yang tertera pada etiket (mg) 3.9 Persyaratan


(3)

Mengandung Parasetamol tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Hasil yang diperoleh dari penetapan kadar Parasetamol dalam tablet omegrip adalah 104,02%. Contoh perhitungan dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 19. 4.2 Pembahasan

Dari hasil analisa yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa kadar Parasetamol dalam tablet omegrip adalah 104,02%. Ini berarti kadar Parasetamol dalam tablet omegrip memenuhi persyaratan seperti yang tertera pada Pharmacopeia of The People s Republic of China, Volume 2, (2005), yaitu mengandung parasetamol tidak kurang dari 95,0% dan tidak lebih dari 105,0% dari jumlah yang tertera pada etiket. Penetapan kadar parasetamol dilakukan dengan cara spektrofotometri. Dimana untuk menetapkan kadar parasetamol digunakan panjang gelombang serapan maksimum 257 nm, dengan menggunakan


(4)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kadar parasetamol dalam tablet omegrip produk PT. MUTIFA Medan 104,02%, sehingga memenuhi persyaratan Pharmacopeia of The People s Republic of China, Volume 2, (2005), yakni 95,0-105,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.

5.2 Saran

Diharapkan kepada PT. Mutiara Mukti Farma Medan agar terus meningkatkan mutu produknya sehingga dapat menjaga kepercayaan masyarakat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Sartono. (1996). Obat-obat Bebas Dan Bebas Terbatas. Jakarta: Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama. Halaman 6, 8.

Tjay, dan Rahardja. (1978). Obat-obat Penting edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 231, 244.

Siswandono dan Soekardjo. (1995). Kimia Medisinal. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. Halaman 544.

Anief, M. (1991).Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press. Halaman 3.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 4, 43, 649.

Ansel, C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.Jakarta: Cetakan Pertama, Penerbit Universitas Indonesia Press. Halaman 244.

Syamsuni, A.H. (2007). Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC. Halaman 61.

Amelia. (2009). Penetapan Kadar Zat Aktif Parasetamol Dalam Sediaan Oral Dengan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). http://seputarobat.blogspot.com/2009/06/parasetamol-obat-demam-dan-nyeri.html. Tgl: 11 mei 2010.

Katzung, G. (2002). Farmakologi: Dasar dan Klinik. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Halaman 484.

Woodley, dan Whelan. (1992). Pedoman Pengobatan. Yogyakarta: Penerbit Essentia Medica dan Andi Offset. Halaman 5.


(6)

Herliani. (2008). Spektrofotometri. Pengendalian Mutu Agroindustri-Program D4-PJJ. http://seputarobat.blogspot.com/2009/06/parasetamol-obat-demam-dan-nyeri.html. Tgl: 11 mei 2010.