Pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil belajar siswa pada konsep rangka dan panca indera manusia: penelitian kuasi eksperimen di Kelas IV MI Al-Washliyah Jakarta

(1)

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF

TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA

PADA KONSEP RANGKA DAN PANCA INDERA

MANUSIA

(Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas IV MI Al-Washliyah Jakarta)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

HERU HENDRIAWAN NIM: 809018300771

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2014


(2)

(3)

(4)

(5)

i

ABSTRAK

Heru Hendriawan, “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Rangka dan Panca Indera Manusia”. (Penelitian Kuasi Eksperimen di Kelas IV MI Al-Washliyah Jakarta Timur). Skripsi, Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil belajar siswa. Penelitian ini dilakukan di MI Al-Washliyah Jakarta Timur pada bulan September 2013. Metode penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan melibatkan 24 siswa kelas IV-A sebagai kelas eksperimen dan siswa kelas IV-B sebagai kelas kontrol. Instrumen yang digunakan adalah tes berbentuk pilihan ganda yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Berdasarkan hasil penghitungan uji hipotesis melalui uji-t pada taraf signifikansi 5% dan dk = 38 diperoleh nilai > yaitu 4,419 > 2,0205. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis penelitian diterima. Oleh karena itu maka, hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw berpengaruh terhadap hasil belajar siswa pada konsep Rangka dan Panca Indera Manusia.


(6)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT., yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan umat manusia, nabi Muhammah SAW., yang telah membimbing umatnya dari alam kegelapan menuju ke alam terang benderang.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana (Strata 1) pada Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Jurusan Kependidikan Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih banyak kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa’i, MA, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Fauzan, MA., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI).

3. Ibu Kinkin Suartini, M.Pd., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mencurahkan pikirannya untuk memberikan bimbingan, nasehat, dan arahan kepada penulis selama menyusun skripsi ini.

4. Bapak/Ibu dosen dan para staf di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya di Jurusan PGMI yang telah memberikan bantuan dan dukungannya.

5. Segenap pimpinan dan karyawan/karyawati perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas fasilitas yang diberikan untuk studi pustaka.

6. Kepala Sekolah, guru-guru dan para siswa MI Al-Washliyah Jakarta yang telah banyak membantu dalam penelitian untuk penulisan skripsi ini.


(7)

iii

7. Ayahanda dan Ibunda serta isteri tercinta atas dorongan moril dan materil, doa-doa yang selalu dipanjatkan buat penulis serta kasih sayang yang telah dicurahkannya.

8. Rekan-rekan mahasiswa khususnya di jurusan PGMI Dual Mode Sistem yang turut membantu memberikan saran dan motivasi kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, secara terbuka penulis menerima setiap kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan laporan ini di masa yang akan datang. Walaupun demikian, penulis tetap berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi semua yang berkepentingan.

Jakarta, Maret 2014

Penulis


(8)

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Pembatasan Masalah ... 5

D. Perumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 7

A. Deskripsi Teoretis ... 7

1. Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif ... 7

a. Definisi Pembelajaran Kooperatif ... 7

b. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif ... 9

c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif ... 11

d. Tujuan Pembelajaran Kooperatif ... 13

e. Prosedur Pembelajaran Kooperatif ... 14

f. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif ... 16

2. Model Pembelajaran Koopereratif Tipe Jigsaw ... 18

a. Pengertian Jigsaw ... 18

b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw ... 20


(9)

v

3. Hasil Belajar ... 23

a. Pengertian Hasil Belajar ... 23

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar ... 25

c. Pengukuran Hasil Belajar ... 26

B. Hasil Penelitian yang Relevan ... 27

C. Kerangka Berpikir ... 28

D. Pengajuan Hipotesis ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A. Metode dan Desain Penelitian ... 30

B. Prosedur Penelitian ... 31

C. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

D. Populasi dan Sampel ... 32

E. Teknik Sampling ... 32

F. Teknik Pegumpulan Data ……….. ... 32

G. Instrumen Penelitian ... 33

H. Teknik Analisis Data ... 37

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Deskripsi Data ... 39

B. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 40

1. Uji Normalitas ... 40

2. Uji Homogenitas ... 40

3. Uji Hipotesis ... 41

C. Hasil Pengujian Hipotesis ... 41

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 42

E. Hasil Observasi ... 43

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

A. Kesimpulan ... 44

B. Saran-saran ... 44


(10)

vi DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Desain Nonequivalent Control Group ... 30

Tabel 3.2 Kriteria Reliabilitas ... 35

Tabel 3.3 Kelompok Tingkat Kesukaran ... 35

Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda ... 36

Tabel 4.1 Rekapitulasi Ukuran Pemusatan dan Penyebaran Data Hasil Pretes-Postes Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... ... 39

Tabel 4.2 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Chi-Kuadrat ... 40

Tabel 4.3 Hasil Perhitungan Uji Homogenitas ... 40

Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Uji-t ... 41


(11)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kisi-Kisi Instrumen Tes Untuk Uji Coba ... ... 47

Lampiran 2 Uji Validitas, Reliabilitas, dan Daya Pembeda ... ... 55

Lampiran 3 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Eksperimen 67 Lampiran 4 Pencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Kelas Kontrol ... 91

Lampiran 5 Lembar Kerja Siswa (LKS) ... ... 102

Lampiran 6 Hasil Pretes Kelas Eksperimen ... ... 123

Lampiran 7 Hasil Pretes Kelas Kontrol ... ... 127

Lampiran 8 Hasil Postes Kelas Eksperimen ... ... 131

Lampiran 9 Hasil Postes Kelas Kontrol ... ... 135

Lampiran 10 Uji Normalitas ... ... 139

Lampiran 11 Uji Homogenitas ... ... 144

Lampiran 12 Uji Hipotesis ... ... 147

Lampiran 13 Hasil Observasi Kegiatan Siswa ... ... 150


(12)

viii

DAFTAR GAMBAR


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan dan perkembangan pendidikan adalah hal yang memang seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus-menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan.

Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Keberhasilan pendidikan dipengaruhi oleh perubahan dan pembaharuan dalam segala unsur-unsur yang mendukung pendidikan. Adapun unsur-unsur tersebut adalah siswa, guru, alat/media belajar, metode, materi dan lingkungan pendidikan. Semua unsur tersebut saling terkait dalam mendukung tercapainya tujuan pendidikan.

Perkembangan dunia pendidikan dari tahun ke tahun mengalami perubahan seiring dengan tantangan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing di zaman globalisasi. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum, sertifikasi guru, pengadaan buku dan alat pelajaran serta perbaikan sarana dan prasarana pendidikan. Namun demikian, mutu pendidikan yang dicapai belum seperti apa yang diharapkan. Perbaikan yang telah dilakukan pemeritah tidak akan ada artinya jika tanpa dukungan dari guru, orang tua, siswa dan masyarakat.

Berbicara tentang mutu pendidikan tidak akan lepas dengan proses belajar mengajar, dimana dalam proses belajar mengajar guru harus mampu menjalankan tugas dan peranannya, sehingga akan tercipta suatu kondisi lingkungan belajar yang kondusif. Kegiatan proses pembelajaran merupakan kegiatan paling pokok dalam keseluruhan pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung kepada bagaimana proses pembelajaran yang dialami peserta didik atau siswa.


(14)

2

Masalah utama dalam pendidikan formal dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari rata-rata hasil belajar peserta didik yang relatif rendah. Proses pembelajaran di sekolah/madrasah pada umumnya belum menampakkan sistem belajar mengajar yang mengajak siswa untuk aktif berfikir dan bertindak melakukan penggalian potensi yang ada padanya.1 Sikap yang demikian mungkin disebabkan karena metode pembelajaran yang digunakan oleh guru kurang bervariasi, serta materi pelajaran yang relatif lebih sukar. Hal ini secara tidak langsung sangat mempengaruhi rendahnya hasil belajar siswa. Keadaan ini merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dan tidak mengajak siswa untuk bersikap lebih aktif selama proses pembelajaran.

Mata pelajaran IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit oleh kebanyakan siswa. Oleh karena itu mata pelajaran IPA termasuk mata pelajaran yang membutuhkan variasi model pembelajaran pada saat penyampaiannya. Rendahnya rata-rata hasil belajar IPA tidak terlepas dari peranan guru dalam proses belajar mengajar. Pada umumnya, dalam mengajarkan konsep-konsep IPA, guru masih menganut teori tabula rasa, yaitu memindahkan pengetahuan dari pikiran guru ke dalam pikiran siswa secara utuh.2 Pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada umumnya dengan cara menceramahkan konsep-konsep, prinsip-prinsip dan hukum-hukum dalam bentuk yang sudah jadi kepada siswa. Guru menganggap pembelajaran dengan cara ini sudah berhasil, namun sesungguhnya siswa belum belajar secara aktif karena dalam pikiran siswa tidak terjadi perkembangan struktur kognitif, sehingga ada kecenderungan siswa kurang tertarik dengan mata pelajaran yang disampaikan oleh gurunya tersebut.

