menuduh, wanita tersebut sudah tidak perawan, sekalipun pada malam pertama sudah tidak lagi berdarah.
F. Tinjauan Fiqh Terhadap Virginitas dalam Pernikahan
Keperawanan berasal dari kata رﺎﻜ أ
- ﺮﻜ
atau ءارﺬ ا yang berarti adalah
perawan atau gadis.
30
Keperawanan yang biasanya ditandai dengan adanya selaput dara pada diri seorang wanita. Dalam Islam adalah farji vagina, yang
secara syara belum pernah di masuki oleh sesuatu atau di dukhul. Dalam kata lain kemaluan seorang wanita yang belum pernah bersetubuh, sehingga
kemaluannya masih utuh steril dari penjamahan apapun termasuk kecelakaan secara fisik.
31
Keperawanan wanita sangat urgent dengan berbagai sebab sebagai berikut:
1. Simbol perbedaaan status janda dan status gadis dalam ikatan
perkawinan. 2.
Simbol perbedaan gadis yang baik-baik atau gadis sholehah dengan gadis- gadis binal yang statusnya gadis tetapi keperawanannya sudah
diumbar kemana-mana.
30
Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir, Kamus Arab- Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002 cet kelima, h.102
31
Syekh Ibnu Hazm, Al- Raudhatun- Nisa, Mesir: Isa Al- Baabiy, h.18.
Keperawanan itu juga bisa dijadikan tolak ukur untuk wanita itu sendiri dalam menilai diri sendiri. Keperawanan bisa berarti kejujuran,
kesucian dan keutuhan moral seorang wanita.
32
Pernikahan adalah ikatan lahir batin yang dilandasi atas nama Allah Swt. Masing-masing pihak suami-istri harus saling menghalalkan
semata-mata karena Allah, bukan dilandasi nafsu belaka atau hanya karena suka sama suka. Dengan kata lain, sebuah pernikahan adalah suatu ikatan
rohani dan jasmani yang merupakan bagian dari sumber daya manusia, yang menuju dan mencari kerelaan Illahi.
33
Memasuki lembaran baru hidup berkeluarga, biasanya dipandang sebagai pintu kebahagiaan. Segala
macam harapan kebahagiaan ditumpahkan pada lembaga keluarga. Membangun keluarga sakinah harus diartikan juga membangun pribadi-
pribadi muslim, karena keluarga sakinah hanya terbentuk jika anggota keluarganya juga memiliki kepribadian muslim.
34
Mengingat fungsi rumah tangga begitu besar pengaruhnya terhadap kehidupan, maka tidak layak melangkah ke dalam dunia pernikahan
sebelum mengkaji dan memahami tata cara memilih calon pasangan, oleh
32
Abu Al- Ghifari, Kesucian Wanita, Bandung: Mujahid,2002 cet ke 1, h.11.
33
Mohammad Asmawi, Nikah dalam Perbincangan dan Perbedaan Yogyakarta:
Darussalam, 2004,
h.147.
34
Said Agil Husin Al- Munawwar dan M. Quraish Shihab,dkk. Agenda Generasi
Intelektual, Jakarta: Penamadani, 2003, h. 70
karena itu mereka harus membuat persiapan pernikahan. Memilih calon istri merupakan langkah awal untuk memulai kehidupan berumah tangga,
karena perkawinan adalah menjalin ikatan yang kuat dan suci antara dua manusia
yang berlainan
jenis. Dalam menentukan pilihan pasangan,bukanlah hal yang mudah, butuh waktu yang tidak singkat, masing-
masing pihak harus berpegang teguh pada kriteria- kriteria yang telah ditentukan oleh syari’at atau yang sesuai dengan anjuran agama.
35
Dalam memilih pasangan yang tepat, calon suamiistri pertama- tama harus saling bertanya satu sama lain mengenai keyakinan dan
menentukan tingkat penyucian diri, juga berbagai karakteristik pribadi serta fisik, sebab kesemuanya itu akan berpengaruh langsung pada keturunan
mereka.
36
Dalam hal memilih calon istri bagi kaum laki-laki harus memiliki kriteria tertentu. Membina suatu rumah tangga bukanlah sekedar untuk
pelampiasan nafsu syahwat belaka, bukan untuk permainan belaka kawin cerai dan juga bukan untuk sementara waktu, tetapi berumah tangga
adalah suatu kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah yang sakral yang telah di atur tata caranya sedemikian rupa baik oleh agama maupun
negara. Untuk itu, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan perlu
35
Syaikh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al- musnad Khalid bin Ali Al- Anbari, Perkawinan dan Masalahnya,
Jakarta: Pustaka Al- Kautsar. 1993, h. 31.
