KARAKTERISASI PLANLET CABAI MERAH (Capsicum annum L.) HASIL SELEKSI DENGAN ASAM SALISILAT SECARA IN VITRO

(1)

ABSTRAK

KARAKTERISASI PLANLET CABAI MERAH (Capsicum annum L.) HASIL SELEKSI DENGAN ASAM SALISILAT SECARA IN VITRO

Oleh

Rita Asmara

Tanaman cabai merah merupakan salah satu tanaman hortikultura yang banyak di budidayakan oleh masyarakat Indonesia. Produksi tanaman cabai merah mengalami penurunan, salah satunya disebabkan oleh infeksi mikroba patogen

yang menyerang tanaman cabai merah yaitu Fusarium oxysporium f.sp capsisi

(Foca). Salah satu alternatif cara pengendalian penyakit yang efisien, efektif dan

aman terhadap lingkungan, yaitu menggunakan varietas yang tahan atau resisten. Asam salisilat diketahui sebagai salah satu senyawa yang berperan penting terhadap ketahanan tanam. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis : 1) kisaran konsentrasi asam salisilat toleran untuk seleksi planlet

cabai merah secara in vitro, 2) karakter ekspresi yang spesifik pada planlet cabai

merah tahan asam salisilat secara in vitro meliputi ketebalan lignin, kandungan

klorofil a, b dan total, serta perbedaan struktur anatomi batang. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan satu faktor yaitu konsentrasi asam salisilat yang terdiri atas 5 taraf yaitu 0 ppm, 15 ppm, 30 ppm, 45 ppm dan 60 ppm. Analisis ragam dan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5%.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Botani, ruang in vitro dan

Mikrobiologi Fakultas MIPA Universitas Lampung dari bulan Juni sampai Agustus 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan klorofil a, b, dan total planlet daun cabai merah mengalami penurunan pada konsentrasi asam salisilat dalam medium MS 15, 30, 45, dan 60 ppm, dibandingkan dengan kontrol. Tebal lignin pada konsentrasi 15 dan 60 ppm lebih besar dibandingkan kontrol, pada konsentrasi 30 dan 45 ppm lebih kecil. Struktur anatomi batang pada planlet cabai merah yang diberi pengimbasan AS mengalami penebalan dibagian kambium.


(2)

KARAKTERISASI PLANLET CABAI MERAH (Capsicum annum L.) HASIL SELEKSI DENGAN ASAM SALISILAT SECARA IN VITRO

(Skripsi)

Oleh RITA ASMARA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahikan di Way Kanan pada tanggal 03 Desember 1991 dari pasangan ibu Agus Sumiyati dan bapak Basuki. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Penulis memulai pendidikan di Taman Kanak-kanak Pertiwi pada tahun 1996-1998

dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Bhakti Negara pada tahun 1998-2004. Pada tahun 2004-2007 penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Bhakti. Pada Tahun 2007-2010 melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan YP 17 Baradatu Way Kanan. Pada tahun 2010 penulis telah diterima di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam jurusan Biologi melalui jalur UM (Ujian Mandiri) dan penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada tahun 2014.

Selama duduk di perguruan tinggi, penulis menjadi anggota Himpunan

Mahasiswa Biologi (HIMBIO) pada tahun 2010-2011. Pada tahun 2011-2012 penulis mengemban amanah sebagai Anggota Biro Rumah Tangga dan

Pengembangan Organisasi di HIMBIO. Selain itu, selama menjalankan

perkuliahan penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Biologi Umum (2012), Botani Umum (2013) dan Kultur Jaringan (2011-2012) di jurusan Biologi FMIPA Unila.


(7)

Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata pada bulan Juli-Agustus 2013 di Pekon Pampangan, Kec. Sekincau, Kab. Lampung Barat. Pada bulan Januari-Februari 2014 penulis melaksanakan Kerja Praktek di Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan Hortikultura (BPSB TPH). Dan melaksanakan penelitian

pada bulan Juni 2014 – Agustus 2014 di Laboratorium Kultur Jaringan Jurusan


(8)

Ku Persembahkan Karya Kecilku ini:

Kepada orang tua terkasih ku ibu Agus Sumiyati dan bapak Basuki yang tak pernah lelah perjuangan dan pengorbanannya serta kasih sayang dan cinta yang telah diberikan untuk kami. Dan teruntuk sodara sekandungku


(9)

“Sahabat adalah Mereka yang bisa melihat kamu terluka dari matamu, ketika

orang lain percaya dengan senyum diwajahmu’’ (By me)

“Belajar memang melelahkan, Namun akan lebih melelahkan lagi bila saat ini Kamu tidak belajar ‘’ (By me)

Ya Tuhan Kami...

“Kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah

Kami ikuti Rasul, karena itu masukanlah Kami kedalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah) Qs. Ali ‘ Imran: 53

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah Mereka yang bila disebut

nama Allah gemetarlah hati Mereka dan apabila dibacakan ayat-ayatnya

bertambahlah iman Mereka (Karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah

Mereka bertawakal (Al Anfaal (8): 2)

“Setiap manusia pernah melakukan salah, dan hanya orang hebat yang


(10)

iii

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas Rahmat dan

Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Karakterisasi Planlet

Cabai Merah (Capsicum annum L.) Hasil Seleksi dengan Asam Salisilat Secara In vitro tepat pada waktunya.

Penulis menyadari banyak sekali pihak yang telah membantu baik secara moril maupun materil hingga terselesainya skripsi ini, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Dr. Endang Nurcahyani, M.Si. selaku Pembimbing I atas segala

bimbingan, arahan, saran, dan semangat selama penulis melaksanakan penelitian hingga terselesainya skripsi ini.

2. Bapak Ir. Zulkifli, M.Si selaku pembimbing II atas segala bimbingan, arahan,

dan semangat kepada penulis selama pelaksanaan penelitian hingga terselesainya skripsi ini.

3. Ibu Dra. Tundjung Tripeni Handayani, M.S. selaku Pembahas atas segala

bimbingan, motivasi, saran, serta semangat kepada penulis selama pelaksanaan penelitian hingga terselesainya skripsi ini.


(11)

4. Bapak Drs. Achmad Nugraha, M.Si. selaku Pembimbing Akademik atas bimbingan, kritik, dan sarannya kepada penulis dalam menempuh pendidikan di Jurusan Biologi.

5. Ibu Dra. Nuning Nurcahyani, M.Sc. selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung.

6. Bapak Prof. Suharso, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung.

7. Bapak Ibu Dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu penulis

mengucapkan terimakasih atas bimbingan dan ilmu yang sudah diberikan kepada penulis selama penulis melaksanakan studi di Jurusan Biologi.

8. Ibu dan Bapak serta adikku Candra Adi Pratama yang telah memberikan

semangat, perhatian, dukungan, dan do’a kepada penulis yang tiada hentinya.

9. Agus yang telah memberikan semangat, perhatian, canda tawa, dan

bantuannya selama penelitian.

10. Sahabat-sahabatku Mala, Khusnul, Linda, Dwi, Eka, Neni dan Aprilia atas

semangat, perhatian, canda tawa, yang selalu diberikan sejak awal perkuliahan sampai akhir terselesainya skripsi ini.

11. Teman-teman Biologi 2010 Eko, Billi, Aris, Putra, Fais, Aviy, Adi, Ana,

Nova, Kiki, Tari, Ita, Anggi, Arin, Dewi, Isma, Rodi, Rika, Gigih, Dito, Wikke, Pipin, Ayu, Elisa, Elga, Dimas, Yusrina, Citra, Ara, Suci, Nisa, Ipeh, Puput, Meita, Aul, Nurul, Feabo, Reffy, Rendy, Tina, Sofi, Sonia, Windi.


(12)

13. Karyawan dan staff di Jurusan Biologi serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian SKRIPSI ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat dan berguna bagi kita semua.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL

ABSTRAK ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 5

1.3. Manfaat Penelitian ... 5

1.4. Kerangka Pikir ... 5

1.5. Hipotesis ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Tanaman Cabai... 8

2.2. Taksonomi Tanaman Cabai... 8

2.3. Anatomi Tanaman Cabai 2.3.1. Daun ... 12

2.3.2. Batang ... 13

2.3.3. Akar ... 13

2.3.4. Bunga ... 13

2.4. Nilai Ekonomi Cabai ... 14

2.5. Perbanyakan Tanaman Secara in vitro 2.5.1. Regenerasi tanaman secara in vitro ... 16

2.5.2. Medium Kultur Jaringan ... 17

2.6. Penyakit layu Fusarium ... 18

2.7. Ketahanan Terimbas ... 18


(14)

v

III. METODE KERJA

3.1.Waktu dan Tempat ... 23

3.2. Alat dan Bahan Penelitian ... 23

3.3. Rancangan Penelitian ... 24

3.4. Bagan Alir Penelitian ... 25

3.5. Pelaksanan Penelitian ... 27

3.5.1. Persiapan medium tanam ... 27

3.5.2. Persiapan medium seleksi ... 27

3.5.3. Sterilisasi dan Penanaman benih dalam medium seleksi ... 28

3.6. Pengamatan ... 29

3.6.1. Analisis lignin ... 29

3.6.2. Analisis klorofil ... 30

3.6.3. Analisis anatomi jaringan batang ... 30

3.7. Analisis Data ... 31

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Seleksi planlet cabai merah dengan asam salisilat ... 32