Seorang guru yang profesional dituntut untuk dapat menampilkan keahliannya sebagai guru di depan kelas. Komponen yang harus dikuasai adalah antara lain menggunakan bermacam-macam model pembelajaran yang bervariasi yang dapat menarik minat belajar siswa dan guru tidak hanya cukup dengan memberikan ceramah di depan kelas. Hal ini tidak berarti bahwa metode ceramah tidak baik, melainkan pada suatu saat siswa akan menjadi bosan apabila hanya guru sendiri yang berbicara, sedangkan siswa hanya duduk, diam dan mendegarkan saja. Kebosanan dalam mendengarkan uraian guru dapat mematikan semangat belajar siswa. Selain itu, ada pokok bahasan yang memang kurang tepat untuk disampaikan melalui metode ceramah

1 Zuhriyah, Pengaruh Pmbelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) dengan Teknik Jigsaw

Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005, h. 3 2 Ibid


(15)

3

dan lebih efektif disampaikan melalui metode lain. Oleh karena itu, seorang guru perlu menguasai berbagai model pembelajaran agar suasana kelas menjadi lebih hidup dan tidak membosankan bagi siswa.3

Setiap model pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu dengan segala kelebihan dan kelemahan masing-masing. Suatu model pembelajaran mungkin baik untuk suatu tujuan, konsep, maupun situasi dan kondisi tertentu, tetapi tidak tepat untuk siatuasi lain. Demikian pula, suatu model pembelajaran yang dianggap baik dalam mempelajari suatu konsep yang disampaikan oleh guru tertentu, kadang-kadang belum tentu berhasil dibawakan oleh guru lain.

Model pembelajaran dapat digunakan untuk mengarahkan kegiatan siswa ke arah tujuan yang akan dicapai. Oleh sebab itu, sebaiknya seorang guru harus menguasai beberapa model pembelajaran untuk melaksanakan proses belajar mengajar. Teori dan praktek pendidikan modern memperhatikan siswa bukan sebagai penerima yang pasif dan banyak membutuhkan pengawasan, tetapi harus diarahkan sebagai anak yang aktif berfikir dan bertindak melakukan penggalian potensi yang ada pada diri siswa.

Cara untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang membawa kepada siswa aktif, salah satu model pembelajaran yang berorientasi pada siswa aktif adalah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning). Model pembelajaran ini bisa melatih siswa aktif. Model pembelajaran ini berbasis pada gotong royong.4 Falsafah yang mendasari model pembelajaran gotong royong dalam pendidikan adalah falsafah homo homini sicius. Berlawanan dengan teori Darwin, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial.5 Kerja sama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau sekolah. Penggunaan secara efektif keterampilan-keterampilan kooperatif menjadi semakin penting untuk mengembangkan sikap saling bekerja sama, mempunyai rasa tanggung jawab dan mampu bersaing secara sehat. Sikap yang demikian akan membantu pribadi yang berhasil dalam menghadapi tantangan pendidikan yang lebih tinggi yang berorientasi pada kelompok.

Menurut Johnson dan Johnson cooperative learning adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama

3Ibid., h. 4

4 Anita Lie, Cooperative Learning, (Jakarta: Grasindo, 2010), Cet. 7, h. 28

5 Agus Suprijono, Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi Paikem, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), Cet. ke-10, h. 56.


(16)

4

dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.6

Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (student oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain. Model pembelajaran ini telah terbukti dapat dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan berbagai usia.7

Ada banyak alasan mengapa cooperative learning tersebut mampu memasuki mainstream (kelaziman) praktek pendidikan. Selain bukti-bukti nyata tentang keberhasilan pendekatan ini, pada masa sekarang masyarakat pendidikan semakin menyadari pentingnya para siswa berlatih berfikir, memecahkan masalah, serta menggabungkan kemampuan dan keahlian. Walaupun memang pendekatan ini akan berjalan baik di kelas dengan kemampuan siswa yang bervariasi lebih membutuhkan pendekatan ini.Karena dengan mencampurkan para siswa dengan kemampuan yang beragam tersebut, maka siswa yang kurang akan sangat terbantu dan termotivasi siswa yang lebih. Demikian juga siswa yang lebih akan semakin terasah kemampuannya. Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah tipe Jigsaw. Model pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Mengajar serta diajar oleh sesama siswa merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran. Pemilihan anggota dalam setiap kelompok juga harus diperhatikan agar pembelajaran optimal. Keanggotaan kelompok sebaiknya bersifat heterogen, baik dari segi kemampuan maupun karakteristik lainnya.8

Beberapa alasan lain yang menyebabkan model Jigsaw perlu diterapkan sebagai model pembelajaran yaitu tidak adanya persaingan antar siswa atau kelompok. Mereka bekerjasama untuk menyelesaikan masalah dalam mengatasi jalan pikiran yang berbeda. Siswa dalam kelompok bertanggung jawab atas penguasaan materi belajar yang ditugaskan padanya lalu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota yang lain. Siswa juga senantiasa tidak hanya mengharapkan bantuan dari guru serta siswa termotivasi untuk belajar cepat dan akurat seluruh materi. Dengan demikian, jika model

6 Isjoni, Cooperative LearningEfektifitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung: Alfabeta, 2012), Cetakan ke-6, h. 17

7Ibid


(17)

5

pembelajaran ini diterapkan dalam proses pembelajaran, maka akan terjadi pembelajaran student centered, bukan teacher centered.

Melalui model pembelajaran Jigsaw diharapkan dapat memberikan solusi dan suasana baru yang menarik dalam pengajaran sehingga memberikan pengalaman belajar dengan konsep baru. Pembelajaran Jigsaw membawa konsep pemahaman inovatif dan menekankan keaktifan siswa, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan memiliki banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis terdorong untuk mencoba menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw yang diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA. Oleh karena itu, penulis mengangkat judul dalam skripsi ini: “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa pada Konsep Rangka dan Panca

Indera Manusia”. B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, beberapa masalah dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Hasil belajar siswa MI pada mata pelajaran IPA secara umum masih relatif rendah dikarenakan kurangnya minat siswa dalam mengikuti proses pembelajaran.

2. Proses pembelajaran IPA selama ini lebih menekankan pada pencapaian tuntutan kurikulum dan penyampaian materi sehingga siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran.

3. Model pembelajaran yang digunakan guru dalam proses pembelajaran sangat monoton sehingga perlu adanya upaya dari guru untuk menerapkan model pembelajaran yang bersifat menyenangkan sehingga dapat mendorong siswa aktif dalam pembelajaran.

C.Pembatasan Masalah

Agar masalah dalam penelitian ini tidak terlalu luas ruang lingkupnya, maka penelitian ini dibatasi pada:

1. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dalam penelitian ini adalah model Jigsaw yang diadaptasi dari Slavin, namun langkah-langkahnya telah disederhanakan oleh Isjoni.


(18)

6

2. Hasil belajar pada penelitian ini dibatasi pada hasil belajar pada ranah kognitif, yang meliputi kemampuan mengingat (C1) dan kemampuan memahami (C2).

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan pembatasan masalah, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah berpengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap hasil belajar siswa pada konsep Rangka dan Panca Indera Manusia?”

E. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw terhadap peningkatan hasil belajar siswa pada konsep Rangka dan Panca Indera Manusia.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:

1. Meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPA melalui proses pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.

2. Memberikan masukan bagi guru tentang alternatif model pembelajaran yang membuat siswa kooperatif dalam proses pembelajaran IPA.


(19)

7

BAB II

DESKRIPSI TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR,

DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Deskripsi Teoretis

1. Konsep Dasar Pembelajaran Kooperatif a. Definisi Pembelajaran Kooperatif

Secara etimologi, dalam bahasa Inggris, kooperatif (to cooperative) berarti bekerja bersama-sama. Pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai sistem kerja/belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur pokok, yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.1

Kagan mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai suatu strategi instruksional yang melibatkan interaksi siswa secara kooperatif dalam mempelajari suatu topik sebagai bagian integral dari proses pembelajaran.2 Sedangkan Jacob menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu metode instruksional dimana siswa dalam kelompok kecil bekerja sama dan saling membantu dalam menyelesaikan tugas akademik.3

Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivistik. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.4

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang

1 Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Dirjen Pendis Depag RI, 2009), h. 232

2Ibid. 3Ibid.

