Uji Disolusi Parasetamol Dalam Omegrip Tablet Secara Spektrofoto Metri Ultra Violet Di PT. Mutiara Mukti Farma Medan

(1)

UJI DISOLUSI PARASETAMOL DALAM OMEGRIP TABLET SECARA SPEKTROFOTOMETRI ULTRA VIOLET

DI PT.MUTIARA MUKTI FARMA MEDAN

TUGAS AKHIR

OLEH:

MERNA R SIPAHUTAR NIM 072410017

PROGRAM DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

UJI DISOLUSI PARASETAMOL DALAM OMEGRIP TABLET SECARA SPEKTROFOTOMETER ULTRA VIOLET

DI PT.MUTIARA MUKTI FARMA MEDAN TUGAS AKHIR

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Ahli Madya Pada Program Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MERNA R SIPAHUTAR NIM : 072410017

Medan, Mei 2010 Disetujui oleh Dosen Pembimbing,

Dra.Masria Lasma Tambunan, M.Si.,Apt. NIP 195005081977022001

Disahkan Oleh: Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195311281983031002


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas setiap berkat dan naungan kasih-Nya yang selalu dicurahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Tugas Akhir ini berjudul “UJI DISOLUSI PARASETAMOL DALAM OMEGRIP TABLET SECARA SPEKTROFOTO METRI ULTRA VIOLET Di PT. MUTIARA MUKTI FARMA MEDAN”. Tugas Akhir ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ahli Madya pada program Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

Selama penulisan tugas akhir ini penulis banyak menerima bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, teristimewa kepada kedua orang tuaku tercinta, Ayahanda D. Sipahutar dan Ibunda H.R Pane yang telah memberikan kasih sayang serta Doa yang tiada pernah henti untuk dukungan moril dan materil selama ini. Tanpa kalian dan keluarga semua penulis bukanlah apa-apa.

Maka pada kesempatan ini juga penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Ibu Dra. Masria Lasma Tambunan, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh perhatian hingga tugas akhir ini selesai.

2. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., Sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.


(4)

3. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., sebagai koordinator program Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan.

4. Dosen dan Pegawai Fakultas Farmasi Program Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan yang berupaya mendukung kemajuan mahasiswa Analis Farmasi Dan Makanan.

5. Seluruh staf dan pegawai PT. MUTIARA MUKTI FARMA MEDAN yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis dalam melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL).

6. Adikku tersayang Winda, Heldro, Manlintang serta seluruh keluarga tak lupa untuk ompungku yang telah memberikan semangat dan motivasi serta dukungan Doa kepada penulis.

7. Teman-teman satu PKL yang saling mendukung dan bahu-mambahu selama PKL hingga tugas akhir ini selesai.

Penulis juga menyadari bahwa penulisan Tugas Akhir ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharpkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan Tugas Akhir ini. Semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan seluruh pihak yang terkait.

Medan, Mei 2010 Penulis Merna R Sipahutar


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 3

1.3.1 Tujuan... 3

1.3.2 Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Uraian Umum ... 5

2.1.1 Mekanisme Kerja ... 5

2.1.2 Farmakokinetik ... 6

2.1.3 Farmakodinamika ... 7

2.1.4 Efek Samping ... 7

2.1.5 Indikasi ... 8

2.1.6 Sediaan dan Dosis ... 8

2.2 Tablet ... 9

2.2.1 Jenis-Jenis Tablet ... 9

2.2.2 Cara Penggunaan Tablet ... 10

2.5 Disolusi ... 12

2.5.1 Metode Uji Disolusi ... 15

2.5.2 Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Laju Disolusi ... 16

2.6 Spektrofotometri ... 18

2.6.1 Defenisi ... 18

2.6.2 Instrumen... 18


(6)

3.1 Alat Dan Bahan ... 20

3.1.1 Alat-Alat ... 20

3.1.2 Bahan-Bahan ... 20

3.2 Prosedur ... 20

3.2.1 Pembuatan Pereaksi ... 20

3.2.2 Pembuatan Larutan Pembanding ... 21

3.2.3 Pembuatan Larutan Uji ... 21

3.2.4 Cara Penetapan Serapan ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Hasil ... 23

4.2 Pembahasan ... 23

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 24

5.1 Kesimpulan ... 24

5.2 Saran ... 24 DAFTAR PUSTAKA


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran.