36
Husain ‘Ali Turkamani. Bimbingan Keluarga dan Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1998, h. 50.
memperhatikan kriteria-kriteria calon istri, sehingga pemilihan calon istri tersebut merupakan hasil penyelesaian pemikiran yang matang, bukan
sekedar asal-asalan. Hal ini ditujukan untuk memperoleh kebahagian dalam rumah tangga.
Pada hakikatnya dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk dan tuntutan, antara lain:
1. Hendaklah calon istri itu yang memiliki dasar pendidikan dan mengerti
agama berakhlak baik. Karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri.
ا ’
ه ﷲا ﻰ ﺻ ﱠا ﱠنا ﷲا
ر ة ﺮ ﺮ لﺎ و
: رﻷ ةأﺮ ا ﻜ
كاﺪ ﺮ ﺪ ا تاﺬ ﺮ ﻇﺎ ﺎﻬ ﺪ و ﺎﻬ ﺎ و ﺎﻬ و ﺎﻬ ﺎ
37
Artinya: “Dari Abi Hurairah R.A. sesungguhnya Nabi Muhammad SAW
bersabda: nikahilah olehmu dari seorang wanita karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, karena
agamamya. Maka pilihlah yang kuat agamanya, karena ia akan menolongmu.”
Pemilihan atas dasar agama yang dimaksudkan di sini adalah pemahaman yang benar tentang Islam dan penerapan amaliyahnya terhadap
semua ketaatan dan adabnya yang tinggi.
38
37
Shahih Bukhari, Bab Al- akfa Fi ddini wa Qauluhu, Juz ke-8, Mesir : Al- majlisu al-‘ala Litsuni al-islamiyah, 1990, h. 137.
38
Haya Binti Mubarok al- barik, Ensiklopedin Wanita Muslimah, Jakarta: Darul Falah,1999, h. 103.
2. Hendaklah memilih calon istri yang masih gadis, karena Nabi
Muhammad SAW pernah bersabda:
ﷲا ﻰ ﺻ ا نا ﺮ ﺎ و
: ل ﺎ
: ﺰ ﺮ ﺎ ﺎ
لﺎ ؟ ﺎ ﱢﺛ مأ اﺮﻜ ﱠو :
ﺎ ﺛ .
لﺎ :
ﻚ و ﺎﻬ ا اﺮﻜ ﱠوﺰ ﱠ ﻬ .
39
Artinya: dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda kepadanya: hai Jabir dengan siapakah kau menikah? Perawankah atau
janda? Jawab Jabir: saya menikah dengan janda, Rasul pun bersabda: alangkah baiknya jika engkau menikah dengan perawan, engkau dapat
menjadi hiburannya dan dia pun akan menjadi hiburan bagimu. H.R.
Bukhari dan Muslim. Adapun
sababul wurud
hadist ini adalah sebagaimana diterangkan
didalam hadist Shahih Muslim, bahwa ketika Jabir bin Abdullah berada dalam perjalanan bersama Rasulullah saw, Jabir di tanya, apakah dia
beristri apa belum? dijawabnya, bahwa dia sudah menikah. Rasulullah SAW menanyakan pula apakah dengan janda atau perawan? dijawabnya
dengan janda. Kemudian Rasulullah SAW pun bersabda dengan diturunkannya hadist di atas.
40
Dalam pandangan Islam, keperawanan seorang perempuan adalah masalah sakral. Keperawanan merupakan barometer baik dan buruknya
perempuan tersebut, baik dari segi agama, akhlak, kepribadian dan
39
Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail al- bukhari, Shahih Bukhari, juz ke- 3, Beirut: Al- Maktabah al- Sahriyyah, 1997, h.1639.
40
Ibnu Hamzah Al- Husaini Al- Hanafi al-Damsyiqi, Asbabul Wurud Latar Belakang Historis Timbulnya Hadist-hadist Rasul.
Penerjemah: Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, Jakarta: Kalam Mulia, 2002 Jilid ke III cet. I. h. 53.
⌧ ⌧
☺
Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang- orang yang
mukmin
.