4 Mohammad Jauhar, Implementasi Paikem dari Behavioristik Sampai Konstruktivistik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2011), h. 52


(20)

8

mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Setiap kelompok akan memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif. Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok dan keterampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok. Setiap individu akan saling membantu, mereka akan mempunyai motivasi untuk keberhasilan kelompok, sehingga setiap individu akan memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi demi keberhasilan kelompok.5

Model pembelajaran kooperatif beranjak dari dasar pemikiran “getting better

together”, yang menekankan pada pemberian kesempatan belajar yang lebih luas dan

suasana yang kondusif dimana siswa dapat memperoleh dan mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, serta keterampilan-keterampilan sosial yang bermanfaat bagi kehidupannya di masyarakat.6 Melalui pembelajaran kooperatif, siswa bukan hanya belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru dalam PBM, melainkan bisa juga belajar dari siswa lainnya dan sekaligus mempunyai kesempatan untuk membelajarkan siswa yang lain.

Dengan interaksi belajar yang efektif siswa lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berfikir tingkat tinggi, serta mampu membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran kooperatif memungkinkan semua siswa dapat menguasai materi pada tingkat penguasaan yang relatif sama atau sejajar. Pada saat siswa belajar dalam kelompok akan berkembang suasana belajar yang terbuka dalam dimensi kesejawatan, karena pada saat itu akan terjadi proses belajar kolaboratif dalam hubungan pribadi yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar dalam kelompok kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya (peer group) dan belajar secara bekerjasama (cooperative).7

Pada strategi pembelajaran kooperatif, guru bukan lagi berperan sebagai satu-satunya nara sumber dalam PBM, tetapi berperan sebagai mediator, stabilisator, dan manajer pembelajaran. Iklim belajar yang berlangsung dalam suasana keterbukaan dan demokratis akan memberikan kesempatan yang optimal bagi siswa untuk memperoleh

5 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet. Ke-8, h. 242

6 Masitoh dan Laksmi Dewi, loc. cit.


(21)

9

informasi yang lebih banyak mengenai materi yang dibelajarkan dan sekaligus melatih sikap dan keterampilan sosialnya sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat, sehingga perolehan dan hasil belajar siswa akan semakin meningkat.

Pada model pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar siswa dapat bekerjasama di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan-pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan.8

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang sistematis dimana siswa bekerja pada kelompok-kelompok kecil dan di dalam kelompok-kelompok kecil tersebut siswa belajar dan saling bekerja sama satu dengan yang lainnya untuk sampai pada pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun kelompok.

Di dalam kelompok tersebut siswa dapat saling berdiskusi dan berargumen serta membantu teman sekelompok yang mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran. Jadi, kegiatan tersebut akan membantu siswa-siswi yang lemah untuk dapat memahami materi dan memberikan penguatan terhadap siswa yang pintar.

b. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif

Pembelajaran kooperatif berbeda dengan strategi pembelajaran yang lain. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari proses pembelajaran yang lebih menekankan kepada proses kerja sama dalam kelompok. Tujuan yang ingin dicapai tidak hanya kemampuan akademik dalam pengertian penguasaan bahan pelajaran, tetapi juga adanya unsur kerja sama untuk penguasaan materi tersebut. Adanya kerja sama inilah yang menjadi ciri khas dari pembelajaran kooperatif.

Slavin, Abrani, dan Chambers dalam Hamruni berpendapat bahwa belajar melalui kooperatif dapat dijelaskan dari beberapa perspektif, yaitu perspektif motivasi, perspektif sosial, perspektif perkembangan kognitif, dan perspektif elaborasi kognitif.9 Perspektif motivasi artinya bahwa penghargaan yang diberikan kepada kelompok memungkinkan setiap anggota kelompok akan saling membantu. Dengan demikian, keberhasilan setiap individu pada dasarnya adalah keberhasilan kelompok. Hal

8 Jauhar, op. cit., h. 53


(22)

10

semacam ini akan mendorong setiap anggota kelompok untuk memperjuangkan keberhasilan kelompoknya.

Perspektif sosial artinya bahwa melalui kooperatif setiap siswa akan saling membantu dalam belajar karena mereka menginginkan semua anggota kelompok memperoleh keberhasilan. Bekerja secara tim dengan mengevaluasi keberhasilan sendiri oleh kelompok, merupakan iklim yang bagus, di mana setiap anggota kelompok menginginkan semuanya memperoleh keberhasilan.

Perspektif perkembangan kognitif artinya bahwa dengan adanya interaksi antara anggota kelompok dapat mengembangkan prestasi siswa untuk berfikir mengolah berbagai informasi. Sedangkan elaborasi kognitif artinya bahwa setiap siswa akan berusaha untuk memahami dan menimba informasi untuk menambah pengetahuan kognitifnya. Dengan demikian, karakteristik strategi pembelajaran kooperatif dijelaskan di bawah ini.

1) Pembelajaran Secara Tim

Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran secara tim. Tim merupakan tempat untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, tim harus mampu membuat setiap siswa belajar. Semua anggota tim (anggota kelompok) harus saling membantu untuk mencapai tujuan pembelajaran. Untuk itulah, kriteria keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh keberhasilan tim.

Setiap kelompok bersifat heterogen. Artinya, kelompok terdiri atas anggota yang memiliki kemampuan akademik, jenis kelamin, dan latar belakang sosial yang berbeda. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota kelompok dapat saling memberikan pengalaman, saling memberi dan menerima, sehingga diharapkan setiap anggota dapat memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kelompok.

2) Didasarkan pada Manajemen Kooperatif

Sebagaimana pada umumnya, manajemen mempunyai empat fungsi pokok, yaitu fungsi perencanaan, fungsi organisasi, fungsi pelaksannan, dan fungsi kontrol. Demikian juga dalam pembelajaran kooperatif. Fungsi perencanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif memerlukan perencanaan yang matang agar proses pembelajaran berjalan secara efektif, misalnya tujuan apa yang harus dicapai, bagaimana cara mencapainya, apa yang harus digunakaan untuk mencapai tujuan itu dan lain sebagainya. Fungsi pelaksanaan menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif harus dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, melalui langkah-langkah pembelajaran


(23)

11

yang sudah ditentukan termasuk ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati bersama. Fungsi organisasi menunjukkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pekerjaan bersama antar setiap anggota kelompok, oleh sebab itu perlu diatur tugas dan tanggung jawab setiap anggota kelompok. Fungsi kontrol menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif perlu ditentukan kriteria keberhasilan, baik melalui tes maupun non tes.

3) Kemauan untuk Bekerja Sama

Keberhasilan pembelajaran kooperatif ditentukan oleh keberhasilan secara kelompok. Oleh sebab itu, prinsip bekerja sama perlu ditekankan dalam proses pembelajaran kooperatif. Setiap anggota kelompok bukan saja harus diatur tugas dan tanggung jawab masing-masing, akan tetapi juga ditanamkan perlunya saling membantu. Misalnya, siswa yang pintar perlu membantu siswa yang kurang pintar.

4) Keterampilan Bekerja Sama

Kemauan untuk bekerja sama itu kemudian dipraktikkan melalui aktivitas dan kegiatan yang tergambarkan dalam keterampilan bekerja sama. Dengan demikian, siswa perlu didorong untuk mau dan sanggup berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota lain. Siswa perlu dibantu mengatasi berbagai hambatan dalam berinteraksi dan berkomunikasi, sehingga setiap siswa dapat menyampaikan ide, mengemukakan pendapat, dan memberikan kontribusi kepada keberhasilan kelompok.

c. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif

Wina Sanjaya mengemukakan bahwa terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, seperti dijelaskan di bawah ini.10

1) Prinsip Ketergantungan Positif (Positive Interdependence)

Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.

Untuk terciptanya kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok masing-masing perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya. Tugas tersebut tentu saja disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah


(24)

12

hakikat ketergantungan positif, artinya tugas kelompok tidak mungkin bisa diselesaikan manakala ada anggota yang tak bisa menyelesaikan tugasnya, dan semua ini memerlukan kerja sama yang baik dari masing-masing anggota kelompok. Anggota kelompok yang mempunyai kemampuan lebih, diharapkan mau dan mampu membantu temannya untuk menyelsaikan tugasnya.

