Analisis Pengaruh Dana Perimbangan dan PAD terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Era Otonomi Daerah.

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS PENGARUH DANA PERIMBANGAN DAN PAD TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN/KOTA DI SUMATERA

UTARA ERA OTONOMI DAERAH

Skripsi Diajukan Oleh:

Nama : Lia Nazliana Nasution

Nim : 060523005

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang nyata. Reformasi juga memberikan hikmah yang sangat besar kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi daerah.

Otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah telah mengeluarkan satu paket kebijakan tentang otonomi daerah, yaitu: 1. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti UU No. 5

Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah, dan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa.

2. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang berhak mengurus Rumah Tangganya sendiri.

Konsekuensi dari pelaksanaan kedua Undang-Undang tersebut adalah bahwa daerah harus mampu mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata, dan bertanggung jawab. Daerah diberikan kewenangan dari pemerintah pusat yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang


(3)

bersumber dari APBD, selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antar daerah dan mendorong timbulnya inovasi (Setiaji dan Adi, 2007).

Selain itu, dengan adanya otonomi diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya, dan pemerintah pusat tidak terlalu aktif mengatur daerah. Dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah diharapkan mampu menganalisis peluang yang ada untuk memajukan daerah dengan melakukan identifikasi sumber-sumber penerimaan, dan juga harus beradaptasi dan berupaya meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang kemudian dikembangkan menjadi sumber pendapatan daerah.

Namun pada kenyataannya masing-masing daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ada daerah yang memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah, ada juga yang tidak. Ada daerah yang tata perekonomiannya sudah baik, ada juga yang masih tertinggal. Untuk mengatasi persoalan ketimpangan tersebut dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar, pemerintah pusat memberikan dana perimbangan yang ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana perimbangan ini terdiri dari Bagian Daerah, yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

Besaran dana perimbangan berbeda-beda di setiap daerah, tergantung pada potensi sumber-sumber dan kekayaan alam ataupun jumlah penduduk yang terdapat di daerah tersebut. Pada umumnya daerah yang PAD-nya masih rendah, lebih mengandalkan pada penerimaan dari dana perimbangan. Hal ini menunjukkan masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pasokan dana dari pemerintah pusat. Sebenarnya bantuan dari pemerintah pusat diharapkan dapat memberikan rangsangan bagi daerah untuk lebih meningkatkan PAD, yang


(4)

merupakan salah satu bagian penting dari sumber penerimaan daerah. Sehingga bantuan tersebut dapat dikurangi secara gradual, baik melalui penciptaan sistem perpajakan baru sesuai dengan kebutuhan daerah, maupun melalui pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu, bersamaan dengan semakin sulitnya keuangan Negara dan pelaksanaan otonomi daerah itu sendiri, maka kepada setiap daerah dituntut harus dapat membiayai diri melalui sumber-sumber keuangan yang dikuasainya. Dan dalam hal ini pemerintah daerah sangat memegang peran penting dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu unsur yang menentukan dalam pembangunan di daerah. Hal ini disebabkan karena PAD merupakan sumber penerimaan yang dikelola dan diperoleh melalui usaha-usaha sendiri oleh Pemerintah Kabupaten dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di daerah tersebut. Disamping itu, PAD juga merupakan salah satu syarat utama keberhasilan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1974 (Sofwani, dkk). Upaya-upaya untuk meningkatkan PAD ini tidak terlepas dari mekanisme sistem pemerintah daerah, yaitu kerjasama antara Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah, dengan cara pendekatan terpadu dengan tidak menghilangkan identitas, baik tugas dan fungsi masing-masing.

Selain dana perimbangan dan PAD, keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah juga tergantung pada Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki daerah. Sumber Daya Manusia berperan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah di samping hal-hal yang menyangkut prasarana, sarana, dan wahana yang diperlukan. Terpusatnya SDM berkualitas di Kota-kota besar dapat didistribusikan ke daerah


(5)

seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Untuk menciptakan kelembagaan pemerintah daerah otonom yang mampu, perlulah diisi oleh SDM yang berkualitas.

Namun ada kecenderungan pemerintah daerah hanya tertarik pada jenis pendekatan pembangunan fisik yang memerlukan biaya tinggi dengan melakukan alokasi anggaran, sedangkan untuk meningkatkan SDM relatif rendah. Ditambah lagi dengan masalah jumlah penduduk di Indonesia yang besar. Tidak semua penduduk di Indonesia mendapatkan kesempatan pendidikan yang baik. Selain itu masalah pengangguran juga masih belum teratasi. Sehingga di Indonesia masih banyak terdapat penduduk dengan kualitas yang rendah.

Pada dasarnya, implikasi dari otonomi daerah ini menuntut daerah untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Pembangunan tersebut diharapkan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh setiap daerah, sehingga dapat memberikan manfaat bagi daerah dan kesejahteraan masyarakatpun meningkat. Peran pemerintah sebagai mobilisator pembangunan sangat penting dalam mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah.

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator untuk melihat hasil pembangunan yang telah dilakukan dan juga berguna untuk menentukan arah pembangunan di masa yang akan datang. Untuk mengetahui apakah suatu perekonomian mengalami pertumbuhan, perlu ditentukan perubahan yang sebenarnya terjadi dalam kegiatan-kegiatan ekonomi dari tahun ke tahun, yaitu dengan menghitung Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku.

Apabila PDRB suatu daerah mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, maka pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dapat dikatakan meningkat pula yang otomatis memperkuat PAD daerah itu. Dan sebaliknya apabila PDRB suatu daerah


(6)

mengalami penurunan, maka pertumbuhan ekonomi daerah tersebut dikatakan menurun, yang dapat dilihat dari berbagai sektor.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan judul skripsi: “Analisis Pengaruh Dana Perimbangan dan PAD terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Era Otonomi Daerah”.

1.2. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka perlu dibuat rumusan masalah agar pelaksanaan penelitian dapat terlaksana secara terarah. Selain itu, rumusan masalah ini diperlukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan skripsi ini.

Adapun yang menjadi perumusan masalah yang dimaksud adalah:

1. Sejauhmana derajat otonomi fiskal atau kemampuan keuangan pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya.

2. Bagaimana pengaruh Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.

3. Bagaimana pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.

4. Bagaimana pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.


(7)

1.3. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, di mana tingkat kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji secara empiris.

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut:

1. Adanya kontribusi yang tinggi dari derajat otonomi fiskal atau kemampuan keuangan pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah dalam menjalankan roda pemerintahannya.

2. Terdapatnya hubungan positif antara Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.

3. Terdapatnya hubungan positif antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah. 4. Terdapatnya hubungan positif antara Jumlah Penduduk terhadap Pertumbuhan

Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.

2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah. 3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh Jumlah Penduduk terhadap Pertumbuhan


(8)

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan studi atau tambahan bagi mahasiswa/mahasiswi Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

2. Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang dana perimbangan, PAD, jumlah penduduk, dan pertumbuhan ekonomi, yang nantinya akan berguna di masa yang akan datang.

3. Sebagai proses pembelajaran dan menambah wawasan bagi penulis dalam hal menganalisa dan berfikir.


(9)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1. Dana Perimbangan

2.1.1. Pengertian dan Pembagian Dana Perimbangan 2.1.1.1. Pengertian Dana Perimbangan

Dana Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik (Widjaja, 2002).

Menurut Elmi (2002; jurnal), secara umum tujuan pemerintah pusat melakukan transfer dana kepada pemerintah daerah adalah:

• Sebagai tindakan nyata untuk mengurangi ketimpangan pembagian "kue nasional", baik vertikal maupun horisontal.

• Suatu upaya untuk meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah dengan menyerahkan sebagian kewenangan dibidang pengelolaan keuangan negara dan agar manfaat yang dihasilkan dapat dinikmati oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.

Namun selama ini sumber dana pembangunan daerah di Indonesia mencerminkan ketergantungan terhadap sumbangan dan bantuan dari pemerintah pusat (Sumiyarti dan Imamy, 2005). Sejalan dengan itu, Elmi (2002) juga menyatakan bahwa ketidakseimbangan fiskal (fiscal inbalance) yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah selama ini telah menyebabkan ketergantungan keuangan pemerintah daerah kepada bantuan dari pemerintah pusat yang mencapai lebih dari 70 persen kecuali provinsi DKI Jakarta.


(10)

Padahal sebenarnya bantuan dana dari pemerintah pusat tersebut hanyalah untuk rangsangan bagi daerah agar lebih meningkatkan sumber penerimaan pendapatan asli daerahnya, yang merupakan bagian penting dari sumber penerimaan daerah, bukan menjadikannya sebagai prioritas utama dalam penerimaan daerah.

Penelitian yang dilakukan Sofwani, dkk, menyatakan tingginya ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat salah satu penyebabnya karena rendahnya penerimaan daerah dari PAD (Pendapatan Asli Daerah). Begitu juga studi yang dilakukan Landiyanto (2005) di Kota Surabaya, menyatakan bahwa pemerintah Kota Surabaya memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemerintah pusat, yang disebabkan oleh belum optimalnya penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah Kota Surabaya.

Di provinsi Sumatera Utara sendiri, menurut data dari APBD, PAD selama tahun 2003 adalah sebesar Rp. 1.357.698,7 juta (19,30 persen dari total penerimaan), sedangkan penerimaan dari dana perimbangan adalah sebesar Rp. 5.130.841,8 juta (72,92 persen dari total penerimaan). Selanjutnya penerimaan dari pinjaman daerah adalah sebesar Rp. 139.980,0 juta (19,89 persen dari total penerimaan), dan penerimaan dari lain-lain penerimaan yang sah adalah sebesar Rp. 407.641,1 juta (5,79 persen dari total penerimaan)

Ini artinya pemerintah daerah Sumatera Utara juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap pasokan dana dari pemerintah pusat. Kecenderungan tingginya pasokan dana perimbangan dari pemerintah pusat tersebut juga terjadi pada 2 tahun sebelumnya (2001 dan 2002). Pada tahun 2001 besarnya dana perimbangan adalah Rp. 3.878.847,7 juta (79,14 persen dari total penerimaan), dan pada tahun 2002 dana perimbangan sebesar Rp. 4.641.827,1 juta (78,63 persen dari total penerimaan) Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(11)

Tabel 1.