Antipiretik adalah obat yang menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Rasa nyeri hanya merupakan suatu gejala, fungsinya memberi tanda tentang adanya gangguan-gangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi kuman atau kejang otot. Rasa nyeri disebabkan rangsang mekanis atau kimiawi, kalor atau listrik, yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan dan melepaskan zat yang disebut mediator nyeri (pengantara) (Anief, 1995).

Zat ini merangsang, reseptor nyeri yang letaknya pada ujung syaraf bebas di kulit, selaput lendir dan jaringan lain. Dari tempat ini rangsang dialirkan melalui syaraf sensoris ke S.S.P (Susunan Syaraf Pusat), melalui sumsum tulang belakang ke talamus (optikus) kemudian ke pusat nyeri dalam otak besar, di mana rangsang terasa sebagai nyeri (Anief, 1995).

Sebagai mediator nyeri adalah: 1. Histamin

2. Serotonin


(8)

4. Prostaglandin 5. Ion kalium

Obat analgesik - antipiretik serta obat anti - inflamasi nonsteroid (AINS) merupakan suatu kelompok obat yang heterogen, bahkan beberapa obat sangat berbeda secara kimia. Walaupun demikian obat-obat ini ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek samping. Prototip obat golongan ini adalah aspirin, karena itu obat golongan ini sering disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin-like drugs) (Ganiswara, 1995).

Kemajuan penelitian dalam dasawarsa terakhir ini memberi penjelasan mengapa kelompok heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping. Ternyata sebagian besar efek terapi dan efek sampingnya berdasarkan atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG) (Ganiswara, 1995).

Suhu badan diatur oleh keseimbangan antara produksi dan hilangnya panas. Alat pengatur suhu tubuh berada di hipotalamus. Pada keadaan demam keseimbangan ini terganggu tetapi dapat dikembalikan ke normal oleh obat mirip-aspirin. Ada bukti bahwa peningkatan suhu tubuh pada keadaan patologik diawali pelepasan suatu zat pirogen endogen atau sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) yang memacu pelepasan PG yang berlebihan di daerah preoptik hipotalamus. Selain itu PGE2 terbukti menimbulkan demam setelah diinfuskan ke ventrikel serebral atau disuntikkan ke daerah hipotalamus. Obat mirip - aspirin menekan efek zat pirogen endogen dengan menghambat sintesis PG. Tetapi demam yang timbul akibat pemberian PG tidak


(9)

dipengaruhi, demikian pula peningkatan suhu oleh sebab lain seperti latihan fisik (Ganiswara, 1995).

Salah satu parameter uji yang dilakukan untuk pengujian sediaan tablet adalah dilakukan uji disolusi. Uji ini dilakukan untuk menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Persyaratan disolusi tidak berlaku untuk kapsul gelatin lunak kecuali bila dinyatakan lain dalam monografi (Dirjen POM, 1994).

1.2 Perumusan Masalah

Yang menjadi perumusan masalah dalam penyusunan Tugas Akhir ini adalah bagaimana suatu obat larut sempurna sehingga dapat melepaskan zat aktifnya kemudian diabsorbsi dan dapat melewati membran masuk ke jaringan termasuk reseptor yang membutuhkan sehingga berefek terapi.

1.3Tujuan Dan Manfaat 1.3.1 Tujuan

Tujuan penyusunan Tugas Akhir ini adalah untuk mengetahui kadar dari parasetamol, serta jumlah zat aktif yang terlarut dalam media cair dengan volume, waktu dan alat tertentu apakah memenuhi persyaratan disolusi yang tertera pada monografi Pharmacopeia of the People’s Republic of China.

1.3.2 Manfaat


(10)

- Mahasiswa dapat mengaplikasikan kemampuan dalam melakukan penetapan kadar parasetamol yang dilakukan dengan uji disolusi secara spektrofotometri.

- Untuk mengetahui laju pelarutan zat aktif dari sediaan, karena absorbsi dan kemampuan obat berada dalam tubuh sangat tergantung pada adanya obat dalam keadaan terlarut untuk diabsorbsi.


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Umum

Rumus Bangun : Parasetamol OH

N H

C O

CH3 Rumus Struktur :

Berat Molekul : 151,16

Nama Kimia : 4’- Hidroksiasetanilida

Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit.

Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1N; mudah larut dalam etanol (Farmakope Indonesia ED.IV).


(12)

2.1.1 Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja yang berhubungan dengan sistem biosintesis PG ini memperlihatkan secara in vitro bahwa dosis rendah aspirin dan indometasin

AINS diketahui menghambat berbagai reaksi biokimiawi, hubungan dengan efek analgesik, antipiretik dan anti-inflamasinya belum jelas. Selain itu obat AINS secara umum tidak menghambat biosintesis leukotrien, yang diketahui ikut berperan dalam inflamasi (Ganiswara, 1995).

Golongan obat ini menghambat enzim siklo-oksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat siklo-oksigenase dengan cara yang berbeda.Khusus parasetamol, hambatan biosintesis PG hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi parasetamol praktis tidak ada (Ganiswara, 1995).

2.1.2 Farmakokinetik

Asetaminofen/parasetamol diserap cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam, masa paruh dalam plasma antara 1-3 jam.Obat ini tarsebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma sebagian terikat oleh protein plasma, 25%.

Obat ini mengalami metabolisme oleh anzim-anzim mikrosom dalam hati. 80% asetaminofen dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil dengan asam sulfat dalam hati. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi.


(13)

Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis ertrosit.Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai asetaminofen (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Ganiswara, 1995). 2.1.3 Farmakodinamik

Efek asetosal untuk menurunkan suhu tubuh jelas terlihat pada penderita yang demam. Pada orang sehat efek ini tidak jelas. Pada keadaan demam, diduga termostat di hipotalamus terganggu sehingga suhu badan lebih tinggi. Obat-abat golongan salisilat diduga bekerja dengan mengembalikan fungsi termostat ke normal. Pembentukan panas tidak dihambat, tetapi hilangnya panas dipermudah dengan bertambahnya aliran darah ke perifer dan pembentukan keringat. Walaupun pembentukan keringat merupakan efek yang menonjol setelah pemberian asetosal hal tersebut bukan merupakan mekanisme yang esensial. Salisilat tetap menurunkan demam bila pembentukan keringat dihalangi dengan pemberian atropine. Efek penurunan suhu demam diduga terjadi dengan penghambatan pembentukan prostaglandin seperti efek analgesiknya. Prostaglandin E1 adalah pirogen kuat yang bila disuntikkan pada hipotalamus anterior atau ke dalam ventrikel otak, efeknya tidak dapat dicegah oleh obat antipiretik. Pirogen menyebabkan pembentukan prostaglandin E1 dan pembentukan zat ini dihambat oleh salisilat (Tanu, 1972). 2.1.4 Efek Samping

Tak jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada pengguna kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis diatas 6 g mengakibatkn necrose hati yang tidak reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan


(14)

oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutathione (suatu tripeptida dengan -SH). Pada dosisi di atas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversibel. Dosis dari 20 g sudah berefek fatal.

Overdose bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay dan Kirana, 2002).

2.1.5 Indikasi

Penggunaan fenasetin dan asetaminofen sebagai analgetik dan antipiretik adalah sama dengan penggunaan salisilat.

Analgesik, fenasetin dan asetaminofen dapat diberikan tiap 3-4 jam untuk keadaan-keadaan, seperti sakit kepala, migren, nyeri haid, artralgia, mialgia, dan lain-lain. Tetapi sebaiknya terapi jangan diberikan terlalu lama. Jika dosis terapeutik biasa tidak member manfaat, dosisi yang lebih besar biasanya juga tidak menolong.

Antipiretik, penggunaan fenasetin dan asetaminofen untuk meredakan demam telah terdesak oleh penggunaannya untuk menimbulkan analgesia.Untuk dewasa dosis 325 mg-1000 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk anak 20 mg/kg BB, diberikan tiap 4-6 jam, dosis total perhari jangan melebihi 3,6 g (Tanu, 1972). 2.1.6 Sediaan Dan Dosis

Untuk nyeri dan demam oral 2-3 dd 0,5-1 g, maksimum 4 g/hari, pada penggunaan kronis maksimum 2,5 g/hari. Anak-anak : 4-6 dd 10 mg/kg, yakni


(15)

rata-rata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 tahun 120-180 mg, 4-6 tahun 180 mg, 7-12 tahun 240-360 mg, 4-6 x sehari.

Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 4 dd 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg, 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg, 4-6 tahun 4 dd 240 mg, dan 7-12 tahun 2-3 dd 0,5 g (Tjay dan Kirana, 2002).

2.2 Tablet

Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai. Tablet-tablet dapat berbeda-bada dalam ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketabalan, daya hancurnya, dan dalm aspek lainya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Kebanyakan tablet digunakan pada pemberian obat-obat sacara oral (Ansel, 1989).

2.2.1 Jenis-jenis Tablet

Macam-macam jenis tablet digambarkan berikut ini:

1. Tablet Kompresi, yaitu tablet kompresi dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai bentuk tablet dan ukuran, biasanya ke dalam bahan obatnya, diberi tambahan sejumlah bahan pembantu antara lain:

a. Pengenceran atau pengisi yang ditambahkan jika perlu ke dalam formulasi supaya membentuk ukuran tablet yang diinginkan.

b. Pengikat atau perekat, yang membantu pelekatan partikel dalam formulasi, memungkinkan granul dibuat dan dijaga keterpaduan hasil akhir tabletnya.


(16)

c. Penghacur atau bahan yang dapat membantu penghancuran, akan membantu memecah atau menghancurkan tablet setelah pemberian sampai menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, sehingga lebih mudah diabsorpsi.

d. Antirekat pelincir atau zat pelincir yaitu zat yang meningkatkan aliran bahan memasuki cetakan tablet dan mencegah melekatnya bahan ini pada punch dan die serta membuat tablet-tablet menjadi bagus dan berkilat.

e. Bahan tambahan lain seperti zat warna dan zat pemberi rasa.

2. Tablet Kompresi Ganda, yaitu tablet kompresi berlapis, dalam pembuatannya memerlukan lebih dari satu kali tekanan. Tablet berlapis dibuat dengan cara memasukkan satu campuran obat ke dalam cetakan dan ditekan, demikian pula campuran obat sebagai lapisan berikutnya dimasukkan ke dalam cetakan yang sama dan ditekan lagi, untuk membentuk dua atau tiga lapisan tergantung pada jumlah obat yang ditambahkan secara terpisah dalam satu tablet berlapis (Ansel, 1989 )

2.2.2 Cara Penggunaan Tablet

Cara penggunaan tablet dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Tablet Oral

- Tablet biasa yaitu tablet yang dicetak, tidak disalut diabsorpsi disaluran cerna dan pelepasan obatnya cepat untuk segera memberikan efek terapi.


(17)

Contoh: tablet parasetamol

- Tablet Kunyah, dikunyah dulu baru ditelan. Contoh: Antasida.

2. Tablet penggunaanya melalui rongga mulut

- Tablet Bukal, disisipkan diantara gusi dan pipi. Contoh: Tablet Progesteron

- Tablet Sublingual, diletakkan dibawah lidah. Tablet ini cepat melarut dan bahan obatnya cepat diabsorpsi

Contoh: Tablet Isosorbit dinitrat

- Tablet Hisap = Troches = LozengsTablet dihisap dan obatnya terlarut sedikit demi sedikit dan diserap di rongga mulut

Contoh: Antiseptika dan Local anestesi. 3. Tablet penggunaannya di bawah kulit

- Tablet Implantasi, ditanamkan didalam jaringa n di bawah kulit. Tujuannya untuk pemakaian tempo lama.

Contoh: Tablet Hormon KB

- Tablet Hipodermik, tablet ini sebelum digunakan dilarutkan dulu dalam pelarutnya.

Contah: Atropin Sulfat

4. Tablet Everfessen, tablet ini dilarutkan dulu dalam air kemudian diminum. Contoh: Tablet Ca Sandoz


(18)

5. Tablet Vagina, pemakaiannya melalui vagina. Bentuknya pipih oval ujungnya lebih kecil. Tablet ini mengandung antibiotika dan antibakteri (Ansel, 1989). 2.5 Disolusi

Disolusi didefenisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Secara prinsip, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut.