2) Tanggung Jawab Perseorangan (Individual Accountability)

Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap aggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggug jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama.

3) Interaksi Tatap Muka (Face to Face Promotion Interaction)

Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing. Kelompok belajar kooperatif dibentuk secara heterogen, yang berasal dari budaya, latar belakang sosial, dan kemampuan akademik yang berbeda. Perbedaan semacam ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok.

4) Partisipasi dan Komunikasi (Perticipation Communication)

Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif, guru perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. Tidak setiap siswa mempunyai keterampilan berkomunikasi, misalnya kemampuan mendengarkan dan kemampuan berbicara, padahal keberhasilan kelompok ditentukan oleh partisipasi setiap anggotanya.

Untuk dapat melakukan partisipasi dan komunikasi, siswa perlu dibekali dengan kemampuan-kemampuan berkomunikasi. Misalnya, cara menyatakan ketidaksetujuan


(25)

13

atau cara menyanggah pendapat orang lain secara santun, tidak memojokkan, cara menyampaikan gagasan dan ide-ide yang dianggapnya baik dan berguna.

Keterampilan berkomunikasi memang memerlukan waktu. Siswa tak mungkin dapat menguasainya dalam waktu sekejap. Oleh sebab itu, guru perlu terus melatih dan melatih, sampai pada akhirnya setiap siswa memiliki kemampuan untuk menjadi komunikator yang baik.

d. Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Muslimin Ibrahim dkk., dalam Trianto mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial.11 Berikut ini akan dijelaskan tiga tujuan pembelajaran kooperatif tersebut.

1) Hasil Belajar Akademik

Tujuan yang pertama dari diterapkannya pembelajaran kooperatif adalah untuk meningkatkan hasil belajar. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif dapat memberi keuntungan baik bagi siswa kelompok bawah maupun siswa kelompok atas. Siswa kelompok atas maksudnya adalah akan menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah, jadi memperoleh bantuan khusus bagi teman sebaya yang memiliki orientasi yang sama. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok atas akan meningkat kemampuan akademiknya karena memberi pelayanan sebagai tutor membutuhkan pemikiran lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang terdapat di dalam materi-materi tertentu.

2) Penerimaan Terhadap Perbedaan Individu

Tujuan yang kedua dari pembelajaran kooperatif adalah penerimaan terhadap perbedaan-perbedaan yang dimiliki setiap individu. Dengan pembelajaran kooperatif, siswa dapat menerima berbagai perbedaan yang luas misalnya perbedaan ras, budaya,

11 Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), Cetakan ke-4, h. 59.


(26)

14

kelas sosial, kemampuan, maupun ketidakmampuan. Dari sini dapat disimpulkan, dengan pembelajaran kooperatif dapat memberikan peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain.

3) Pengembangan Keterampilan Sosial

Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat dimana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan dimana masyarakat secara budaya semakin beragam.

Dalam pembelajaran kooperatif, siswa tidak hanya mempelajari materi pelajaran. Mereka juga harus mempelajari keterampilan interpersonal agar dapat bekerja bersama secara produktif. Keterampilan ini dikenal sebagai keterampilan kooperatif. Lundgren membagi keterampilan kooperatif dalam tiga tingkatan, yaitu:12 (a) Keterampilan kooperatif tingkat awal, meliputi berbagi tugas, mendorong

partisipasi, dan mengundang orang lain untuk berbicara.

(b) Keterampilan kooperatif tingkat menengah, meliputi medengarkan dengan aktif, bertanya, membuat ringkasan, dan menerima tanggung jawab.

(c) Keterampilan kooperatif tingkat akhir, meliputi mengelaborasi, memeriksa ketepatan dan menetapkan tujuan.

Keterampilan kooperatif ini bertujuan untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar kelompok selama kegiatan.

e. Prosedur Pembelajaran Kooperatif

Prosedur pembelajaran kooperatif pada prinsipnya terdiri atas empat tahap yaitu: penjelasan materi, belajar dalam kelompok, penilaian, dan pengakuan tim.13

12 Zulfiani dkk., Strategi Pembelajaran Sains. (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 133


(27)

15

1) Penjelasan Materi

Tahap penjelasan diartikan sebagai proses penyampaian pokok-pokok materi pelajaran sebelum siswa belajar dalam kelompok. Tujuan utama dalam tahap ini adalah pemahaman siswa terhadap pokok materi pelajaran. Pada tahap ini guru memberikan gambaran umum tentang materi pelajaran yang harus dikuasai yang selanjutnya siswa akan memperdalam materi dalam pembelajaran kelompok (tim). Pada tahap ini guru dapat menggunakan metode ceramah, curah pendapat, dan tanya jawab, bahkan kalau perlu guru menggunakan metode demonstrasi. Di samping itu, guru juga dapat menggunakan berbagai media pembelajaran agar proses penyampaian dapat lebih menarik siswa.

2) Belajar dalam Kelompok

Setelah guru menjelaskan gambaran umum tentang pokok-pokok materi pembelajaran, selanjutnya siswa diminta untuk belajar pada kelompoknya masing-masing yang telah dibentuk sebelumnya. Pengelompokan dalam model pembelajaran kooperatif bersifat heterogen, artinya kelompok dibentuk berdasarkan perbedaan-perbedaan setiap anggotanya, baik perbedaan-perbedaan gender, latar belakang agama, sosial-ekonomi, dan etnik, serta perbedaan kemampuan akademik. Dalam hal kemampuan akademis, Anita Lie mengatakan bahwa kelompok pembelajaran biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang. Selanjutnya, Lie menjelaskan beberapa alasan lebih disukainya pengelompokan heterogen. Pertama, kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung. Kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antar ras, agama, etnis, dan gender. Terakhir, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapatkan satu asisten untuk setiap tiga orang. Melalui pembelajaran dalam tim siswa didorong untuk melakukan tukar-menukar (sharing) informasi dan pendapat, mendiskusikan permasalahan secara bersama, membandingkan jawaban mereka, dan mengoreksi hal-hal yang kurang tepat.

3) Penilaian

Penilaian dalam strategi pembelajaran kooperatif bisa dilakukan dengan tes atau kuis. Tes atau kuis dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok. Tes individual nantinya akan memberikan informasi kemampuan setiap siswa, dan tes


(28)

16

kelompok akan memberikan informasi kemampuan setiap kelompok. Hasil akhir setiap siswa adalah penggabungan keduanya dan dibagi dua. Nilai setiap kelompok memiliki nilai sama dalam kelompoknya. Hal ini disebabkan nilai kelompok adalah nilai bersama dalam kelompoknya yang merupakan hasil kerja sama setiap anggota kelompok.

4) Pengakuan Tim

Pengakuan tim (team recognition) adalah penetapan tim yang dianggap paling menonjol atau tim paling berprestasi untuk kemudian diberikan penghargaan atau hadiah. Pengakuan dan pemberian penghargaan tersebut diharapkan dapat memotivasi tim untuk terus berprestasi dan juga membangkitkan motivasi tim lain untuk lebih mampu menigkatkan prestasi mereka.

f. Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif

Sebagaimana telah diketahui bahwa tidak ada satu model pembelajaran pun yang paling baik di antara model pembelajaran yang lain. Demikian halnya dengan model pembelajaran kooperatif ini, tentu memiliki keunggulan dan kelemahan.

1) Keunggulan Model Pembelajaran Kooperatif

Keunggulan pembelajaran kooperatif sebagai suatu strategi pembelajaran diantaranya:14

(a) Melalui model pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berfikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain. (b) Model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkaan kemampuan

mengungkapkan ide atau gagasan dengan kata-kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.

(c) Model pembelajaran kooperatif dapat membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan. (d) Model pembelajaran kooperatif dapat membantu memberdayakan setiap siswa

untuk lebih bertanggungjawab dalam belajar.

(e) Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang cukup ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif


(29)

17

dengan yang lain, mengembangkan keterampilan me-manage waktu, dan sikap positif terhadap sekolah.

(f) Melalui model pembelajaran kooperatif dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya sendiri, menerima umpan balik. Siswa dapat berpraktik memecahkan masalah tanpa takut membuat kesalahan, karena keputusan yang dibuat adalah tanggung jawab kelompoknya.

(g) Model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi nyata (riil). (h) Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan

memberikan rangsangan untuk berpikir. Hal ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang.

