PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN DAN HASIL BELAJAR SISWA

(1)

ABSTRAK

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN DAN HASIL

BELAJAR SISWA

(Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Natar Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014 Pada Materi Pokok

Ciri-ciri Makhluk Hidup) Oleh

MILA VANALITA

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan komunikasi lisan dan hasil belajar aspek kognitif siswa.

Penelitian ini menggunakan desain pretes-postes kelompok tak ekuivalen. Sampel penelitian adalah siswa kelas VII A dan VII B yang dipilih dari populasi secara purposive sampling. Data penelitian ini berupa data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa rata-rata nilai kemampuan komunikasi lisan siswa dan angket tanggapan siswa yang dianalisis secara deskriptif. Data kuantitatif diperoleh dari rata-rata nilai pretes, postes dan gain, kemudian dianalisis secara statistik


(2)

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata siswa kelas eksperimen memiliki kemampuan komunikasi lisan dengan kriteria baik (81,48± 5,13). Dalam setiap aspek kemampuan komunikasi lisan rata-rata siswa (menunjukkan etika,

kesediaan menghargai pendapat orang lain, kelancaran, pemahaman isi materi dan penggunaan bahasa) yang baik. Siswa menunjukkan etika berbicara dengan kriteria “baik” (77,16± 6,11) dengan mengucapkan salam dan terimakasih ketika mengawali dan mengakhiri pembicaraan. Siswa menunjukkan kesediaan

menghargai pendapat orang lain dengan kriteria “baik” (80,86± 0,87) dengan mendengarkan dengan seksama pendapat siswa lain dan ketika terjadi perbedaan pendapat mereka tidak saling memaksakan pendapatnya, melainkan bersama-sama mendiskusikan perbedaan tersebut untuk mendapatkan pemahaman yang padu. Siswa memiliki pemahaman isi materi dengan kriteria “sangat baik” (87,04± 0,87) sehingga dapat menyampaikan materi dengan kelancaran yang berkriteria “baik” (86,42± 5,24), tidak terbata-bata serta penggunaan bahasa dengan kriteria “baik” (75,93± 6.11) yaitu dengan berbahasa yang baik dan benar sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Hasil belajar siswa mengalami peningkatan, dengan rata-rata nilai gain berkriteria baik (0,57± 0,18). Sebagian besar siswa (96,30 %) memberikan tanggapan positif terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw. Dengan demikian, model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi lisan dan hasil belajar siswa.


(3)

PENGA TER (Studi ARUH MOD RHADAP K Eksperime Genap T FAKULT DEL PEMB KEMAMPU B en Pada Sis ahun Pelaj Ciri-TAS KEGU UNIV BA BELAJAR UAN KOM BELAJAR

swa Kelas V aran 2013 -ciri Makhl (Skrip Oleh Mila Van URUAN DA VERSITAS ANDAR LA 2014 RAN KOOP MUNIKASI SISWA VII SMP N 3/2014 Pada luk Hidup) si) h nalita AN ILMU LAMPUN AMPUNG 4 PERATIF T LISAN DA TIPE JIGSA AN HASIL SAW L Negeri 3 Na

a Materi Po

atar Semest okok ter ) PENDIDIKKAN G


(4)

(Studi Ju Eksperime Genap T Sebag urusan Pen FAKULT

en Pada Sis ahun Pelaj

Ciri-M

ai Salah Sa SARJ Program ndidikan M TAS KEGU UNIV BA

swa Kelas V aran 2013 -ciri Makhl Oleh MILA VAN Skrip atu Syarat JANA PEN Pada m Studi Pend Matematika

URUAN DA VERSITAS ANDAR LA 2014

VII SMP N 3/2014 Pada luk Hidup) h NALITA si untuk Men NDIDIKAN a didikan Bio dan Ilmu P

AN ILMU LAMPUN AMPUNG

4

Negeri 3 Na a Materi Po

atar Semest okok

ter )

ncapai Gelaar N

ologi

Pengetahuaan Alam

PENDIDIKKAN G


(5)

(6)

(7)

(8)

Penulis dilahirkan di Sidowaras pada tanggal 3 Juni 1993, merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari

pasangan Bapak Maknudin dan Ibu Ratna Wati. Tempat tinggal penulis di Kelurahan Sidowaras, Kecamatan Bumiratu Nuban, Kabupaten Lampung Tengah. (CP: 085768804116)

Pendidikan yang ditempuh penulis adalah SD Negeri Sidowaras (1998-2004), SMP Negeri 2 Bumiratu Nuban (2004-2007), SMA Negeri 3 Metro (2007-2010). Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Pendidikan Biologi FKIP Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama menjadi mahasiswa di Universitas Lampung, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Dasar dan Struktur Perkembangan Tumbuhan serta menjadi Finalis Lomba Mikroteaching Nasional dalam rangka BFUB IV di Universitas Pendidikan Indonesia. Penulis melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 3 Sumberjaya dan Kuliah Kerja Nyata Kependidikan Terintegrasi (KKN-KT) di desa Sindang Pagar, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat pada tahun 2013.


(9)

 

Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, Niscaya akan menjadikan

baginya kemudahan dalam (semua) urusannya

(Ath-Thalaq 65:4)

“Jika kau memandang orang yang lebih tua, ingatlah dia lebih banyak

amal ibadahnya dari pada kau. Jika kau memandang orang yang lebih

muda, ingatlah dia lebih sedikit dosanya dari pada kau”

(Al-Manshurin)

Kesuksesan tidak ada yang datang dengan serta-merta. Melewati

proses yang panjang dan membutuhkan perjuangan. Kesabaran adalah

syaratnya, Keikhlasan adalah nyawanya dan Rasa Syukur adalah

obatnya.

(Deassy M. Destiani)

Sukses itu datang di tempat dan waktu yang tepat

(Dr.Tri Jalmo, M.Si)

Ketika kamu merasa gagal, hal yang perlu kamu lakukan adalah

bersabar, bersujud kepada-Nya, dan bersyukur karena Dia

membuatmu menjadi pribadi satu tingkat lebih kuat

(Mila Vanalita)


(10)

WxÇztÇ `xÇçxuâà atÅt TÄÄÉ{ çtÇz `t{t cxÇztá|{ Ätz|

`t{t cxÇçtçtÇz

Alhamdulillahi robbil ‘alamin, dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT yang selalu memberikan karunia dan

nikmat-Nya, dengan kerendahan hati ku persembahkan karya kecil ini untuk :

Ibuku (Ratna Wati) dan Bapakku (Maknudin) yang telah menjadi cahaya hidupku Yang selalu memanjatkan do’a untuk putri tercinta dalam setiap sujudnya. Karenamu diri ini ada,

karena cinta dan kasih sayangmu diri ini tumbuh dalam balutan cinta dan kasih sayang Allah.

Adikku tersayang Hanivan Maulana.

Semoga kita bisa membanggakan keluarga ini terutama Ibu dan Bapak

Om terbaikku Edi Gunarto yang selalu memberikan semangat, dukungan, serta inspirasi yang menjadikanku berani untuk mewujudkan mimpi-mimpiku

Para pendidik dan dosen yang terhormat

Almamaterku tercinta Universitas Lampung


(11)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas ridha-Nya sehingga skripsi dengan judul “PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN DAN HASIL BELAJAR SISWA (Studi Eksperimen Pada Siswa Kelas VII SMP Negeri 3 Natar Semester Genap Tahun Pelajaran 2013/2014 Pada Materi Pokok Ciri-ciri Makhluk Hidup)” dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Pendidikan Biologi di Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung; 2. Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan PMIPA FKIP Universitas

Lampung;

3. Pramudiyanti, S.Si., M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Biologi; 4. Dr. Tri Jalmo, M.Si., selaku Pembimbing I atas saran-saran dan motivasi

yang sangat berharga dan telah memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. Rini Rita T Marpaung, S.Pd., M.Pd., selaku Pembimbing Akademik dan Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dalam proses penyelesaian skripsi ini;

6. Drs. Arwin Achmad, M.Si. selaku Pembahas atas saran-saran dan motivasi yang sangat berharga;


(12)

VII B SMP Negeri 3 Natar Lampung Selatan atas kerjasamanya yang baik; 8. Teristimewa keluarga besar Eyang Kakung dan Eyang Putri atas semua do’a,

dukungan, nasehat yang telah diberikan;

9. Sahabat ku Sarvia Trisniati, Dira Tiara, Erni Oftika, Arinta Winsi, Sisca Puspita Sari Nasution, Qurratu A’ini Naima, Sefty Goestira, Eli Komariah, Kartika Ayu Wulandari, Marettha Ania dan yang tidak bisa disebut satu persatu atas semangat, motivasi dan kebersamaan yang telah kita jalani selama ini;

10. Keluarga Al-Mansurin Yuni Purwaningsih, Sylvia Farantika dan Teristimewa Agustina Dwi Jayanti, yang telah memberi warna-warni yang begitu indah dalam episode kehidupanku;

11. Teman-teman KKN-PPL, terima kasih untuk semangat perjuangan dan kerjasamanya;

12. Kakak tingkat, teman seperjuangan dan semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandarlampung, Agustus 2014 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 6

F. Kerangka Pikir ... 7

G. Hipotesis Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 10

B. Hasil Belajar Kognitif ... 19

C. Kemampuan Komunikasi Lisan ... 23

III.METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 41

B. Populasi dan Sampel ... 41

C. Desain Penelitian ... 41

D. Prosedur penelitian ... 42

E. Jenis dan Teknik Pengambilan Data ... 51

F. Teknik Analisis Data ... 55

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 61

B. Pembahasan ... 67


(14)

B. Saran ... 77

DAFTAR PUSTAKA ... 79

LAMPIRAN 1. Silabus ... 84

2. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 88

3. Lembar Kerja Siswa (LKS)... 99

4. Pretes dan Postes ... 131

5. Angket Tanggapan Siswa Terhadap Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 142

6. Lembar Observasi Kemampuan Komunikasi Lisan ... 143

7. Foto-Foto Penelitian ... 147

8. Surat-surat Penelitian ... 152


(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Sintaks/fase-fase pembelajaran kooperatif ... 12

2. Lembar Observasi Kemampuan Komunikasi Lisan Siswa ... 53

3. Keterangan aspek penilaian kemampuan komunikasi lisan siswa ... 53

4. Angket tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 54

5. Kriteria tingkat kemampuan komunikasi lisan siswa ... 58

6. Skor Per Jawaban Angket ... 59

7. Tabulasi data angket tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 59

8. Kriteria persentase angket tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 60

9. Kemampuan komunikasi lisan siswa ... 61

10.Hasil statistik terhadap rata-rata nilai pretes, postes, dan Gain ... 63

11.Hasil analisis rata-rata Gain setiap indikator hasil belajar siswa ... 64

12.Peningkatan setiap indikator hasil belajar siswa ... 65


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat ... 8

2. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli ... 17

3. Desain pretest – posttest kelompok tak ekuivalen ... 42

4. Kemampuan komunikasi lisan siswa ... 62

5. Tanggapan siswa terhadap penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw ... 66

6. Contoh jawaban siswa untuk indikator C1... 74


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tinggi rendahnya kualitas sumberdaya manusia dalam suatu bangsa salah satunya dipengaruhi oleh faktor kualitas pendidikan negara tersebut. Dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 (1) pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Depdiknas, 2003: 1). Dengan demikian, tujuan dari pendidikan tidak hanya mencakup pada pengembangan intelektualitas, tetapi juga bertujuan untuk mengembangkan semua potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Proses pendidikan dapat berlangsung dalam berbagai kegiatan terutama melalui kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran merupakan interaksi dua arah dari seorang guru dan siswa, diantara keduanya terjadi komunikasi (transfer) yang intens dan terarah dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan (Trianto, 2009:108). Dengan demikian, tujuan pembelajaran dapat terwujud apabila proses pembelajaran berjalan dengan baik dan terarah.