Secara singkat, alat untuk menguji karakteristik disolusi dan sediaan padat kapsul atau tablet terdiri dari (1) motor pengaduk dengan kecepata yang dapat diubah, (2) keranjang baja stainless berbentuk silinder atau dayung untuk ditempelkan ke ujung batang pengaduk, (3) bejana dari gelas, atau bahan lain yang inert dan transparan dengan volume 1000 ml, bertutup sesuai dengan di tengah-tengahnya ada tempat untuk menempelkan pengaduk, dan ada lubang tempat masuk pada 3 tempat, dua untuk memindahkan contoh dan satu untuk menempatkan termometer, dan (4) penangas air yang sesuai untuk menjaga temperatur pada media disolusi (seperti yang dicantumkan dalam masing-masing monografi) ditempatkan dalam bejana dan biarkan mencapai temperatur 37°C ± 0,5°C. Kemudian satu tablet atau satu kapsul yang diuji dicelupkan ke dalam bejana atau ditempatkan dalam keranjang dan pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada waktu-waktu tertentu contoh dari mesia diambil untuk analisis kimia dari bagian obat yang terlarut. Tablet atau kapsul harus memenuhi persyaratan seperti yang tertera dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Ansel, 1989).


(19)

Pada penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi dan deagragasi sediaan, merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat sediaan.

Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatas kecepatan (rute limiting step) sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna, ada dua kemungkinan yang akan berfungsi sebagai pembatas kecepatan. Bahan berkhasiat dari sediaan padat tersebut pertama-tama harus terlarut, sesudah itu barulah obat yang berada dalam larutan melewati membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat, obat akan berdifusi secara pasif atau transport aktif, kelarutan obat merupakan pembatas kecepatan absorpsi melalui membran saluran cerna. Sebaliknya, kecepatan obat yang kelarutannya kecil akan dibatasi, karena kecepatan disolusi dari obat tidak larut atau disintegrasi sediaan relatif pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif. Apabila kecepatan absorpsi tidak dapat ditentukan oleh salah satu dari tahap, maka tidak satupun dari kedua tahap merupakan pembatas kecepatan (Syukri, 2002).

Agar suatu obat diabsorpsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi.


(20)

Pada saat partikel obat mengalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula masuk kedalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat yang dikenal lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membran biologis serta absorpsi terjadi.

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorpsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus pembatas membran. Tetapi, jika laju disolusi untuk suatu partikel obat lambat, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorpsi (Anief, 2000).

Setelah terjadi pelepasan yang bersifat setempat, maka tahap kedua adalah pelarutan zat aktif yang terjadi secara progresif, yaitu pembentukan dispersi molekuler dalam air. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi penyerapan. Tahap ini juga ditetapkan pada obat-obatan yang dibuat dalam bentuk larutan zat aktif dalam minyak tetapi yang terjadi disini adalah proses ekstraksi (penyaringan). Setelah pemberian sediaan larutan, secara in vitro timbul endapan zat aktif yang biasanya berbentuk amorf sebagai akibat perubahan pH dan endapan tersebut selanjutnya akan melarut lagi. Dengan demikian pemberian sediaan larutan tidak selalu dapat mengakibatkan penyerapan segera (Aiache, 1993).

Uji pelarutan in vitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu media aqueous dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung


(21)

dalam produk obat. Pemilihan suatu metode tertentu unuk suatu obat biasanya ditentukan dalam monografi untuk suatu produk tertentu. United States Pharmacopeia (USP) XXI memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan.

2.5.1 Metode Uji Disolusi

Menurut USP XXI uji pelarutan dapat digunakan dengan beberapa cara, yaitu: - Metode Keranjang (Basket)

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37°C. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar.Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi (Agoes, 2008).

- Metode Dayung (Paddle)

Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37°C. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka


(22)

terhadap kemiringan dayung. Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan.Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Agoes, 2008).

2.5.2 Pengaruh Bentuk Sediaan Terhadap Laju Disolusi

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan biasanya diklasifikasikan atas tiga kategori yaitu:

1. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat

Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, bentuk hidrat solvasi dan komleksasi serta ukuran ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan serta keterbasahan berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi seperti terbentuknya flokulasi, flotasi dan aglomerasi.

2. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan menurun menurut urutan sebagai brikut: suspensi, kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara toritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama, karena diantara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut akan ada perbedaan baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan berbentuk serbuk,


(23)

kapsul, tablet-kaplet, suppositoria, suspensi, topikal dan transdermal. Penggunaan bahan pembantu sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur, dan pelican dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan berpengaruh pada laju dusolusi. Perubahan lama waktu pengadukan pada granulasi basah dapat menghasilkan granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama. Faktor formulasi yang dapat mempengaruhi laju disolusi di antaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien, kekerasan dan porositas.

3. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji

Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang berkontak dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saliran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat. Metode penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi yang sama atau berbeda tergantung pada metode uji yang digunakan (Syukri, 2002).


(24)

2.6 Spektrofotometri 2.6.1 Defenisi

Spektrofotometer sesuai dengan namanya adalah alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorpsi. Jadi, spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi secara relatif jika energi tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Kelebihan spektrofotometer dibandingkan fotometer adalah panjang gelombang dari sinar putih dapat lebih terseleksi dan ini diperoleh dengan alat penguat seperti prisma ataupun celah optis (Rohman, 2007).

2.6.2 Instrumen

Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum, monokromator, sel pengabsorpsi dan detektor sebagai berikut:

- Sumber

Sumber yang biasa yang digunakan adalah lampu wolfram. Tetapi untuk daerah UV digunakan lampu hidrogen atau lampu deuterium. Kebaikan lampu wolfram adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi pada berbagai panjang gelombang.


(25)

Digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. Alatnya berupa prisma ataupun grating. Untuk mengarahkan sinar monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian dapat digunakan celah. Jika celah posisinya tetap maka prisma ataupun gratingnya yang dirotasikan untuk mendapatkan panjang gelombang yang diinginkan (Rohman, 2007).

- Sel Absorpsi

Pada pengukuran di daerah tampak kuvet kaca dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV kita harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder dapat juga digunakan. Kita harus menggunakan kuvet yang bertutup untuk pelarut organik. Sel yang baik adalah kuarsa atau gelas hasil leburan serta seragam seluruhnya.

- Detektor

Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang spektrofotometri yang paling sering digunakan dalam industry farmasi adalah spektrofotometri ultra violet dan juga cahaya tampak. Salah satu aplikasi dari spekrofotometri ultra violet adalah penetapan kadar yang memiliki peranan panting untuk melakukan penentuan kuantitatif bahan baku dan sediaan obat.Penentuan kadar dilakukan dengan mengukur absorpsi maksimum dari kurva absorpsi


(26)

BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan adalah alat disolusi (tipe paddle), beaker glass, kertas saring, corong, labu tentukur, volum pipet, dan spektrofotometer.

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan dan reagensia yang digunakan jika tidak disebutkan lain adalah buffer fosfat pH= 5,8 dan sampel yang diambil adalah parasetamol 500 mg bentuk tablet yang diproduksi oleh PT Mutifa.

3.2 Prosedur

3.2.1 Pembuatan Pereaksi

- Pembuatan Buffer Phospat pH = 5,8 - Pembuatan Larutan KH2PO4 0,2 M

Dilarutkan 27,218 g KH2PO4 dalam air bebas CO2 dan diencerkan sampai 1000 ml (FI Edisi III).

- Pembuatan Larutan Dapar

Dibuat dengan mencampur 50 ml KH2PO4 0,2 M dengan 3,6 ml NaOH 0,2 N dan diencerkan dengan air bebas CO2 secukupnya hingga 200 ml (FI Edisi III).


(27)

Dididihkan air selama beberapa menit, sebelum digunakan didinginkan sambil ditutup (FI Edisi III).

3.2.2 Pembuatan Larutan Pembanding

Ditimbang seksama baku pembanding parasetamol sejumlah 56,0 mg, dimasukkan ke labu tentukur 100 ml. Ditambahkan 70 ml larutan buffer fosfat pH = 5,8 dikocok sampai larut.Diencerkan dengan larutan buffer fosfat pH = 5,8 sampai garis tanda, dikocok (kons ± 560 µg/ml). Dipipet 1,0 ml filtrat, dimasukkan ke labu tentukur 100 ml. Diencerkan dengan larutan buffer fosfat pH = 5,8 sampai garis tanda, dikocok (kons ± 5,6 µg/ml). Diukur serapan larutan baku (A). 3.2.3 Pembuatan Larutan Uji

Dimasukkan sejumlah volume media disolusi ke dalam labu disolusi. Dihidupkan alat disolusi, dibiarkan media disolusi hingga suhu 37° ± 0,5°C. Dimasukkan tablet yang akan di periksa ke dalam labu. Dijalankan alat pada laju kecepatan dan waktu seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Setelah selesai disolusi , disaring. Dipipet 1,0 ml filtrat, dimasukkan ke labu tentukur 100 ml.Diencerkan dengan larutan buffer fosfat pH = 5,8 sampai garis tanda, dikocok (Kons ± 5,6 µg/ml). Diukur serapan larutan uji (B).