2) Kelemahan/Keterbatasan Model Pembelajaran Kooperatif

Di samping keunggulan, model pembelajaran kooperartif juga memiliki keterbatasan, di antaranya:15

(a) Untuk memahami dan mengerti filosofis model pembelajaran kooperatif memang butuh waktu. Sangat tidak rasional kalau kita mengharapkan secara otomatis siswa dapat mengerti dan memahami filsafat cooperative learning. Untuk siswa yang dianggap memiliki kelebihan, contohnya, mereka akan merasa terhambat oleh siswa yang dianggap kurang memiliki kemampuan. Akibatnya, keadaan semacam ini dapat mengganggu iklim kerja sama dalam kelompok.

(b) Ciri utama dari model pembelajaran kooperatif adalah bahwa siswa saling membelajarkan. Oleh karena itu, jika tanpa peer teaching yang efektif, maka dibandingkan dengan pengajaran langsung dari guru, bisa terjadi cara belajar yang demikian apa yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak pernah dicapai oleh siswa.

(c) Penilaian yang diberikan dalam model pembelajaran kooperatif didasarkan kepada hasil kerja kelompok. Namun demikian, guru perlu menyadari bahwa sebenarnya hasil atau prestasi yang diharapkan adalah prestasi setiap individu siswa.

(d) Keberhasilan model pembelajaran kooperatif dalam upaya mengembangkan kesadaran berkelompok memerlukan periode waktu yang cukup panjang, dan hal ini tidak mungkin dapat tercapai hanya dengan satu kali atau sekali-sekali penerapan strategi ini.


(30)

18

(e) Walaupun kemampuan bekerja sama merupakan kemampuan yang sangat penting untuk siswa, akan tetapi banyak aktivitas dalam kehidupan yang hanya didasarkan kepada kemampuan secara individual. Oleh karena itu, idealnya melalui model pembelajaran kooperatif selain siswa belajar bekerja sama, siswa juga harus belajar bagaimana membangun kepercayaan diri. Untuk mencapai kedua hal itu, dalam model pembelajaran kooperatif memang bukan pekerjaan yang mudah.

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Seperti telah diuraikan di atas bahwa pembelajaran kooperatif memiliki beberapa model, salah satunya adalah jigsaw. Jigsaw merupakan salah satu variasi dari model pembelajaran kooperatif yang pertama kali dikembangkan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas pada tahun 1978.16 Jigsaw kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman pada tahun 1980 di Universitas John Hopkins. Jigsaw yang dikembangkan oleh Aronson dikenal dengan jigsaw I, kemudian jigsaw yang dikembangkan oleh Slavin dikenal dengan nama jigsaw II. Perbedaan antara jigsaw I dan jigsaw II terletak pada waktu pelaksanaan, dimana waktu pelaksanaan jigsaw I lebih singkat dibandingkan dengan jigsaw II. Selain itu, dalam pembelajaran jigsaw I siswa menyelesaikan permasalahan yang berbeda dalam kelompok ahli, sedangkan dalam jigsaw II siswa menyelesaikan permasalahan yang sama dalam kelompok ahli. Jigsaw yang dikembangkan oleh Slavin lebih praktis dan mudah diterapkan ketika proses pembelajaran sedang berlangsung.

a. Pengertian Jigsaw

Pembelajaran kooperatif jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal. Arti jigsaw dalam bahasa Inggris adalah gergaji ukir dan ada juga yang menyebutnya dengan istilah puzzle yaitu sebuah teka-teki menyusun potongan gambar. Pembelajaran kooperatif model jigsaw ini mengambil pola cara bekerja sebuah gergaji (zigzag), yaitu siswa melakukan suatu

16 Robert E. Slavin, Cooperatif Learning: Teori, Riset dan Praktik, (Jakarta: Nusamedia, 2005), h.


(31)

19

kegiatan belajar dengan cara bekerja sama dengan siswa lain untuk mencapai tujuan bersama.17

Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins.18

Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggung jawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggung jawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri atas dua atau tiga orang.

Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: (a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; (b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.19

Model pembelajaran jigsaw ini dikenal juga dengan kooperatif para ahli. Karena anggota setiap kelompok dihadapkan pada permasalahan yang berbeda. Tetapi permasalahan yang dihadapi setiap kelompok sama, setiap utusan dalam kelompok yang berbeda membahas materi yang sama, kita sebut sebagai “tim ahli” yang bertugas membahas permasalahan yang dihadapi, selanjutnya hasil permasalahan itu dibawa ke kelompok asal dan disampaikan pada anggota kelompoknya.20

Dalam model pembelajaran jigsaw ini akan memungkinkan masing-masing siswa yang tergabung dalam kelompok ahli, akan menjadi seorang ahli dalam

17 Rusman, Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), Edisi ke-2, h. 217.

18 Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010), Cet. Ke-1, h. 94.

19 Rusman, Loc. Cit. 20Ibid, hal. 219


(32)

20

mengumpulkan informasi, konsep dan kemampuan lainnya yang terkait dengan topik yang mereka pelajari. Pemikiran dasar dari tipe ini adalah memberikan kesempatan siswa untuk berbagi dengan yang lain, mengajar serta diajar oleh sesama siswa merupakan bagian penting dalam proses belajar dan sosialisasi yang berkesinambungan.

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota kelompoknya yang lain. Dengan demikiaan, siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan.

b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli. Kelompok asal, yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada kelompok asal. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut:21

Gambar 2.1 Gambar Ilustrasi Kelompok Jigsaw

21Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, op. cit., h. 96

1 2 3 4

1 2 3 4

1 2 3 4

1 2 3 4

1 1 1 1

2 2 2 2

3 3 3 3

4 4 4 4


(33)

21

Untuk pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, disusun langkah- langkah pokok sebagai berikut:22

1) Tahap pertama, siswa dikelompokkan dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Pembentukan kelompok-kelompok siswa tersebut dapat dilakukan guru berdasarkan pertimbangan tertentu.

Untuk mengoptimalkan manfaat belajar kelompok, keanggotaan kelompok seyogyanya heterogen, baik dari segi kemampuannya maupun karakteristik lainnya. Dengan demikian, cara yang efektif unuk menjamin heterogenitas kelompok ini adalah guru yang membuat kelompok-kelompok itu. Jika siswa dibebaskan membuat kelompok sendiri maka biasanya siswa akan memilih teman-teman yang saangat disukainya, misalnya teman sesama jenis, sesama etnik, dan sama dalam kemampuan.

Hal ini cenderung menghasilkan kelompok-kelompok yang homogen dan sering kali siswa tertentu tidak masuk dalam kelompok manapun. Oleh karena itu, memberikan kebebasan siswa untuk membentuk kelompok sendiri bukanlah cara yang baik, kecuali guru membuat batasan-batasan tertentu sehingga dapat menghasilkan kelompok-kelompok yang heterogen. Pengelompokan secara acak juga dapat digunakan, khusus jika pengelompokan itu terjadi pada awal tahun ajaran baru dimana guru baru sedikit mempunyai informasi tentang siswa-siswanya. Jumlah siswa yang bekerja sama dalam masing-masing kelompok harus dibatasi, agar kelompok-kelompok yang terbentuk dapat bekerja sama secara efektif, karena ukuran suatu kelompok mempengaruhi kemampuan produktivitasnya. Dalam hal ini, Soejadi mengemukakan, jumlah anggota dalam satu kelompok apabila makin besar, dapat mengakibatkan makin kurang efektif kerja sama antara para aggotanya.

Menurut Edward, kelompok yang terdiri dari empat orang terbukti sangat efektif. Sedangkan Sudjana mengemukakan, beberapa siswa dihimpun dalam satu kelompok dapat terdiri 4-6 orang siswa. Jumlah yang paling tepat menurut hasil penelitian Slavin adalah hal itu dikarenakan kelompok yang beranggotakan 4-6 orang lebih sepaham dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibandingkan dengan kelompok yang beranggotakan 2-4 orang.

22Isjoni, Cooperative Learning: Efektivitas Pembelajaran Kelompok, (Bandung: Alfabeta, 2012), Cet. 6, h. 54


(34)

22

2) Tahap kedua, setiap anggota kelompok ditugaskan untuk mempelajari materi tertentu. Kemudian siswa-siswa atau perwakilan dan kelompoknya masing-masing bertemu dengan anggota-anggota dan kelompok lain yang mempelajari materi yang sama. Selajutnya materi tersebut didiskusikan sehingga perwakilan tersebut dapat memahami dan menguasai materi tersebut.

3) Tahap ketiga, setelah masing-masing perwakilan tersebut dapat menguasai materi yang ditugaskannya, kemudian masing-masing perwakilan tersebut kembali ke kelompok masing-masing atau kelompok asalnya. Selanjutnya masing-masing anggota tersebut saling menjelaskan pada teman satu kelompoknya sehingga teman satu kelompoknya dapat memahami materi yang ditugaskan guru.