4.2. Kandungan klorofil a... 34

4.3. Kandungan klorofil b ... 37

4.4. Kandungan klorofil total ... 40

4.5. Lignifikasi ... 45

4.6. Analisis antomi jaringan batang ... 49

V.SIMPULANDAN SARAN 5.1 Simpulan ... 52

5.2 Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

LAMPIRAN ... 59 Tabel ... 1-26 Gambar ... 1-24


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Biaya produksi cabai merah per hektar pada lahan kering ... 14

Tabel 2. Produksi cabai merah di Dunia ... 15

Tabel 3. Para penelitian yang menggunakan AS dan AF

dengan berbagai konsentrasi ... 22

Tabel 4. Kandungan klorofil a

planlet cabai merah (mg/g jaringan) ... 34

Tabel 5. Kandungan klorofil b

planlet cabai merah (mg/g jaringan) ... 37

Tabel 6. Kandungan klorofil total

planlet cabai merah (mg/g jaringan) ... 40

Tabel 7. Rata-rata ketebalan lignin (µm)

planlet cabai merah ... 47

Tabel 8. Komposisi Medium Murashige and Skoog (MS) ... 60

Tabel 9. Kandungan klorofil a, b dan total daun planlet cabai merah ... 61

Tabel 10. Rata-rata, Standar Deviasi, kandungan klorofil a

pada daun planlet cabai merah... 62


(16)

x

Tabel 12. Analisis ragam kandungan klorofil a

daun planlet cabai merah ... 63

Tabel 13. Perbedaan kandungan klorofil a

daun planlet cabai merah ... 63

Tabel 14. Rata-rata, Standar Deviasi,

klorofil b pada daun planlet cabai merah... 64

Tabel 15. Ʃy, Ʃy2, (Ʃy)2 Kandungan

Klorofil b daun planlet cabai merah ... 64

Tabel 16. Analisis Ragam kandungan klorofil b

daun planlet cabai merah ... 65

Tabel 17. Perbedaan kandungan klorofil b

daun planlet cabai merah ... 65

Tabel 18. Rata-rata, Standar Deviasi,

kandungan klorofil total pada daun planlet cabai merah ... 66

Tabel 19. Ʃy, Ʃy2, (Ʃy)2. Kandungan Klorofil total

daun planlet cabai merah ... 66

Tabel 20. Analisis Ragam kandungan klorofil total

daun planlet cabai merah ... 67

Tabel 21. Perbedaan kandungan klorofil b

daun planlet cabai merah ... 67

Tabel 22. Rata-rata ketebalan lignin batang palnlet cabai merah ... 68

Tabel 23. Rata-rata, Standar Devisiasi,

ketebala lignin pada batang planlet cabai merah ... 68

Tabel 24. Analisis Ragam kandungan ketebalan lignin


(17)

xi

Tabel 25. Analisis ragam ketebalan lignin

pada batang planlet cabai merah ... 70


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tanaman cabai merah (Capsicum annum L)... 12

Gambar 2. Tanaman cabai yang terserang layu Fusariumoxysporum f.sp.capsici Schlecht ... 19

Gambar 3. Struktur asam salisilat………... 21

Gambar 4. Bagan rancangan tahapan penelitian ... 25

Gambar 5. Bagan alir tahapan penelitian ... 26

Gambar 6. Planlet cabai merah umur 8 minggu yang ditumbuhkan dalam medium MS dengan penambahan asam salisilat berbagai konsentrsai. ... 32

Gambar 7. Grafik kandungan klorofil a planlet cabai merah pada medium MS dengan berbagai konsentrasi asam salisilat ... 35

Gambar 8. Kurva hubungan antara konsentrasi asam salisilat dalam medium MS ... 36

Gambar 9. Grafik kandungan klorofil b planlet cabai merah pada medium MS dengan berbagai konsentrasi asam salisilat ... 38


(19)

viii

Gambar 10. Kurva hubungan antara konsentrasi

asam salisilat dalam medium MS ... 39

Gambar 11. Grafik kandungan klorofil total planlet cabai merah pada media MS dengan berbagai konsentrasi asam salisilat ... 41

Gambar 12. Kurva hubungan antara konsentrasi asam salisilat dalam medium MS ... 42

Gambar 13. Irisan melintang batang planlet cabai merah yang mengandung lignifikasi K0=kontrol, K1, K2, K3, K4= Planlet cabai merah yang diimbas AS konsentrasi 15, 30, 45 dan 60 ppm ... 46

Gambar 14. Penampang melintang anatomi batang planlet cabai merah, memperlihatkan struktur umum penyusun batang planlet. A. Kontrol dan B. 60 ppm. Ep= Epidermis, Kor= Korteks, Em= Empulur, Kamb= Kambium, BP= Berkas Pengangkut ... 49

Gambar 15. Penampang melintang jaringan batang pada bagian epidermis dan kambium, A= Kontrol dan B= 60 ppm ... 50

Gambar 16. Penampang melintang batang planlet cabai merah yang menujukkan berkas pengangkut. A.Kontrol dan B. 60 ppm. Ep= Epidermis, Kor= Korteks, BP= Berkas Pengangkut, Kamb= Kambium ... 50

Gambar 17. Benih yang akan ditumbuhkan ke medium MS ... 71

Gambar 18. Penanaman benih dalam medium ... 71

Gambar 19. Planlet cabai merah yang berumur 8 minggu ... 71

Gambar 20. Elemeyer yang berisi sampel (daun & alkohol) untuk uji klorofil... 72


(20)

ix

Gambar 21. Sampel yang akan dipanaskan di Water bath... 72

Gambar 22. Larutan sampel yang akan di ukur

menggunakan spektofotometer ... 72

Gambar 23. Larutan sampel yang dihitung panjang

gelombangnya menggunakan spektofotometer ... 73

Gambar 24. Mikroskop yang digunakan untuk pengamatan


(21)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang dan Masalah

Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu hasil pertanian

yang penting dan banyak dibudidayakan di Indonesia. Buah cabai memiliki aroma, rasa pedas dan warna yang spesifik, sehingga banyak digunakan oleh masyarakat sebagai rempah dan bumbu masakan. Seiring dengan

pertambahan penduduk yang pesat dan berkembangnya industri makanan, maka kebutuhan cabai di Indonesia pun meningkat (Soelaiman & Ernawati, 2013).

Petani cabai umumnya mendapatkan benih dari tanaman cabai yang telah dibudidayakan sebelumnya secara turun temurun, hal ini menyebabkan kualitas benih tidak murni lagi, selanjutnya akan berpengaruh pada

keragaman tumbuh, produktifitas dan kerentanan terhadap gangguan hama dan penyakit. Kualitas benih atau galur cabai masih terlihat sebagai kendala yang menyebabkan rendahnya produksi. Untuk meningkatkan produk tanaman cabai harus menggunakan benih varietas unggul, penerapan

teknologi budidaya yang tepat dan pemupukan yang berimbang (Nawangsih, 1994).


(22)

2

Produktivitas cabai di Indonesia saat ini masih tergolong rendah. Selain itu, permasalahan yang dihadapi adalah mutu cabai yang kurang baik. Faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas cabai Indonesia antara lain penggunaan benih yang kurang bermutu, teknik budidaya yang belum efisien dan penanaman kultivar cabai yang tidak tahan terhadap hama serta penyakit

(Soelaiman & Ernawati, 2013; Wiratama et al., 2013).

Salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman cabai adalah gangguan

penyakit layu Fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum

f.sp.capsici (Foca). Jamur patogen ini dapat menyerang tanaman cabai merah

mulai dari masa perkecambahan sampai dewasa. Adanya serangan Foca menjadi salah satu pembatas yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi cabai. Kerugian akibat penyakit layu fusarium pada tanaman cabai cukup besar. Menurut Rostini (2011), penyakit ini dapat menyebabkan kerugian dan gagal panen hingga 50% pada saat pascapanen. Penyakit ini menyerang bagian tanaman yaitu pada batang, ini merupakan masalah serius bagi petani

(Sujatmiko et al., 2012; Sitohang, 2005).

Di Indonesia, selama ini para petani cabai masih menggunakan pestisida

sintetis untuk mengendalikan penyakit layu Fusarium tersebut. Pestisida

kerap menimbulkan polusi terhadap lingkungan padahal tanaman cabai merupakan tanaman yang dikonsumsi langsung oleh konsumen, maka perlu dicari alternatif lain yang efektif dan ramah lingkungan (Soesanto, 2008).


(23)

3

Salah satu alternatif cara pengendalian penyakit yang aman, efisien dan efektif dan aman terhadap lingkungan, antara lain menggunakan varietas yang tahan (Nurcahyani, 2013). Penggunaan varietas unggul yang tahan terhadap Foca dengan daya hasil tinggi merupakan salah satu alternatif pengendalian penyakit yang penting dan tidak menimbulkan dampak negatif seperti

penggunaan pestisida. Pengembangan kultivar Capsicum annum tahan Foca

tersebut dapat dilakukan antara lain dengan metode seleksi in vitro yaitu

mengkulturkan eksplan berupa jaringan atau organ pada medium yang

mengandung asam salisilat konsentrasi selektif (Soetrisno & Setiawati, 2010).

Asam salisilat (AS) merupakan signal penting dalam ketahanan tanaman, digunakan sebagai senyawa pengimbas ketahanan tanaman terhadap penyakit

layu Fusarium (Sujatmiko et al., 2012).