Perkembangan PAD dan Dana Perimbangan Prov. Sumatera Utara Tahun 2001-2003 (dalam Jutaan Rupiah)

Jenis Penerimaan Tahun

2001 2002 2003

PAD 644.733,2 (13,15%) 949.012,5 (16,08%) 1.357.698,7 (19,30%) Dana Perimbangan 3.878.847,7 (79,14%) 4.641.827,1 (78,63%) 5.130.841,8 (72,92%) Pinjaman Daerah 46.838,4 (0,96%) 5.747,9 (0,09%) 139.980,0 (19,89%) Lain-lain Penerimaan yang

Sah 330.899,2 (6,75%) 306.552,1 (5,19%) 407.641,1 (5,79%)

Total Penerimaan 4.901.318,5 5.903.139,6 7.036.161,6

Sumber: APBD Prov. Sumatera Utara (Data diolah)

2.1.1.2. Pembagian Dana Perimbangan

Dana perimbangan terdiri dari:

1. Bagian Daerah, yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)

Sumber-sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan meliputi Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta Bagian Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Sementara itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang dibagihasilkan adalah minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 115 Tahun 2000, bagian daerah dari PPh, baik PPh pasal 21 maupun PPh pasal 25/29 orang pribadi, ditetapkan masing-masing sebesar 20 persen dari penerimaannya. Dua puluh persen bagian daerah tersebut terdiri dari 8 persen bagian provinsi dan 12 persen bagian Kabupaten/Kota. Pengalokasian bagian penerimaan pemerintah daerah kepada masing-masing daerah Kabupaten/Kota diatur berdasarkan usulan gubernur dengan


(12)

mempertimbangkan faktor-faktor seperti jumlah penduduk, luas wilayah, serta faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan.

Sementara itu, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2000, bagian daerah dari PBB ditetapkan 90 persen, sedangkan sisanya sebesar 10 persen yang merupakan bagian pemerintah pusat, juga seluruhnya sudah dikembalikan kepada daerah. Dari bagian daerah sebesar 90 persen tersebut, 10 persennya merupakan upah pungut, yang sebagian merupakan bagian pemerintah pusat. Sementara itu, bagian daerah dari penerimaan BPHTB berdasarkan UU No. 25 Tahun 1999 ditetapkan sebesar 80 persen, sedangkan sisanya 20 persen merupakan bagian pemerintah pusat. Dalam UU tersebut juga diatur mengenai besarnya bagian daerah dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam (migas), yang masing-masing ditetapkan 15 persen dan 30 persen. Sementara itu, penerimaan SDA pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan, ditetapkan masing-masing sebesar 80 persen.

2. Dana Alokasi Umum (DAU)

Menurut UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang dimaksud dengan dana alokasi umum yaitu dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Pada Pasal 7 UU No. 25 Tahun 1999, besarnya DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25 persen dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-masing 10 persen dan 90 persen dari DAU.


(13)

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Pengertian dana alokasi khusus menurut UU No. 25 Tahun 1999 adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, termasuklah yang berasal dari dana reboisasi. Kebutuhan khusus yang dimaksud yaitu:

 Kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dan/atau

 Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Penerimaan negara yang berasal dari dana reboisasi sebesar 40 persen disediakan kepada daerah penghasil sebagai DAK.

2.1.2. Pengaruh Dana Perimbangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Dana perimbangan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, merupakan bantuan dari pemerintah pusat yang dialokasikan pada pemerintah daerah untuk memacu pembangunan-pembangunan daerah sehingga pertumbuhan ekonomi di daerah tersebutpun meningkat.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Sumiyarti dan Imamy (2005) tentang pengaruh perimbangan pusat-daerah terhadap perekonomian Kota Depok, didapat hasil bahwa variabel dana perimbangan berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap PDRB Kota Depok. Dengan hasil tersebut terlihat bahwa penyumbang terbesar dalam penerimaan APBD Kota Depok adalah dana perimbangan.

Studi lain tentang pengaruh dana perimbangan terhadap pertumbuhan ekonomi juga dilakukan oleh Hidayat dan Sirojuzilam (2006), yang melakukan penelitian pada Kota Medan. Dari hasil yang didapat menyatakan bahwa variabel dana perimbangan berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertumbuhan


(14)

ekonomi di Kota Medan. Dan dilihat dari kontribusi masing-masing komponen penerimaan dalam total APBD Kota Medan, terlihat bahwa penyumbang terbesar dalam penerimaan APBD juga berasal dari dana perimbangan.

Dari penelitian-penelitian tersebut, memberi arti bahwa masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pasokan dana perimbangan dari pemerintah pusat.

2.2. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

2.2.1. Pengertian dan Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Lutfi, diimplementasikannya kebijakan desentralisasi fiskal sejalan dengan diberikannya otonomi yang lebih luas kepada daerah Kabupaten dan daerah Kota melalui pemberlakuan UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999, telah membuka peluang bagi para pemerintah daerah untuk memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah.

UU No. 25 Tahun 1999, Pasal 3 huruf a, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sumber Pendapatan Asli Daerah yang dimaksud terdiri dari: 1. Hasil pajak daerah

2. Hasil retribusi daerah

3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, antara lain bagian laba, deviden, dan penjualan saham milik daerah.


(15)

4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah, antara lain hasil penjualan asset tetap daerah dan jasa giro.

Astuti dan Haryanto (2005), mengatakan bahwa PAD inilah yang sebenarnya menjadi barometer utama suksesnya pelaksanaan otonomi daerah. Diharapkan dengan adanya otonomi, kemandirian daerah dapat diwujudkan yang dimanifestasikan lewat struktur PAD yang kuat. Hal ini juga dikemukakan oleh Azmil (2006), dimana keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (PAD), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonomi.

2.2.2. Pengaruh PAD terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Studi tentang pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pertumbuhan ekonomi sudah banyak dilakukan. Hidayat dan Sirojuzilam (2006) melakukan studi empiris di Kota Medan dan menyatakan bahwa variabel PAD mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Medan.

Sejalan dengan itu, Harianto dan Adi (2007) juga melakukan studi empiris hubungan antara PAD dengan pendapatan perkapita sebagai indikator yang digunakan dalam pertumbuhan ekonomi pada Kabupaten dan Kota se Jawa - Bali. Dari hasil yang didapat menyatakan bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan pendapatan perkapita.

Namun pada penelitian yang dilakukan Sumiyarti dan Imamy (2005) di Kota Depok, hasil yang didapat justru sebaliknya. Variabel PAD tidak mempunyai


(16)

pengaruh secara signifikan terhadap PDRB Kota Depok. Mereka berpendapat meskipun secara statistik pengaruh PAD terhadap PDRB tidak signifikan, tetapi bukan berarti variabel ini tidak memberikan nilai kontribusi yang berarti terhadap PDRB Kota Depok. Kecilnya kontribusi PAD dalam penerimaan APBD telah menyebabkan pengaruh variabel PAD terhadap PDRB menjadi tidak berarti.

2.3. Jumlah Penduduk

Penduduk merupakan bagian penting dalam kegiatan ekonomi dan dalam usaha untuk membangun suatu perekonomian. Karena penduduk sebagai Sumber Daya Manusia dapat menyediakan tenaga kerja atau tenaga ahli dalam menciptakan kegiatan perekonomian.

Salah satu masalah besar dalam pembangunan ekonomi di LDCs (Less Development Countries) adalah gejala pertumbuhan penduduk yang tinggi (Hakim, 2004). Pertambahan penduduk yang sangat cepat nampaknya makin menambah kerumitan dalam usaha-usaha pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Karena disatu pihak perkembangan penduduk yang cepat akan menambah jumlah tenaga kerja yang sama cepatnya, dilain pihak negara-negara yang sedang berkembang mempunyai kemampuan yang sangat terbatas untuk menciptakan kesempatan kerja baru. Akibatnya timbul lah pengangguran yang sangat serius baik di kota maupun di desa dan masalah urbanisasi (Suryana, 2000).

Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang juga memiliki problematika yang sama, yaitu memiliki jumlah penduduk yang besar yang tersebar disetiap daerahnya. Sedangkan lapangan usaha masih sangat terbatas yang menimbulkan tingginya tingkat pengangguran. Selain itu, masalah pendidikan juga belum teratasi. Tidak semua penduduk di masing-masing daerah di Indonesia


(17)

mendapatkan kesempatan pendidikan yang baik dikarenakan kurangnya biaya. Sehingga masih banyak terdapat penduduk dengan kualitas yang rendah. Sebagai akibatnya adalah dapat menghambat kegiatan pembangunan yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Seperti studi yang dilakukan oleh Siregar (2007), bahwa kurangnya kualitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia diindikasikan oleh laju pengangguran yang masih relatif tinggi dan sulit/lambat penurunannya (persistent), dan juga oleh angka kemiskinan (terutama kemiskinan di kawasan pedesaan) yang juga relatif persistent.

2.4. Pertumbuhan Ekonomi

2.4.1. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi

Sukirno (2003) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat.

Sedikit-sedikitnya ada dua alasan yang menyebabkan suatu negara harus berusaha mancapai pertumbuhan ekonomi yang teguh dalam jangka panjang, yaitu untuk menyediakan kesempatan kerja kepada tenaga kerja yang terus-menerus bertambah, dan untuk menaikkan tingkat kemakmuran masyarakat. Kedua-dua alasan ini merupakan pendorong utama kepada pemerintah untuk berusaha menciptakan pertumbuhan ekonomi yang teguh.


(18)

Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi disuatu negara dalam suatu periode tertentu adalah Produk Domestik Bruto (PDB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB atau dalam istilah Inggrisnya GDP (Gross Domestic Product) adalah nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi milik warganegara negara tersebut dan negara asing (Sukirno, 2003).

Sedangkan untuk masing-masing daerah, indikator yang digunakan adalah Produk Domestic Regional Bruto (PDRB) atau GRDP (Gross Regional Domestic Product). Perhitungan PDRB juga ada dua macam, yaitu berdasarkan harga berlaku dan berdasarkan harga konstan.

Perhitungan menurut harga berlaku penting untuk memberi gambaran mengenai kemampuan rata-rata dari penduduk daerah itu membeli barang-barang. Sedangkan menurut harga konstan perlu dihitung untuk menunjukkan perkembangan tingkat kemakmuran disuatu daerah. Kenaikan PDRB menurut harga berlaku tidak memberi gambaran yang sempurna tentang perkembangan tingkat kemakmuran yang sebenarnya, karena akibat kenaikan harga dalam kenaikan PDRB belum dinetralisir. Pertumbuhan ekonomi dan pertambahan kemakmuran dicerminkan oleh perkembangan yang sebenarnya dalam produksi daerah.

