Keuangan Daerah Menurut Rochmat Soemitro :

4.2 Keuangan Daerah

Kebutuhan dana untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan daerah secara optimal dapat diperoleh dari sumber yang dimiliki. Kebutuhan dana untuk menjalankan tugas pemerintahan dikenal sebagai kebutuhan fiskal fiscal need. Sedangkan dana yang dapat diperoleh dari sumber-sumber yang dimiliki dan dilimpahkan kepada unit pemerintah tersebut dalam pengertian akademis disebut sebagai kapasitas fiskal fiscal capacity, jika dibandingkan kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal disebut dengan posisi fiskal fiscal position. Unit pemerintahan akan dapat menjalankan tugas dan fungsinya jika posisi fiskalnya lebih besar dari 1. artinya haruslah tersedia penerimaan yang lebih besar atau paling sedikit sama dengan jumlah pengeluaran yang akan diperlukan untuk membayar belanja rutin dan pembangunan. Besarnya kapasitas pajak daerah yang sangat ditentukan oleh sejumlah basis pajak daerah yang bersangkutan, yang merupakan objek dan subjek yang didasarkan pungutannya dengan UU perpajakan daerah. Disamping itu besarnya penerimaan pajak sebagai sumber pembiayaan dalam suatu daerah sangat tergantung pada kemampuan pemerintah daerah dalam mengumpulkan yang didukung oleh aparat fiskus yang baik dan professional, disamping didukung oleh tingginya tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Oleh karenanya sumber keuangan daerah sebaiknya tidak hanya berfokus pada dana pembangunan saja, namun pula pada kemampuan daerah untuk memanfaatkan dan mendayagunakan serta mengelola potensi keuangan daerah dengan tujuan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah. Untuk itu, bagaimanapun diupayakan membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah maka sumber daerah harus tercermin menurut sektor kegiatan ekonomi dan sumber daya alam daerah dikelola secara otonomi sebagai sumber pendapatan asli daerah PAD dengan derakat yang lebih tinggi. Upaya untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah melalui peningkatan pendapatan asli daerah PAD memang merupakan suatu alternatif, namun tanpa perubahan dalam struktur fiskal vertikal, peningkatan PAD akan memberikan beban berat bagi para penduduk yang berpendapatan rendah di daerah. Bertolak dari identifikasi untuk satu atau dua jenis pajak dan retribusi daerah, maka dengan mudah dapat diperoleh gambaran bahwa semakin intensif penerikan pajak dan retribusi di tingkat pemerintahan yang paling rendah, semakin besar tambahan beban kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah. Konsekuensi dari luasnya kewenangan dan kewajiban yang diberikan pada daerah tentunya dibarengi dengan semakin besar pula tingkat kebutuhan pembiayaan bagi daerah, baik untuk kepentingan pelaksanaan pembangunan, peningkatan pelayanan kepada masyarakat maupun tugas penyelenggaraan pemerintah lainnya. Oleh karena itu dalam menjaga kesinambungan otonomi daerah sebagai pelaksanaan wewenang dan kewajiban tersebut, maka kemampuan sumber keuangan dan pembiayaan daerah mempunyai peranan yang cukup penting dan strategis. Dalam pengelolaan sumber pendapatan daerah diperlukan berbagai kebijakan dan upaya yang dinamis. Namun tetap memperhatikan aspek potensi, tingkat perekonomian masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. Untuk dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan pembiayaan bagi daerah dan diharapkan upaya tersebut dapat meningkatkan pendapatan daerah secara optimal. Pemantauan dan evaluasi terhadap keuangan pembiayaanpembiayaan daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran menggunakan indikator-indikator tertentu dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil keputusan, terutama mengenai potensi sumber yang dapat dijadikan sumber pembiayaan pembangunan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Agar kegiatan roda pemerintahan berjalan dengan lancar dan efektif, maka suatu daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan yang dimilikinya, oleh karena itu suatu daerah dapat meghitung berapa besar kemampuan keuangan daerah agar dapat membiayai daerahnya dalam melaksanakan tugas dan fungsi secara optimal roda pemerintahan. Dengan kata lain, faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah melaksanakan otonominya. Dalam studi ini, indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan keuangan daerah Sumatera Utara antara lain dengan mengkaji konstribusi pendapatan asli daerah terhadap APBD, elastisitas PAD riil, kenanpuan derah dalam memungut sumber penerimaan daerah, pengoptimalan penerimaan pajak daerah, membiayai pembangunan dengan tabungan pemerintah daerah dan membiayai investasi baru serta kemampuan memberikan pelayanan kepada masyarakat, serta kemampuan dalam melakukan pinjaman dan cara pengelolaan pinjaman tersebut. 1 Konstribusi PAD Terhadap APBD Untuk menghitung berapa besar sumbangan PAD dalam menunjang anggaran pendapatan dan belanja daerah digunakan PDRB tanpa migas menurut harga berlaku sebagai pendekatan kapasitas pendapatan asli daerah. 2 Elastisitas Posisi Pendapatan Asli Daerah Dilihat dari koefisien PAD riil terhadap PDRB Sumatera Utara dapat diketahui satu ukuran untuk menentukan struktur PAD didaerah ini. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa koefisien elastisitas PAD, maka semakin baik struktur PAD di Propinsi Sumatera Utara. 3 PAD dan Pertumbuhan Ekonomi Untuk merespon apakah penerimaan pendapatan asli daerah sejalan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi daerah Sumatera Utara, maka dapat digunakan pendekatan analisis elastisitas PAD riil terhadap PDRB harga konstan non migas. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa rasio penerimaan PAD terhadap PDRB non migas cukup tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa semakin besar kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai berbagai potensi PAD yang ada secara optimal. Disamping itu dengan semakin tinggi rasio PAD terhadap PDRB non migas berarti pemerintah daerah semakin optimal dalam menggali sumber-sumber potensi PAD yang ada di daerah. Untuk melihat gambaran perkembangan jumlah penerimaan daerah dengan APBD dapat dilihat pada Tabel 4.3 dibawah ini. Tabel 4.3 Konstribusi Penerimaan Daerah Terhadap APBD Sumatera Utara Tahun 2000-2005 No Tahun Penerimaan Daerah APBD Rp Konstribusi 1 2000 309.542.127.732,00 600.279.657.053,00 51,57 2 2001 573.689.569.210,00 1.056.803.842.207,00 50,40 3 2002 739.448.579.251,00 1.179.921.701.187,00 62,67 4 2003 1.090.578.769.926,00 1.162.038.490.000,00 93,85 5 2004 1.166.716.145.000,00 1.396.404.430.000,00 83,55 6 2005 1.664.099.166.769,00 1.501.539.015.145,00 110,83 Sumber: Bappeda Sumatera Utara diolah

4.3 Analisis Ekstensifikasi Konstribusi Terhadap PAD