Seleksi ketahanan terhadap layu fusarium dapat dilakukan menggunakan filtrat dari kultur fusarium atau menggunakan racun murni fusarium yaitu

asam salisilat. Penggunaan asam salisilat pada seleksi in vitro disebabkan

asam salisilat yang bersifat pathogenesis dan general terhadap tumbuhan sehingga bisa diaplikasikan untuk banyak tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan asam salisilat pada media sebagai komponen seleksi berkorelasi dengan tingkat ketahanan tanaman terhadap

fusarium. Pendekatan seleksi in vitro dilaporkan telah menghasilkan banyak

varietas tanaman tahan diantaranya pada tanaman vanili (Nurcahyani, 2013),


(24)

4

Asam salisilat memegang peranan penting dalam ketahanan sistemik

terinduksi. Asam salisilat di gunakan pada tanaman sebagai reaksi terhadap infeksi patogen, dan digunakan sebagai racun murni pada penyakit layu Fusarium. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat berupa ketahanan secara fisik maupun kimia. Salah satu bentuk ketahanan secara kimia adalah asam salisilat. Asam salisilat lebih dominan untuk mengatasi serangan patogen biotrof (patogen yang aktif pada jaringan hidup) dan virus. Mekanisme ketahanan melalui jalur asam salisilat berhubungan dengan

protein-protein yang terkait dengan pathogenesis (Pathogenesis-Related-

proteins/PR -proteins) seperti kitinase, peroksidase, β-glukanase dan PR-1.

Pada tanaman melon dengan konsentrasi 0 ppm, 15 ppm, 30 ppm dan 60 ppm

(Corina et al., 2009; dalam Sujatmiko et al., 2012; Rebecca et al., 2007,

dalam Sujatmiko et al., 2012).

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan kandidat planlet cabai merah C.

annum L. yang tahan terhadap asam salisilat secara in vitro. Planlet cabai merah yang tahan asam salisilat nantinya diharapkan apabila diregenerasikan

menjadi tanaman dapat menghasilkan galur yang tahan terhadap infeksi Foca,

dengan demikian diharapkan akan dapat meningkatkan kembali kualitas dan produksi tanaman cabai merah di Indonesia.


(25)

5

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui kisaran konsentrasi asam salisilat toleran untuk seleksi planlet

cabai merah secara in vitro.

2. Mengetahui dan menganalisis karakter ekspresi yang spesifik pada planlet

cabai merah yang insensitif terhadap asam salisilat secara in vitro meliputi

ketebalan lignin, konsentrasi klorofil total, klorofil a, dan klorofil b, serta perbedaan struktur anatomi batang.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai penggunaan asam salisilat untuk mendapatkan planlet cabai merah yang

insensitif terhadap asam salisilat secara in vitro. Planlet yang insensitif

terhadap asam salisilat diharapkan juga tahan terhadap penyakit layu fusarium. Secara ilmiah diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama di bidang pemuliaan tanaman, penyakit tanaman dan ilmu terapan yang terkait.

1.4 Kerangka Pikir

Cabe merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas

hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia. Produktivitasnya akhir-akhir tahun ini menurun akibat dari gangguan


(26)

6

Fusarium oxysporum (Fo) secara umum dapat bertahan di dalam tanah sebagai klamidospora yang merupakan bentuk modifikasi dari miselium. Patogen ini dalam bentuk klamidospora dapat bertahan hingga

bertahun-tahun. Hal ini menyebabkan pengendalian serangan Fo menggunakan

fungisida tidak efektif. Penggunaan fungisida hanya bisa menurunkan tingkat

serangan Fo pada maksimal sebesar 40%.

Teknik in vitro merupakan teknik yang berkembang dan sering diaplikasikan

untuk perbaikan karakter tanaman termasuk pada karakter ketahanan

tanaman. Variasi somaklonal dan seleksi in vitro adalah dua teknik yang

sering digunakan pada kultur in vitro untuk perbaikan karakter tanaman.

Mekanisme pengimbasan terhadap penyakit erat hubungannya dengan karakter normal dari tanaman, seperi kutikula yang tebal, pembukaan stomata, lignin, klorofil, anatomi jaringan batang dan kemampuan membentuk senyawa antimikroba.

Asam salisilat dikenal dapat mempengaruhi berbagai fisiologi dan biokimia tanaman dan mempunyai peran penting dalam mengatur pertumbuhan serta

produktifitasnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penambahan

asam salisilat pada media sebagai komponen seleksi berkorelasi dengan tingkat ketahanan tanaman terhadap fusarium pada tingkat lapang.

Pendekatan seleksi in vitro dilaporkan telah menghasilkan banyak varietas

tanaman tahan diataranya pada tanaman vanili (Nurcahyani, 2013), tomat


(27)

7

1.5 Hipotesis

1. Terdapat konsentrasi asam salisilat yang toleran untuk seleksi planlet cabai

merah secara in vitro.

2. Adanya karakter ekspresi yang spesifik pada planlet cabai merah yang

insensitif terhadap asam salisilatmeliputi peningkatan: ketebalan lignin,

kadar klorofil total, klorofil a, dan klorofil b, serta perbedaan struktur anatomi batang.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Tanaman Cabai

Christophorus Columbus adalah seorang petualang dunia yang menemukan

tanaman cabai (Capsicum sp), karena habitatnya di Amerika tropik banyak

masyarakat luar daerah tidak banyak mengenalnya. Kisah tanaman cabai tidak akan seperti ini, apabila tidak ada perhatian dari petualang terhadap tanaman yang rasa buahnya sangat pedas. Petualang yang berkebangsaan Spanyol ini bermula pada tahun 1490. Pada saat ekspedisi yang dipimpinnya mendarat disebuah daerah berhawa panas yang dikiranya sebagai salah satu dari benua Asia. Namun, kenyataannya diketahui bahwa daerah yang didaratinya merupakan daerah Guanahani, dan sekarang merupakan wilayah San Salvador (Setiadi, 2006).

2.2 Taksonomi Tanaman Cabai

Tanaman cabai populer dengan sebutan pepper atau chili. Cabai terdiri dari

dua jenis, secara umum yaitu cabai besar dan cabai pedas. Cabai besar biasanya memiliki rasa yang tidak terlalu pedas, berukuran besar, dan digunakan sebagai hiasan kuliner. Yang termasuk dalam cabai ini adalah cabai besar dan cabai manis atau cabai paprika. Cabai jenis ini biasa disebut


(29)

9

rasanya yang pedas. Biasanya ukurannya kecil sehingga cabai ini lebih

dikenal dengan istilah chili. Cabai jenis ini banyak di sukai di Indonesia,

contohnya cabai rawit (Suriyana, 2012).

Buah cabai digunakan untuk memperlezat masakan sejak pertama kali

dibudidayakan oleh suku Inca, Maya, dan Aztek di Amerika. Sampai saat ini, penggunaan terbesar cabai dalam kehidupan sehari-hari sebagai bumbu masakan. Pada abad XIV melalui kepulauan Maluku, bangsa Portugis dan Belanda membawa cabai ke Indonesia , setelah itu masyarakat Indonesia mengenal cabai sebagai bumbu. Masyarakat kita menggunakan

rempah-rempah seperti lada (Piper ningrum L), jahe (Zingiber officinalis Rosc), cabai

jawa (Piper retrofractum Vahl) dan kapulaga (Amomum cardamomum Willd)

untuk mendapatkan rasa pedas dalam masakan, sebelum tanaman cabai masuk ke Indonesia (Taringan & Wiryanto, 2003).

Salah satu komoditas sayuran yang penting adalah cabai merah (Capsicum

annum L.). Dikenal sebagai bahan penyedap dan pelengkap berbagai menu

masakan khas Indonesia adalah buahnya (Nawangsih et al., 1994).

Hampir setiap hari produksi ini dibutuhkan. Kebutuhan akan komoditas ini meningkat, karena dengan bervariasinya jenis, dan menu makanan, yang memanfaatkan produk ini. Cabai merah besar termasuk tanaman yang dapat mengadakan penyerbukan sendiri, dan dalam tingkatan yang cukup besar juga


(30)

10

Cabai merah di Indonesia di bedakan dalam 2 kelompok yaitu cabai merah besar dan cabai merah keriting. Perbedaan yang mencolok dari dua jenis cabai tersebut terletak pada bentuk buah dan cita rasa pedas yang dimiliki. Pada cabai merah keriting bentuknya lebih ramping dan cita rasanya sangat pedas, sedangkan padai cabai merah besar permukaan buahnya halus dan rasanya pedas. Varietas cabai besar umumnya diberi nama berdasarkan

tempat dan daerah dimana tanaman ini dibudidayakan, misalnya (Capsicum

annum L.) dari Brastagi, Semarang, dan Indragir. Buah cabai merah besar ini mempunyai ukuran panjang mencapai 6-10 cm, dan berdiameter 0,7-1,3 cm. Cabai merah besar ini dapat tumbuh baik didataran rendah dan tinggi

(Nawangsih et al., 1994).