Apabila pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu daerah meningkat, maka sektor riil (produksi, konsumsi, dan distribusi) meningkat pula. Dengan tingginya sektor riil, maka akan menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat, sehingga masalah pengangguran dapat teratasi dan pembangunan ekonomipun tercipta.


(19)

2.4.2. Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan ekonomi terdiri dari: 1. Teori Pertumbuhan Klasik

Adam Smith dalam bukunya “An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”, mengemukakan faktor-faktor yang menimbulkan pembangunan ekonomi. Menurut pandangan Adam Smith, kebijaksanaan Laissez-faire atau sistem mekanisme pasar akan memaksimalkan tingkat pembangunan ekonomi yang dapat dicapai oleh suatu masyarakat.

Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar, dan perluasan pasar akan mendorong tingkat spesialisasi. Dengan adanya spesialisasi akan mempertinggi tingkat kegiatan ekonomi atau mempercepat proses pembangunan ekonomi, karena spesialisasi akan mendorong produktivitas tenaga kerja dan mendorong tingkat perkembangan teknologi. Mengenai corak dan proses pertumbuhan ekonomi, Adam Smith mengemukakan bahwa apabila pembangunan sudah terjadi maka proses tersebut akan terus-menerus berlangsung secara kumulatif.

Pandangan Smith yang optimis terhadap pola proses pembangunan di atas sangat bertentangan dengan pendapat David Ricardo dan Malthus, yang lebih pesimis terhadap proses pembangunan dalam jangka panjang. Karena dalam jangka panjang menurutnya perekonomian akan mencapai “stationary state”, yaitu suatu keadaan dimana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali. Sedangkan perkembangan penduduk menurut pendapat mereka, akan menurunkan kembali tingkat pembangunan ketahap yang rendah.


(20)

Menurut David Ricardo, pertumbuhan ekonomi merupakan proses tarik-menarik antara Law of Deminishing Return dengan kemajuan teknologi. Sedangkan menurut Thomas Robert Malthus, dalam pembangunan ekonomi diperlukan pembangunan berimbang antar sektor pertanian dan industri serta perlunya menaikkan permintaan efektif.

Dalam analisis selanjutnya, John Stuart Mill mengemukakan bahwa dalam pembangunan ekonomi diperlukan tabungan, tingkat laba, kemajuan teknologi, distribusi yang adil, perluasan perdagangan luar negeri, dan perubahan kelembagaan.

2. Teori Pertumbuhan Neo-Klasik

Ahli ekonomi Neo-Klasik yang terkenal yaitu Yoseph Schumpeter dalam bukunya “The Theory of Economics Development”, menekankan tentang peranan pengusaha dalam pembangunan. Menurutnya pembangunan ekonomi bukan merupakan proses yang harmonis atau gradual, tetapi merupakan perubahan yang spontan dan terputus-putus (discontinuous). Sebagai kunci dari teori Schumpeter adalah bahwa untuk perkembangan ekonomi, faktor yang terpenting adalah entrepreneur, yaitu orang yang memiliki inisiatif untuk perkembangan produk nasional.

Tokoh Neo-Klasik lainnya adalah Alfred Marshall, menyatakan bahwa dengan tidak mengurangi pentingnya penemuan-penemuan, baik investasi maupun penggunaan teknik baru merupakan proses yang gradual dan terus-menerus, serta merupakan suatu mata rantai atau rentetan dari penemuan-penemuan lain.


(21)

3. Teori Pertumbuhan Ekonomi Modern a. Teori Pertumbuhan Rostow

Menurut Rostow, pembangunan ekonomi adalah suatu transformasi masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern, melalui tahapan:

1. Masyarakat tradisional, yaitu suatu masyarakat yang strukturnya berkembang di dalam fungsi produksi yang terbatas yang didasarkan pada teknologi dan ilmu pengetahuan dan sikap yang masih primitive, dan berfikir irasional.

2. Prasyarat lepas landas, adalah suatu masa transisi di mana suatu masyarakat mempersiapkan dirinya atau dipersiapkan dari luar untuk mencapai pertumbuhan yang mempunyai kekuatan untuk terus berkembang ( self-sustained growth).

3. Lepas landas, adalah suatu masa di mana berlakunya perubahan yang sangat drastis dalam masyarakat seperti revolusi politik, terciptanya kemajuan yang pesat dalam inovasi, atau berupa terbentuknya pasar baru.

4. Tahap kematangan, adalah suatu masa di mana suatu masyarakat secara efektif menggunakan teknologi modern pada sebagian besar faktor-faktor produksi dan kekayaan alam.

5. Masyarakat berkonsumsi tinggi, adalah suatu masyarakat di mana perhatiannya lebih menekankan pada masalah konsumsi dan kesejahteraan masyarakat, bukan lagi pada masalah produksi.


(22)

b. Teori Pertumbuhan Modern menurut Kuznet

Menurut Kuznet, pertumbuhan ekonomi adalah kemampuan jangka panjang untuk menyediakan berbagai jenis barang yang tumbuh atas dasar kemajuan teknologi, kelembagaan dan ideologis.

c. Teori Pertumbuhan Mantap Harrod-Domar

Harrod-Domar adalah ahli ekonomi yang mengembangkan analisis Keynes yang menekankan tentang perlunya penanaman modal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu menurutnya setiap usaha ekonomi harus menyelamatkan proporsi tertentu dari pendapatan nasional yaitu untuk menambah stok modal yang akan digunakan dalam investasi baru. Menurut Harrod-Domar, ada hubungan ekonomi yang langsung antar besarnya stok modal dan jumlah produksi nasional.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian.

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji tentang derajat otonomi fiskal Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah. Selain itu, fokus kajian juga pada pengaruh Dana Perimbangan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pertumbuhan ekonomi, serta pengaruh Jumlah Penduduk sebagai cerminan dari sumber daya yang dimiliki Daerah terhadap pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku pada 25 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Adapun data yang digunakan adalah data sekunder dengan jenis Data Panel, yaitu data gabungan dari time series dan cross section, selama kurun waktu 2001-2005 (5 tahun) untuk 25 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Utara.

3.3. Pengolahan Data

Penulis menggunakan program komputer Eviews 4.1 dalam mengolah data skripsi ini.


(24)

3.4. Model Analisis Data 3.4.1. Derajat Otonomi Fiskal

Untuk melihat kapasitas derajat otonomi fiskal Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, maka ukuran yang digunakan adalah administrative independency ratio, yaitu rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total penerimaan daerah (APBD)

DOF = (PADt / TPDt ) × 100 % Di mana:

DOF = Derajat Otonomi Fiskal

PADt = Total realisasi Pendapatan Asli Daerah tahun t TPDt = Total Penerimaan Daerah tahun t

3.4.2. Analisis Data Panel

Untuk melihat besarnya pengaruh dana perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan jumlah penduduk terhadap pertumbuhan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara selama kurun waktu 2001-2005, maka analisis yang digunakan adalah analisis Data Panel.

Dalam penelitian dengan data panel ini, model analisisnya yaitu:

Yit = α + X1it + X2 it + X3 it + it Di mana:

i = Kabupaten/Kota (1,2,…,25)

t = Tahun (2001,2002,…,2005)

Y = Produk Domestik Regional Bruto (Milyar Rupiah) α = Konstanta


(25)

XI = Dana Perimbangan (Milyar Rupiah)

X2 = Pendapatan Asli Daerah (Milyar Rupiah)

X3 = Jumlah Penduduk (Jiwa)

= Term Error

3.4.1. Uji Ordinary Least Square (OLS)

Model ini sama seperti model regresi. Data cross section dan time series

digabungkan dalam bentuk pool data dan kemudian data tersebut diregresikan dengan metode OLS. Menurut Pratomo dan Hidayat (2007), penggunaan estimasi dengan model ini tidak realistis. Dengan menggunakan OLS akan diperoleh nilai

intercept dan koefisien parameter yang konstan untuk seluruh individu. Secara sistematis model OLS dinyatakan sebagai berikut:

Yit = α + X1it + X2 it + X3 it + it

3.4.2. Uji Fixed Effect Model (FEM)

Model ini memiliki intercept persamaan yang tidak konstan atau terdapat perbedaan pada setiap individu (data cross section). Sementara itu, slope koefisien dari regresi tidak berbeda pada setiap individu dan waktu. Model FEM digunakan apabila data time series lebih besar dari data cross section.

Secara sistematis model FEM dinyatakan sebagai berikut:

Y it = α + Xit + 2W2t + 3W3t + …+ N WNt + 2Zi2 + 3Zi3 + …+ TZiT + it Di mana:

Y it = Variabel terikat untuk Kabupaten/Kota ke-i dan waktu ke-t


(26)

3.4.3. Uji Random Effect Model (REM)

Pada model ini, perbedaan antar individu terdapat di error term dari persamaan. Model ini memperhitungkan bahwa error term mungkin berkorelasi sepanjang time series dan cross section. Model REM digunakan apabila data time series lebih kecil dari data cross section.

Secara sistematis model REM dinyatakan sebagai berikut:

Y it = α + X it + it ; it = ui + vt + wit Di mana:

ui = Komponen error cross section

vt = Komponen error time series

wit = Komponen error gabungan

Beberapa pakar ekonometrika membuat pembuktian untuk menentukan model apa yang paling sesuai untuk digunakan dalam data panel. Adapun kesimpulan dari pembuktian tersebut adalah:

1. Jika pada data panel jumlah data time series labih besar dibandingkan jumlah data cross section, maka disarankan untuk menggunakan model

Fixed Effect Model (FEM).

2. Jika pada data panel jumlah data time series lebih sedikit dibandingkan jumlah data cross section, maka disarankan untuk menggunakan model


(27)

3.5. Definisi Operasional

 Dana Perimbangan adalah penerimaan daerah yang berasal dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari Bagian Daerah, yaitu Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

 Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sumber penerimaan Daerah yang berasal dari hasil pajak Daerah, retribusi Daerah, perusahaan Daerah, dan lain-lain usaha Daerah yang sah.

 Jumlah Penduduk adalah banyaknya penduduk di Kabupaten/Kota Sumatera Utara pada periode tertentu.

 Pertumbuhan Ekonomi adalah peningkatan kegiatan ekonomi yang dihitung berdasarkan perubahan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun ke tahun.

 Derajat Otonomi Fiskal adalah ukuran kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya (PAD).