(18)

Kenyataan yang dijumpai saat ini bahwa proses pembelajaran di Indonesia belum optimal. Hal ini terungkap dalam hasil Trend in Mathematics and Science Study (TIMSS) yang diikuti siswa kelas VIII tahun 2011, menunjukkan bahwa untuk bidang IPA Indonesia berada di urutan ke-40 dengan skor 406 dari 42 negara yang ikut berpartisipasi dalam tes. Skor tes IPA Indonesia ini tururn 21 angka dibandingkan TIMSS 2007

(Napitupulu, 2013: 1). Hal ini menunjukkan masih rendahnya kualitas pembelajaran yang berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa.

Berikutnya yang sering dijumpai yaitu dalam proses pembelajaran di sekolah, siswa yang pasif lebih mendominasi dibandingkan dengan siswa yang aktif berbicara misalnya dalam hal mengkomunikasikan informasi melalui kegiatan presentasi, ataupun bertanya dan menyampaikan pendapat selama proses diskusi. Hal ini masih menjadi masalah klasik dalam dunia pendidikan di Indonesia. Ketika sesi tanya jawab, hanya sebagian kecil siswa yang bertanya atau menanggapi terhadap presentasi yang disampaikan. Hal ini karena berbicara di depan umum atau menyampaikan pendapat dalam proses diskusi masih dianggap hal yang menakutkan bagi siswa. Sehingga siswa menjadi tidak aktif, kemampuan komuniksi lisan siswa tidak terlatih dengan baik. Rendahnya kemampuan komunikasi lisan dan hasil belajar aspek kognitif siswa juga terjadi di tingkat sekolah menengah pertama. Hasil wawancara dengan guru IPA dan pengamatan terhadap siswa selama proses pembelajaran IPA di SMP Negeri 3 Natar, diperoleh informasi bahwa kemampuan

komunikasi lisan siswa belum dikembangkan. Diketahui bahwa selama proses pembelajaran guru belum mengoptimalkan penggunaan model pembelajaran


(19)

yang berpusat pada siswa. Selama proses pembelajaran guru sering menggunakan metode diskusi yang kurang interaktif, sebagian kecil saja siswa yang bersedia menyampaikan pendapatnya ketika proses diskusi berlangsung, hal ini dikarenakan siswa cenderung malu dan belum memiliki kepercayaan diri untuk mengungkapkan pikirannya sehingga pembelajaran membuat siswa bosan dan akhirnya pencapaian hasil belajar kognitif siswa menjadi rendah. Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan suatu alternatif model pembelajaran yang interaktif dan efektif sehingga meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa dalam belajar yang dapat memberikan dampak positif terhadap hasil belajar kognitif siswa.

Untuk mengatasi masalah tersebut salah satu alternatifnya adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif yang diduga bisa digunakan salah satunya adalah model pembelajaran tipe Jigsaw. Model pembelajaran tipe Jigsaw ini lebih

menekankan pada pentingnya interaksi dan kerjasama dalam suatu tim. Selain itu Jigsaw menuntut kemandirian dan tanggung jawab setiap siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa dituntut untuk benar-benar memahami pembelajarannya sendiri yang mana nantinya akan disampaikan pada orang lain. Menurut Isjoni (2010: 54) model

pembelajaran kooperatif Jigsaw dapat mengaktifkan seluruh siswa dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Sedangkan menurut Slavin (dalam Rohaeni 2013:3) esensi dari model pembelajaran Jigsaw yaitu pembelajaran dimana setiap siswa dalam kelompok memiliki datu penggalan informasi yang masing-masing berbeda


(20)

dan bertanggung jawab untuk mengajarkannya kembali kepada teman-teman satu kelompoknya. Setelah seluruh ambaran informasi bergabung, siswa telah memiliki puzzle utuh yang disebut “Jigsaw”. Tanggung jawab yang

dibebankan kepada siswa akan membuat siswa termotivasi untuk belajar dengan bersungguh-sungguh dan menuntut siswa untuk mengkomunikasikan hasil belajarnya kepada teman-temannya.

Hasil penelitian Melizawati (2011: 43) mengenai model pembelajaran tipe Jigsaw menyatakan bahwa penggunaan model Jigsaw berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada materi sistem ekskresi oleh siswa SMA Negeri 1 Tanjungbintang. Begitu juga dengan penelitian Yati (2008: 33) yang

mengungkapkan bahwa model pembelajaran tipe Jigsaw dapat meningkatkan aktivitas dan penguasaan konsep materi oleh siswa. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Maya (2013: 87) pada siswa SMP Negeri 1 Lembang diketahui bahwa kemampuan komunikasi lisan siswa dapat dinilai dengan menggunakan Peer Assesment pada model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada materi pencemaran lingkungan. Merujuk pada hasil penelitian tersebut diduga model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat diterapkan dalam pembelajaran sub materi ciri-ciri makhluk hidup untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Kemampuan Komunikasi Lisan dan Hasil Belajar Siswa”.


(21)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap kemampuan komunikasi lisan siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup?

2. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh

signifikan terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap

kemampuan komunikasi lisan siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.

2. Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi peneliti, dapat memberikan wawasan, pengalaman, dan bekal berharga sebagai calon guru biologi yang profesional, dan untuk perbaikan


(22)

2. Bagi guru, dapat dijadikan alternatif dalam memilih model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar kognitif dan kemampuan komunikasi lisan siswa.

3. Bagi siswa, dapat memberikan pengalaman belajar yang berbeda sehingga diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar kognitif dan kemampuan komuniksai lisan siswa.

4. Bagi sekolah, dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan ditingkat SMP.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menghindari kesalahan penafsiran pada permasalahan yang dibahas, maka penulis memberi batasan masalah sebagai berikut :

1. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 3 Natar tahun pelajaran 2013/2014 dengan subjek penelitian siswa kelas VIIB sebagai kelompok eksperimen dan kelas VIIA sebagai kelompok kontrol 2. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran

kooperatif yang mengkondisikan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari beberapa orang secara heterogen dan bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntaasan bagian materi pembelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends dalam Amri dan Ahmadi, 2010: 94-95).


(23)

3. Materi pokok pada penelitian ini adalah Ciri-ciri Makhluk Hidup di kelas VII semester 2 dengan kompetensi dasar “Mengidentifikasi Ciri-ciri Makhluk Hidup (KD 6.1)”.

4. Hasil belajar dalam penelitian ini berupa aspek kognitif yang terdiri dari 6 kategori yaitu mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis,

mengevaluasi, dan mencipta.

5. Indikator kemampuan berkomunikasi lisan yang diamati terdiri beberapa aspek antara lain (1) etika, (2) kesediaan menghargai pendapat orang lain, (3) kelancaran, (4) pemahaman isi materi, (5) bahasa.

F. Kerangka Pikir

Dalam pembelajaran biologi terdapat banyak sekali konsep-konsep ilmiah yang saling berhubungan yang menuntut siswa untuk lebih aktif dalam kegiatan pembelajaran sehingga siswa dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Strategi yang dapat digunakan agar siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran yaitu dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa dalam pelajaran biologi

Pada model pembelajaran kooperatiftipe Jigsaw terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Setiap siswa dituntut untuk benar-benar memahami satu sub materi dengan bekerja sama dengan teman-temannya dalam kelompok ahli dengan sub materi yang sama. Setelah itu siswa bertanggung jawab untuk menyampaikan kembali sub materi kepada teman-temannya yang berada dalam kelompok asal yang terdiri dari sub materi yang berbeda. Siswa


(24)

mengkomunikasikan sub materi kepada siswa lain guna membangun

pengertian/pemahaman yang padu. Dengan tanggung jawab yang dibebankan kepada siswa akan membuat siswa termotivasi untuk belajar dengan

bersungguh-sungguh dan menuntut siswa untuk mengkomunikasikan hasil belajarnya kepada teman-temannya. Dengan langkah-langkah yang dilakukan dalam model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw kemampuan berkomunikasi lisan siswa dapat terlatih dan meningkat dengan baik. Apabila kemampuan komunikasi lisan siswa terlatih dengan baik maka siswa dapat menyampaikan informasi yang diperolehnya dengan efektif kepada temannya. Sehingga hasil belajar aspek kognitif siswa akan lebih meningkat.

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu dengan menggunakan dua kelas yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Pada penelitian ini dilakukan pengujian untuk mengetahui hasil belajar kognitif dan kemampuan komunikasi lisan siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup. Hubungan antar variabel dalam penelitian ini digambarkan dalam diagram berikut:

Keterangan: X = model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw; Y1 =

kemampuan komunikasi lisan siswa; Y2 = hasil belajar kognitif siswa


(25)

G. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa.

2. Ho = Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.

H1 = Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang

mengkondisikan siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaborasi yang beranggotakan empat orang untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru (Slavin, 2008: 8). Demikian pula, Rusman (2012: 202) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Model pembelajaran kooperatif seperti yang dinyatakan Amri & Ahmadi (2010: 90) merupakan salah satu model pembelajaran yang

mendukung pembelajaran kontekstual. Sistem pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang terstruktur.