Umur cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai. Tanaman cabai besar dan keriting yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali

umur 70–75 hari setelah tanam. Sedangkan waktu panen di dataran tinggi

lebih lambat yaitu sekitar 4–5 bulan setelah tanam. Panen dapat

terus-menerus dilakukan sampai tanaman berumur 6–7 bulan. Pemanenan dapat

dilakukan dalam 3–4 hari sekali atau paling lama satu minggu sekali


(31)

11

Klasifikasi tanaman cabai merah menurut Prajnanta (2001) adalah sebagai berikut:

Regnum : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Sub-divisio : Angiospermae

Classis : Dicotyledoneae

Sub-classis : Sympetalae

Ordo : Solanales

Familia : Solanaceae

Genus : Capsicum

Species : Capsicum annum L

Secara morfologi tanaman cabai termasuk tanaman semusim (annual) berbentuk perdu, berdiri tegak dengan batang berkayu,dan memiliki banyak cabang. Tinggi tanaman dewasa antara 65-120 cm. Dalam dunia tumbuh-tumbuhan, cabai hibrida tergolong dalam tumbuhan yang menghasilkan biji. Bijinya tertutup oleh bakal buah sehingga termasuk dalam golongan


(32)

12

Gambar 1. Tanaman cabai merah (Capsicum annum L.) (Sumber. Prajnanta, 2007 ).

2.3 Morfologi tanaman cabai

2.3.1 Daun

Bentuk daun cabai bervariasi tergantung pada jenis daun varietasnya. Secara umum daun berbentuk oval atau lonjong, namun ada juga yang berbentuk lanset. Daun cabai berukuran panjang antara 3-11 cm dengan lebar 1-5 cm. Pada umumnya permukaan cabai halus, namun pada beberapa spesies ditemui juga permukaan daun yang berkerut. Umumnya warna daun cabai berbeda antara permukaan atas dan bawah daun. Warna permukaan bagian atas daun cabai berkisar antara hijau muda, hijau sedang, dan hijau tua. Sementara permukaan daun bagian bawah biasanya berwarna hijau muda hingga hijau terang (Suriyana, 2012).


(33)

13

2.3.2 Batang

Batang dibedakan menjadi dua macam: batang utama dan percabangan. Batang utama berwarna coklat hijau, berkayu, panjang antara 20-28 cm, dan berdiameter 1,5-2,5 cm. Percabangan berwarna hijau dengan panjang antara 5-7 cm. Diameter percabangan lebih kecil dari batang utama, berkisar antara 0,5-1 cm. Sifat percabangan adalah dikotom atau menggarpu. Cabang setiap

waktu membentuk cabang baru yang berpasangan (Nawangsih et al., 2001).

2.3.3 Akar

Perakaran cabai merupakan akar tunggang yang terdiri atas akar utama (primer) dan akar lateral (sekunder). Dari akar lateral keluar serabut-serabut akar (akar tersier). Panjang akar primer berkisar 35-50 cm. Akar lateral menyebar sekitar 35-45 cm (Prajnanta, 2001).

2.3.4 Bunga

Tanaman cabai merupakan salah satu jenis tanaman yang masuk dalam

sub-class Asteridae (berbunga bintang) sehingga pada umumnya menemukan

tanaman cabai yang memiliki bunga berbentuk bintang. Warna mahkota bunga beragam, ada yang putih, kehijaun, bahkan ungu. Bunga tanaman cabai keluar dari ketiak daun. Ada yang tunggal dan ada juga yang tumbuh bergerombol dalam tandan. Biasanya dalam satu tandan terdapat tidak lebih dari tiga kuntum bunga. Bunga jantan dan bunga betina pada tanaman cabai terdapat dalam satu bunga sehingga bunga cabai dikenal sebagai tanaman berbunga sempurna. Pada waktu pemasakan bunga jantan dan bunga betina hampir bersamaan sehingga pada umumnya bunga cabai melakukan


(34)

14

penyerbukan sendiri. Tetapi tidak menutupi kemungkinan terjadinya

penyerbukan silang. Penyerbukan biasanya dibantu oleh angin dan serangga (Suriyana, 2012).

2.4 Nilai ekonomi cabai

Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu sayuran yang

permintaannya cukup tinggi, baik untuk pasar domestik maupun ekspor ke mancanegara, seperti Malaysia dan Singapura (Sembiring, 2009). Selama ini dikenal dua jenis cabai merah, yakni cabai merah besar dan cabai merah keriting. Sebagian besar penduduk Indonesia mengkonsumsi cabai dalam bentuk segar, kering atau olahan. Adapun biaya yang dikeluarkan untuk penanaman adalah sebagai berikut (Tabel 1).

Tabel 1. Biaya produksi cabai merah per hektar pada lahan kering

Uraian Volume Harga satuan (Rp) Nilai (Rp)

Benih (g) 300 1.500 450.000 Pupuk 5.435.000 Pupuk kandang (kg) 20.000 200 4.000.000 Urea (kg) 250 1.300 325.000 SP-36 (kg) 200 1.700 340.000 KCI (kg) 200 1.900 380.000 Za (kg) 300 1.300 390.000 Pestisida 906.000 Karbofuran (kg) 20 25.000 500.000 Profenos EC(l) 2 95.000 190.000 Deltametrin (l) 2 100.000 200.000 Karbaril (g) 200 16.000 16.000 Tenaga kerja 3.360.000 Pengolahan Lahan (HOK) 16 25.000 400.000 Tanah (HOK) 24 25.000 600.000 Pemupukan (HOK) 16 25.000 400.000 Penyiangan (HOK) 24 25.000 600.000 Pengendalian (HOK) 16 25.000 400.000 Panen (HOK) 24 25.000 600.000 Pascapanen (HOK) 18 20.000 360.000 Jumlah - - 10.151.000


(35)

15

Biaya produksi pada prinsipnya merupakan penjumlahan dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap meliputi sewa lahan, peralatan, dan bahan

pembantu lainnya. Biaya variabel meliputi benih, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Dilihat dari komponen biaya, pemupukan dan tenaga kerja memerlukan biaya tertinggi, yaitu masing-masing Rp5,44 juta dan Rp3,36 juta/ha. Biaya total usaha tani cabai merah pada lahan kering mencapai Rp10,15 juta/ha (Tabel 1) (Rajab dan Taufik, 2008).

Tabel 2. Produksi cabai merah di Dunia

Sumber : FAO (2012)

Karena tanaman cabai mempunyai keanekaragaman jenis yang besar, sehingga pemanfaatannyapun dapat beragam pula. Meskipun cabai

bukanlah merupakan tanaman ekonomi utama, tetapi sudah diakui beberapa negara termasuk Indonesia bahwa tanaman ini merupakan salah satu tanaman rempah-rempah. Akibatnya pemanfaatan dan pembudidayaan secara

lokalpun menjadi besar, sehingga tanaman ini mempunyai nilai ekonomi yang cukup berarti. Kenyataan ini dapat dlihat dari hasil pendataan FAO (Faostat)


(36)

16

2012, yang memperlihatkan bahwa cabai telah dibudidayakan di seluruh Dunia dengan areal dan produksi yang cukup bervariasi (Tabel.2).

2.5 Perbanyakan tanaman secara in vitro

Perbanyakan tanaman dengan teknik in vitro secara vegetatif (menggunakan

bagian organ pertumbuhan tanaman) merupakan alternatif dalam upaya untuk mendapatkan tanaman baru yang mempunyai sifat sama dengan induknya. Sistem perbanyakan tanaman ini dikenal sebagai teknik kultur jaringan. Sistem kultur jaringan ini mempunyai keuntungan yaitu penghematan tenaga, waktu, tempat dan biaya. Kultur jaringan menggunakan dasar teori sel. Sel mempunyai kemampuan otonom (mampu tumbuh mandiri), bahkan

mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan setiap sel, dari bagian mana pun sel tersebut diambil, apabila diletakkan dalam lingkungan yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna (Nugroho & Sagito, 2005).

2.5.1 Regenerasi tanaman secara in vitro

Perbanyakan tanaman secara vegetatif dilakukan dengan menggunakan bagian dari tanaman tersebut. Teknik perbanyakan secara vegetatif antara lain cangkok, stek dan okulasi, sedangkan perbanyakan vegetatif secara modern dilakukan dengan teknik kultur jaringan. Kegunaan utama kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman baru dalam jumlah banyak dan waktu yang relatif singkat, yang mempunyai sifat fisiologis dan morfologis


(37)

17

Eksplan adalah bagian dari tanaman yang digunakan dalam kultur jaringan tanaman. Seluruh bagian tanaman (daun, batang, dan akar) dapat di pergunakan sebagai eksplan, namun yang biasanya dipergunakan adalah

jaringan muda, mata tunas dan tunas pucuk (Yusnita, 2003 dalam

Nurcahyani, 2013).

Secara in vitro, eksplan dapat berkembang membentuk organ atau embrio.

Pembentukan organ pada tanaman secara in vitro dengan secara langsung

apabila eksplan diindukasi lansung membentuk organ tanpa pembentukan kalus terlebih dahulu. Sel-sel yang sudah terinduksi menjadi embriogenik, sehingga dapat melanjutkan pertumbuhannya menjadi embrio dan selanjutnya tanaman utuh (Hendrayono & Wijayanto, 1994)

2.5.2 Medium kultur jaringan

Medium merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Medium merupakan tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan mengambil nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan. Medium tanam pada kultur jaringan terdiri dari dua jenis yaitu media cair dan padat. Medium MS yang diformulasikan dan diperkenalkan oleh Murashinge dan Skoong pada tahun 1962 untuk berbagai tanaman hortikultura (Zulkarnain, 2009)


(38)

18

2.6 Penyakit layu Fusarium

Berberapa penyakit yang menyerang tanaman cabai merah (Capsicum annum

L.) antara lain layu Ralstonia solanacearum , Cucumber

Mosaic Virus (CMV), dan layu Fusarium (Goto, 1992).