(28)

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS

4.1. Perkembangan Dana Perimbangan

Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 25 Kabupaten/Kota (18 Kabupaten dan 7 Kota) sampai pada tahun 2005, yaitu:

Kabupaten Kota

1. Nias 1. Sibolga 2. Mandailing Natal 2. Tanjung Balai 3. Tapanuli Selatan 3. Pematang Siantar 4. Tapanuli Tengah 4. Tebing Tinggi 5. Tapanuli Utara 5. Medan

6. Toba Samosir 6. Binjai

7. Labuhan Batu 7. Padang Sidempuan 8. Asahan

9. Simalungun 10. Dairi

11. Karo

12. Deli Serdang 13. Langkat 14. Nias Selatan

15. Humbang Hasundutan 16. Pakpak Bharat

17. Samosir


(29)

Perkembangan dana perimbangan dari tahun 2001-2005 pada 25 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara berbeda-beda setiap daerah. Rata-rata mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun pada beberapa daerah juga terjadi penurunan pada tahun tertentu.

Tabel 2.

Perkembangan Dana Perimbangan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Periode 2001-2005 (dalam Milyar Rupiah)

Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005

Rata-rata Kabupaten

Nias 210,61 229,19 251,19 187,52 - 219,63

Mandailing Natal 156,22 163,21 192,32 192,06 216,90 184,14

Tapanuli Selatan 252,98 282,98 320,28 306,04 319,19 296,30

Tapanuli Tengah 115,63 137,48 149,96 160,62 - 140,92

Tapanuli Utara 207,64 224,12 255,06 157,63 177,62 204,41

Toba Samosir 129,17 158,44 182,62 182,45 135,56 157,65

Labuhan Batu 209,83 249,38 337,20 311,69 351,75 291,97

Asahan 249,67 282,13 348,67 328,14 345,18 310,76

Simalungun 320,63 341,06 367,31 352,39 255,15 327,31

Dairi 131,32 154,19 193,22 153,84 163,85 159,28

Karo 101,91 153,96 190,62 211,43 220,41 175,67

Deli Serdang 378,21 468,20 619,03 539,91 402,32 481,53

Langkat 251,08 296,88 355,45 358,98 400,24 332,53

Nias Selatan - - - -

Humbang

Hasundutan - - - 82,43 109,56 96,20

Pakpak Bharat - - - 40,55 219,44 130,00

Samosir - - - -

Serdang Bedagai - - - -

Kota

Sibolga 45,83 95,69 111,37 110,07 122,31 97,10

Tanjung Balai 50,37 108,23 119,25 119,48 124,81 104,43

Pematang Siantar 104,68 137,71 160,53 162,59 174,97 148,10

Tebing Tinggi 83,23 120,52 124,69 120,58 135,63 116,93

Medan 361,98 449,88 716,71 636,02 624,91 557,90

Binjai 121,52 141,19 149,25 159,17 181,71 150,57

Padang Sidempuan - 79,51 125,36 131,48 158,65 123,75

Jumlah 3.482,51 4.273,95 5.270,09 5.049,62 4.840,16 4.583,27 Sumber: BPS Prov. Sumatera Utara (Data diolah)


(30)

Berdasarkan Tabel 2. di atas, besaran dana perimbangan yang paling tinggi adalah Kota Medan. Ini dikarenakan Medan adalah Ibu Kota Provinsi, sehingga pasokan dana perimbangan lebih besar. Rata-rata besarnya dana perimbangan adalah Rp. 557,90 milyar. Dimana pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 361,98 milyar, tahun 2002 sebesar Rp. 449,88 milyar, tahun 2003 sebesar Rp. 716,71 milyar, tahun 2004 sebesar Rp. 636,02 milyar, dan tahun 2005 sebesar Rp. 624,91 milyar. Perubahan yang paling signifikan adalah pada tahun 2003, yaitu terjadi peningkatan sebesar Rp. 266,83 milyar dari tahun 2002, namun pada tahun 2004 terjadi penurunan sebesar Rp. 80,69 milyar. Begitu juga tahun 2005 menurun sebesar Rp. 11,11 milyar.

Pada Kabupaten Karo, proporsi penerimaan dana perimbangan selama 5 tahun (2001-2005) selalu meningkat. Namun besarnya peningkatan cenderung menurun. Pada tahun 2002 terjadi peningkatan sebesar Rp. 52,05 milyar dari tahun 2001, pada tahun 2003 peningkatan dana perimbangan menurun sebesar Rp. 36,66 milyar dari tahun 2002. Pada tahun 2004 menurun lagi menjadi Rp. 20,81 milyar dari tahun 2003 dan pada tahun 2005 menurun lagi menjadi Rp. 8,98 milyar dari tahun 2004.

Besaran dana perimbangan yang paling kecil adalah Kabupaten Humbang Hasundutan. Dikarenakan baru mengalami pemekaran pada tahun 2003, data dana perimbangan Humbang Hasundutan baru ada pada tahun 2004, yaitu sebesar Rp. 82,43 milyar. Dan pada tahun 2005 sebesar Rp. 109,56 milyar. Rata-rata besaran dana perimbangan yaitu sebesar Rp. 96,20 milyar.

Untuk jumlah keseluruhan 25 Kabupaten/Kota, rata-rata besaran dana perimbangan adalah sebesar Rp. 4.583,27 milyar, dengan perincian pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 3.482,51 milyar, tahun 2002 sebesar Rp. 4.273,95 milyar, tahun


(31)

2003 sebesar Rp. 5.270,09 milyar, tahun 2004 sebesar Rp. 5.049,62 milyar, dan terakhir tahun 2005 sebesar Rp. 4.840,16 milyar.

4.2. Derajat Otonomi Fiskal dan Perkembangan Pendapatan Asli Daerah 4.2.1. Derajat Otonomi Fiskal Kabupaten/Kota Sumatera Utara

Otonomi daerah bertujuan agar daerah lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatannya, sehingga diharapkan mampu memajukan daerahnya tersebut dengan meningkatkan sumber-sumber penerimaan daerah. Otonomi daerah biasanya diukur melalui desentralisasi fiskal atau derajat otonomi fiskal daerah.

Elmi (2002; jurnal) mendefinisikan desentralisasi fiskal sebagai salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitan dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability) dan memberikan stimulus terhadap aktifitas perekonomian masyarakat, maka dengan kebijakan desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik (Sidik, 2002).

Sumber pendapatan utama yang sering kali menjadi parameter untuk menentukan derajat otonomi fiskal yang dimiliki oleh suatu daerah adalah


(32)

pendapatan yang diperoleh pemerintah daerah, yaitu pendapatan yang diterima yang berasal dari sumber-sumber yang dikelola oleh pemda itu sendiri (local source). Yang termasuk ke dalam kategori ini adalah pajak daerah (local tax, sub national tax), retribusi daerah (local retribution, fees, local licence), dan hasil-hasil badan usaha (local owned enterprises) yang dimiliki oleh daerah (Lutfi). Kesemua sumber-sumber tersebut adalah termasuk kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Landiyanto (2005) berpendapat bahwa secara umum, semakin tinggi kontribusi Pendapatan Asli Daerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri akan menunjukkan kinerja keuangan yang positif. Dalam hal ini, kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut.


(33)

Tabel 3.

Perkembangan dan Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Periode 2001-2005 (dalam Milyar Rupiah)

Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata(%) Kriteria Kabupaten Nias 5,47 (2,39%) 6,15 (2,46%) 10,93 (3,82%) 10,57

(5,07%) 6,70 (0%) 2,75

Sangat kurang Mandailing Natal 1,94 (1,08%) 6,53 (3,47%) 6,55 (2,87%) 7,25 (3,41%) 5,80

(2,38%) 2,64

Sangat kurang Tapanuli Selatan 4,31 (1,88%) 6,89 (2,24%) 7,88 (2,30%) 8,57 (2,54%) 7,55

(2,07%) 2,21

Sangat kurang Tapanuli Tengah 3,02 (2,20%) 4,97 (2,90%) 5,43 (2,61%) 5,29

(2,76%) 5,70 (0%) 2,09

Sangat kurang Tapanuli Utara 4,34 (1,91%) 8,88 (3,22%) 11,25 (3,55%) 5,73 (2,95%) 9,29

(4,53%) 3,23

Sangat kurang Toba Samosir 10,66 (6,15%) 13,76 (6,80%) 12,16 (5,16%) 11,60 (5,39%) 6,38

(3,91%) 5,48

Sangat kurang Labuhan Batu 8,38 (3,53%) 13,36 (4,41%) 25,63 (0%) 21,15 (5,43%) 25,45

(6,02%) 3,88

Sangat kurang Asahan 15,57 (5,45%) 19,02 (5,78%) 22,63 (5,83%) 21,68 (5,65%) 23,10

(5,59%) 5,66

Sangat kurang Simalungun 11,80 (3,45%) 14,36 (3,85%) 17,49 (3,84%) 17,86 (4,34%) 18,82

(4,52%) 4,00

Sangat kurang Dairi 3,99 (2,78%) 5,00 (2,92%) 4,74 (2,18%) 4,35 (2,45%) 5,24

(2,73%) 2,61

Sangat kurang Karo 4,69 (3,22%) 7,50 (3,97%) 9,31 (3,82%) 10,46 (4,49%) 12,75

(4,91%) 4,08

Sangat kurang Deli Serdang 27,00 (6,35%) 32,32 (6,34%) 51,91 (7,45%) 43,53 (6,74%) 59,15

(11,53%) 7,68

Sangat kurang Langkat 9,36 (3,22%) 12,40 (3,67%) 14,83 (3,56%) 16,57 (3,93%) 16,83

(3,88%) 3,65

Sangat kurang

Nias Selatan - - - - - 0 -

Humbang

Hasundutan - - -

2,76 (2,88%)

3,09

(2,55%) 2,72

Sangat kurang

Pakpak Bharat - - -

0,28 (0,65%)

1,38

(0,51%) 0,58

Sangat kurang

Samosir - - - - 5,21 (0%) 0 -

Serdang Bedagai - - - - 12,90 (0%) 0 -

Kota Sibolga 2,46 (4,61%) 4,26 (3,87%) 7,14 (5,11%) 5,78 (4,57%) 6,06 (4,43%) 4,52 Sangat kurang Tanjung Balai 4,14 (4,15%) 8,31 (4,97%) 9,93 (5,78%) 8,71 (6,14%) 9,57

(6,38%) 5,48

Sangat kurang Pematang Siantar 9,47 (8,02%) 10,09 (6,08%) 11,56 (5,99%) 13,60 (6,96%) 14,92

(7,01%) 6,81

Sangat kurang Tebing Tinggi 4,12 (4,94%) 5,72 (3,94%) 6,26 (3,66%) 6,23 (4,03%) 6,85

(4,38%) 4,19

Sangat kurang Medan 88,26 (16,17%) 146,93 (19,56%) 233,79 (20,01%) 271,62 (25,26%) 282,23

(22,97%) 20,79

Sedang Binjai 3,91 (2,99%) 5,71 (3,34%) 8,31 (4,46%) 12,96 (6,99%) 13,00

(6,40%) 4,84

Sangat kurang

Padang Sidempuan -

2,18 (2,63%) 3,48 (2,50%) 3,92 (2,68%) 4,68

(2,63%) 2,61

Sangat kurang

Jumlah 222,89 334,34 481,21 510,47 562,65 102,5% Sangat kurang


(34)

Berdasarkan Tabel 3. di atas, kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di Sumatera Utara selama kurun waktu 2001-2005 rata-rata menunjukkan kemampuan keuangan daerah pada skala interval sangat kurang (0,01 – 10,00 %). Apabila dilihat dari masing-masing daerah, hampir seluruh Kabupaten/Kota menunjukkan skala interval sangat kurang, kecuali untuk Kota Medan seiring dengan kemampuannya dalam menggali sumber-sumber PAD, maka kontribusi PAD kota Medan terhadap APBD-nya menunjukkan skala interval sedang (20,01 – 30,00 %).