Terdapat tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif menurut Nur (2005: 3) adalah sebagai berikut: (1) Penghargaan kelompok; pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapi kriteria yang telah ditentukan oleh penampilan


(27)

individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli, (2) Pertanggungjawaban individu; keberhasilan kelompok tergantung dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan seiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya tanpa bantuan teman sekelompoknya, dan (3) Kesempatan yang sama untuk mencapai

keberhasilan; pembelajaran kooperatif metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode skoring ini baik yang berprestasi rendah, sedang atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik pada kelompoknya.

Pembelajaran yang dilaksanakan secara berkelompok belum tentu mencerminkan pembelajaran kooperatif . Oleh karena itu, menurut Johnson (dalam Tran, 2012 : 2) terdapat lima elemen dasar dalam pembelajaran kooperatif . Kelima elemen dasar tersebut dinyatakan sebagai berikut: (1) Saling ketergantungan positif, (2) Interaksi promotif, (3) Tanggung jawab perorangan, (4)

Keterampilan interpersonal dan sosial, dan (5) Kualitas antar anggota kelompok.


(28)

Menurut Jauhar (2011: 54), pembelajaran kooperatif memiliki sintaks/fase-fase sebagai berikut:

Tabel 1. Sintaks/fase-fase pembelajaran kooperatif

Fase Peran Guru

1. Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar 2. Menyajikan informasi Menyajikan informasi kepada siswa

dengan jalan cara demonstrasi atau lewat bahan bacaan

3. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Menjelaskan kepada siswa bagaimana cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien 4. Membimbing kelompok

bekerja dan belajar

Membimbing kelompok dalam belajar, yaitu pada saat mereka mengerjakan tugas

5. Evaluasi Mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari kelompok atau masing-masing kelompok

mempresentasikan hasil kerjanya 6. Memberikan penghargaan Memberi pengharagaan kepada

individu ataupun kelompok yang mendapatkan hasil yang baik. Misalnya dengan memberi hadiah

Pembelajaran kooperatif memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademiknya (Trianto, 2009: 59). Menurut Johnson (dalam Eggen dan Kauchak, 2012: 153) siswa yang bekerja sama di dalam kelompok kooperatif mengasah keterampilan sosial mereka, menerima siswa dengan kemampuan kesulitan belajar, dan membangun persahabataan dan sikap positif terhadap orang lain yang memiliki prestasi, etnisitas, dan gender berbeda. Hal lain yang mendukung adalah pernyataan Trianto (2009: 60) bahwa di dalam proses pembelajaran kooperatif akan memberikan peluang kepada siswa yang


(29)

berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain.

Poin penting dalam pembelajaran kooperatif menurut Johnson and Johnson (dalam Kam-wing, 2004: 2) adalah pembelajaran kooperatif merupakan praktek instruksional dimana siswa saling membantu satu sama lain untuk belajar di dalam kelompok kecil menuju tujuan bersama. Sedangkan menurut Eggen dan Kauchak (2012: 136) pembelajaran kooperatif dipandang sebagai strategi mengajar yang memberikan peran terstruktur bagi siswa seraya menekankan interaksi siswa-siswa. Menurut pendapat Ratumanan (dalam Trianto, 2009: 62) interaksi yang terjadi dalam pembelajaran kooperatif dapat memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Lebih lanjut Slavin (dalam Rusman, 2012: 201) menerangkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif dibolehkan terjadinya pertukaran ide dan pemeriksaan ide sendiri dalam kelompok. Model pembelajaran kooperatif menjadikan guru lebih berperan sebagai fasilitator yang berfungsi sebagai jempatan penghubung kearah pemahaman yang lebih tinggi, dengan catatan siswa sendiri. Guru tidak banyak memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi juga harus membangun pengetahuan dalam pikirannya. Siswa mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung untuk menerapkan ide-ide mereka, ini merupakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri.

Menurut Rusman (2012:213-225) ada beberapa variasi jenis model dalam pembelajaran kooperatif, walaupun prinsip dasar dari pembelajaran


(30)

kooperatif ini tidak berubah, jenis-jenis model tersebut adalah model STAD (Student Teams Achievement Division), model Jigsaw, investigasi kelompok (Group Investigation), model Make a Match (Membuat Pasangan), model TGT (Teams Games Tournaments), dan model struktural.

Model pembelajaran kooperatif dapat mendorong siswa aktif dalam pembelajaran dan sudah banyak digunakan dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran kooperatiftipe Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatifyang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Model pembelajaran kooperatifteknik Jigsaw ini pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavindan teman-teman di Universitas John Hopkins. Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson sebagai model pembelajaran kooperatif. Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun berbicara (Amri dan Ahmadi, 2010: 94).

Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah model pembelajaran kooperatif yang mengkondisikan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari beberapa orang secara heterogen dan bekerja sama saling

ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntaasan bagian materi pembelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota kelompok yang lain (Arends dalam Amri dan Ahmadi, 2010: 94-95). Lebih lanjut Lie (2008: 75) menyatakan bahwa Jigsaw merupakan


(31)

salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang fleksibel. Banyak riset telah dilakukan berkaitan dengan pembelajaran kooperatif dengan dasar Jigsaw. Riset tersebut menunjukkan bahwa siswa yang terlibat di dalam pembelajaran model kooperatif tipe Jigsaw ini memperoleh prestasi lebih baik, mempunyai sikap yang lebih baik dan lebih positif terhadap

pembelajaran, di samping saling menghargai perbedaan dan pendapat orang lain.

Sementara itu Aronson dkk (dalam Darnon dan Desbar. 2011: 443) menyebutkan kelas Jigsaw karena seperti puzzle Jigsaw yang membagi materi akademik menjadi potongan-potongan menjadi informasi yang berbeda-beda. Mereka melibatkan 3 aspek dalam metode Jigsaw. Ketiga aspek tersebut dinyatakan yaitu pertama, dibentuk suatu kelompok yang terdiri dari 3-5 siswa. Masing-masing siswa ditugaskan mempelajari satu bagian sub materi dan diharapkan dapat menjadi “ahli” untuk sub materi tersebut. Untuk tujuan ini, siswa akan mempunyai kesempatan untuk mendiskusikan keahlian sub materi mereka dengan siswa lain yang bukan merupakan kelompok asal, tetapi mereka mendiskusikan sub materi yang sama. Kelompok diskusi ini disebut dengan kelompok ahli. Akhirnya, setiap murid mempresentasikan laporan yang telah mereka pelajari ketika berada di kelopok ahli kepada siswa yang berada di kelompok asal mereka.


(32)

Langkah langkah pelaksanaan pembelajaran kooperatif Jigsaw yaitu sebagai berikut; (1) siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 5 sampai 6 orang, (2) guru memberikan materi pelajaran yang akan diajarkan dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab, 3) setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan bertanggung jawab untuk mempelajarinya, (4) anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya, (5) setiap anggota kelompok-kelompok ahli setelah kembali ke kelompok asal bertugas mengajar teman-temannya, (6) pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa dikenai tagihan berupa kuis individu (Trianto, 2007: 57).

Sementara itu Rusman (2012:219) merumuskan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pembelajaran model Jigsaw sebagai berikut:

1. Melakukan membaca untuk menggali informasi

Siswa memperoleh topik-topik permasalahan untuk dibaca, sehingga mendapatkan informasi dari permasalahan tersebut.

2. Diskusi kelompok ahli

Siswa yang telah mendapatkan topik permasalahan yang sama bertemu dengan kelompok ahli untuk membicarakan topik permasalahan tersebut. 3. Laporan kelompok

Kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan menjelaskan hasil yang didapat dari diskusi tim ahli.

4. Kuis mencakup semua topik permasalahan yang dibicarakan tadi. 5. Perhitungan skor kelompok dan menentukan penghargaan kelompok.


(33)

Pada pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw guru membagi kelas menjadi beberapa kelompok dengan setiap kelompok terdiri dari empat sampai enam siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut dengan kelompok asal. Setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian materi pembelajaran. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli. Dalam

kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali kekelompok asal. Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan (Amri dan Ahmadi, 2010: 96-98).

Hubungan yang terjadi antar kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan oleh Arrends dalam Ainy (2000:15) sebagai berikut:

α β

λ π α β λ π α β λ π α β λ π

α α

α α β ββ β λ λ λ λ π π π π Gambar 2. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli


(34)

Interaksi kooperatif yang terjadi dalam pembelajaran model Jigsaw

menunjukkan beberapa pengaruh positif terhadap perkembangan anak. Hal ini didukung oleh hasil penelitian oleh Jhonson (dalam Rusman, 2012: 219) tentang pengaruh positif dari pembelajaran kooperatif Jigsaw. Pengaruh positif tersebut adalah (1) meningkatkan hasil belajar; (2) meningkatkan daya ingat; (3) dapat digunakan untuk mencapai tarap penalaran tingkat tinggi; (4) mendorong tumbuhnya motivasi intrinsik (kesadaran individu); (5)

meningkatkan hubungan antar manusia yang heterogen; (6) meningkatkan sikap anak yang positif terhadap sekolah; (7) meningkatkan sikap positif terhadap guru; (8) meningkatkan harga diri anak; (9) meningkatkan perilaku menyesuaian social yang positif; dan (10) meningkatkan keterampilan hidup bergotong-royong.

Sebagai salah satu model pembelajaran yang kooperatif, Jigsaw mempunyai kelebihan-kelebihan menurut Budiningarti (dalam Pratiwi, 2009: 57) yaitu sebagai berikut: (1) Dapat mengembangkan hubungan antara pribadi positif diantara siswa yang memiliki kemampuan belajar berbeda, (2) Menerangkan bimbingan secara teman, (3) Rasa harga diri siswa yang lebih tinggi, (4) Memperbaiki kehadiran, (5) Penerimaan terhadap perbedaan individu lebih besar, (6) Sikap apatis berkurang, (7) Pemahaman materi lebih mendalam, (8) Meningkatkan motivasi belajar. Jigsaw merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang fleksibel, namun metode ini juga mempunyai kelemahan. Kelemahan metode pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, yaitu sebagai berikut: (1) Jika guru tidak mengingatkan agar siswa selalu


(35)

masing-masing maka dikhawatirkan kelompok akan macet. (2) Jika jumlah anggota kurang akan menimbulkan masalah, misal jika ada anggota yang hanya membonceng dalam menyelesaikan tugas-tugas yang pasif dalam diskusi. (3) Membutuhkan waktu yang lebih lama apabila penataan ruang belum

terkondisi dengan baik.