3.2.4. Cara Penetapan Serapan

Diukur serapan larutan A dan larutan B pada panjang gelombang serapan maximal 243 nm dengan menggunakan larutan buffer fosfat pH = 5,8 sebagai blanko.

PERHITUNGAN


(28)

% 100

x Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

Dimana: Vm : Volume media disolusi (ml) Vb : Volume awal larutan baku (ml) Fu : Faktor pengenceran larutan uji Fb : Faktor pengenceran larutan baku Au : Absorbansi larutan uji

Ab : Absorbansi larutan baku

Bb : Bobot baku yang ditimbang (mg)


(29)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Hasil disolusi tablet omegrip dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel Hasil Disolusi Tablet Omegrip

No Sampel Pengukuran (Au) % Zat Aktif Terlarut

1 Pertama 0,33923 93,52%

2 Kedua 0,33626 92,70%

3 Ketiga 0,32229 88,85%

4 Keempat 0,33177 91,46%

5 Kelima 0,33215 91,56%

6 Keenam 0,32762 90,32%

Perhitungan : Lampiran 1 4.2 Pembahasan

Dari hasil penatapan kadar Tablet Omegrip 500 mg yang dilakukan pada uji disolusi secara spektrofotometri yang dilakukan terhadap 6 (enam) tablet diperoleh kadar yaitu 93,52%, 92,70%, 88,85%, 91,46%, 91,56%, dan 90,32%. Kadar zat aktif yang terlarut tersebut sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan dalam Pharmacopeia of the People’s Republic of China, dimana jumlah keenam sampel yang diuji memenuhi persyaratan yaitu kadar tidak kurang dari Q + 5% (Q = 80%). Hal ini menunjukkan bahwa zat aktif Omegrip dapat melarut dengan baik.


(30)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari hasil penetapan kadar yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tablet Omegrip 500 mg yang diproduksi oleh PT.Mutifa Farma memenuhi persyaratan Farmakope Cina. Dimana persyaratan kadar uji disolusi tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5 (Q = 80%).

5.2 Saran

Pemerintah sebaiknya melakukan pemeriksaan setiap obat yang beredar dipasaran agar memenuhi persyaratan demi kesehatan dan keselamatan konsumen. Serta mencoba metode penetapan kadar dengan metode lain agar dapat dibandingkan ketelitian hasilnya.


(31)

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1083, 1084.

Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 639.

Tanu, Ian. (1972). Farmakologi Dan Terapi. Edisi Pertama. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 162, 164.

Ansel, C.H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI Press. Hal. 103, 104, 105, 118, 119, 112.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. (1995). Farmakologi Dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 207, 209, 210.

Anief, Moh. (1995). Prinsip Umum Dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 45.

Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. Edisi Pertama. Yogyakarta: UI Press. Hal. 31, 36, 37, 38.

Tjay, T.H. & Kirana,R. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Hal. 297, 298.

Pharmacopeia of the People’s Republic of China. (2005).Vol. II. Hal. 127. Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 261, 262. Agoes, G. (2008). Pengembangan Sedia Farmasi. Bandung: ITB Press. Hal. 379,


(32)

LAMPIRAN

Nama sediaan : Omegrip tablet

Zat aktif : 500 mg Parasetamol tiap tablet

No. Betch : 0809345

Volume Media : 900 ml

Media Disolusi : Buffer fosfat pH 5,8

Tipe Alat : Dayung (Paddle)

Waktu : 30 menit

Kecepatan Rotasi : 50 rpm

Panjang Gelombang : 243 nm

Persyaratan (Q) : Tidak kurang 80% dari yang tertera pada etiket

Faktor Pengenceran Larutan Baku (Fb) : 100 ml

Bobot Baku (Bb) : 56 mg


(33)