Penyakit layu Fusarium (Fusarium oxysporium f.sp. capsici Schlecht.) pada

umumnya terjadi pada saat tanaman berumur 60-70 hari. Namun, pada musim penghujan serangan penyakit ini datang lebih cepat yakni pada saat tanaman berumur 40 hari. Jamur akan menyerang akar tanaman hingga layu dan batang berwarna coklat, diikuti layu pada daun sehingga mengakibatkan tanaman tidak berbuah. Penurunan produksi cukup besar sampai dengan 50 persen. Jika tanaman cabai normal bisa berbuah sampai dengan enam kali

bahkan tujuh kali, tanaman yang diserang Fusarium hanya berbuah dua kali,

langsung mati. Jenis tanaman cabai yang paling rentan terhadap penyakit Fusarium adalah cabai besar. Dari 17,5 hektar tanaman cabai yang diserang, sebanyak 13,33 hektar diantaranya tanaman cabai besar (Prajnanta, 2001).


(39)

19

Gambar.2. Tanaman Cabai yang Terserang Layu Fusariumoxysporum f.sp. capsici Schlecht (Duriat, 2007).

Gejala yang paling menonjol adalah daun kekuningan dan layu yang dimulai dari daun bagian atas. Kelayuan ini terjadi secara bertahap sampai terjadi kelayuan permanen beberapa waktu kemudian dan daun tetap menempel pada batang (Gambar 2). Jaringan vaskular berwarna coklat terutama pada batang bagian bawah dekat akar. Menjelang kematian tanaman tidak ada perubahan warna, secara eksternal pada batang maupun akar, jaringan kortikal masih tetap utuh. Gejala yang sama akan nampak pada tanaman dalam masa

generatif (Duriat et al., 2007).

2.7 Ketahanan terimbas

Ketahanan terimbas adalah aktifitas tanaman sehubungan dengan mekanisme pertahanan terhadap agensi yang berbahaya. Akibat adanya ketahanan terimbas adalah pengurangan gejala penyakit, perubahan faktor-faktor biokimia dalam tanaman yang menyebabkan tanaman tahan terhadap penyakit. Pengimbasan ketahanan dalam tanaman didasarkan atas


(40)

20

pengaktifan potensi genetik ketahanan (Kalix et al., 1996). Fenomena

ketahanan terimbas telah diketahui untuk sejumlah penyakit tanaman. Dalam ketahanan terimbas terjadi pengurangan gejala karena terjadinya perubahan biokimia di dalam tanaman. Ketahaan terimbas dapat bersifat lokal atau sismetik (Sumardiyono, 2000).

Telah diketahui bahwa dalam pengimbasan ketahanan terdapat interaksi antara bahan pengimbas dan tanaman. Tanaman yang rentan terimbas untuk menjadi tahan oleh bahan pengimbas. Pengimbasan harus diberikan kepada tanaman sebelum terjadi penularan oleh patogen (Baker dan Paulizt, 1993).

2.8 Asam salisilat

Asam salisilat (AS) memiliki rumus molekul C6H4COOHOH berbentuk

kristal berwarna merah muda terang hingga kecokelatan yang memiliki berat

molekul sebesar 138,123 g/mol dengan titik leleh sebesar 1560C dan densitas

pada 250C sebesar 1,443 g/mL. Mudah larut dalam air dingin tetapi dapat

melarutkan dalam keadaan panas. Asam salisat dapat terdekomposisi dengan mudah menjadi karbon dioksida dan phenol bila dipanaskan secara cepat pada

suhu sekitar 2000C (Anonymous, 2014).

Asam salisilat memiliki struktur bangun seperti yang disajikan pada Gambar 3 berikut.


(41)

21

Gambar 3. Struktur Asam Salisilat (Anonymous, 2014).

Bahan baku utama dalam pembuatan asam salisilat adalah phenol, NaOH, karbon dioksida dan asam sulfat. Asam salisilat kebanyakan digunakan sebagai obat-obatan dan sebagai bahan intermediet pada pabrik obat dan pabrik farmasi seperti aspirin dan beberapa turunannya (Anonymous, 2014).

Asam salisilat mempunyai peranan penting dalam penginduksiaan dari

tanaman yang resisten terhadap patogen. Menurut Yalpani et al., (1993) cit

Leon et al., (1993) AS disintesis melalui dekarboksilasi dari asam sinamik

membentuk asam benzoat (BA), yang dihidroksilasi menjadi AS.

Penginduksian dari aktifitas BA2H dibatasi untuk pengekspresian jaringan

sebuah respon hipersensitif pada 24 0C. Tembakau Muzaik Virus (TMV)

pada daun tembakau di induksi dari aktifitas BA2H dan akumulasi AS yang

dihalangi ketika tanaman-tanaman tembakau diinokulasi yang diinkubasi

32 0C (Leon et al., 1993).

Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dapat berupa ketahanan secara fisik maupun kimia. Salah satu bentuk ketahanan secara kimia adalah asam salisilat. Asam salisilat lebih dominan untuk mengatasi serangan


(42)

22

patogen biotrof (patogen yang aktif pada jaringan hidup) dan virus.

Pembentukan senyawa asam salisilat ini merupakan bentuk pengaktifan gen ketahanan pada tanaman akibat adanya gen pada patogen. Mekanisme ketahanan melalui jalur asam salisilat berhubungan dengan protein-protein yang terkait dengan patogenesis (pathogenesis-related proteins/PR proteins) seperti kitinase, peroksidase, β-glukanase dan PR-1 (Sujatmiko et al., 2012).

Tabel. 3 Para peneliti yang menggunakan AS dan AF dengan berbagai konsentrasi adalah sebagai berikut.

No Nama peneliti Konsentrasi AS dan AF

1 Sujatmiko (2012) Konsentrasi AF 0 ppm, 15 ppm, 30 ppm, 60

ppm pada tanaman melon.

2 Javaheri (2012) Konsentrasi AS 0, 10-2,10-4,10-6,10-8M pada

tanaman tomat.

3 Nurcahyani (2013) Konsentrasi AF 0 ppm, 90 ppm, 100 ppm,

110 ppm, dan 120 ppm pada planlet vanili.

4 Asmara (2014) Konsentrasi AS 0 ppm, 15 ppm, 30 ppm, 45


(43)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan bulan Agustus

2014 di Laboratorium Botani (ruang penelitian in vitro) dan Laboratorium

Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

3.2.1 Alat–alat Penelitian

Alat–alat yang digunakan untuk penelitian cabai secara in-vitro adalah

Laminar Air Flow Cabinet (LAF) merk ESCO, autoklaf, mortar,pestle, freeze dryer, sentrifuge, pinset, scalpel, mata pisau scalpel, ketas filter Whatman no

1 dan no 42, syringe filter0,45 μm dan 0,22 μm, Erlenmeyer berukuran 100

ml, 500 ml,dan 1000 ml, cawan petri berdiameter 10 cm, botol kultur berukuran 250 ml, gelas ukur bervolume 100 ml dan 500 ml, mikropipet, pipet tip, mikroskop, kamera digital merk Canon Ixus 951S.


(44)

24

3.2.2 Bahan–bahan penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah benih cabai merah (Capsicum annum L) berasal dari toko pertanian di Bandar Lampung dengan merek dagang Laris, asam salisilat yang diproduksi oleh Darmstadt Germany,

alkohol 70%, aquades, Benzine Amino Purine (BAP), Indole-3-Acetic Acid

(IAA),sukrosa, PlantPreservative Mixture (PPM), Kalium Hidroksida

(KOH), Asam Chlorida (HCl), Formalin Aseto Alcohol (FAA) dan bahan

kimia medium MS (Murashige & Skoog) padat yang komposisinya disajikan

dalam Lampiran 1.

3.3 Rancangan Penelitian

Penelitian ini disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan sepuluh ulangan. Konsentrasi terdiri dari 5 taraf perlakuan yaitu 0 ppm, 15 ppm, 30 ppm, 45 ppm dan 60 ppm. Pada setiap botol berisi 3 eksplan cabai merah. Tata letak rancangan dapat dilihat pada Gambar 4.


(45)

25

K1U6 K2U9 K0U4 K4U4 K4U6

K3U8 K1U2 K4U8 K1U1 K2U3

K2U5 K3U5 K1U10 K0U10 K0U9

K3U10 K2U6 K3U9 K3U7 K3U1

K0U2 K4U5 K1U4 K2U8 K2U1

K1U5 K0U1 K3U6 K1U7 K3U3

K4U2 K2U10 K2U7 K4U9 K0U8

K2U4 K1U9 K0U5 K1U8 K3U4

K1U3 K4U1 K4U10 K3U2 K4U7

K4U3 K0U3 K0U6 K2U2 K0U7

Gambar 4. Tata letak rancangan penelitian

Keterangan :

Konsentrasi : K0=kontrol, K1=15ppm, K2=30ppm, K3=45ppm, K4=60ppm. U1,2,3,4,5,6,7,8,9,10 = Ulangan 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7,8,9,10

3.4 Bagan alir penelitian

Penelitian ini terdiri atas beberapa tahap, yaitu: 1) Penentuan medium tanam untuk perkecambahan benih cabai, dengan menggunakan media MS; 2) Penentuan kisaran konsentrasi AS toleran untuk seleksi cabai dengan

pertumbuhan optimum; 3) Pengamatan jumlah planlet cabai yang hidup, dari medium yang sudah ditambahkan AS; 4) Analisis karakter ekpresi yang spesifik pada plantlet cabai meliputi anatomi batang, kandungan lignin, dan analisis klorofil total, klorofil a dan klorofil b. Tahap penelitian ini disajikan dalam bentuk bagan alir (Gambar 5).