B. Hasil Belajar Kognitif

Hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar. Hasil pembelajaran dapat dibedakan atas: pengetahuan, keterampilan intelektual, keterampilan motorik dan sikap. Sedangkan Bloom (dalam Sudijono, 2005: 49) berpendapat bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan harus senantiasa mengacu pada 3 jenis domain (daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu: (1) ranah proses berfikir (cognitive domain), (2) ranah nilai sikap (affective domain), dan (3) ranah keterampilan motorik (psikomotor). Sehingga secara

keseluruhan peserta didik dapat memahami, menghayati dan mengamalkan pelajaran yang telah diberikan. Selain itu definisi hasil belajar menurut Abdurrahman (2003 :38) yaitu kemampuan yang diperoleh siswa setelah melakukan kegiatan belajar.

Belajar itu sendiri merupakan suatu proses dari seseorang yang berusaha untuk memperoleh suatu bentuk perubahan perilaku yang relatif menetap. Anderson (dalam Khoerul, 2012: 1) menguraikan dimensi proses kognitif pada taksonomi Bloom revisi yang mencakup:


(36)

1. menghafal (remember), yaitu menarik kembali informasi yang tersimpan dalam memori jangka panjang, yang mencakup dua macam proses kognitif mengenali dan mengingat

2. memahami (understand), yaitu mengkonstruk makna atau pengertian berdasarkan pengetahuan awal yang dimiliki, atau mengintegrasikan pengetahuan yang baru ke dalam skema yang ada dalam pemikiran siswa, yang mencakup tujuh proses kognitif: menafsirkan (interpreting),

memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), meringkas (summarizing), menarik inferensi (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining)

3. mengaplikasikan (apply), yaitu penggunaan suatu prosedur guna

meyelesaikan masalah atau mengerjakan tugas, yang mencakup dua proses kognitif: menjalankan (executing) dan mengimplementasikan

(implementing)

4. menganalisis (analyze), yaitu menguraikan suatu permasalahan atau obyek ke unsur-unsurnya dan menentukan bagaimana saling keterkaitan antar unsur-unsur tersebut, yang mencakup tiga proses kognitif: menguraikan (differentiating), mengorganisir (organizing), dan menemukan pesan tersirat (attributing)

5. mengevaluasi (evaluate), yaitu membuat suatu pertimbangan berdasarkan kriteria dan standar yang ada, yang mencakup dua proses kognitif:


(37)

6. membuat (create), yaitu menggabungkan beberapa unsur menjadi suatu bentuk kesatuan, yang mencakup tiga proses kognitif: membuat

(generating), merencanakan (planning), dan memproduksi (producing).

Hasil belajar siswa merupakan suatu hal yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyerap atau memahami suatu materi yang disampaikan. Dengan kata lain, hasil belajar merupakan bukti adanya proses belajar-mengajar antara guru dan siswa. Hasil belajar yang bisa diperoleh siswa setelah pembelajaran dapat berupa informasi verbal. Keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap, dan strategi kognitif. Gagne (dalam Dimyati dan Mujiono, 2002:10) menyatakan kelima hasil belajar tersebut merupakan kapabilitas siswa. Kapabilitas siswa tersebut berupa:

1. Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilihan informasi verbal memungkinkan individu berperan dalam kehidupan.

2. Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep dan lambang. Keterampilan intelek ini terdiri dari diskriminasi jamak, konsep konkret dan definisi, dan prinsip.

3. Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah.

4. Keterampilan motorik adalah kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.


(38)

5. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut.

Hasil belajar juga dapat diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku ke arah lain dari tingkah laku sebelumnya. Hal ini sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Winkel (dalam Amrina, 2004) bahwa adanya perubahan dalam pola perilaku inilah yang menandakan telah terjadinya belajar. Makin banyak kemampuan yang diperoleh sampai menjadi milik pribadi.

Kemampuan kognitif, kemampuan sensorik, kemampuan psikomotor dan kemampuan dinamik, semua pengubahan dibidang itu merupakan hasil belajar dan mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah laku. Untuk menilai dan mengukur keberhasilan siswa dipergunakan tes hasil belajar. Terdapat beberapa tes yang dilakukan guru, diantaranya: uji blok, ulangan harian, tes lisan saat pembelajaran berlangsung, tes mid semester dan tes akhir semester. Hasil dari tes tersebut berupa nilai-nilai yang pada

akhirnya digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan proses pembelajaran yang terjadi. Tes ini dibuat oleh guru berkaitan dengan materi yang telah diajarkan. Setiap kegiatan belajar akan berakhir dengan hasil belajar. Hasil belajar setiap siswa di kelas terkumpul dalam himpunan hasil belajar kelas. Bahan mentah hasil belajar terwujud dalam lembar-lembar jawaban soal ulangan atau ujian dan yang berwujud karya atau benda. Semua hasil belajar tersebut merupakan bahan yang berharga bagi guru dan siswa. Bagi guru, hasil belajar siswa di kelasnya berguna untuk melakukan perbaikan tindak mengajar atau evaluasi. Bagi siswa, hasil belajar tersebut berguna untuk memperbaiki cara-cara belajar lebih lanjut.


(39)

Tinggi rendahnya hasil belajar kognitif siswa dapat diketahui melalui

pedoman penilaian. Menurut Arikunto (2008: 245), bila nilai siswa ≥ 66 maka dikategorikan baik. Bila 55 ≤ nilai siswa <66 maka dikategorikan cukup baik. Bila nilai siswa < 55 maka dikategorikan kurang baik (Arikunto, 2007:214).

Selain itu, tinggi rendahnya hasil belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor. Djamarah (2008: 176-177) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses serta hasil belajar. Faktor utamanya adalah faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar yang mempengaruhi proses serta hasil belajar meliputi lingkungan serta instrumental. Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan alami serta lingkungan sosial budaya. Faktor instrumental antara lain kurikulum, program, sarana dan fasilitas, serta guru. Sedangkan untuk faktor dalam yang mempengaruhi proses dan hasil belajar antara lain fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis meliputi

kondisi fisiologis dan kondisi pancaindra. Sedangkan faktor psikologis antara lain minat, kecerdasan, bakat, motivasi serta kemampuan kognitif.

C. Kemampuan Komunikasi Lisan

Komunikasi merupakan suatu proses sosial yang sangat mendasar dan vital dalam kehidupan manusia. Kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” yang berarti “bersama. Sedangkan menurut kamus, definisi komunikasi dapat meliputi ungkapan-ungkapan seperti berbagai informasi atau pengetahuan, memberi gagasan atau bertukar pemikiran, informasi, atau yang sejenisnya dengan tulisan atau ucapan (Hutagalung. 2007: 65).


(40)

Komunikasi bersifat kompleks dan merupakan proses pertukaran antara beberapa orang, seperti yang dinyatakan Johnstone, et.al (2012 : 2) bahwa komunikasi dapat didefinisikan dalam bermacam-macam cara tergantung pada pengaturan, konteks, sifat atau fokus studi, lingkungan, atau lingkungan budaya. Sedangkan menurut Pie (dalam Johnstone, et.al .2012 : 2)

menyatakan bahwa komunikasi didasarkan pada nilai-nilai simbolik dan dengan proses pengekspresian yang berbeda-beda seperti kata, suara, bahasa tubuh, tulisan dan gambar. Semua diakumulasi menjadi pengalaman dan ditransmisikan antara individu, generasi, zaman, ras, dan budaya dalam beberapa bentuk seperti berbicara, menulis, bahasa tubuh atau simbol. Dalam arti luas, bahwa sebagai bentuk komunikasi, bahasa menjadi komponen utama dalam semua kegiatan manusia, sebagai komunitas pemahaman antara pengirim dan penerima pesan.

Salah satu unsur komunikasi menurut Wisnuwardhani dan Mashoedi (2012: 38-90) adalah konteks. Konteks dalam komunikasi adalah lingkungan dimana komunikasi terjadi. Lingkungan itu dapat berupa lingkungtan fisik, seperti ruang kelas, ruang rapat dan ruang tunggu dokter yang tentunya akan

mempengaruhi topik ataupun cara berbicara orang-orang yang berkomunikasi disana. Pengirim dan penerima pesan merupakan unsur komunikasi

berikutnya yang sangat penting dalam kominukasi. Adanya keinginan dari pengirim untuk menyampaikan pesan kepada seseorang (dalam hal ini penerima) memungkinkan terjadinya komunikasi. Lebih lanjut unsur berikutnya adalah pesan yang akan disampaikan . Pesan dapat berupa pesan verbal atau nonverbal. Pesan yang merupakan tanggapan dari penerima


(41)

kepada pengirim disebut umpan balik (feedback). Saluran merupakan unsur komunikasi, yaitu berupa media yang digunakan dalam komunikasi. Masing-masing media yang digunakan tentunya akan menimbulkan efek yang berbeda pada penerima antara lain efek dapat berupa penambahan informasi baru bagi seseorang (aspek kognitif), menimbulkan perasaan suka atau tidak suka (aspek afektif), atau membuat seseorang mampu melakukan kegiatan tertentu (aspek psikomotor).

Komunikasi melibatkan seluruh rasa, pengalaman, emosi dan kecerdasan. Dalam istilah umum yang sederhana, proses komunikasi berupa arus pesan melalui suatu saluran dari sumber pesan atau informasi menuju penerima pesan. Sebelum pesan dikirim, pesan harus diwujudkan dalam bentuk

penggalan-penggalan informasi yangdikirimkan dengan menguunakan sarana komunikasi. Ketika pesan yang dikirim sampai pada penerima, pesan terseut harus dapat ditafsirkan. Pesan yang sampai kepada pihak penerima tidak selalu tepat sebagaimana yang dimaksudkan oleh pihak pengirim pesan. Hal ini disebabkan terjadinya faktor-faktor gangguan yang terjadi pada

penyusunan penggalan informasi, atau pada penafsiran pesan di pihak penerima. Jelaslah bahwa pada komunikasi efektif unsur pemahaman dan keselarasan memegang peranan penting didalam penyampaian suatu informasi/pesan untuk merangsang penerima pesan agar mempunyai pemahaman yang samadan “bergerak” dalam kerangka pemahaman, pemikiran yang sama dengan pengirim pesan (Hutagalung. 2007: 66).