Dengan melihat kontribusi PAD terhadap APBD di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kontribusi PAD pada 25 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tergolong rendah. Ini mengindikasikan terjadinya peningkatan peran transfer dari pemerintah pusat melalui dana perimbangan. Dengan demikian hasil yang didapat tersebut tidak sejalan dengan hipotesis yang menyatakan adanya kontribusi yang tinggi dari derajat otonomi fiskal Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.

4.2.2. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Selanjutnya apabila dilihat perkembangan PAD Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, dapat dilihat bahwa besarnya PAD yang paling tinggi adalah Kota Medan. Pada tahun 2001 sebesar Rp. 88,26 milyar dengan besarnya kontribusi terhadap APBD adalah 16,17 persen, tahun 2002 sebesar Rp. 146,93 milyar dengan kontribusi terhadap APBD adalah 19,56 persen. Pada tahun 2003 PAD kembali mengalami peningkatan menjadi Rp. 233,79 milyar dengan kontribusi terhadap APBD adalah 20,01 persen, begitu juga pada tahun 2004 meningkat menjadi Rp. 271,62 milyar dengan kontribusi terhadap APBD adalah 25,26 persen. Dan tahun


(35)

2005 meningkat lagi menjadi Rp. 282,23 milyar dengan kontribusi terhadap APBD adalah 22,97 persen.

Dilihat dari rata-rata kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tahun 2001-2005 masih tergolong kecil. Rata-rata kontribusi yang paling besar tetap dipegang oleh Kota Medan (20,79 persen), dan yang paling kecil adalah Kabupaten Pakpak Bharat, yaitu hanya 0,58 persen. Kabupaten/Kota yang lainnya rata-rata berkisar antara 2-8 persen. Sedangkan jumlah PAD keseluruhan pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 222,89 milyar, tahun 2002 adalah sebesar Rp. 334,34 milyar, tahun 2003 sebesar Rp. 481,21 milyar, tahun 2004 sebesar Rp. 510,47 milyar, dan terakhir tahun 2005 adalah sebesar Rp. 562,65 milyar.

4.3. Perkembangan Jumlah Penduduk

Sumatera Utara merupakan Provinsi keempat yang terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara keadaan tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,26 juta jiwa, dan dari hasil SP2000, jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 11,51 juta jiwa. Pada bulan April tahun 2003 dilakukan Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan (P4B). Dari hasil pendaftaran tersebut diperoleh jumlah penduduk sebesar 11.890.399 jiwa. Selanjutnya pada tahun 2004 adalah 12.123.360 jiwa, dan tahun 2005 adalah 12.326.678 jiwa.

Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per km² dan tahun 2006 meningkat menjadi 176 jiwa per km². Laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990-2000 adalah 1,20% per tahun, dan


(36)

pada tahun 2000-2005 menjadi 1,37% per tahun. Dan laju pertumbuhan penduduk 2005-2006 mencapai 1,57%.

Perkembangan jumlah penduduk tahun 2001-2005 pada 25 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara rata-rata mengalami peningkatan setiap tahunnya. Namun ada beberapa Kabupaten/Kota seperti Deli Serdang, Dairi, Mandailing Natal, Nias, Pematang Siantar, Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Utara yang mengalami penurunan jumlah penduduk.

Daerah yang paling padat penduduk adalah Kota Medan. Pada tahun 2001 jumlah penduduknya adalah 1.933.746 jiwa, tahun 2002 1.972.248 jiwa, tahun 2003 1.979.340 jiwa, tahun 2004 kembali meningkat menjadi 2.010.676 jiwa, dan tahun 2005 meningkat lagi menjadi 2.036.185 jiwa. Sedangkan yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Kabupaten Pakpak Bharat. Dari tahun 2003-2005 jumlah penduduknya berturut-turut adalah 33.822 jiwa, 34.260 jiwa, dan 34.542 jiwa.

Apabila dilihat dari laju pertumbuhannya, mengalami fluktuasi. Pada tahun 2002 meningkat sebesar 1,06 persen dari tahun 2001. Pada tahun 2003 menurun sebesar 0,37 persen dari tahun 2002, kemudian pada tahun 2004 meningkat kembali sebesar 1,96 persen dari tahun 2003. Selanjutnya pada tahun 2005 menurun lagi sebesar 1,68 persen dari tahun 2004. Rata-rata besarnya peningkatan selama tahun 2001-2005 adalah sebesar 1,01 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.


(37)

Tabel 4.

Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Periode 2001-2005 (dalam Jiwa)

Kabupaten/Kota 2001 2002 2003 2004 2005 Kabupaten

Nias 699148 698994 422170 433350 441807

Mandailing Natal 368400 367990 369691 379045 386150

Tapanuli Selatan 749003 761205 596188 609922 626702

Tapanuli Tengah 249668 270600 272333 278472 283035

Tapanuli Utara 407831 407581 255162 255400 256201

Toba Samosir 306373 285615 285586 167587 158677

Labuhan Batu 863438 905258 910502 933866 951773

Asahan 943822 987244 990230 1009856 1024369

Simalungun 863679 808210 808288 818975 826101

Dairi 295323 289323 255847 259158 261287

Karo 287854 305452 306869 312300 316207

Deli Serdang 2021021 2041121 2054707 1523881 1569638

Langkat 921911 936925 940601 955348 970433

Nias Selatan - - 275422 282715 288233

Humbang

Hasundutan - - 152377 152519 152997

Pakpak Bharat - - 33822 34260 34542

Samosir - - - 119873 131073

Serdang Bedagai - - - 583071 588176

Kota

Sibolga 84034 85100 85505 87260 88717

Tanjung Balai 136621 143836 144979 149238 152814

Pematang Siantar 245099 223824 223949 227551 230487

Tebing Tinggi 126302 132306 132760 134382 135671

Medan 1933746 1972248 1979340 2010676 2036185

Binjai 219122 224244 225535 232236 237904

Padang Sidempuan - - 168536 172419 177499

Jumlah 11722397 11847075 11890399 12123360 12326678 % Peningkatan (-) (1,06%) (0,37%) (1,96%) (1,68%) Sumber: BPS Prov. Sumatera Utara (Data diolah)


(38)

Tabel 5.

Kepadatan Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk Kabupaten/Kota di Sumatera Utara

Kabupaten/Kota

Kepadatan Penduduk (per Km²)

Pertumbuhan Penduduk (%per Tahun)

1990-2000 2000-2005 2005-2006

Kabupaten

Nias 126 1,55 1,33 0,71

Mandailing Natal 63 1,60 1,42 2,35

Tapanuli Selatan 52 1,34 1,83 1,67

Tapanuli Tengah 136 1,37 2,96 3,33

Tapanuli Utara 69 0,04 0,07 0,06

Toba Samosir 68 0,51 -0,96 -0,24

Labuhan Batu 107 1,47 2,41 2,63

Asahan 227 0,58 1,82 1,75

Simalungun 192 0,63 -0,70 -0,29

Dairi 139 0,58 0,20 0,54

Karo 161 0,99 2,19 3,19

Deli Serdang 679 2,10 1,95 2,25

Langkat 162 1,14 1,37 1,88

Nias Selatan 148 - - -

Humbang

Hasundutan 65 - - -

Pakpak Bharat 29 - - -

Samosir 63 - - -

Serdang Bedagai 304 - - -

Kota

Sibolga 8.537 1,41 1,51 1,86

Tanjung Balai 2.586 2,11 2,90 2,82

Pematang Siantar 2.943 1,00 -0,93 -0,43

Tebing Tinggi 3.631 0,71 1,65 1,66

Medan 7.798 1,00 1,33 1,37

Binjai 2.704 1,68 2,16 2,25

Padang Sidempuan 1.299 - - -

Jumlah 176 1,20 1,37 1,57


(39)

4.4. Perkembangan Produk Domestik Regional Bruto

PDRB Provinsi Sumatera Utara Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) pada tahun 2001 sebesar Rp. 78.501,35 milyar dan pada tahun 2005 sebesar Rp. 139.618,31 milyar. Ini artinya mengalami pertumbuhan sebesar 77,85 persen, dengan rata-rata pertahunnya adalah 15,57 persen. Sedangkan PDRB Provinsi Sumatera Utara Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 24.911,05 milyar, dan pada tahun 2005 sebesar Rp. 87.897,79 milyar. Dengan persen pertumbuhannya adalah sebesar 252,85 persen, dengan rata-rata pertahunnya adalah 50,57 persen..

Apabila dilihat dari masing-masing Kabupaten/Kota, rata-rata seluruh Kabupaten/Kota mengalami peningkatan PDRB dari tahun 2001 ke 2005 baik menurut harga berlaku ataupun harga konstan. Kota Medan adalah yang mengalami peningkatan PDRB yang cukup signifikan. Pada tahun 2001 PDRB ADHB adalah sebesar Rp. 17.145,66 milyar, meningkat menjadi Rp. 42.792,45 milyar pada tahun 2005 (149,58 persen). Sedangkan PDRB ADHK pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 5.549,45 milyar, yang juga meningkat menjadi Rp. 25.272,42 milyar pada tahun 2005 (355,40 persen).

Sementara itu, Kabupaten Tapanuli Selatan adalah yang mengalami penurunan yang cukup tajam pada PDRB ADHB-nya. Pada tahun 2001 PDRB ADHB sebesar Rp. 3.983,45 milyar, menurun menjadi Rp. 3.678,65 milyar pada tahun 2005, dengan persen penurunannya adalah -7,65 persen.