Q.S. An- Nur 24: 3 Dalam menentukan pasangan hidup, Islam memberikan panduan
agar ada prinsip kesepadanan, yang dalam istilah Fiqh Munakahat adalah Kafa’ah
. Secara etimologi Kafa’ah adalah sepadan, seimbang, serupa, sedangkan secara terminologi adalah kesepadanan, keseimbangan, keserasian,
antara calon istri dan suami, baik dalam fisik, kedudukan status sosial,akhlak maupun kekayaan, sehingga masing-masing calon merasa
nyaman, dan cocok serta tidak merasa terbebani untuk melangsungkan perkawinan dan mewujudkan tujuan pernikahan. Semakin banyak titik
persamaan, semakin mudah pula untuk meneguhkan kebersamaan dan persatuan antara keduanya, demikian juga sebaliknya.
41
41
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa- Fatwa Masalah Pernikahan dan Kelurga. Jakarta : Elsas, 2008, h. 12.
Dalam hal
kedudukannya, kafa’ah
dalam perkawinan terdapat beda pendapat dikalangan jumhur ulama. Perbedaan pendapat tersebut antara
lain adalah : a.
Menurut ulama mazdhab Hanafiyah, dasar-dasar Kafa’ah : 1.
Nasab : keturunan
2. Islam
: silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam, 3.
Hirfah : status sosial dan profesi dalam kehidupan
4. Huriyah : kemerdekaan diri
5. Diyanah : tingkat kualitas keberagamaan
6. Kekayaan
b. Menurut ulama Malikiyah, dasar-dasar Kafa’ah adalah: hanya Diyanah
dan tidak memiliki kekurangan cacat fisik. c.
Menurut ulama Syafi’iah, dasar-dasar Kafa’ah adalah: Nasab, Diyanah, Huriyah, Hirfah.
d. Menurut ulama Hanabilah, dasar-dasar Kafa’ah adalah : diyanah, profesi,
kekayaan, huriyah dan nasab.
42
Ulama sepakat menetapkan diyanah yang berarti tingkat ketaatan beragama sebagai kriteria, bahkan menurut ulama Malikiyah hanya nilai itu
yang dapat di jadikan kriteria.
42
Abdul- Rahman Ibn Muhammad ‘Audh al- Jaziry, al- Fiqh ‘ala al- Mazahib al- ‘ar
Ba’ah, Kairo: Dar Ibn al- Haitsimy, Jilid I, juz 1-5, h. 842-846.
Berdasarkan hal di atas, dalam memilih calon istri, harus memilih wanita karena agama dan akhlaknya, karena ajaran agama harus dijadikan
patokan utama, karena agamalah yang mampu membimbing jiwa, sehingga ia menjadi kuat dan tabah menghadapi segala persoalan dalam kehidupan
ini.
43
Sebab keduanya ini merupakan tiang bagi keberhasilan rumah tangga. Sesuai dengan yang di anjurkan oleh Nabi Muhammad Saw:
ااﻮ ﱠوﺰ ﻰ ﱠ ﻬ
ءﺎ و ﱠ ﻬ د ﺮ نأ ﱠ ﻬ
ﱠ ﻬ اﻮ ﻷ ﱠ هﻮ ﱠوﺰ ﻰ
ﱠوﺰ ﻜ و ﱠ ﻬ ﻐﻄ نأ ﱠ ﻬ اﻮ أ ﺪ ا ﻰ ﱠ ه ﻮ
ﻷو ﺔ
د تاذ ءادﻮ ءﺎ ﺮﺧ أ
ﻬ او اﺮ ﻄ او ﺎ ا اور
44
Artinya: “Janganlah kalian nikahi wanita karena alasan kecantikan
mereka, sebab bisa jadi kecantikan mereka justru akan menjerumuskan mereka dalam kebinasaan. Jangan nikahi juga mereka karena kekayaan
mereka, sebab bisa jadi kekayaan mereka menyeret mereka pada kemaksiatan. Akan tetapi nikahilah mereka atas dasar pertimbangan
agama. Sungguh budak hitam kharma’ yang memiliki komitmen agama jauh lebih baik.”
H.R. Ibnu Majah, Ath- Thabrani, dan Al- Baihaqi. Seorang pria harus yakin bahwa wanita yang dipilihnya untuk
dinikahi memiliki akhlak Islam yang baik, sebab sang istrilah yang akan mengemban tanggung jawab membesarkan anak-anaknya.
43
Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga, Keluarga yang Sakinah, Jakarta: CV, Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet.1, h.7.
44
Abdurrahman Ismail Kinani. Zawaidul Ibnu Majah ‘ala kutub al Khamsah, Beirut: Dar Kutub al- ihwal,1993, h. 265.
G. Hubungan Virginitas dengan Konsep Kafaah dalam Pernikahan.