4) Tahap keempat, siswa diberi tes/kuis. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui apakah siswa sudah dapat memahami suatu materi.

Sedangkan peranan guru dalam pembelajaran kooperatif tipe jigsaw antara lain:23

(a) Menyampaikan tujuan pembelajaran dengan jelas.

(b) Menempatkan siswa secara heterogen dalam kelompok-kelompok kecil (3-5 orang dalam setiap kelompoknya).

(c) Menyampaikan tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, baik tugas individu maupun tugas kelompok dengan sejelas-jelasnya.

(d) Memantau berlangsungnya kerja kelompok-kelompok kecil yang telah dibentuk untuk mengetahui bahwasanya kegiatan berlangsung dengan lancar. Dalam hal ini guru menyediakan kesempatan kepada siswa dengan seluas-luasnya untuk memperoleh pengalaman belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. (e) Mengevaluasi hasil belajar siswa melalui tes tertulis/tes lisan secara acak. Penilaian

dilakukan terhadap proses dan hasil.

c. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw

Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memiliki kelebihan dan juga kekurangan. Berikut ini kelebihn dan kekurangan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yang dikemukakan oleh Jill Parker:24

1) Merupakan cara yang efisien dalam mempelajari suatu materi.

23Ibid


(35)

23

2) Membangun pengetahuan secara mendalam.

3) Memperlihatkan kemampuan siswa dan menghilangkan kesalahpahaman. 4) Membangun pemahaman konseptual.

5) Mengembangkan kerja tim dan kemampuan bekerja sama.

Selain memiliki kelebihan-kelebihan, model pembelajaran tipe Jigsaw juga memiliki beberapa kekurangan, seperti yang diungkapkan oleh Jill Parker berikut ini:25 1) Membutuhkan waktu yang lebih lama.

2) Siswa harus dilatih dalam menggunakan metode ini. 3) Membutuhkan jumlah grup yang sama.

4) Dalam pengaturan kelas dapat menimbulkan masalah.

Untuk mengambil manfaat dan mengatasi kekurangan-kekurangan dari model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw tersebut, maka guru perlu membuat perencanaan-perencanaan yang sebaik-baiknya, dan juga diperlukan simulasi atau latihan dalam menerapkan model pembelajaran ini.

3. Hasil Belajar

a. Pengertian Hasil Belajar

Kata “hasil” dalam kamus Bahasa Indonesia berarti sesuatu yang menjadi akibat dari usaha. Kata hasil sering dikaitkan dengan kata prestasi, hal ini karena arti prestasi itu adalah hasil yang telah dicapai. Adapun yang dimaksud dengan hasil belajar sebagaimana dituliskan dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yaitu “penguasaan pengetahuan keterampilan terhadap mata pelajaran yang dibuktikan melalui tes”.26

Menurut Dimyati dan Mudjiono, hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan evaluasi hasil belajar baik dengan ulangan maupun tes. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan berakhirnya pembelajaran dalam periode tertentu dan merupakan puncak dari proses belajar.27

25 http://www.broward.k12.fi.us/ci/strategies_and_such/strategies/jigsaw.html

26 Peter Salim dan Yani Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English, 1991), h. 359

27


(36)

24

Proses pembelajaran yang baik akan menghasilkan hasil belajar yang baik pula. Hasil belajar menurut penulis merupakan tingkat penguasaan siswa terhadap materi pelajaran sebagai akibat dari perubahan prilaku setelah mengikuti proses pembelajaran berdasarkan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Hasil belajar itu akan diukur dengan sebuah tes.

Hasil belajar harus menunjukkan suatu perubahan tingkah laku atau perolehan perilaku yang baru dari siswa yang bersifat menetap, fungsional, positif, dan disadari. Nana Sudjana menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya.28

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley membagi tiga macam hasil belajar, yakni (a) Keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap, (e) keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom secara garis besar membaginya membagi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.29

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu peristiwa yang bersifat internal pada diri seseorang setelah meklakukan kegiatan belajar. Suatu peristiwa ini ditandai dengan perubahan perilaku dan pengetahuan seseorang terhadap apa yang dipelajarinya. Kemudian hasil belajar dapat diperoleh dengan melakukan proses evaluasi atau penilaian terhadap perubahan perilaku dan pengetahuan tersebut.

b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Menurut Muhibbin Syah terdapat dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar, yaitu faktor internal (faktor dari dalam) dan faktor eksternal (faktor dari luar).30

1) Faktor Internal (a) Faktor Fisiologi

28Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010), h. 22

29

Nana Sudjana, loc. cit.


(37)

25

Faktor fisiologi meliputi kondisi fisik dan panca indera. Proses belajar seseorang akan terganggu jika kesehatan seseorang terganggu, selain itu juga ia akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, ngantuk jika badannya lemah ataupun ada gangguan fungsi alat inderanya serta tubuhnya.

(b) Faktor Psikologi

Faktor psikologi meliputi: bakat, minnat, kecerdasan, motivasi, dan kemampuan kognitif.

2) Faktor Eksternal

(a) Faktor lingkungan sosial.

Faktor lingkungan sosial meliputi lingkungan sosial sekolah dan limgkungan sosial siswa. Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas. Adapun lingkungan sosial siswa diantaranya masyarakat dan tetangga juga teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Namun lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktek pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan letak rumah, semuanya dapat memberi dampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan belajar dan hasil belajar yang dicapai siswa.

(b) Faktor lingkungan non sosial.

Faktor lingkungan non sosial meliputi kurikulum atau bahan pelajaran, sarana dan pasilitas, metode pembelajaran, administrasi dan manajemen. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.

Faktor-faktor di atas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempegaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang bersifat conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor eksternal) umpamanya, biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seseorang yang berintelegensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orang tuanya (faktor eksternal) mungkin akan memilih pendekatan yang lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Jadi, karena faktor-faktor di ataslah, muncul siswa-siswa yang berprestasi tinggi dan siswa–siswa yang berprestasi rendah atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan professional diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa yang


(38)

26

menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.

c. Pengukuran Hasil Belajar

Hasil belajar ini dapat diketahui dari proses penilaian, yaitu kegiatan membandingkan hasil pengukuran (skor) sifat suatu objek dengan acuan yang relevan sedemikian rupa sehingga diperoleh suatu kualitas kuantitatif.

Pengukuran hasil belajar dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya yaitu pengukuran secara tertulis, pengukuran secara lisan dan pengukuran melalui observasi. Setiap cara/prosedur memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Prosedur mana yang harus dipilih tergantung pada berbagai faktor yaitu: jenis kemampuan yang diukur, jumlah siswa, dan waktu yang tersedia.

Dalam pembelajaran IPA, prosedur lisan pada umumnya jarang dilakukan, mengingat jumlah siswa yang banyak sedangkan waktunya terbatas. Adapun prosedur yang banyak dilakukan ialah prosedur tertulis dan observasi. Prosedur tertulis dipakai untuk mengukur hasil belajar yang sifatnya kognitif dan afektif. Sedangkan prosedur observasi digunakan untuk mengukur hasil belajar yang sifatnya psikomotor.

Setiap pengukuran, baik melalui prosedur tertulis maupun prosedur observasi, memerlukan alat ukur tertentu yang tetap. Alat ukur dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yakni “tes” dan “bukan tes”. Tes adalah kumpulan pertanyaan atau soal yang harus dijawab oleh siswa dengan menggunakan pengetahuan-pengetahuan serta kemampuan penalarannya.

Alat ukur yang bukan tes mencakup angket, skala sikap, dan sebagainya. Tes dapat diklasifikasikan ke dalam dua golongan yakni tes uraian dan tes obyektif. Perbedaannya ialah tes uraian meminta jawaban uraian siswa yag disusun siswa dengan memilih salah satu jawaban dari beberapa alternatif jawaban yang telah disediakan atau membutuhkan satu atau beberapa kata atau symbol untuk melengkapi pernyataan yang belum sempurna.