Selain Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Nias juga mengalami hal yang serupa. Pada tahun 2001 PDRB ADHB adalah sebesar Rp. 2.428,33 milyar, dan pada tahun 2005 menurun menjadi Rp. 2.412,96 milyar, dengan persen penurunannya adalah -0,63 persen.


(40)

Rata-rata peningkatan PDRB baik Atas Dasar Harga Berlaku maupun Atas Dasar Harga Konstan pada sebagian besar Kabupaten/Kota menunjukkan bahwa hasil pembangunan sudah dapat dimanfaatkan secara maksimal sehingga perkembangan kegiatan perekonomian di Sumatera Utara bertambah dan kemakmuarn masyarakatpun meningkat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 6.

Perkembangan PDRB ADHB dan PDRB ADHK Kabupaten/Kota di Sumatera Utara (dalam Milyar Rupiah)

Kabupaten/Kota

PDRB ADHB

%

PDRB ADHK

%

2001 2005 2001 2005

Kabupaten

Nias 2.428,33 2.412,96 -0,63 824,33 1.557,13 88,90

Mandailing Natal 1.595,77 2000,00 25,33 629,61 1.492,09 136,99

Tapanuli Selatan 3.983,45 3.678,65 -7,65 1.455,23 2.584,87 77,63

Tapanuli Tengah 986,27 1.294,34 31,24 438,74 891,17 103,12

Tapanuli Utara 1.710,62 2.155,28 25,99 630,36 1.232,29 95,49

Toba Samosir 1.497,05 1.895,77 26,63 608,63 1.353,11 122,32

Labuhan Batu 7.376,72 10.918,37 48,01 2.603,30 7.010,75 169,30

Asahan 9.292,09 15.527,79 67,11 3.269,47 9.768,12 198,77

Simalungun 4.210,69 6.256,96 48,60 2.131,85 4.372,10 105,08

Dairi 1.526,51 2.303,59 50,91 487,95 1.634,14 234,90

Karo 1.911,51 3.683,02 92,68 845,40 2.600,53 207,61

Deli Serdang 8.332,13 19.136,23 129,67 3.214,28 10.999,49 242,21

Langkat 4.836,67 8.463,45 74,99 1.939,29 5.724,04 195,16

Nias Selatan - 1.458,64 0 - 1.000,49 0

Humbang

Hasundutan - 1.380,38 0 - 763,44 0

Pakpak Bharat - 188,49 0 - 123,12 0

Samosir - 1.101,10 0 - 838,12 0

Serdang Bedagai - 5.059,77 0 - 3.379,77 0

Kota

Sibolga 527,42 826,27 56,66 250,00 561,75 124,70

Tanjung Balai 976,46 1.763,00 80,55 393,80 1.141,33 189,82

Pematang Siantar 1.919,72 2.662,90 38,71 762,82 1.649,97 116,30

Tebing Tinggi 1.091,22 1.255,43 15,05 322,93 876,47 171,41

Medan 17.145,66 42.792,45 149,58 5.549,45 25.272,42 355,40

Binjai 1.001,24 2.494,77 148,97 338,10 1.531,99 353,12

Padang Sidempuan - 1.141,15 0 - 703,44 0

Jumlah 78.501,35 139.618,31 77,85 24.911,05 87.897,79 252,85

Rata-rata pertahun 15,57 50,57 Sumber: BPS Prov. Sumatera Utara (Data diolah)


(41)

4.5. Analisis Hasil dan Pembahasan

Dalam analisis data panel yang dilakukan, yang berfungsi sebagai variabel terikat adalah PDRB sedangkan variabel bebas adalah dana perimbangan (perimbangan), PAD, dan jumlah penduduk (penduduk). Hubungan fungsional antara variabel terikat dengan variabel bebas dapat dinyatakan sebagai berikut:

PDRB = f ( Perimbangan, PAD, Penduduk )

Untuk pengolahan datanya, maka data-data tersebut dinyatakan dalam bentuk Log. Dengan demikian spesifikasi modelnya adalah:

LPDRBit = α + 1LPerimbanganit + 2LPADit + 3LPendudukit + it Di mana:

i = Kabupaten/Kota (1,2,…,25) t = Tahun (2001,2002,…,2005)

α = Konstanta

β1, β2, β3 = Koefisien Regresi

LPDRB = Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku LPerimbangan = Dana Perimbangan

LPAD = Pendapatan Asli Daerah LPenduduk = Jumlah Penduduk

ε = Term Error

4.5.1. Analisis Hasil Estimasi dengan Metode Ordinary Least Square (OLS)

Untuk melihat seberapa besar pengaruh dana perimbangan, PAD, dan jumlah penduduk terhadap PDRB pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah, maka dilakukan estimasi dengan metode OLS untuk data panel selama kurun waktu 2001-2005. Hasil estimasinya adalah sebagai berikut:


(42)

Tabel 7.

Hasil Estimasi OLS Untuk Data Panel

LPDRB=–2,3017–0,0456LPERIMBANGAN+0,3917LPAD+0,7443LPENDUDUK (-0,3881) (8,4806)* (11,1927)*

R² = 0,9321 DW-Stat = 0,4125 F-Stat = 439,4869 Prob = 0,0000

Sumber: Data diolah (Lampiran 1)

Catatan: Angka dalam kurung adalah nilai t-statistik * Signifikan pada α 1% = 2,3642

** Signifikan pada α 5% = 1,988 *** Signifikan pada α 10% = 1,6632

Berdasarkan hasil estimasi di atas, diperoleh nilai Koefisien Determinasi (R²) sebesar 0,9321 yang berarti secara keseluruhan variabel bebas yang ada dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi pada 25 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara sebesar 93,21 persen, dan sisanya 6,79 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model persamaan. Sedangkan pengujian secara simultan (uji F-statistik) menunjukkan bahwa variabel bebasnya secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah pada tingkat kepercayaan 99 persen selama kurun waktu 2001-2005. Ini dilihat dari besarnya f-statistik 439,4869 lebih besar dari f-tabel (4,022).

Selanjutnya, jika dilakukan analisis secara parsial dari masing-masing variabel bebasnya, menunjukkan bahwa variabel dana perimbangan mempunyai pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah pada tingkat kepercayaan 90 persen. Hal ini dapat dilihat


(43)

dari nilai t-statistik sebesar -0,3881 yang lebih besar dari t-tabel (-1,6632), yang berarti H1 ditolak H0 diterima. Nilai koefisien variabel dana perimbangan sebesar -0,0456 memberi arti bahwa setiap terjadi kenaikan dana perimbangan sebesar 1 persen, ceteris paribus, maka akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Sumatera Utara sebesar 0,0456 persen.

Relatif kecilnya nilai koefisien dana perimbangan dan pengaruhnya yang tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah ini sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada, dimana besaran penerimaan dari sisi dana perimbangan jauh lebih besar daripada besaran penerimaan dari sisi PAD.

Dengan demikian hasil empiris ini tidak sejalan dengan hipotesis yang ada, yaitu terdapat pengaruh yang negatif antara dana perimbangan dengan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, hasil empiris di atas juga tidak sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya. Dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Sumiyarti dan Imamy (2005) bahwa variabel dana perimbangan berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap PDRB Kota Depok. Dan pada penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan Sirojuzilam (2006), bahwa variabel dana perimbangan juga berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Medan.

Sedangkan pada variabel PAD, memiliki nilai t-statistik sebesar 8,4806 yang lebih besar dari t-tabel (2,3642), yang berarti H0 ditolak H1 diterima. Penerimaan H1 ini menyatakan bahwa variabel PAD memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah pada tingkat kepercayaan 99 persen selama kurun waktu 2001-2005. Nilai koefisien variabel PAD sebesar 0,3917 memberi arti setiap terjadi kenaikan PAD sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan meningkatkan pertumbuhan


(44)

ekonomi Kabupaten/Kota Sumatera Utara sebesar 0,3917 persen. Hasil empiris ini sesuai dengan hipotesis yang ada, yaitu terdapat pengaruh yang positif antara PAD dengan pertumbuhan ekonomi.

Dengan demikian hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan Sirojuzilam (2006) serta Harianto dan Adi (2007), bahwa PAD berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan terhadap perubahan pendapatan perkapita.

Sementara itu, untuk variabel jumlah penduduk memiliki nilai t-statistik sebesar 11,1927 yang lebih besar daripada t-tabel (2,3642). Artinya bahwa variabel jumlah penduduk memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah pada tingkat kepercayaan 99 persen selama kurun waktu 2001-2005 (H0 ditolak H1 diterima).

Nilai koefisien variabel jumlah penduduk sebesar 0,7443 memberi arti setiap terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Sumatera Utara sebesar 0,7443 persen. Hasil empiris ini sesuai dengan hipotesis yang ada, yaitu terdapat pengaruh yang positif antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi.

Namun, hasil empiris yang menyatakan jumlah penduduk berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya. Dimana negara-negara yang sedang berkembang (termasuk Indonesia) memiliki masalah dalam pertumbuhan penduduk yang tinggi, sedangkan kemampuan untuk menciptakan kesempatan kerja baru masih sangat terbatas. Akibatnya timbullah masalah pengangguran dan kemiskinan yang relatif tinggi yang pada akhirnya mengurangi kualitas pertumbuhan ekonomi.


(45)

Sehingga pengaruh jumlah penduduk Kabupaten/Kota Sumatera Utara yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi ini, dapat diartikan bahwa penduduk di Sumatera Utara sebagai Sumber Daya Manusia memberikan kontribusi bagi pembangunan perekonomian Sumatera Utara dengan menyediakan tenaga kerja atau tenaga ahli.

4.5.2 Analisis Hasil Estimasi dengan Metode Random Effect Model (REM) dan Fixed Effect Model (FEM)

Mengingat data penelitian ini memiliki jumlah data cross section yang lebih besar daripada jumlah data time series, maka berdasarkan pemilihan model menurut pakar ekonometrika menyarankan untuk menggunakan Random Effect Model

(REM). Tetapi perlu juga dianalisis dengan metode Fixed Effect Model (FEM) sebagai perbandingan. Adapun hasil estimasinya selama kurun waktu 2001-2005 adalah sebagai berikut:

Tabel 8.