(46)

26

Gambar 5. Bagan alir tahap penelitian

Perlakuan Indikator Luaran

Penanaman benih cabai dalam media MS+AS

Terjadi

pertumbuhan tunas, daun dan akar

Plantlet dalam jumlah banyak untuk stok pengujian

Seleksi planlet cabai dengan AS pada berbagai konsentrasi Plantlet pada konsentrasi yang toleran masih mengadakan pertumbuhan Konsentrasi AS toleran untuk seleksi cabai merah

Pertumbuhan tanaman hasil pengimbasan AS pada planlet cabai

Plantlet cabai yang tahan tidak menunjukkan layu dan tetap tumbuh

Terbentuknya ketahanan pada plantlet cabai hasil pengimbasan AS

Karakterisasi plantlet cabai : anatomi batang, analisis lignin, dan kadar klorofil

Munculnya karakter spesifik plantlet cabai: anatomi batang, analisis lignin, dan kadar klorofil

Terdapat sifat spesifik pada plantlet cabai: anatomi batang, analisis lignin, dan kadar klorofil


(47)

27

3.5 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian meliputi beberapa langkah sebagai berikut.

3.5.1 Persiapan medium tanam

Medium yang digunakan dalam penelitian ini adalah Murashige & Skoog

(MS) padat. Pembuatan medium tanam MS sebanyak 1 liter adalah dengan cara memipet sejumlah larutan stok (Lampiran 1), kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 1 liter. Aquades ditambahkan sampai tanda (1 liter) dan pH diatur sampai 5,5. Untuk mendapatkan pH 5,5 dilakukan penambahan KOH 1 N atau HCl 1 N. Larutan tersebut kemudian dipindahkan ke dalam wadah yang lebih besar kemudian ditambahkan agar-agar sebanyak 7 g/l, sukrosa 30 g/l, dan PPM 0,5 ml/l tanpa penambahan zat pengatur tumbuh (ZPT).

Larutan medium dipanaskan untuk melarutkan agar-agar (sambil diaduk) sampai mendidih kemudian dituangkan ke dalam botol kultur sebanyak 20 ml/botol. Sterilisasi medium dengan menggunakan autoklaf dengan tekanan

17,5 psi, 121 0C selama 15 menit.

3.5.2 Persiapan medium seleksi

Medium Murashige & Skoog (MS) ditambah asam salisilat (AS) dengan

konsentrasi 0 ppm, 15 ppm, 30 ppm, dan 45 ppm menurut metode Sujatmiko et al., (2012). Sebelum digunakan, asam salisilat yang telah dilarutkan

dengan aquades pada konsentrasi tertentu disaring menggunakan syringe

filter yang mempunyai diameter 0,45 µm sebanyak 2 kali, dilanjutkan filter berdiameter 0,22 µm satu kali. Penyaringan dilakukan dalam ruang steril


(48)

28

Sebelum digunakan, medium ini diinkubasikan selama 7 hari pada suhu

kamar (25 oC) untuk memastikan bahwa AS telah tersaring dengan baik.

Apabila dalam waktu 7 hari tidak terjadi kontaminasi pada medium, maka medium dapat digunakan.

3.5.3 Sterilisasi dan Penanaman benih dalam medium seleksi

Benih cabai direndam dalam aquades, lalu dimasukkan ke dalam larutan chlorox 10% dikocok selama 10 menit. Benih dibilas dengan aquades, pembilasan dilakukan dua kali dan dikocok masing-masing 3 dan 2 menit.

Setelah itu dipindahkan ke dalam cawan petri yang berisi betadine (bahan

aktif: Povidone iodine 10%) ditambah aquades dan dibiarkan selama 30

menit, kemudian benih ditanam pada medium MS tanpa ZPT. Penanaman

benih dilakukan di dalam LAF Cabinet. Setiap botol kultur ditanami 5 benih,

sehingga total benih yang ditanam sebanyak 200 dalam 40 botol kultur. Benih-benih cabai tersebut di kecambahkan pada medium MS sampai terbentuk planlet berumur 21 hari. Inkubasi kultur dilakukan pada ruangan dengan penyinaran ± 1000 lux, 24 jam/hari dan suhu ± 20 ºC.


(49)

29

3.6 Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada akhir minggu ke-8 dan dievaluasi untuk mengetahui konsentrasi AS yang toleran untuk seleksi planlet cabai merah secara in vitro.

Setelah 8 minggu inkubasi, planlet yang masih hidup di dalam botol, kemudian dikarakterisasi dengan parameter sabagai berikut.

3.6.1 Analisis lignin

Pengamatan lignifikasi pada irisan melintang batang planlet cabai yang telah dilakukan pengimbasan dengan AS menggunakan metode dari Ruzin (1999). Langkah kerja dilakukan sebagai berikut.

Planlet cabai dicabut kemudian batangnya dibersihkan. Batang yang sudah bersih difiksasi dengan cara direndam dalam FAA dan disimpan selama 24 jam. Batang selanjutnya dijepit dibagian tengah gabus, dan diiris dengan sliding microtom secara melintang dengan ketebalan 5-10 μm. Potongan irisan melintang direndam dalam safranin encer (1% w/v) selama 1,5 jam, kemudian dibilas dengan aquades. Potongan batang yang telah dibilas direndam dalam larutan etanol konsentrasi 25% selama 2-5 menit kemudian direndam dalam safranin dan dikering anginkan. Sesudah kering, potongan batang diletakkan di atas gelas preparat dan ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya gelas preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Jaringan batang yang terlignifikasi akan tampak berwarna merah muda. Pengaruh AS, selanjutnya dideteksi efeknya antara lain melalui pengukuran ketebalan lignin pada dinding xilem. Pengukuran ketebalan lignin dengan menggunakan mikrometer okuler.


(50)

30

3.6.2 Analisis klorofil

Bahan untuk analisis klorofil adalah daun planlet cabai merah yang sudah diimbas dengan asam salisilat. Kadar klorofil dihitung dengan menggunakan metode Arnon (1949).

Daun planlet cabai merah ditimbang sebanyak 0,0128 g, dihilangkan ibu tulang daunnya, kemudian didestruksi dengan 5 ml alkohol 70%, dan dimasukkan kedalam elenmeyer. Selanjutnya, alkohol dipanaskan dan ditambahkan berturut-turut 5 ml alkohol sehingga volume alkohol yang ditambahkan mencapai 20 ml. Pemanasan dihentikan setelah alkohol yang tersisa kurang lebih 5 ml.

Larutan disentrifius, dan filtrat yang diperoleh dimasukkan kedalam kuvet sebanyak 5 ml. Absorbansi diukur dengangn spektrofotometer UV pada panjang gelombang 645 nm, 663 nm dan 683 nm. Ulangan tiap sampel sebanyak 3 kali. Kadar klorofil dihitung dengan menggunakan rumus adalah sebagai berikut:

-Klorofil total = [12,7(D683) – 2,69 (D645)] x

-Klorofil a = [22,9(D645) – 4,68 (D663)] x

-Klorofil b = [20,2(D645) + 8,02(D663)] x

3.6.3 Analisis anatomi jaringan batang

Pembuatan preparat awetan penampang melintang batang planlet cabai menurut Ruzin (1999) sebagai berikut:

Batang planlet cabai difiksasi menggunakan larutan alkohol 70%. Setelah itu

dilakukan pengirisan melintang batang dengan menggunakan sliding


(51)

31

yang diberi alkohol 70%. Lalu dilanjutkan pewarnaan dengan safranin 1% dalam alkohol 70% selama 24 jam, setelah itu dicuci dengan menggunakan aquades kemudian ditambah anilin blue 1% dalam alkohol 70%. Kemudian

preparat diletakkandi atas gelas benda, ditutup dengan gelas penutup yang

sebelumnya diberi balsam kanada. Preparat dikeringkan di atas hot plate

dengan suhu 45 ºC hingga balsam kanada mengering. Terakhir dilakukan

pemberian namadisebelah kiri gelas penutup dengan melekatkan etiket yang

diberi keterangan nama spesies.

3.7 Analisis data

Data yang diperoleh dari pertumbuhan planlet cabai merah selama seleksi dengan AS berupa data kualitatif dan data kuantitatif. Data kualitatif disajikan dalam bentuk deskriptif komparatif dan di dukung foto. Data kuantitatif dari setiap parameter dianalisis dengan menggunakan analisis

ragam (Analysis of Variance) atau Anova dengan tingkat kepercayaan 5%.

Apabila ada beda nyata dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf 5%.


(52)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan pada uji klorofil, lignifikasi dan anatomi batang pada planlet cabai merah di peroleh simpulan sebagai berikut.

1. Kisaran konsentrasi AS toleran untuk seleksi planlet cabai merah secara in

vitro adalah 15 - 60 ppm. Hasil seleksi menghasilkan jumlah planlet cabai merah sebesar 10% (0 ppm), 10% (15, 30, 45, dan 60 ppm) yang insensitif terhadap AS.