(42)

Menurut Darojah (2011: 21) proses komunikasi tersebut berupa transformasi nilai-nilai, pengetahuan, teknologi, dan keterampilan. Sedangkan objek sasaran yang menerima proses adalah siswa yang sedang tumbuh dan berkembang menuju ke arah pendewasaan kepribadian dan penguasaan pengetahuan. Untuk menjaga proses ini agar berlangsung dengan baik, dituntut adanya hubungan edukatif yang baik antara pengajar atau pendidik dengan anak didik atau siswa.

Kemampuan komunikasi merupakan salah satu bentuk keterampilan proses sains yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyampaikan atau menerima gagasan, ide baik secara lisan maupun tulisan, menggambarkan dan menyajikan hasil pengamatan secara visual dalam bentuk tabel, dan grafik. Berkomunikasi tidak hanya dapat dilakukan dengan komunikasi verbal, namun juga dapat menggunakan peta konsep, bagan, grafik, gambar, simbol-simbol dan diagram. Komunikasi yang nyata adalah komunikasi yang efektif, tepat, praktis dan tidak bermakna ganda (Dewi dalam Rohaeni, 2013: 22).

Untuk senantiasa berkomunikasi efektif dalam kehidupan sehari-hari, individu juga harus memahami tata cara berbicara yang baik untuk lebih memperkaya wawasan dalam melakukan komunikasi efektif seperti yang dinyatakan oleh Hutagalung (2007: 68-69), yaitu:

a. Lihatlah lawan bicara

Saat seseorang melakukan komunikasi, tataplah dan lihatlah lawan bicara dengan pandangan bersahabat. Janganlah menoleh kekiri atau kekanan selama pembicaraan berlangsung yang mengesankan kejenuhan atau kegelisahan terhadap lawan bicara, karena hal ini akan menimbulkan ketersinggungan. Pandangan ditujukan pada arah kening atau diantara


(43)

kedua mata lawan bicara dengan tatapan mata teduh (T zone) dan bukan dengan amarah atau pandangan yang sinis.

b. Suara harus terdengar jelas

Jika berkomunikasi dengan orang lain, suara yang dikeluarkan harus jelas terdengar. Jangan bergumam.

c. Ekspresi wajah yang menyenangkan

Wajah adalah cerminan hati. Jika anda selama berkomunikasi

menampakkan wajah cemberut, maka hal ini menggambarkan sifat anda yang tidak bersahabat dengan lawan bicara. Untuk itu tampilkanlah ekspresi wajah yang bersahabat selama komunikasi berlangsung d. Tata bahasa yang baik

Gunakanlah bahasa yang sesuai dengan kondisi dan situasi selama komunikasi berlangsung

e. Pembicaraan mudah dimengerti, singkat dan jelas

Selama komunikasi berlangsung, selain tata bahasa yang baik, perhatikan pula susunan kata-kata yang diucapkan. Jangan terlalu panjang, berbelit-belit, susah untuk dipahami

Elemen konsep komunikasi efektif menurut (Johnstone, et.al .2012: 2) meliputi teknik mendengarkan aktif seperti mengklarifikasi untuk

memastikan pemahaman. Ini juga mencakup empati terhadap sudut pandang orang lain, dengan ketertarikan terhadap sesuatu yang orang lain sampaikan. Rasa saling percaya penting untuk meningkatkan kejujuran sehingga


(44)

prasangka, atau bagaimana kita memandang orang lain, dan bagaimana yang dapat mempengaruhi komunikasi kita dengan orang tersebut.

Secara sederhana komunikasi dikatakan efektif bila orang berhasil

menyampaikan apa yang dimaksudkannya. Secara umum, komunikasi dinilai efektif bila rangsangan yang diberikan dan yang dimaksudkan oleh pengirim atau sumber, berkaitan erat dengan rangsangan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Adapun ukuran bagi komunikasi efektif yaitu, pemahaman, kesenangan, pemgaruh pada sikap, hubungan yang makin baik dan tindakan (Tubbs dan Moss. 2001 : 22-23).

Ditunjau dari sifatnya kemampuan komunikasi dibedakan menjadi kemampuan berkomunikasi tulisan dan komunikasi lisan (Effendi dalam Rohaeni, 2013 : 23).

a. Kemampuan komunikasi tulisan

Kemampuan komunikasi tulisan merupakan bagian dari Keterampilan Proses Sains (KPS), dimana komunikasi ini dilakukan melalui gambar, grafik, tabel dan bagan (Dewi dalam Rohaeni, 2013: 23).

b. Kemampuan komunikasi lisan

Kemampuan komunikasi lisan merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki setiap orang. Untuk komunikasi lisan, kemampuan

mendengarkan dan menyampaikan gagasan secara lisan perlu

dikembangkan. Kemampuan mendengarkan akan membuat orang mampu memahami isi pembicaraan orang lain, sementara lawan bicara merasa diperhatikan dan dihargai (Dewi dalam Rohaeni, 2013: 23).


(45)

Kemampua komunikasi lisan penting untuk dikembangkan dalam pembelajaran sains, kecakapan tersebut mncakup kemampuan untuk

menjelaskan ide-ide ilmiah dan konsep kepada audiens yang bervariasi baik secara formal maupun nonformal (Lie dalam Rohaeni, 2013: 24). Seperti yang dinyatakan oleh Rustaman, et. al (dalam Rohaeni, 2013: 24) bahwa komunikasi merupaka bagian dari keterampilan proses sains yang penting untuk dilatihkan opada peserta didik dalam pembelajaran biologi. Dalam pembelajaran biologi kemampuan komunikasi lisan dapat berupa

penyampaian informasi secara langsung salah satunya melalui kegiatan presentasi dan diskusi.

Presentasi merupakan cara penyampaian informasi satu arah dari penyampai berita kepada penerima berita. Berita atau laporan tersebut adalah mengenai suatu proyek atau kegiatan investigasi yang disampaikan secara lisan. Presentasi dilakukan untuk memberikan penjelasan mengenai suatu permasalahan dengan mengguanakan bahasa yang dapat dipahami oleh

audiens (Harris, et.al dalam Rohaeni, 2013: 24). Dalam pembelajaran biologi, presentasi digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran atau

menginformasikan hasil percobaan yang telah dilakukan.

Kriteria atau aspek berkomunikasi yang dapat diamati atau dinilai saat presentasi dan diskusi berlangsung menurut Stiggins (dalam Rohaeni, 2013: 23) adalah sebagai berikut:

a. Menyampaikan gagasan sesuai dengan topik


(46)

c. Meminta penjelasan pertanyaan d. Membuat catatan singkat dan jelas

e. Menarik siswa lainnya untuk terlibat diskusi

f. Tidak takut untuk menentukan sikap dan mempertahankannya.

Dalam suatu hasil konferensi musim panas pada tahun 1990 tentang penilaian komunikasi mengembangkan instrumen evaluasi yang disebut dengan The Competent Speaker mengidentifikasi standar untuk mengevaluasi delapan kompetensi dasar berbicara siswa. Hal ini menurut Morreale, et.al (dalam Brooks, Dunbar dan Kubicka. 2004: 8) yaitu (1) mampu memilih topik yang sesuai dan membatasinya sesuai dengan tujuan dan pendengar, (2)

mengkomunikasikan tujuan dari pidato dengan menggunakan cara yang tepat untuk pendengar, (3) menggunakan bahan pendukung yang sesuai untuk memenuhi tujuan wacana lisan, (4) menggunakan pola organisasi yang sesuai dengan topik, pendengar dan acara, (5) menggunakan bahasa yang sesuai dengan pendengar, (6) menggunakan beberapa tingkatan vokal serta intensitas yang bervariasi (7) artikulasi jelas, dan menggunakan tata bahasa dan

pengucapan yang benar, (8) menunjukkan perilaku nonverbal yang mendukung pesan verbal.

Kemampuan berkomunikasi lisan sering diartikan sebagai kemapuan berbicara. Menurut Tarigan (dalam Darojah, 2011: 20) berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Lebih lanjut diungkapkan bahwa berbicara merupakan suatu sistem


(47)

tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan (visible) yang memanfatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Berbicara

merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. Dengan demikian, berbicara itu lebih daripada sekedar hanya pengucapan bunyi atau kata-kata.

Senada dengan Tarigan, Hurlock (dalam Darojah, 2011: 20) menyatakan bahwa berbicara merupakan bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Berbicara

merupakan keterampilan mental-motorik yang melibatkan koordinasi otot mekanisme suara yang berbeda dengan mekanisme mengkaitkan arti dengan bunyi-bunyi yang dihasilkan.

Menurut Arsjad dan Mukti (dalam Darojah, 2011: 14), keterampilan berbicara dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu eksternal dan internal. Faktor internal adaalah segala potensi yang ada di dalam diri seseorang, baik fisik maupun nonfisik. Faktor fisik menyangkut kesempurnaan organ-organ berbicara seperti lidah, gigi, pita suara, bibir, dan lain-lain. Faktor-faktor nonfisik meliputi kepribadian, cara berpikir, intelektualitas, dan sebagainya.

Untuk dapat menjadi pembicara yang baik, harus berbicara secara efektif dan efisien selain menguasai masalah yang dibicarakan juga harus memperlihatkan keberanian. Selain itu pembicara harus berbicara dengan jelas dan tepat. Menurut


(48)

Arsjad dan Mukti (dalam Darojah, 2011: 26) terdapat dua faktor yang harus diperhatikan pembicara agar dapat berbicara secara efektif dan efisien, yaitu faktor kebahasaan dan faktor nonkebahasaan.