Hasil Estimasi dengan Metode REM dan FEM Variabel Terikat: LPDRB Untuk Periode 2001 – 2005

Variabel Bebas Random Effect Fixed Effect

Konstanta - 1,3234 - Perimbangan - 0,0189 0,0195 PAD 0,4102 * 0,3489 * Penduduk 0,6538 * 0,1106 R² 0,9710 0,9790 Durbin-Watson 1,0095 1,2991

Sumber: Data diolah (Lampiran 2 dan 3)


(46)

Berdasarkan hasil estimasi dengan metode Random Effect Model (REM) dan

Fixed Effect Model (FEM) di atas, menunjukkan bahwa hasil REM lebih baik daripada FEM. Hal ini bisa dilihat dari nilai koefisien regresi masing-masing variabel bebasnya dan secara statistic berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Namun apabila dilihat dari nilai R-square (R²) dan nilai Durbin-Watson, hasil dengan metode FEM lebih baik daripada hasil dengan metode REM.

Setelah dilakukan analisis untuk kedua model tersebut, maka untuk memilih model mana yang terbaik dipergunakanlah pemilihan model menurut pakar ekonometrika. Kesimpulan dari pakar ekonometrika yaitu apabila jumlah data time series lebih besar dari jumlah data cross section, maka model yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM), dan sebaliknya apabila jumlah data cross section

lebih besar dari jumlah data time series, maka model yang digunakan adalah

Random Effect Model (REM). Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa model yang digunakan adalah Random Effect Model (REM).

4.5.3. Random Effect Model (REM)

Berdasarkan hasil estimasi dengan metode Random Effect Model (REM), diperoleh nilai Koefisien Determinasi (R²) sebesar 0,9710, dimana lebih besar dibandingkan dengan R-squared pada metode OLS. Hal ini berarti secara keseluruhan variabel bebas yang ada dalam persamaan tersebut mampu menjelaskan variasi pertumbuhan ekonomi pada 25 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah sebesar 97,10 persen dan sisanya 2,90 persen dijelaskan oleh variabel lain diluar model persamaan.


(47)

Tabel 9.

Hasil Estimasi Random Effect Model (REM)

LPDRB=–1,3234–0,0189LPERIMBANGAN+0,4102LPAD+0,6538LPENDUDUK (-0,1742) (6,2892)* (9,2328)*

R² = 0,9710 DW-Stat = 1,0095

Sumber: Data diolah (Lampiran 2)

Catatan: Angka dalam kurung adalah nilai t-statistik * Signifikan pada α 1% = 2,3642 ** Signifikan pada α 5% = 1,988

*** Signifikan pada α 10% = 1,6632

Nilai R-squared sebesar 0,9710 yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa persamaan ini bebas dari multikolinearitas. Selain itu juga dapat dilihat dari probabilitas masing-masing variabel yang secara keseluruhan lebih banyak yang signifikan dibandingkan dengan variabel yang tidak signifikan.

Apabila dilakukan analisis secara parsial dari masing-masing variabel bebas, menunjukkan bahwa variabel dana perimbangan mempunyai pengaruh yang negatif. Besarnya t-statistik -0,1742 lebih besar dari t-tabel (-1,6632), yang berarti H1 ditolak H0 diterima. Nilai koefisien variabel dana perimbangan sebesar -0,0189 memberi arti bahwa setiap terjadi kenaikan dana perimbangan sebesar 1 persen,

ceteris paribus, akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Sumatera Utara sebesar 0,0189 persen.

Nilai koefisien variabel dana perimbangan yang relatif kecil ini berarti variabel dana perimbangan tidak memberikan nilai kontribusi yang berarti terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah. Dengan demikian hasil empiris ini tidak sesuai dengan hipotesis yang ada, dan tidak


(48)

sejalan dengan studi yang dilakukan sebelumnya oleh Sumiyarti dan Imamy (2005) serta Hidayat dan Sirojuzilam (2006).

Sedangkan pada variabel PAD, memiliki nilai t-statistik sebesar 6,2892 yang lebih besar dari t-tabel (2,3642), yang berarti H0 ditolak H1 diterima. Hal ini menyatakan bahwa variabel PAD memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah pada tingkat kepercayaan 99 persen selama kurun waktu 2001-2005. Nilai koefisien PAD sebesar 0,4102 memberi arti setiap terjadi kenaikan PAD sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Sumatera Utara sebesar 0,4102 persen. Hasil empiris ini sesuai dengan hipotesis yang ada, yaitu terdapat pengaruh yang positif antara PAD dengan pertumbuhan ekonomi, dan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dan Sirojuzilam (2006) serta Harianto dan Adi (2007).

Dan yang terakhir pada variabel jumlah penduduk juga memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah pada tingkat kepercayaan 99 persen. Hal ini dapat dilihat dari besarnya statistik 9,2328 yang lebih besar dari t-tabel (2,3642), dengan demikian H0 ditolak H1 diterima.

Nilai koefisien variabel jumlah penduduk sebesar 0,6538 menunjukkan bahwa setiap terjadi kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 persen, ceteris paribus, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Sumatera Utara sebesar 0,6538 persen. Hasil empiris ini juga sesuai dengan hipotesis yang ada, yaitu terdapat pengaruh yang positif antara jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi.


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis mencoba menarik beberapa kesimpulan mengenai pengaruh dana perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah selama kurun waktu 2001-2005. Selain itu, akan dilengkapi juga dengan saran-saran yang dianggap penting.

5.1. Kesimpulan

1. Bahwa dana perimbangan Kabupaten/Kota di Sumatera Utara selama kurun waktu 2001-2005 menunjukkan tren yang meningkat, walaupun pada tahun 2004 dan 2005 mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. Rata-rata besaran dana perimbangan untuk 25 Kabupaten/Kota selama 5 tahun (2001-2005) adalah Rp. 4.583,27 milyar.

2. Bahwa PAD Kabupaten/Kota di Sumatera Utara selama kurun waktu 2001-2005 menunjukkan tren yang meningkat setiap tahunnya, dengan persentase rata-rata besaran PAD yang tertinggi adalah kota Medan sebesar 20,79 persen.

3. Bahwa jumlah penduduk Kabupaten/Kota di Sumatera Utara selama kurun waktu 2001-2005 juga menunjukkan tern yang meningkat. Rata-rata peningkatan setiap tahunnya adalah 1,01 persen. Persentase laju pertumbuhan penduduk mulai dari tahun 1990-2000, 2000-2005, dan 2005-2006 juga mengalami peningkatan.


(50)

4. Bahwa Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku menunjukkan tren yang meningkat. Rata-rata pertumbuhan pertahunnya selama kurun waktu 2001 – 2005 adalah sebesar 15,57 persen. Begitu juga dengan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan menunjukkan tren yang meningkat. Rata-rata pertumbuhan pertahunnya (2001 – 2005) adalah sebesar 50,57 persen

5. Derajat otonomi fiskal Kabupaten/Kota di Sumatera Utara selama kurun waktu 2001-2005 secara rata-rata berada pada interval sangat kurang (0,01 – 10,00 persen)

6. Variabel dana perimbangan berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Sumatera Utara. Hasil pengujian ini tidak sesuai dengan hipotesis bahwa variabel dana perimbangan diduga berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.

7. Variabel PAD mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara secara positif dan signifikan. Hasil pengujian ini sesuai dengan hipotesis bahwa semakin tinggi tingkat penerimaan PAD, maka semakin meningkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.

8. Jumlah penduduk mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota Sumatera Utara secara positif dan signifikan. Hasil pengujian ini juga sesuai dengan hipotesis yang ada, bahwa peningkatan jumlah penduduk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara era otonomi daerah.


(51)

5.2. Saran

1. Penelitian ini hanya dilakukan selama kurun waktu 2001-2005 (5 tahun), sehingga belum tentu dapat memberikan gambaran yang jelas berhubungan dengan pengaruh dana perimbangan, Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan jumlah penduduk dengan pertumbuhan ekonomi. Hendaknya pada penelitian selanjutnya jumlah data time series diperbanyak agar memberikan gambaran yang lebih nyata.

2. Diharapkan kepada masing-masing Kabupaten/Kota dapat mengurangi secara bertahap bantuan dana dari pemerintah pusat, dan lebih meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerahnya dengan menggali lagi potensi-potensi sumber daya yang ada guna menggerakkan roda perekonomian di Sumatera Utara.

3. Agar setiap Kabupaten/Kota di Sumatera Utara lebih memacu pembangunan-pembangunan di daerahnya masing-masing, sehingga pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat meningkat.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul dan Didik J. Rachbini, 2001. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta: PT Grasindo.

Astuti, Esther Sri dan Joko Tri Haryanti, 2005. Analisis Dana Alokasi Umum

(DAU) dalam Era Otonomi Daerah Studi Kasus 30 Propinsi. Majalah

Manajemen Usahawan Indonesia, No. 12 TH. XXXIV.

Azmil, 2006. Artikel: Mari Kita Optimalkan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Badan INFOKOM Sumut.

Badan Pusat Statistik, 2001-2005. Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara.

Badan Pusat Statistik, 2001-2005. Sumatera Utara Dalam Angka.

Departemen Keuangan RI, 2003. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara Tahun 2003.

Elmi, Bachrul, 2002. Kebijakan Desentralisasi Fiskal Kaitannya dengan Hutang

Luar Negeri Pemerintah Daerah Otonom. Kajian Ekonomi dan Keuangan,

Vol. 6 No. 4.

___________, 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia. Jakarta: UI-Press.

Hakim, Abdul, 2004. Ekonomi Pembangunan. Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Yogyakarta: Ekonisia, Kampus Fakultas Ekonomi UII.

Harianto, David dan Priyo Hari Adi, 2007. Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, dan Pendapatan Per Kapita. Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar.

Hidayat, Paidi dan Sirojuzilam, 2006. Kajian Tentang Keuangan Daerah Kota Medan di Era Otonomi Daerah. Jurnal Wahana Hijau, Vol. 2, No.1.


(53)

Kaho, Josef Riwu, 1997. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Landiyanto, Erlangga Agustino, 2005. Kinerja Keuangan dan Strategi

Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota Surabaya.

Cures Working Paper, No. 05/01.

Lutfi, Achmad, . Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU No. 34/2000 oleh Pemda Untuk Menarik Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Suatu Studi di Kota Bogor.

Nachrowi D., Nachrowi dan Hardius Usman, 2006. Pendekatan Populer dan

Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta:

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat, 2007. Pedoman Praktis Penggunaan

Eviews dalam Ekonometrika. Medan: USU Press.

Republik Indonesia, 1999. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, Tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Romli, Lili, 2007. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Cetakan Pertama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Setiaji, Wirawan dan Priyo Hari Adi, 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah sesudah Otonomi Daerah: Apakah Mengalami Pergeseran? (Studi pada

Kabupaten dan Kota Se Jawa – Bali). Simposium Nasional Akuntansi X,

Unhas Makassar.