B. Hasil Penelitian yang Relevan

Berikut ini merupakan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Hasil penelitian pendukung yang dimaksud yaitu hasil penelitian penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada pembelajaran IPA, antara lain:


(39)

27

1. Fauziyati, dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Perubahan Kenampakan Permukaan Bumi.” Hasil analisis datanya menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar IPA siswa yang diberikan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw lebih tinggi yaitu sebesar 76,50 dari pada hasil belajar IPA siswa yang tidak diberi perlakuan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw yaitu sebesar 62,33. Berdasarkan uji hipotesis menggunakan uji-t, diperoleh sebesar 4,78 dan

sebesar 2,81. Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh metode

pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil belajar siswa.31

2. Zuhriyah, dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Dengan Teknik Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa”, yang mengembangkan perangkat pembelajaran metode jigsaw pada pelajaran Biologi, menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan hasil nilai siswa yang diajarkan dengan menggunakan jigsaw dengan siswa yang tidak diajarkan dengan metode jigsaw. Hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran tipe jigsaw lebih tinggi dari pada hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan metode pembelajaran konvensional. Hal ini terbukti dari rata-rata hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran kooperatif yaitu 73,9 sedangkan rata-rata hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional adalah 49,9.32

3. Abdul Fatah, dalam skripsinya yang berjudul “Pengaruh Metode Cooperative Learning Teknik Jigsaw Dengan Mengintegrasikan Nilai-nilai Terhadap Hasil Belajar Biologi”, membuktikan bahwa terdapat pengaruh yang positif dan signifikan pada penggunaan model pembelajaran kooperatif teknik jigsaw dengan mengintegrasikan nilai-nilai terhadap peningkatan hasil belajar Biologi siswa. Pengaruh ini dapat dilihat dari perbedaan rata-rata hasil belajar yang diperoleh antara kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol, yakni terdapat selisih rata-rata

31 Fauziyati, Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe jigsaw Terhadap Hasil Belajar Siswa

pada Konsep Perubahan Kenampakan Permukaan Bumi, Skripsi pada Program Dual Mode System, Jurusan PGMI, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012, h. 47, Tidak dipublikasikan

32 Zuhriyah, Pengaruh Pembelajaran Kooperatif (cooperative Learning) dengan Teknik Jigsaw Terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, 2005, h. 54. Tidak dipublikasikan


(40)

28

skor hasil belajar sebesar 10,575 antara kelas eksperimen (83,875) dan kelas kontrol (73,3).33

4. Mareta Dwi Satuti, dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe jigsaw Terhadap Hasil Belajar Kimia Siswa Pada Konsep Laju Reaksi”, mengungkapkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dalam proses pembelajaran di kelas eksperimen mempunyai pengaruh yang lebih baik terhadap hasil belajar Kimia siswa pada konsep Laju Reaksi. Hal ini dibuktikan dengan lebih tingginya nilai rata-rata kelas eksperimen (70.15) dibangdingkan dengan nilai rata-rata kelas kontrol (57,87).34

C. Kerangka Berfikir

Mata pelajaran IPA di sekolah dasar (SD/MI) mengandung bahan kajian yang mempelajari makhluk hidup dan aspek-aspek kehidupan, juga mempelajari tentang gejala dan fenomena alam sekitar serta berusaha untuk mengungkap segala rahasia dan hukum semesta. Dalam mengembangkan pembelajaran IPA di kelas hendaknya ada keterlibatan aktif siswa dalam pembelajaran untuk menemukan sendiri pengetahuan melalui interaksinya dalam lingkungan, sehingga pada akhirnya siswa dapat memahami konsep-konsep IPA secara benar dan utuh serta memecahkan masalah integratif.

Untuk itu diperlukan proses pembelajaran yang dapat mengembangkan berbagai kemampuan siswa. Hal ini seperti dibantu dengan peer learning yaitu proses belajar bersama teman sebaya dan guru berperan sebagai fasilitator sekaligus moderator dan pembimbing melalui penerapan pendekatan pembelajaran kooperatif. Dalam pembelajaran kooperatif, peran dan keaktifan siswa yang diutamakan untuk menjalani proses pembelajaran. Siswa diberi kesempatan bersama dengan teman-temannya untuk dapat saling belajar secara berkelanjutan, dibiasakan saling bekerjasama dalam proses pembelajaran.

Dalam pembelajaran kooperatif dengan teknik jigsaw diberikan kesempatan bukan hanya sekedar belajar tetapi juga saling mengajarkan satu sama lain sehingga

33 Abdul Fatah, Pengaruh Metode Cooperative Learning Teknik Jigsaw dengan Mengintegrasikan Nilai-nilai Terhadap Hasil Belajar Biologi, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 2008, h. 92, Tidak dipublikasikan

34 Mareta Dwi Satuti, Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw terhadap Hasil

Belajar KimiaSiswa Pada Konsep Laju Reaksi, Skripsi pada Program Studi Pendidikan Kimia, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Ilmu Terbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h.58., Tidak dipublikasikan


(41)

29

diharapkan siswa tidak hanya berfikir sendiri dan mempertanggungjawabkannya, namun juga dapat saling berbagi dalam proses transfer ilmu pengetahuan. Selanjutnya melalui proses kebersamaan tersebut akan melatih siswa dalam mengembangkan sosialnya tanpa menghambat kemajuan dirinya sendiri karena siswa mempunyai lebih banyak kesempatan untuk menghargai perbedaan, meningkatkan partisipasi, motivasi, sikap positif, mengurangi kecemasan sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

D. Pengajuan Hipotesis

Dari kajian teori dan penyusunan kerangka berfikir, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

Hₒ : Tidak terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil belajar pada konsep Rangka dan Panca Indera Manusia.

Hₐ : Terdapat pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw terhadap hasil belajar siswa pada konsep Rangka dan Panca Indera Manusia.


(42)

30

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen kuasi

(Quasi Experiment Methode). Metode eksperimen dapat didefinisikan sebagai metode

sistematis guna menguji secara benar hipotesis menyangkut hubungan kausal (sebab akibat).1 Metode eksperimen dijalankan dengan menggunakan suatu perlakuan (treatment) tertentu pada sekelompok orang atau kelompok kemudian hasil perlakuan tersebut dievaluasi.

2. Desain Penelitian

Adapun penelitian eksperimen ini menggunakan rancangan eksperimen kuasi

(Quasi Experiment). Desain yang digunakan dalam eksperimen semu yaitu The

Non-Equivalent Control Group Design. Dengan desain ini, baik kelompok eksperimen

maupun kelompok kontrol dibandingkan tetapi kelompok ditempatkan tanpa melalui randomisasi. Dua kelompok yang ada diberi pretes kemudian diberikan perlakuan dan terakhir diberikan postes.2

Desain The Non-Equivalent Control Group Design dapat digambarkan dalam tabel di bawah ini:3

Tabel 3.1 Desain The Non-Equivalent Control Group

Kelompok Pretes Perlakuan Postes

Eksperimen O1 X O2

Kontrol O1 - O2

1Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 64

2Ibid, h. 102 3Ibid, h. 105


(43)

31

Keterangan:

X = Penerapan metode eksperimen

O1 = Tes awal yang sama pada kedua kelompok

O2 = Tes akhir yang sama pada kedua kelompok

B. Prosedur Penelitian

Secara garis besar, prosedur penelitian terbagi ke dalam 3 (tiga) tahap, yaitu tahap persiapan/perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir.

1. Tahap persiapan/perencanaan, meliputi: a. Perumusan masalah.

b. Penyusunan instrumen penelitian dan perangkat pembelajaran. c. Uji coba instrumen penelitian dan judgment perangkat pembelajaran.

d. Menganalisis hasil uji coba instrumen dan merevisi hasil uji coba instrumen serta perangkat pembelajaran.

e. Mengurus administrasi yang terkait dengan pelaksanaan penelitian. 2. Tahap pelaksanaan, meliputi:

a. Sebelum proses pembelajaran berlangsung terlebih dahulu dilakukan pretes. b. Menerapkan pembelajaran dengan model kooperatif tipe Jigsaw.

c. Selama proses pembelajaran berlangsung dilakukan observasi terhadap aktivitas belajar siswa.

d. Setelah kegiatan pembelajaran selesai, dilakukan postes. 3. Tahap akhir, meliputi:

a. Mengalisis data hasil penelitian.

b.Menarik kesimpulan berdasarkan hasil analisis data.

C. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Ibtidaiyah “Al-Washliyah”, Kelurahan Pondok Kopi, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan sepanjang satu semester ganjil pada tahun pelajaran 2013/2014. Sedangkan pengambilan data dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan bulan September tahun pelajaran 2013/2014.


(44)

32

D. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.4 Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh siswa MI. Al-Washliyah Jakarta, tahun pelajaran 2013/2014 semester I. Sedangkan populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV MI. Al-Washliyah Jakarta, tahun pelajaran 2013/2014 semester I.

2. Sampel

Sampel adalah sebagai bagian dari populasi, sebagai contoh (master) yang diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu.5 Yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV MI. Al-Washliyah Jakarta tahun pelajaran 2013/2014 semester I yang diambil sebanyak dua kelas.