2. Planlet cabai merah yang terimbas asam salisilat memiliki karakter

ekspresi yang berbeda dengan planlet cabai merah yang tidak diimbas asam salisilat.

a. Kandungan klorofil pada daun planlet cabai merah yang diimbas AS

pada konsentrasi 15, 30, 45 dan 60 ppm mengalami penurunan, dibandingkan dengan kontrol.

b. Analisis lignin yang terdapat pada xilem pada batang planlet cabai

merah yang diimbas AS mengalami penebalan, dibandingkan dengan batang yang tidak diimbas AS.


(53)

53

c. Analisis anatomi batang planlet cabai merah yang diimbas AS pada

batang planlet cabai merah yang tidak diimbas terdapat perbedaan pada bagian kambium dan epidermis.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penambahan konsentrasi asam salisilat yang lebih tinggi terhadap planlet cabai merah yang mengalami stress.


(54)

54

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal AA, Tuzun S, & Bent E. 1999. Induced Plant Defenses Againts

Phatogens and Herbivores, Biovhemistry, Ecology and Agriculture. APS Prees, St. Paul, Minnesota. 390 p.

Anjum T, Akram W, Ahmad A, Hussain M, Aslam H, & Fatimah S. 2003. An

Insight Into The Basis of Resistance in Sorghum bicolor Against

Colletrichum sublineolum. Academic Journals 7(15): 1397-1408.

Anonymous. 2014. http://www.wikepedia org/struktur-asam-salisilat.htm.

Diakses 12 Mei 2104, pukul 14.00.

Arnon, D. I.1949. Copper enzymes in Isolated Chloroplasts Polyphenoloxidase in Beta vulgaris, Plants Physiol. 24: 1-15.

Baker, R & T C Paulitz.1993. Theoritical basis for microbial interaction leadingto

biological contol of soil borne pathogen . St Paul Minn :50-70.

Bouizgarne, B, Bouteau HEM, Frankart C, Reboutier D, Madiona K, Pennarun AM, Monestiez M, Trouverier J, Amiar Z, Briand J, Brault M, Rona JP, Ouhdouch Y, & Hadrami EI. 2006. Early Physiological Responses of Arabidopsis thaliana Cells to Fusaric Acid :Toxic and Signalling Effects. New Phytologist 169: 209-218.

De Ascensao, A. R. D. C. F., and Dubery, I. A. 2000. Panama disease: Cell wall

reinforcement in banana roots in response to elicitors from Fusarium

oxysporum f. sp. cubense race fuor. Phytopathology 90:1173-1180.

Duriat, A.S, Gunaeni,N dan Wulandari, A.E. 2007. Penyakit Penting Tanaman

Cabai dan Pengendaliannya. Monografi No.31,Balai Penelitian Tanaman Sayuran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Goodman RN, Kiraly Z, & Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiologi of


(55)

55

Goto, M. 1992. Fundamental of Bacterial Plant Pathology. Academic Press,

Tokyo. 342 p.

Hamza A, Derbalah A, & El-Nady M. 2012. Identification and Mechanism of Echinochloa crus-galli Resistance to Fenoxaprop-p-ethyl with respect to

Physiological and Anatomical Differences. Scientific World Journal.

2012: 1-8

He CY, Hsiang T, & Wolyn DJ. 2002. Induction of Systemic Disease Resistance

and Pathogen Defence Responses in Asparagus officinalis Inoculated

with Pathogenic Strains of Fusarium oxysporum. Plant Pathology 51:

225-230

Hendrayono, D.P.S dan Wijayanti A. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Penerbit

Kanisius. Yogyakarta.

Jayasankar S, Li Z, & Gray DJ. 2000. In Vitro Selection of Vitis vinifera

‘Chardonnay’ withElsinoe ampelina Culture Filtrate is Accompanied by

Fungal Resistance and Enhanced Secretion of Chitinase. Planta .

211:200-208.

Javaheri, M. Mashayekhi, K. Dadkhah, A, dan Tavallaee, F, Z. 2012. Effects of salicylic acid on yield and quality characters of tomato fruit

(Lycopersicum esculentum Mill.). International Journal of Agriculture and Crop Sciences. Vol.,4 (16) , 1184-1187.

Kalix, S.G .Antoka , Y L and Buchenauer, B. 1996. Modern Fungicides and

Antifungal Compounds. Intercept Ltd, Andover:451-460.

Lea P. & Leegood RC. 1999. Plant Biochemistry and Moleculer Biology. 2nd ed.

John Wiley & Sons Ltd. Chichester. 364 p.

Leon, J. Yalpani N, Raskin.I, & Lawton.M.A. 1993. Induction of Benzoic Acid

2-Hydrokxylase in Virus-Inoculated Tabacco. Plant Physiol.103:323-328.

Moharekar, S.T, Lokhande, S.D, Hara. T, Tanaka.R, and Chavan, P.D. 2003. Effect of Salicylic Acid and on Clorophyll and Caretenoid Contents of

Wheat and Moong Seedling. Photosynthetica. pp 315-317.

Nawangsih, A.A, Imdad H.P, Wahyudi A. 1994. Cabai Hot Beauty. Penerbit


(56)

56

Nugroho, A dan Sugito H. 2005. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur

Jaringan.Penerbit Penebar Swadaya. Bogor.

Nurcahyani, E. 2013. Karakterisasi Plantlet Vanili (Vanilla planifolia Andrews)

Hasil Seleksi In vitro dengan Asam Fusarat Terhadap Fusarium

oxyporum f.sp.vanillae. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Desertasi.(Tidak dipublikasikan).

Prajnanta, F. 2007. Agribisnis Cabai Hibrida. Penerbit PT Penebar

Swadaya.Bogor.

Radwan. D.E.M. and Soltan D.M. 2012. The Negative Effect of Clethodhim in Photosynthesis and gas- exchange Status of Maize Plants are

Ameliorated by Salicylic Acid Pretreatment. Photosynthetica. pp

012-016.

Rajab, A. dan M. Taufik. 2008. Introduksi beberapa jenis sayuran di lahan kering

iklim kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar.

Rostini, N. 2011. 6 Jurus Bertanam Cabai Bebas Hama dan Penyakit. PT

AgroMedia Pustaka, Jakarta. Hal. 41.

Ruzin S.E. 1999. Plant Microtechnique and Microscopy. Oxford University Press.

New York. 307 p.

Saravanan T, Bhaskaran R, & Muthusamy M. 2004. Pseudomonas fluorescens

Induced Enzymological Changes in Banana Roots (cv. Rasthali) against Fusarium Wilt Disease. Plant Pathology Journal 3 : 72-80.

Sembiring, N.N. 2009. Pengaruh Jenis Bahan Pengemas terhadap Kualitas Produk

Cabai Merah (Capsicum annuum L.). Tesis. Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara, Medan..

Serap cag, Gul cevahir.O.Z, Mine Sarsag and Wahal Goren Saglam. 2009. Effect of Salicylic Acid on Pigment, Protein Content, and Peroxidase Activity

in Excised Sunflower Cotyledons. Pak.J.Bot 41(5) :2297-2303. Istanbul

University. Istambul, Turkey

Sitohang, N. 2005. Multiplikasi Porpagula Pisang Barangan (Musa paradisiaca

L) Dari Berbagai Jumlah Tunas, Dalam Media MS Yang diberi BAP Pada Berbagai Konsentrasi. UNIKA, Medan.


(57)

57

Soelaiman, V dan Ernawati A. 2013. Pertumbuhan dan Perkembangan Cabai

Keriting (Capsicum annuum L.) secara In vitro pada beberapa

Konsentrasi BAP dan IAA. Bul. Agrohorti 1 (1) : 62–66.

Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Penerbit

Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 573.

Soetrisno, T.A,dan Setiawati, W. 2010. Sajian Teknis dan Ekonomis Sistem

Tanam Dua Varietas Cabai Merah. J Hort.20(3):284-298.2010.

Sticher L, Mauch-Mani B & Metraux JP. 1997. Systemic Acquired Resistance. Annual Review Phytopathology 35: 235-270.

Suharyanto E, Vautein M, & Jacobs M. 2007. Overproduction of Lysine by Engineering The Lysine Biosynthetic Pathway of Plant for Improving the Nutritional Quality, Contribution Towards a Better Human Prosperity. Proceeding International Seminar Advances in Biological Science. Yogyakarta. pp. 13, 170.

Sujatmiko, B. Sulistyaningsih, E, dan Murti, R.H. 2012. Studi Ketahanan Melon (Cucumis Melo L) Terhadap Layu Fusarium Secara In vitro Dengan

Asam Salisilat. Ilmu Pertanian. Vol 15 No.2; 1-18.

Sumardiyono, C. 2000. Ketahanan Terimbas, Kendala dan Prosesnya Dalam

Pengendalain Penyakit Tumbuhan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Suriyana, N. 2012. Cabai Sehat dan Berkhasiat. Penerbit CV Andi

Offset.Yogyakarta.

Svabova L & Lebeda A. 2005. In Vitro Selection for Improved Plant Resistance to

Toxin-Producing Pathogens. J. Phytopathol 153 : 52-64.

Taringan,S. dan Wiryanto.W.2003. Bertanamn Cabai Hibrida Secara Intensif.

Penerbit PT Agromedia Pustaka.Depok.