Sidik, Machfud, 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal (antara Teori dan Aplikasinya di

Indonesia). Seminar “Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi

Daerah di Indonesia”.

Siregar, Hermanto, 2007. Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. IPB & Brighten Institute.

Sofwani, Ahmad, dkk, . Mobilisasi Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam Rangka Pembangunan Daerah (Studi di Kabupaten Muara


(54)

Sukirno, Sadono, 2003. Pengantar Teori Makroekonomi. Edisi Kedua, Cetakan Keempatbelas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sumiyarti dan Akhmad Fauzan Imamy, 2005. Analisis Pengaruh Perimbangan

Pusat-Daerah terhadap Perekonomian Kota Depok. Media Ekonomi, Vol.

11, No. 2.

Suryana, 2000. Ekonomi Pembangunan: Problematika dan Pendekatan. Edisi Pertama, Jakarta: Salemba Empat.

Teguh, Muhammad, 1999. Metode Penelitian dan Aplikasi Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Widjaja, H.A.W, 1998. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia. Cetakan Pertama, Jakarta: Rineka Cipta.

______________, 2002, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Bustanul dan Didik J. Rachbini, 2001.

Ekonomi Politik dan Kebijakan

Publik

. Jakarta: PT Grasindo.

Astuti, Esther Sri dan Joko Tri Haryanti, 2005.

Analisis Dana Alokasi Umum

(DAU) dalam Era Otonomi Daerah Studi Kasus 30 Propinsi

. Majalah

Manajemen Usahawan Indonesia, No. 12 TH. XXXIV.

Azmil, 2006.

Artikel: Mari Kita Optimalkan Pelaksanaan Otonomi Daerah

.

Badan INFOKOM Sumut.

Badan Pusat Statistik, 2001-2005.

Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Provinsi

Sumatera Utara

.

Badan Pusat Statistik, 2001-2005.

Sumatera Utara Dalam Angka

.

Departemen Keuangan RI, 2003.

Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara Tahun 2003

.

Elmi, Bachrul, 2002.

Kebijakan Desentralisasi Fiskal Kaitannya dengan Hutang

Luar Negeri Pemerintah Daerah Otonom

. Kajian Ekonomi dan Keuangan,

Vol. 6 No. 4.

___________, 2002.

Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia

. Jakarta:

UI-Press.

Hakim, Abdul, 2004.

Ekonomi Pembangunan

. Edisi Pertama, Cetakan Kedua,

Yogyakarta: Ekonisia, Kampus Fakultas Ekonomi UII.

Harianto, David dan Priyo Hari Adi, 2007.

Hubungan Antara Dana Alokasi

Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, dan Pendapatan Per

Kapita

. Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar.

Hidayat, Paidi dan Sirojuzilam, 2006.

Kajian Tentang Keuangan Daerah Kota

Medan di Era Otonomi Daerah

. Jurnal Wahana Hijau, Vol. 2, No.1.


(2)

Kaho, Josef Riwu, 1997.

Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia

.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Landiyanto, Erlangga Agustino, 2005.

Kinerja Keuangan dan Strategi

Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Kota Surabaya

.

Cures Working Paper, No. 05/01.

Lutfi, Achmad, .

Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Berdasarkan

UU No. 34/2000 oleh Pemda Untuk Menarik Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah: Suatu Studi di Kota Bogor

.

Nachrowi D., Nachrowi dan Hardius Usman, 2006.

Pendekatan Populer dan

Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan

. Jakarta:

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat, 2007.

Pedoman Praktis Penggunaan

Eviews dalam Ekonometrika

. Medan: USU Press.

Republik Indonesia, 1999. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999,

Tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah

.

Romli, Lili, 2007.

Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal

.

Cetakan Pertama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Setiaji, Wirawan dan Priyo Hari Adi, 2007.

Peta Kemampuan Keuangan Daerah

sesudah Otonomi Daerah: Apakah Mengalami Pergeseran? (Studi pada

Kabupaten dan Kota Se Jawa – Bali)

. Simposium Nasional Akuntansi X,

Unhas Makassar.

Sidik, Machfud, 2002.

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai

Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal (antara Teori dan Aplikasinya di

Indonesia)

. Seminar “Setahun Implementasi Kebijaksanaan Otonomi

Daerah di Indonesia”.

Siregar, Hermanto, 2007.

Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan

Jumlah Penduduk Miskin

. IPB & Brighten Institute.

Sofwani, Ahmad, dkk, .

Mobilisasi Sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah

(PAD) dalam Rangka Pembangunan Daerah (Studi di Kabupaten Muara


(3)

Sukirno, Sadono, 2003.

Pengantar Teori Makroekonomi

. Edisi Kedua, Cetakan

Keempatbelas, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sumiyarti dan Akhmad Fauzan Imamy, 2005.

Analisis Pengaruh Perimbangan

Pusat-Daerah terhadap Perekonomian Kota Depok

. Media Ekonomi, Vol.

11, No. 2.

Suryana, 2000.

Ekonomi Pembangunan: Problematika dan Pendekatan

. Edisi

Pertama, Jakarta: Salemba Empat.

Teguh, Muhammad, 1999.

Metode Penelitian dan Aplikasi Ekonomi

. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Widjaja, H.A.W, 1998.

Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia

. Cetakan

Pertama, Jakarta: Rineka Cipta.

______________, 2002,

Otonomi Daerah dan Daerah Otonom

, Edisi Pertama,

Cetakan Pertama, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


(4)

Lampiran 1.

Hasil Estimasi OLS Untuk Data Panel

Dependent Variable: LPDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 05/28/08 Time: 14:00 Sample: 2001 2005

Included observations: 5

Number of cross-sections used: 22

Total panel (unbalanced) observations: 100 Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -2.301742 0.532524 -4.322326 0.0000 LPERIMBANGAN? -0.045634 0.117589 -0.388077 0.6988

LPAD? 0.391677 0.046185 8.480604 0.0000 LPENDUDUK? 0.744319 0.066501 11.19268 0.0000 R-squared 0.932130 Mean dependent var 7.903615 Adjusted R-squared 0.930009 S.D. dependent var 1.050371 S.E. of regression 0.277885 Sum squared resid 7.413117 F-statistic 439.4869 Durbin-Watson stat 0.412515 Prob(F-statistic) 0.000000


(5)

Lampiran 2.

Hasil Estimasi Random Effect Model (REM)

Dependent Variable: LPDRB?

Method: GLS (Variance Components) Date: 05/28/08 Time: 14:05

Sample: 2001 2005 Included observations: 5

Number of cross-sections used: 22

Total panel (unbalanced) observations: 100 Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -1.323386 0.849459 -1.557917 0.1225 LPERIMBANGAN? -0.018896 0.108448 -0.174236 0.8620

LPAD? 0.410219 0.065226 6.289158 0.0000 LPENDUDUK? 0.653795 0.070812 9.232794 0.0000 Random Effects _ASH--C 0.526903 _BJI--C -0.151767 _DLS--C -0.106144 _DRI--C 0.123919 _HBH--C 0.259680 _KRO--C 0.133180 _LBT--C 0.347822 _LKT--C 0.098419 _MDN--C -0.035774 _MNT--C -0.095140 _NAS--C -0.311278 _PDS--C -0.195590 _PMS--C 0.090509 _PPB--C -0.035083 _SBL--C -0.171105 _SML--C -0.065526 _TBS--C -0.146523 _TJB--C -0.012962 _TPS--C 0.145453 _TPT--C -0.360656 _TPU--C -0.143057 _TTG--C 0.026856 GLS Transformed Regression

R-squared 0.971025 Mean dependent var 7.903615 Adjusted R-squared 0.970120 S.D. dependent var 1.050371 S.E. of regression 0.181567 Sum squared resid 3.164777 Durbin-Watson stat 1.009482

Unweighted Statistics including Random

Effects

R-squared 0.975366 Mean dependent var 7.903615 Adjusted R-squared 0.974596 S.D. dependent var 1.050371 S.E. of regression 0.167416 Sum squared resid 2.690686 Durbin-Watson stat 1.187349


(6)

Lampiran 3.

Hasil Estimasi Fixed Effect Model (FEM)

Dependent Variable: LPDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 05/28/08 Time: 14:02 Sample: 2001 2005

Included observations: 5

Number of cross-sections used: 22

Total panel (unbalanced) observations: 100 Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. LPERIMBANGAN? 0.019500 0.124358 0.156807 0.8758

LPAD? 0.348881 0.085804 4.066018 0.0001 LPENDUDUK? 0.110642 0.166802 0.663313 0.5092

Fixed Effects

_ASH--C 6.727339 _BJI--C 5.142406 _DLS--C 6.380434 _DRI--C 5.510718 _HBH--C 5.340464 _KRO--C 5.619148 _LBT--C 6.476224 _LKT--C 6.197545 _MDN--C 6.592781 _MNT--C 5.440626 _NAS--C 5.425512 _PDS--C 4.904672 _PMS--C 5.443186 _PPB--C 4.107439 _SBL--C 4.580814 _SML--C 5.950256 _TBS--C 5.173121 _TJB--C 5.067976 _TPS--C 6.020759 _TPT--C 4.965566 _TPU--C 5.301045 _TTG--C 5.036641

R-squared 0.978997 Mean dependent var 7.903615 Adjusted R-squared 0.972276 S.D. dependent var 1.050371 S.E. of regression 0.174892 Sum squared resid 2.294042 F-statistic 145.6634 Durbin-Watson stat 1.299097 Prob(F-statistic) 0.000000


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Disentralisasi Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2012

6 112 101

Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Perimbangan terhadap Belanja Modal pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

2 38 82

Pengaruh Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Belanja Modal sebagai variabel intervening studi empiris di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara

7 101 90

Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan terhadap Pengalokasian Belanja Modal Pada Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara

10 69 114

Analisis Pengaruh Dana Perimbangan dan PAD terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di Sumatera Utara Era Otonomi Daerah.

3 55 57

Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum Dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Belanja Daerah Di Sumatera Utara Era Otonomi Daerah.

0 59 69

Analisis Pertumbuhan Wilayah Kota Pematangsiantar Di Era Otonomi Daerah.

11 68 110

Analisis Elastisitas, Efisiensi, Dan Efektifitas PAD Sumatera Utara Dalam Era Otonomi Daerah

1 57 96

Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Disentralisasi Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2012

0 0 24

KATA PENGANTAR - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Kemandirian Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Era Disentralisasi Fiskal Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara Periode 2008-2012

0 0 14