1. Faktor-Faktor Kebahasaan

a. Ketepatan Ucapan

Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat dapat mengalihkan perhatian pendengar. Hal ini dikarenakan pola ucapan dan artikulasi tidak selalu sama. Setiap orang memiliki gaya tersendiri dan gaya yang dipakai bisa berubah-ubah sesuai dengan pokok

pembicaraan, perasaan, dan sasaran. Akan tetapi, kalau perbedaan atau perubahan itu terlalu mencolok sehingga menjadi suatu penyimpangan, keefektifan komunikasi akan terganggu. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa yang tidak tepat atau cacat akan menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, kurang menarik atau sedikitnya mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap menyimpang jika terlalu jauh dari ragam bahasa lisan, sehingga terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi, atau pemakaiannya (pembicara) dianggap aneh. Selain itu, pembicara juga harus bisa menempatkan penggunaan istilah, sisipan bahasa asing atau daerah secara tepat dalam sebuah pembicaraan.

b. Penempatan Tekanan, Nada, Sendi, dan Durasi yang Sesuai Kesesuaian tekanan, nada, sendi, dan durasi merupakan daya tarik tersendiri dalam berbicara. Bahkan, bisa dikatakan sebagai faktor penentu dalam komunikasi. Walaupun masalah yang dibicarakan


(49)

kurang menarik tetapi dengan penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai akan membuat pembicaraan menjadi menarik. Sebaliknya, masalah yang menarik jika disampaikan dengan ekspresi datar akan menimbulkan kejenuhan dan keefektifan berbicarapun menjadi berkurang. Demikian juga halnya dalam pemberian tekanan pada kata atau suku kata. Tekanan suara yang biasanya jatuh pada suku kata terakhir atau suku kata kedua dari belakang tetapi ditempatkan pada suku kata pertama. Misalnya kata penyanggah, pemberani, dan kesempatan yang diberi tekanan pada pe-, pem-, dan ke- tentu

kedengarannya janggal. Jika hal ini terjadi, perhatian pendengar dapat beralih sehingga pokok pembicaraan yang disampaikan kurang diperhatikan.

c. Pilihan Kata (Diksi)

Pilihan kata yang digunakan oleh pembicara hendaknya jelas, tepat, dan bervariasi. Maksudnya, pendengar sebagai sasaran mudah mengerti maksud yang hendak disampaikan oleh pembicara. Sebaiknya

pembicara memilih menggunakan kata-kata yang populer dan konkret dengan variasi dan perbendaharaan kata yang banyak sehingga tidak monoton. Penggunaan kata-kata konkret yang menunjukkan aktivitas akan lebih mudah dipahami oleh pendengar. Selain itu, pemilihan kata-kata yang populer (diketahui secara luas) di masyarakat akan

mendukung keberhasilan mencapai tujuan pembicaraan. Sasaran pembicaraan adalah orang yang diajak berbicara atau pendengar. Pendengar akan lebih tertarik jika pembicara berbicara dengan jelas dalam bahasa yang dikuasainya. Oleh karena itu, pilihan kata yang tepat


(50)

yang disesuaikan dengan pokok pembicaraan merupakan kunci keberhasilan pembicaraan.

d. Ketepatan Sasaran Pembicaraan

Ketepatan sasaran pembicaraan berkaitan dengan penggunaan kalimat yang efektif dalam komunikasi. Ciri kalimat efektif ada empat, yaitu keutuhan, perpautan, pemusatan perhatian, dan kehematan. Keutuhan maksudnya setiap kata betul-betul merupakan bagian yang padu dari kalimat. Keutuhan kalimat akan rusak karena ketiadaan subjek atau adanya kerancuan. Perpautan memiliki makna bahwa pertalian unsur-unsur kalimat saling terkait dalam satu pokok bahasan dan saling mendukung sehingga tidak berdiri sendiri. Pemusatan perhatian dalam hal ini memiliki arti pembicaraan memiliki topik yang jelas dan tidak melebar kemana-mana. Fungsi kehematan memiliki arti bahwa kalimat yang digunakan singkat dan padat tetapi sudah mewakili atau mencakup topik yang dibicarakan sehingga tidak ada kata-kata yang mubazir. Sebagai sarana komunikasi, setiap kalimat terlibat dalam proses penyampaian dan penerimaan. Hal yang disampaikan dan diterima tersebut dapat berupa ide, gagasan, pengertian, atau informasi. Kalimat dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan

penerimaan berlangsung sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan tergambar lengkap dalam pikiran pendengar sama seperti yang disampaikan pembicara.

2. Faktor-Faktor Nonkebahasaan

Keefektifan berbicara tidak hanya didukung oleh faktor kebahasaan seperti yang telah diuraikan di atas, tetapi juga ditentukan oleh faktor


(51)

nonkebahasaan. Dalam sebuah pembicaraan, faktor nonkebahasaan ini sangat mempengaruhi keefektifan dalam berbicara.

a. Sikap Wajar, Tenang, dan Tidak Kaku

Seorang pembicara yang baik ketika berbicara di depan umum

seharusnya memiliki kemampuan yang baik dalam mengatur koordinasi tubuhnya. Hal ini dimaksudkan agar sikap tubuh tersebut mampu mendukung keberhasilan pembicaraan. Sikap tubuh yang ditunjukkan tersebut antara lain wajar, yaitu dengan tidak bersikap berlebihan seperti terlalu banyak berkedip dan menggunakan gerakan tangan yang tidak penting. Dari sikap yang wajar saja sebenarnya pembicara sudah dapat menunjukkan otoritas dan integritas dirinya. Tentu saja sikap ini sangat ditentukan oleh situasi, tempat, dan penguasaan materi.

Penguasaan materi yang baik setidaknya akan menghilangkan

kegugupan. Namun, bagaimanapun sikap ini memerlukan latihan agar terbiasa, sehingga rasa gugup akan hilang dan timbul sikap tenang dan wajar. Sikap tenang ditunjukkan dengan tidak terlihat grogi atau gelisah, tidak terlihat takut, tidak sering berpindah posisi dan sebagainya. Sikap yang fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan situasi pembicaraan akan mendukung keberhasilan pembicara dalam menyampaikan ide-idenya.

b. Pandangan Harus Diarahkan Kepada Lawan Bicara

Ketika berbicara di depan umum hendaknya seorang pembicara

mengarahkan pandangannya kepada lawan bicara. Hal ini dimaksudkan sebagai bagian dari bentuk penghormatan kepada lawan bicara. Selain itu, pembicara juga dapat mengetahui reaksi lawan bicara terhadap


(52)

pembicaraan yang disampaikannya, sehingga pembicara dapat memposisikan diri agar dapat menguasai situasi dengan baik. Pandangan yang hanya tertuju pada satu arah, akan menyebabkan pendengar merasa kurang diperhatikan. Agar perhatian pendengar tidak berkurang, hendaknya seorang pembicara mengusahakan pendengar merasa terlibat dan diperhatikan.

c. Kesediaan Menghargai Pendapat Orang Lain

Dalam menyampaikan isi pembicaraan, seorang pembicara hendaknya memiliki sikap terbuka dalam arti dapat menerima pendapat pihak lain, bersedia menerima kritik, dan bersedia mengubah pendapatnya jika ternyata pendapat tersebut tidak benar. Namun, tidak berarti pembicara begitu saja mengikuti pendapat orang lain dan mengubah pendiriannya, tetapi harus mempertahankan pendapat tersebut jika argumen tersebut benar-benar diyakini kebenarannya. Seorang pembicara yang baik selalu berusaha menghargai pendapat orang lain. Maksudnya, ketika berbicara tersebut seorang pembicara tidak menganggap bahwa pendapatnya paling baik dan paling benar. Jika hal tersebut terjadi, lawan bicara yang berbeda pendapat semakin tidak dapat menerima gagasan pembicara. Oleh karena itu, agar diperhatikan lawan bicaranya, seorang pembicara harus memiliki sikap mengapresiasi pendapat dan pola pikir lawan bicaranya.

d. Gerak-Gerik dan Mimik yang Tepat

Gerak-gerik dan mimik yang tepat juga mendukung keberhasilan tujuan pembicaraan seorang pembicara. Hal-hal yang penting selain mendapat tekanan, biasanya dibantu dengan gerak tangan atau mimik. Hal ini


(53)

dapat menghidupkan komunikasi agar tidak kaku. Dalam hal ini gerak-gerik pembicara dan mimik yang tepat dapat ditunjukkan untuk mendukung pembicaraan. Sebagai contohnya, ketika sedang

membicarakan kebahagiaan maka ekspresi wajah dan gerak tubuh juga harus menunjukkan mimik kegembiraan. Hal ini berbeda ketika sedang mengungkapkan ekspresi kepanikan maka harus didukung dengan mimik muka yang bingung, takut, gugup, dan sebagainya.

e. Kenyaringan Suara

Kenyaringan suara berkaitan dengan situasi tempat, jumlah pendengar, dan akustik. Situasi tempat berhubungan dengan tempat melakukan pembicaraan, apakah di dalam ruang tertutup atau di ruang terbuka. Jumlah pendengar juga mempengaruhi pembicara dalam mengatur volume suaranya. Semakin banyak jumlah pendengar, semakin keras volume suara pembicara agar mampu mengatasi situasi. Berbeda halnya jika jumlah pendengarnya hanya sedikit, pembicara tidak perlu

menggunakan volume suara yang keras atau bahkan sampai berteriak. Akustik yang dimaksud adalah apakah ada musik yang mengiringi pembicaraan tersebut. Jika ada, seorang pembicara harus

menyeimbangkan suaranya dengan suara musik agar pendengar tetap mampu menangkap isi pembicaraan dengan baik.

f. Kelancaran

Kelancaran yang dimaksud adalah penggunaan kalimat lisan yang tidak terlalu cepat dalam pengucapan, tidak terputus-putus, dan jarak antar kata tetap atau ajek. Kelancaran juga didukung oleh kemampuan olah vokal pembicara yang tepat tanpa ada sisipan bunyi /e/, /anu/, /em/, dan


(54)

sebagainya. Sebaliknya, pembicara yang terlalu cepat juga akan menyulitkan pendengar menangkap pokok pembicaraan. Jadi, hal yang menjadi titik pokok kelancaran adalah penggunaan kalimat yang ajek, tidak terlalu cepat, dan tidak terputus-putus sehingga pembicaraan lebih efektif.

g. Relevansi/Penalaran

Dalam sebuah pembicaraan seharusnya antar bagian dalam kalimat memiliki hubungan yang saling mendukung dan tidak bisa dipisahkan. Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan runtut. Proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan harus logis dan relevan. Relevansi atau penalaran berkaitan dengan tepat tidaknya isi

pembicaraan dengan topik yang sedang dibicarakan. Selain itu, relevansi juga berkaitan dengan apakah penggunaan kalimat-kalimat tersebut saling mendukung dalam konteks pembicaraan atau tidak. h. Penguasaan Topik

Penguasaan topik dalam sebuah pembicaraan memiliki arti yang penting. Hal ini dikarenakan seseorang yang menguasai topik dengan baik akan lebih mudah dalam meyakinkan pendengar. Misalnya, dalam hal menanamkan suatu ilmu, mempengaruhi, menyampaikan pendapat, dan menyampaikan sikap hidup kepada audiens akan berlangsung lebih efektif dan efisien. Jika seorang pembicara menguasai topik yang dibicarakannya dengan baik, pendengarpun akan lebih percaya dan apresiatif terhadap apa yang diungkapkan tersebut. Oleh karena itu, penguasaan topik yang baik akan menumbuhkan keberanian dan kelancaran yang mendukung keberhasilan pembicaraan.