Kandungan Parasetamol pada etiket (Ke) : 500 mg

Absorbansi Larutan Baku (Ab) : 0,36563

Absorbansi Larutan Uji (Au)

Sampel Absorbsi Larutan Uji (Au)

Pertama 0,33923

Kedua 0,33626

Ketiga 0,32229

Keempat 0,33177

Kelima 0,33215

Keenam 0,32762

PERHITUNGAN :

x100%

Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

1. Tablet 1

% Kadar = x100%

Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0 33923 , 0 100 100 100 900 x x x x


(34)

2. Tablet 2

% Kadar = x100%

Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0 33626 , 0 100 100 100 900 x x x x

= 92,70 %

3. Tablet 3

% Kadar = x100%

Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0 32229 , 0 100 100 100 900 x x x x = 88,85 % 4. Tablet 4

% Kadar = x1100% Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0 33177 , 0 100 100 100 900 x x x x

= 91,46 % 5. Tablet 5

% Kadar = x100%

Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0 33215 , 0 100 100 100 900 x x x x


(35)

6. Tablet 6

% Kadar = x100%

Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0

32762 , 0 100 100 100 900

x x x

x


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari hasil penetapan kadar yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tablet Omegrip 500 mg yang diproduksi oleh PT.Mutifa Farma memenuhi persyaratan Farmakope Cina. Dimana persyaratan kadar uji disolusi tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5 (Q = 80%).

5.2 Saran

Pemerintah sebaiknya melakukan pemeriksaan setiap obat yang beredar dipasaran agar memenuhi persyaratan demi kesehatan dan keselamatan konsumen. Serta mencoba metode penetapan kadar dengan metode lain agar dapat dibandingkan ketelitian hasilnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1083, 1084.

Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia, Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 639.

Tanu, Ian. (1972). Farmakologi Dan Terapi. Edisi Pertama. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 162, 164.

Ansel, C.H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: UI Press. Hal. 103, 104, 105, 118, 119, 112.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. (1995). Farmakologi Dan Terapi. Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 207, 209, 210.

Anief, Moh. (1995). Prinsip Umum Dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 45.

Syukri, Y. (2002). Biofarmasetika. Edisi Pertama. Yogyakarta: UI Press. Hal. 31, 36, 37, 38.

Tjay, T.H. & Kirana,R. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi Kelima. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Hal. 297, 298.

Pharmacopeia of the People’s Republic of China. (2005).Vol. II. Hal. 127. Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 261, 262. Agoes, G. (2008). Pengembangan Sedia Farmasi. Bandung: ITB Press. Hal. 379,


(3)

LAMPIRAN

Nama sediaan : Omegrip tablet

Zat aktif : 500 mg Parasetamol tiap tablet

No. Betch : 0809345

Volume Media : 900 ml

Media Disolusi : Buffer fosfat pH 5,8

Tipe Alat : Dayung (Paddle)

Waktu : 30 menit

Kecepatan Rotasi : 50 rpm

Panjang Gelombang : 243 nm

Persyaratan (Q) : Tidak kurang 80% dari yang tertera pada etiket

Faktor Pengenceran Larutan Baku (Fb) : 100 ml

Bobot Baku (Bb) : 56 mg


(4)

Absorbansi Larutan Baku (Ab) : 0,36563 Absorbansi Larutan Uji (Au)

Sampel Absorbsi Larutan Uji (Au)

Pertama 0,33923

Kedua 0,33626

Ketiga 0,32229

Keempat 0,33177

Kelima 0,33215

Keenam 0,32762

PERHITUNGAN :

x100% Ke

Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

1. Tablet 1

% Kadar = x100% Ke

Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0

33923 , 0 100 100 100 900

x x x

x


(5)

2. Tablet 2

% Kadar = x100%

Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0 33626 , 0 100 100 100 900 x x x x

= 92,70 %

3. Tablet 3

% Kadar = x100% Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0 32229 , 0 100 100 100 900 x x x x = 88,85 % 4. Tablet 4

% Kadar = x1100% Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0 33177 , 0 100 100 100 900 x x x x

= 91,46 % 5. Tablet 5

% Kadar = x100% Ke Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0 33215 , 0 100 100 100 900 x x x x


(6)

% Kadar = x100% Ke

Bb x Ab Au x Fb Fu x Vb Vm

= 100%

500 56 36563 , 0

32762 , 0 100 100 100 900

x x x

x