E. Teknik Sampling

Teknik sampling adalah merupakan teknik pengambilan sampel.6 Untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik sampling yang digunakan. Adapun teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling, yaitu menentukan sampel yang mendukung tercapainya tujuan penelitian. Pemilihan sampel langsung ditentukan oleh guru IPA yang bersangkutan, sehingga diperoleh kelas IV-A sebagai kelas eksperimen dan kelas IV-B sebagai kelas kontrol.

F. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data diambil dengan menggunakan teknik tes dan non tes. Teknik tes digunakan untuk mengukur hasil belajar yang dicapai oleh siswa. Sedangkan teknik non tes digunakan untuk mengobservasi aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung.

4 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, (Bandung: Alfabeda, 2010), Cet. Ke-11, h. 80

5 Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2010), h. 121 6Sugiyono, op. cit., h. 81


(45)

33

G. Instrumen Penelitian 1. Jenis Instrumen Penelitian

Berdasarkan teknik pengumpulan data, maka instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari instrumen tes dan non tes. Jenis istrumen tes yang digunakan adalah tes hasil belajar berbentuk objektif dengan tipe pilihan ganda. Jumlah tes yang diberikan sebanyak 20 soal yang telah diuji coba tingkat validitas, reliabilitas, daya pembeda, dan taraf kesukarannya dari 35 soal tes yang diuji coba. Adapun jenis instrumen non tes yang digunakan adalah lembar observasi dengan skala bebas.

2. Uji Kepercayaan Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini jenis instrumen yang digunakan adalah tes dan non tes. Untuk instrumen tes, sebelum digunakan terlebih dahulu dilakukan uji coba dan hasilnya dianalisis. Hasil uji coba dianalisis validitas, reliabilitas, tarap kesukaran dan daya pembedanya. Untuk instrumen non tes, sebelum digunakan terlebih dahulu dilakukan penilaian (judgment) ahli. Ahli yang dimaksud dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing.

a. Validitas

Karakteristik instrumen yang baik sebagai alat evaluasi hendaklah memenuhi syarat tes, yakni memiliki validitas dan reliabilitas yang baik. Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesasihan atau kevalidan suatu instrumen. Sebuah tes dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang hendak diukur dan dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat.7 Untuk memperoleh instrumen yang valid, peneliti harus bertindak hati-hati sejak awal penyusunannya dengan mengikuti langkah-langkah penyusunan instrumen.

Pada uji validitas ini digunakan teknik Korelasi Point Biserial, yaitu skor tiap butir soal dikorelasikan dengan skor total hasil tes. Adapun rumus korelasi point biserial adalah sebagai berikut:8

7 Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 73 8Ibid, h. 79


(46)

34

Keterangan :

γpbi = koefisien korelasi biserial

Mp = rerata skor dari subyek yang menjawab betul bagi item yang dicari validitasnya Mt = rerata skor total

St = standar deviasi dari skor total

P = proporsi siswa yang menjawab benar q = proporsi siswa yang menjawab (q = 1 – p )

Setelah dilakukan uji coba, dari 35 soal yang diujicobakan dalam penelitian ini ternyata soal yang valid adalah sebanyak 25 soal, sedangkan soal yang tidak valid adalah sebanyak 10 soal. (Lihat lampiran 2)

b .Reliabilitas

Selain pengujian validitas, sebuah tes juga harus memiliki reliabilitas. Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa suatu instrumen atau tes dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi jika tes tersebut dapat memberikan hasil yang tetap.9 Reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan rumus K-R.20 sebagai berikut ;10

=

Keterangan:

= reliabilitas tes secara keseluruhan

P = proporsi subyek yang menjawab item dengan benar q = proporsi subyek yang menjawab item dengan salah

( q= 1-p )

= jumlah hasil perkalian p dan q

n = banyaknya item

s = standar deviasi tes

Apabila diperoleh r hitung > r tabel, maka instrumen tes yang digunakan reliabel.

9Ibid, h. 86 10Ibid, h.100


(47)

35

Tabel 3.2 Kriteria Reliabilitas

Koefisien Korelasi Kriteria Reliabilitas 0,91 – 1,00 Sangat tinggi 0,71 – 0,90 Tinggi 0,41 – 0,70 Sedang 0,21 – 0,40 Rendah Negatif – 0,20 Sangat rendah

Reliabilitas soal yang telah diuji coba mencapai 0,85, hal ini menunjukkan bahwa soal uji coba tersebut memiliki taraf kepercayaan yang cukup tinggi dalam memberikan hasil yang tetap sama kapanpun tes tersebut akan diberikan.

c. Tingkat Kesukaran

Indeks kesukaran adalah bilangan yang menunjukan sukar atau mudahnya suatu soal. Soal yang baik adalah yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit. Rumus untuk mencari indeks kesukaran suatu soal adalah sebagai berikut:11

Keterangan :

P = Indeks Kesukaran

B = Banyaknya siswa yang menjawab benar N = Jumlah peserta tes

Adapun tingkat kesukaran soal dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu mudah, sedang, dan sukar.

Tabel 3.3 Kelompok Tingkat Kesukaran

Tingkat Kesukaran Nilai p

Sukar Sedang Mudah

0,00 - 0,25 0,26 - 0,75 0,76 - 1,00

11


(48)

36

Tingkat kesukaran soal yang telah diuji coba adalah sebagai berikut:

 Soal sulit/sukar ada 9 soal

 Soal sedang ada 15 soal

 Soal mudah ada 11 soal

d.Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan soal untuk membedakan antara siswa yang pandai atau berkemampuan tinggi dengan siswa yang bodoh atau berkemampuan rendah.12 Rumus daya pembeda adalah sebagai berikut:13

Keterangan :

D = daya pembeda

P (atas) = indeks kesukaran kelompok atas P (bawah) = indeks kesukaran kelompok bawah

Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda Klasifikasi Daya

Pembeda

Indeks Daya Pembeda

0,00 - 0,20 Buruk

0,20 - 0,40 Cukup

0,40 - 0,70 Baik

0,70 - 1,00 Baik Sekali

<0,00 (negatif) Tidak baik (diabaikan)

Daya pembeda soal yang telah diuji coba adalah sebagai berikut:

 Soal dengan daya pembeda 0,00 - 0,20 ada 10 soal

 Soal dengan daya pembeda 0,20 - 0,40 ada 1 soal

 Soal dengan daya pembeda 0,40 - 0,70 ada 15 soal

 Soal dengan daya pembeda 0,70 - 1,00 ada 9 soal

12

Ibid, h. 211

13

Ibid, h. 213


(1)

154

Rekapitulasi Hasil Penilaian Observasi Kegiatan Siswa pada Kelas Eksperimen

Pertemuan

I II III

386,6% = 77,3 % 5

420% = 84 % 5

440% = 88 % 5


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Peningkatan hasil belajar PKn melalui penerapan model pembelajaran kooperatif tipe card sort di kelas III MI Al – Furqon Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor

1 3 108

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Dengan Game Terhadap Hasil Belajar Siswa Pada Konsep Momentum Dan Impuls (Kuasi Eksperimen Di Man 4 Jakarta)

0 9 291

Upaya meningkatkan hasil belajar IPS melalui pembelajaran kooperatif teknik jigsaw siswa kelas II MI Al Masthuriyah Bekasi

0 3 122

PENGERUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA PADA KONSEP CAHAYA (KUASI EKSPERIMEN DI SDN CIRENDEU III, TANGERANG SELATAN)

1 5 177

Upaya meningkatkan aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) kelas II dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw di Mi Al-Amanah Joglo Kembangan

0 6 103

Upaya meningkatkan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe Stad (Student Teams Achievement Division) pada pembelajaran IPS kelas IV MI Miftahul Khair Tangerang

0 13 0

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Token Arends Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Dalam Pembelajaran IPS Terpadu (Quasi Eksperimen di SMPN 87 Jakarta)

0 8 204

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Heads Together terhadap Hasil Belajar Fiqih dalam pokok bahasan Riba, Bank, dan Asuransi. (Kuasi Eksperimen di MA Annida Al Islamy, Jakarata Barat)

0 13 150

Peningkatan hasil belajar PKN siswa kelas IV MI Attaqwa Bekasi Utara melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions)

0 5 152

PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW DAN AKTIVITAS BELAJAR TERHADAP HASIL BELAJAR EKONOMI SISWA KELAS X DI MAS AL-WASHLIYAH 12 PERBAUNGAN TP 2016/2017.

0 3 29