(55)

Menurut Tarigan (dalam Darojah, 2011: 24) tujuan berbicara ada tiga, yaitu (1) memberitahukan, melaporkan (to inform), (2) menjamu, menghibur (to entertain), dan (3) membujuk, mengajak, mendesak, dan meyakinkan (to persuade). Singkatnya, semua orang dalam setiap kegiatan yang

menggunakan komunikasi sebagai sarananya perlu memiliki keterampilan berbicara. Terlebih lagi seorang pelajar dan pengajar dalam dunia pendidikan selalu membutuhkan komunikasi yang baik agar proses belajar mengajar bisa berjalan dengan lancar.

Dalam suatu kelompok belajar, setiap siswa harus mampu bekerja sama dengan baik untuk mencapai tujuan bersama. Sementara itu, menurut Jhonson (dalam Tran, 2012 : 2) terdapat beberapa hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan bersama tersebut, yaitu saling memahami dan percaya satu sama lain, berkomunikasi secara akurat dan tidak membingungkan, menerima dan mendukung satu sama lain, menyelesaikan permasalahan secara

konstruktif.

Komunikasi kelompok kecil diartikan sebagai “proses pertukaran pesan verbal dan nonverbal antara tiga orang atau lebih anggota kelompok yang bertujuan untuk saling mempengaruhi”. Komunikasi kelompok kecil dapat terjadi antara lain di masjid, gereja, dalam lingkungan sosial, dalam bidang pendidikan dan lain-lain. Dinamika kelompok adalah bidang penelitian yang menarik untuk dikaji, yang cenderung diarahkan pada komunikasi kelompok kecil yang berkecimpung dalam pemecahan masalh dan pembuatan


(56)

dilakukan sebagai cara untuk mnyempurnakan pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam kelompok (Tubbs dan Moss. 2001 : 17).

Mereka yang berbicara paling banyak dalam suatu diskusi kelompok kecil menurut Bostrom (dalam Tubbs dan Moss. 2001: 159-165), akan merasa puas terhadap diskusi itu dan mereka yang berpartisipasi paling sedikit merasa paling tidak puas. Jelas bahwa secara umum, berbicara lebih menyenangkan daripada mendengakan orang lain berbicara. Hal ini disebabkan beberapa faktor, meliputi memperoleh pengakuan sosial, mengemukakan topik yang sesuai dengan minat anda dan menarik perhatian orang lain untuk diri anda. Mendengarkan sesungguhnya suatu proses yang rumit yang melibatkan empat unsur: (1) mendengar, (2) memperhartikan, (3) memahami dan (4) mengingat. Mendengar merupakan proses fisiologis otomatik penerimaan rangsangan pendengaran. Memperhatikan rangsangan dilingkungan kita berarti memusatkan kesadaran kita pada rangsangan khusus. Memahami biasnya diartikan sebagai proses pemberian makna pada kata yang kita dengar , sesuai dengan makna yang dimaksudkan oleh si pengirim pesan. Mengingat adalah menyimpan informasi untuk diperoleh kembali.

Salah satu syarat untuk berkembangnya kemampuan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya adalah berkembangnya kemampuan komunikasi . Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan kemampuan tersebut antara lain adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjelaskan dan berargumentasi secara lisan atau tulisan,

mengajukan atau menjawab pertanyaan, dan berdiskusi baik dalam kelompok kecil maupun kelas (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007: 166-167).


(57)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2014 di SMP Negeri 3 Natar Lampung Selatan.

B. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII semester genap SMP Negeri 3 Natar Tahun Pelajaran 2013/2014 yang terdiri dari 7 kelas. Sampel dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VII B (sebagai kelompok eksperimen) dan kelas VII A (sebagai kelompok kontrol) yang dipilih dengan teknik purposive sampling (Sugiyono, 2009:83-84).

C. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pretes – postes kelompok tak ekuivalen (Sukardi, 2007: 186). Peneliti menggunakan secara utuh kelompok subyek yang telah ditentukan dan kelompok tersebut telah diorganisasikan dalam kelompok yaitu kelas-kelas. Kelas eksperimen diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, sedangkan kelas kontrol menggunakan metode diskusi. Hasil pretes, postes, dan gain pada kedua kelas kemudian dibandingkan.


(58)

Struktur desainnya adalah sebagai berikut:

Keterangan: I = Kelompok eksperimen, II = Kelompok kontrol, O1 = Pretest, O2 = Posttest, X = Perlakuan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, C = Perlakuan dengan metode diskusi

Gambar 3. Desain pretest – posttest kelompok tak ekuivalen (dimodifikasi dari Sukardi (2007: 186).

D. Prosedur Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu prapenelitian dan pelaksanaan penelitian. Kedua tahapan tersebut memiliki langkah-langkah sebagai berikut:

1. Prapenelitian

Kegiatan yang dilakukan pada tahap prapenelitian sebagai berikut: a. Membuat surat izin penelitian pendahuluan dari FKIP Universitas

Lampung ke SMP Negeri 3 Natar Lampung Selatan, tempat diadakannya penelitian.

b. Mengadakan observasi ke sekolah tempat diadakannya penelitian, untuk mendapatkan informasi tentang keadaan kelas yang diteliti. c. Menetapkan sampel penelitian untuk kelas eksperimen dan kelas

kontrol.

d. Membuat perangkat pembelajaran yang terdiri dari Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) beserta Lembar Kegiatan Siswa (LKS).

Kelompok Pretest Perlakuan Posttest

I O1 X O2 II O1 C O2


(59)

e. Membuat instrumen evaluasi yaitu soal pretest dan postest berupa soal pilihan jamak dengan empat alternatif jawaban dan uraian.

f. Membuat instrumen penelitian berupa lembar observasi kemampuan komunikasi lisan siswa.

g. Membuat angket tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

2. Pelaksanaan Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan dengan menerapkan pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw untuk kelas eksperimen dan menggunakan metode diskusi untuk kelas kontrol. Penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali pertemuan dengan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut:

Kelas Eksperimen (Pembelajaran dengan Model Jigsaw) 1) Kegiatan Pendahuluan

a. Siswa mengerjakan soal pretest mengenai keanekaragaman ciri-ciri makhluk hidup pada pertemuan pertama.

b. Siswa diberikan apersepsi oleh guru:

• Pertemuan I:

Siswa diminta untuk memukul teman sebelahnya, kemudian memukul meja yang berada di hadapannya. Guru bertanya bagaimana reaksi meja dan temanmu tersebut. Sehingga siswa dapat membedakan ciri benda mati dan makhluk hidup dari pertanyaan-pertanyaan yang ada.


(60)

• Pertemuan II:

Guru menampilkan gambar perubahan tanaman pisang dari tunas hingga dewasa, serta siswa diminta menjelaskan proses yang terjadi pada tanaman pisang tersebut.

c. Guru memberikan motivasi kepada siswa:

• Pertemuan I:

Guru memberikan informasi mengenai manfaat mempelajari materi keanekaragaman ciri-ciri makhluk hidup antara lain dapat mengklasifikasi makhluk hidup berdasarkan ciri-cirinya, serta dapat mengetahui morfologi serta fisiologi suatu makhluk hidup.

• Pertemuan II:

Guru menunjukkan bidang ilmu pengetahuan lain yang relevan dalam mempelajari identifikasi keanekaragaman ciri-ciri makhluk hidup seperti klasifikasi, morfologi, fisiologi, dan ilmu lainnya.

d. Siswa mendengarkan tujuan pembelajaran yang harus dicapai siswa diakhir pembelajaran. Siswa mendengarkan penjelasan guru mengenai langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.


(61)

2) Kegiatan Inti

a. Siswa mengkondisikan diri untuk duduk dalam kelompoknya masing-masing, setiap kelompok terdiri dari 4 orang

(pembagian kelompok dilakukan pada hari sebelumnya, yang terdiri dari 8kelompok yang heterogen berdasarkan hasil belajar/prestasi dan jenis kelamin).

b. Siswa dibagikan kartu nama yang warnanya berbeda (merah, kuning, hijau, dan biru) pada masing-masing anggota

kelompok yang berada dalam kelompok asal.

c. Siswa mengkondisikan diri berada dalam kelompok ahli sesuai dengan warna kartunya, yaitu siswa yang memiliki kartu merah berkumpul membentuk kelompok ahli pertama, siswa yang memiliki kartu kuning berkumpul membentuk kelompok ahli kedua, siswa yang memiliki warna kartu hijau berkumpul membentuk kelompok ahli ketiga, dan siswa yang memiliki warna kartu biru berkumpul membentuk kelompok ahli keempat.

d. Siswa berdiskusi dalam kelompok ahli untuk mengerjakan LKS pada pertemuan:

• Pertama:

a) Kelompok ahli 1 mendapatkan materi

keanekaragaman ciri makhluk hidup peka terhadap rangsang (iritabilitas).


(62)

b) Kelompok ahli 2 mendapatkan materi

keanekaragaman ciri makhluk hidup bergerak. c) Kelompok ahli 3 mendapatkan materi

keanekaragaman ciri makhluk hidup adaptasi. d) Kelompok ahli 4 mendapatkan materi

keanekaragaman ciri makhluk hidup ekskresi.

• Kedua:

a) Kelompok ahli 1 mendapatkan materi

keanekaragaman ciri makhluk hidup berkembang biak.

b) Kelompok ahli 2 mendapatkan materi

keanekaragaman ciri makhluk hidup tumbuh dan berkembang.

c) Kelompok ahli 3 mendapatkan materi

keanekaragaman ciri makhluk hidup bernapas. d) Kelompok ahli 4 mendapatkan materi

keanekaragaman ciri makhluk hidup memerlukan makan.

e. Setelah selesai dan paham, setiap siswa kembali ke kelompok asal dan menjelaskan kepada teman satu kelompoknya

mengenai hasil diskusi dengan kelompok ahli dengan cara bergantian.

f. Guru mengundi salah satu kelompok asal untuk


(63)

kelompok asal lain yang tidak presentasi, mendengarkan presentasi dengan rasa hormat dan perhatian, mengajukan pertanyaan serta memberikan tanggapan.

g. Siswa mendengarkan pembahasan dan pembenahan hasil presentasi yang belum lengkap dari guru.

3) Penutup

a. Siswa bersama guru menarik kesimpulan dari materi yang telah dipelajari.

b. Siswa bersama guru merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan.

c. Siswa mengerjakan posttest pada pertemuan kedua kemudian mengumpulkan hasil posttest yang telah dikerjakan.