Vance CP & Sherwood RT. 1976. Regulation of Lignin Formation in Reed

Canarygrass in Relation to Disease Resistence. Plant Physiol. 57:


(58)

58

Wiratama, D.N.P, Sudiarta, P, dan Utama M.S. 2013. Kajian Ketahanan Beberapa

Galur dan Varietas Cabai Terhadap Serangan Antraknosa.E.Jurnal

Agroteknologi Tropika.Vol 2. No 2.


(1)

c. Analisis anatomi batang planlet cabai merah yang diimbas AS pada batang planlet cabai merah yang tidak diimbas terdapat perbedaan pada bagian kambium dan epidermis.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penambahan konsentrasi asam salisilat yang lebih tinggi terhadap planlet cabai merah yang mengalami stress.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal AA, Tuzun S, & Bent E. 1999. Induced Plant Defenses Againts

Phatogens and Herbivores, Biovhemistry, Ecology and Agriculture. APS

Prees, St. Paul, Minnesota. 390 p.

Anjum T, Akram W, Ahmad A, Hussain M, Aslam H, & Fatimah S. 2003. An Insight Into The Basis of Resistance in Sorghum bicolor Against

Colletrichum sublineolum. Academic Journals 7(15): 1397-1408.

Anonymous. 2014. http://www.wikepedia org/struktur-asam-salisilat.htm. Diakses 12 Mei 2104, pukul 14.00.

Arnon, D. I.1949. Copper enzymes in Isolated Chloroplasts Polyphenoloxidase in

Beta vulgaris, Plants Physiol. 24: 1-15.

Baker, R & T C Paulitz.1993. Theoritical basis for microbial interaction leadingto biological contol of soil borne pathogen . St Paul Minn :50-70.

Bouizgarne, B, Bouteau HEM, Frankart C, Reboutier D, Madiona K, Pennarun AM, Monestiez M, Trouverier J, Amiar Z, Briand J, Brault M, Rona JP, Ouhdouch Y, & Hadrami EI. 2006. Early Physiological Responses of

Arabidopsis thaliana Cells to Fusaric Acid :Toxic and Signalling Effects.

New Phytologist 169: 209-218.

De Ascensao, A. R. D. C. F., and Dubery, I. A. 2000. Panama disease: Cell wall reinforcement in banana roots in response to elicitors from Fusarium

oxysporum f. sp. cubense race fuor. Phytopathology 90:1173-1180.

Duriat, A.S, Gunaeni,N dan Wulandari, A.E. 2007. Penyakit Penting Tanaman

Cabai dan Pengendaliannya. Monografi No.31,Balai Penelitian Tanaman

Sayuran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Goodman RN, Kiraly Z, & Wood KR. 1986. The Biochemistry and Physiologi of


(3)

Goto, M. 1992. Fundamental of Bacterial Plant Pathology. Academic Press, Tokyo. 342 p.

Hamza A, Derbalah A, & El-Nady M. 2012. Identification and Mechanism of

Echinochloa crus-galli Resistance to Fenoxaprop-p-ethyl with respect to

Physiological and Anatomical Differences. Scientific World Journal. 2012: 1-8

He CY, Hsiang T, & Wolyn DJ. 2002. Induction of Systemic Disease Resistance and Pathogen Defence Responses in Asparagus officinalis Inoculated with Pathogenic Strains of Fusarium oxysporum. Plant Pathology 51: 225-230

Hendrayono, D.P.S dan Wijayanti A. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Jayasankar S, Li Z, & Gray DJ. 2000. In Vitro Selection of Vitis vinifera

‘Chardonnay’ withElsinoe ampelina Culture Filtrate is Accompanied by Fungal Resistance and Enhanced Secretion of Chitinase. Planta .

211:200-208.

Javaheri, M. Mashayekhi, K. Dadkhah, A, dan Tavallaee, F, Z. 2012. Effects of salicylic acid on yield and quality characters of tomato fruit

(Lycopersicum esculentum Mill.). International Journal of Agriculture

and Crop Sciences. Vol.,4 (16) , 1184-1187.

Kalix, S.G .Antoka , Y L and Buchenauer, B. 1996. Modern Fungicides and Antifungal Compounds. Intercept Ltd, Andover:451-460.

Lea P. & Leegood RC. 1999. Plant Biochemistry and Moleculer Biology. 2nd ed. John Wiley & Sons Ltd. Chichester. 364 p.

Leon, J. Yalpani N, Raskin.I, & Lawton.M.A. 1993. Induction of Benzoic Acid 2-Hydrokxylase in Virus-Inoculated Tabacco. Plant Physiol.103:323-328. Moharekar, S.T, Lokhande, S.D, Hara. T, Tanaka.R, and Chavan, P.D. 2003.

Effect of Salicylic Acid and on Clorophyll and Caretenoid Contents of Wheat and Moong Seedling. Photosynthetica. pp 315-317.

Nawangsih, A.A, Imdad H.P, Wahyudi A. 1994. Cabai Hot Beauty. Penerbit PT.Penebar Swadaya: Bogor.


(4)

Nugroho, A dan Sugito H. 2005. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur

Jaringan.Penerbit Penebar Swadaya. Bogor.

Nurcahyani, E. 2013. Karakterisasi Plantlet Vanili (Vanilla planifolia Andrews) Hasil Seleksi In vitro dengan Asam Fusarat Terhadap Fusarium

oxyporum f.sp.vanillae. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Desertasi.(Tidak dipublikasikan).

Prajnanta, F. 2007. Agribisnis Cabai Hibrida. Penerbit PT Penebar Swadaya.Bogor.

Radwan. D.E.M. and Soltan D.M. 2012. The Negative Effect of Clethodhim in Photosynthesis and gas- exchange Status of Maize Plants are

Ameliorated by Salicylic Acid Pretreatment. Photosynthetica. pp 012-016.

Rajab, A. dan M. Taufik. 2008. Introduksi beberapa jenis sayuran di lahan kering

iklim kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar.

Rostini, N. 2011. 6 Jurus Bertanam Cabai Bebas Hama dan Penyakit. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta. Hal. 41.

Ruzin S.E. 1999. Plant Microtechnique and Microscopy. Oxford University Press. New York. 307 p.

Saravanan T, Bhaskaran R, & Muthusamy M. 2004. Pseudomonas fluorescens Induced Enzymological Changes in Banana Roots (cv. Rasthali) against

Fusarium Wilt Disease. Plant Pathology Journal 3 : 72-80.

Sembiring, N.N. 2009. Pengaruh Jenis Bahan Pengemas terhadap Kualitas Produk Cabai Merah (Capsicum annuum L.). Tesis. Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan..

Serap cag, Gul cevahir.O.Z, Mine Sarsag and Wahal Goren Saglam. 2009. Effect of Salicylic Acid on Pigment, Protein Content, and Peroxidase Activity in Excised Sunflower Cotyledons. Pak.J.Bot 41(5) :2297-2303. Istanbul University. Istambul, Turkey

Sitohang, N. 2005. Multiplikasi Porpagula Pisang Barangan (Musa paradisiaca L) Dari Berbagai Jumlah Tunas, Dalam Media MS Yang diberi BAP


(5)

Soelaiman, V dan Ernawati A. 2013. Pertumbuhan dan Perkembangan Cabai Keriting (Capsicum annuum L.) secara In vitro pada beberapa Konsentrasi BAP dan IAA. Bul. Agrohorti 1 (1) : 62–66.

Soesanto, L. 2008. Pengantar Pengendalian Hayati Penyakit Tanaman. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 573.

Soetrisno, T.A,dan Setiawati, W. 2010. Sajian Teknis dan Ekonomis Sistem Tanam Dua Varietas Cabai Merah. J Hort.20(3):284-298.2010. Sticher L, Mauch-Mani B & Metraux JP. 1997. Systemic Acquired Resistance.

Annual Review Phytopathology 35: 235-270.

Suharyanto E, Vautein M, & Jacobs M. 2007. Overproduction of Lysine by Engineering The Lysine Biosynthetic Pathway of Plant for Improving the Nutritional Quality, Contribution Towards a Better Human Prosperity.

Proceeding International Seminar Advances in Biological Science.

Yogyakarta. pp. 13, 170.

Sujatmiko, B. Sulistyaningsih, E, dan Murti, R.H. 2012. Studi Ketahanan Melon

(Cucumis Melo L) Terhadap Layu Fusarium Secara In vitro Dengan

Asam Salisilat. Ilmu Pertanian. Vol 15 No.2; 1-18.

Sumardiyono, C. 2000. Ketahanan Terimbas, Kendala dan Prosesnya Dalam

Pengendalain Penyakit Tumbuhan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Suriyana, N. 2012. Cabai Sehat dan Berkhasiat. Penerbit CV Andi Offset.Yogyakarta.

Svabova L & Lebeda A. 2005. In Vitro Selection for Improved Plant Resistance to Toxin-Producing Pathogens. J. Phytopathol 153 : 52-64.

Taringan,S. dan Wiryanto.W.2003. Bertanamn Cabai Hibrida Secara Intensif. Penerbit PT Agromedia Pustaka.Depok.

Vance CP & Sherwood RT. 1976. Regulation of Lignin Formation in Reed Canarygrass in Relation to Disease Resistence. Plant Physiol. 57: 915-919.


(6)

Wiratama, D.N.P, Sudiarta, P, dan Utama M.S. 2013. Kajian Ketahanan Beberapa Galur dan Varietas Cabai Terhadap Serangan Antraknosa.E.Jurnal

Agroteknologi Tropika.Vol 2. No 2.