Kelas Kontrol (Pembelajaran dengan Metode Dsikusi) 1) KegiatanPendahuluan

a. Siswa mengerjakan soal pre test mengenai mengenai keanekaragaman ciri-ciri makhluk hidup untuk pertemuan pertama.

b. Guru memberikan apersepsi kepada siswa :

• Pertemuan I :

Siswa diminta untuk memukul teman sebelahnya, kemudian memukul meja yang berada di hadapannya. Guru bertanya bagaimana reaksi meja dan temanmu tersebut. Sehingga siswa dapat membedakan ciri benda


(64)

mati dan makhluk hidup dari pertanyaan-pertanyaan yang ada.

• Pertemuan II :

Guru menampilkan gambar perubahan tanaman pohon pisang dari tunas hingga dewasa, serta siswa diminta menjelaskan proses yang terjadi pada tanaman pisang tersebut.

c. Guru memberikan motivasi kepada siswa :

• Pertemuan I :

Memberikan informasi mengenai manfaat mempelajari materi keanekaragaman ciri-ciri makhluk hidup antara lain dapat mengklasifikasikan makhluk hidup

berdasarkan ciri-cirinya, mengetahui morfologi serta fisiologi suatu makhluk hidup.

• Pertemuan II :

Menunjukkan bidang ilmu pengetahuan lain yang relevan dalam mempelajari identifikasi keanekaragaman ciri-ciri makhluk hidup seperti klasifikasi, morfologi, fisiologi, dan ilmu lainnya.

d. Guru menyampaikan materi yang akan dipelajari dan tujuan pembelajaran, keterampilan sosial, dan karakter yang harus dicapai.


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan komunikasi lisan siswa pada pembelajaran pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.

2. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.

B. Saran

Untuk kepentingan penelitian, maka penulis menyarankan sebagai berikut: 1. Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Jigsaw dapat digunakan oleh guru sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar aspek kognitif siswa pada materi pokok ciri-ciri makhluk hidup.

2. Dalam mengerjakan pretest dan postes sebaiknya dilakukan di hari yang berbeda dengan hari yang digunakan untuk melakukan proses belajar mengajar agar tidak mengganggu waktu proses pembelajaran.


(2)

78

3. Peningkatan kemampuan komunikasi lisan dalam penelitian ini diamati secara sederhana berdasarkan beberapa aspek saja, oleh karena itu disarankan untuk peneliti selanjutnya untuk meneliti kemampuan komunikasi lisan siswa dengan aspek-aspek yang lebih kompleks,

sehingga dapat diketahui peningkatan kemampuan komunikasi lisan siswa dengan lebih akurat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ainy, C. 2000. Model Kooperatif Tipe Jigsaw dalam Pengajaran Matematika di SD. (Tesis). Universitas Negeri Surabaya. Surabaya.

Amri, S, dan I.K, Ahmadi. 2010. Kontruksi Pengembangan Pembelajaran. Prestasi Pustakaraya. Jakarta.

Amrina, Z. 2004. Hubungan Antara Gaya Kognitif dengan Hasil Belajar Matematka Siswa Kelas II SMU Negeri di Kota Padang. Jurnal

Pembelajaran Vol 207 No 1 April 2004. Universitas Negeri Padang Press. Padang.

Arikunto, S. 2007. Penilaian Program Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta. . 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta. Brooks, Norah dan Kubicka. 2004. The Assesment of Oral Communication.

California State University. Long Beach.

http://www.csulb.edu (3 Januari 2014; 13.09 WIB).

Céline dan Desbar. 2011. The jigsaw technique and self-efficacy of vocational training students: a practice report (Jurnal). Instituto Superior de Psicologia Aplicada. Portugal.

http://lapsco.univ-bpclermont.fr/sites/darnon/files/2010/10/Darnon-Buchs-Desbar-2012.pdf (24 Desember 2013; 19.00 WIB).

Darojah, R.U. 2011. Peningkatan Kemampuan Berbicara Melaporkan Dengan Media Film Animasi Siswa Kelas VIII SMPN 12 Yogyakarta (Skripsi). Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta.

Depdiknas. 2003. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Dimyati dan Mujiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. Djamarah. 2008. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. Jakarta.


(4)

80

Eggen dan Kauchak. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Indeks. Jakarta. Hake, R.R. 1998. Interactive-Engagement Versus Traditional Methods: A

Six-Thousand-Student Survey of Mechanics Test Data for Introductory Physics Course. Am. J. Phys., Vol. 66, No. 1 [Online]

http://web.mit.edu/rsi/www/2005/misc/ minipaper/papers/Hake.pdf (18 Juni 2014; 09:15 WIB).

Hastriani, A. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Pencapaian Konsep dalam Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa SMP (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Hidayati, A. N, Rustaman, N, S. Redjeki dan Munandar. 2011. Training of Trainer Berorientasi Higher Order Learning Skills dan Pengaruhnya pada Prestasi serta Performance Guru. (Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2011). Kerjasama FKIP Unila-HEPI. Bandar Lampung.

Hutagalung,Inge. 2007. Pengembangan Kepribadian. PT Indeks . Bekasi. Isjoni. 2010. Cooperative Learning. Alfabeta. Bandung.

Jauhar, M. 2011. Implementasi PAIKEM:Dari Behavioristik Sampai Kontruktivistik. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.

Johnstone, Fidelie dan W. Robinson. 2012. An Instrument For Assesing Communication Skills of Healthcare and Human Services Students . http://ijahsp.nova.edu/articles/Vol10Num4/pdf/Johnston.pdf (13 Desember 2013 : 12.13 WIB)

Kam-wing. 2004. Using ‘Jigsaw II’ in Teacher Education Programmes (Jurnal) .The Hong Kong Institute of Education. Hongkong.

http://edb.org.hk/hktc/download/journal/j3/9.pdf (10 Desember 2013;10:09WIB).

Khoerul, E. 2012. Taksonomi Bloom Revisi.

http://ekokhoerul.wordpress.com/2012/08/11/taksonomi-bloom-revisi/ (6 Desember 2013; 08:20 WIB).

Loranz, D. 2008. TMCC Program and Discipline Report. http://www.gbcnv.edu (3 Januari 2014: 11.37 WIB).

Melizawati, A. 2011.Pengaruh Penggunaan Model Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas XI pada Materi Pokok Sistem Ekskresi di SMA Negeri 1 Tanjungbintang (Skirpsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(5)

Napitupulu, E.L. 2013. Prestasi Sains dan Matematika Indonesia Menurun. http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/14/09005434/Prestasi.Sains.dan.M atematika.Indonesia.Menurun (22 Februari 2013: 10.00 WIB).

Nur, M. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Jawa Timur. DEPDIKNAS.

Pratiwi. 2009. Pengaruh pembelajaran kooperatif tipe jigsaw Terhadap prestasi belajar siswa kelas VII di SMP Negeri I batang tahun ajaran 2008/2009 (Skripsi). Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Pratisto, A. 2004. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 17. Bumi Aksara. Jakarta.

Purwanto, N. 2008. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Remaja Rosda Karya. Bandung.

Rahayu, S.P. 2010. Deskripsi Sikap Siswa terhadap Lingkungan Melalui Pendekatan Pengungkapan Nilai (Values Clarification Approach) pada Kelas VII MTs Guppi Natar (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Rohaeni, M.A. 2013. Penerapan Peer Assessment Pada Model Pembelajaran Jigsaw Untuk Menilai Kemampuan Berkomunikasi Lisan Siswa SMP Materi Pencemaran Lingkungan (Skripsi). Universitas Pendidikan Indonesia:. Bandung.

Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sanjaya, W. 2009. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Kencana.

Jakarta.

Santrock, W.J. 2011. Educational Psychology. Salemba Humanika. Jakarta. Slavin, R. E. 2008. Cooperative Learning : Teori, Riset dan Praktik. Nusa Media.

Bandung.

Sudijono, A. 2005. Pengantar Evaluasi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sudjana. 2002. Metoda Stastitika. Tarsito. Bandung.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R &D. Alfabeta. Bandung.

Sukardi. 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan: Kompetisi dan Praktiknya. Bumi Aksara. Jakarta.


(6)

82

Tran, Van Dat. 2012. The Effects of Jigsaw Learning on Students’ Attitudes in a Vietnamese Higher Education Classroom (Jurnal). La Trobe University. Melbourne.http://www.sciedu.ca/journal/index.php/ijhe/article/download/11 15/613 (3 Desember 2013; 10.00 WIB).

Tubbs, L dan S. Moss . 2001. Human Communication Prinsip-prinsip Dasar. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. PT Imperial Bhakti Utama. UPI Bandung

Trianto. 2009. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi konstruktivistik. Prestasi Pustaka. Jakarta.

. 2009. Mendesain model pembelajaran inovatif-progresif. Kencana. Surabaya.

Wisnuwardhani, D dan S.F. Mashoedi. 2012. Hubungan Interpersonal. Salemba Humanika. Jakarta.

Wardhani, S dan Rumiati. 2011. Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Kementrian Pendidikan Nasional. Yogyakarta.

Yati, E. 2008. Peningkatan Aktivitas dan Penguasaan Konsep Menggunakan Metode Kooperatif tipe Jigsaw (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung.


Dokumen yang terkait

PENGERUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA PADA KONSEP CAHAYA (KUASI EKSPERIMEN DI SDN CIRENDEU III, TANGERANG SELATAN)

1 5 177

Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil belajar siswa pada konsep rangka dan panca indera manusia: penelitian kuasi eksperimen di Kelas IV MI Al-Washliyah Jakarta

0 5 172

Upaya meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kelas II dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw di Mi Al-Amanah Joglo Kembangan

0 6 103

Perbedaan Peningkatan Hasil Belajar Antara Siswa Yang Diajar Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dengan Pembelajaran Konvensional Pada Konsep Protista

0 18 233

Upaya meningkatkan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Stad (Student Teams Achievement Division) pada pembelajaran IPS kelas IV MI Miftahul Khair Tangerang

0 13 0

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Kemampuan Kerjasama dan Hasil Belajar

1 15 62

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Kemampuan Kerjasama dan Hasil Belajar

2 72 149

Pengaruh Penggunaan Model Kooperatif Tipe Jigsaw Menggunakan Strategi Peta Konsep (Concept MAP) Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa

0 25 295

PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN STAD TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA Pengaruh Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Dan STAD Terhadap Hasil Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Belajar Siswa.

0 4 16

PERBEDAAN PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DAN TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR FISIKA DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR SISWA

1 2 13