Nilai KR 10 dan FK 25 Makrozoobentos pada Setiap Periode Stasiun Penelitian

Thiara masing-masing dengan nilai K sebesar 12,34 Indm 2 , 34,56 Indm 2 , KR sebesar 5,43 , 15,22 , FK sebesar 55,55 , 44,44 , pada periode II ditemukan genus Thiara dengan nilai K sebesar 25,92 Indm 2 , KR sebesar 17,95 , FK sebesar 55,55 dan pada periode III ditemukan genus Tryonia dengan nilai K sebesar 4,94 Indm 2 , KR sebesar 7,41 , FK sebesar 33,33 . Menurut Handayani et al.,2000 Gastropoda merupakan organisme yang mempunyai kisaran penyebaran yang luas di substrat berbatu, berpasir maupun berlumpur tetapi organisme ini cenderung menyukai substrat dasar berpasir dan sedikit berlumpur. Kelas Gastropoda hanya ada pada stasiun 3 periode III, dan stasiun 4 pada periode I,II,III kemungkinan disebabkan adanya masukan bahan organik yang tinggi dari daerah pemukiman dan pertanian dimana bahan organik tersebut merupakan sumber makanan bagi makrozoobentos jenis Gastropoda. Menurut Hynes 1976 bahwa jenis siput lebih banyak dijumpai pada perairan yang sadah dimana pada perairan yang demikian, Ca akan dimanfaatkan untuk pembentukan cangkang.

4.1.2 Nilai KR 10 dan FK 25 Makrozoobentos pada Setiap Periode Stasiun Penelitian

Berdasarkan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobentos yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti tertera pada Tabel 4.2 maka dapat dikelompokkan makrozoobentos yang memiliki KR 10 dan FK 25 seperti pada Tabel 4.3. Universitas Sumatera Utara Tabel 4.3 Nilai KR 10 dan FK 25 Makrozoobentos pada Setiap Periode Stasiun Penelitian Periode I Stasiun 1 2 3 4 No Genus KR FK KR FK KR FK KR FK 1 Leucrocuta 41.11 88.88 31,09 100 2 Isoperla 39.10 100 3 Epeorus 23.75 66.66 43,26 100 13,14 77,77 4 Ephemerella 10.57 88.88 5 Thiara 15.22 44.44 6 Hydropsyche 25.55 55.55 7 Symphitopsyche 10.87 44.44 Jumlah Genus 2 2 3 3 Periode II Stasiun 1 2 3 4 No Genus KR FK KR FK KR FK KR FK 1 Leucrocuta 22,09 100 13.09 55.55 13.05 55.55 2 Isoperla 18,18 88.88 34.53 100 21.74 88.88 13.68 66.66 3 Acroneuria 15,59 88.88 27.38 100 11.59 66.66 4 Ephemerella 11,69 55,55 23.20 66.66 5 Thiara 17.95 55.55 6 Hydropsyche 22.23 66.66 Jumlah Genus 4 3 4 3 Periode III Stasiun 1 2 3 4 No Genus KR FK KR FK KR FK KR FK 1 Isoperla 23.08 55.55 48,22 55,55 11,12 44,44 2 Acroneuria 11.55 55.55 14.29 66,66 3 Epeorus 10,39 77.77 4 Ephemerella 21,44 77,77 5 Leucrocuta 10,72 44,44 17.54 77.77 6 Symphitopsyche 16,67 55,55 7 Polycentropus 12,96 55,55 Jumlah Genus 2 3 3 3 Universitas Sumatera Utara Dari Tabel 4.3 dapat dilihat genus makrozoobentos yang memiliki KR 10 dan FK 25 pada stasiun 1 periode I terdapat pada genus Leucrocuta dan Epeorus, periode II terdapat pada genus Leucrocuta, Isoperla, Acroneuria, Ephemerella dan pada periode III terdapat pada genus Isoperla, Acroneuria, Ephemerella. Pada stasiun 2 periode I terdapat pada genus Leucrocuta dan Epeorus, periode II terdapat pada genus Leucrocuta, Isoperla, Acroneuria dan pada periode III terdapat pada Leucrocuta, Isoperla, Acroneuria. Pada stasiun 3 periode I terdapat pada genus Isoperla, Ephemerella, Epeorus, pada periode II terdapat pada genus Leucrocuta, Isoperla, Acroneuria dan Ephemerella sedangkan pada periode III terdapat pada genus Leucrocuta, Epeorus, Ephemerella dan pada stasiun 4 periode I terdapat pada genus Thiara dan Symphitopsyche, pada periode II terdapat pada genus Isoperla, Thiara dan Hydropsyche dan pada periode III terdapat pada genus Isoperla, Polycentropus dan Symphitopsyche. Suin 2002 menjelaskan suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai dengan perkembangan suatu organisme apabila nilai KR 10 dan FK 25 . Menurut Lock dan Wiliam 1981 suatu individu akan dapat hidup pada habitat yang mampu menyuplai kehidupannya, jika penyuplaian akan kebutuhan kehidupannya sedikit atau minim akan berakibat spesies tersebut tidak dapat mempertahankan kehidupannya. Universitas Sumatera Utara 4.1.3 Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Makrozoobentos pada Setiap Periode Stasiun Penelitian Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap stasiun penelitian didapatkan Indeks Keanekaragaman H’ dan Indeks Keseragaman E Makrozoobentos seperti terlihat pada Tabel 4.4. Tabel 4.4 Indeks Keanekaragaman H dan Indeks Keseragaman E Makrozoobentos pada Setiap Periode Stasiun Penelitian Periode I II III Indeks st 1 st 2 st 3 st 4 st 1 st 2 st 3 st 4 st 1 st 2 st 3 st 4 Keanekaragaman H 1,71 1,62 1,89 2,37 2,15 1,69 2,09 2,32 2,40 1,70 2,51 2,43 Keseragaman E 0,65 0,63 0,68 0,86 0,84 0,77 0,82 0,87 0,91 0,74 0,84 0,98 Pada Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa nilai Indeks Keanekaragaman H’ yang di dapatkan pada keempat stasiun penelitian pada periode I berkisar antara 1,62 – 2,37, pada periode II antara 1,69 – 2,32 dan pada periode III 1,70 – 2,51. Pada periode I, II dan III Indeks Keanekaragaman H’ tertinggi terdapat pada stasiun 4 yakni sebesar 2,37, 2,32, 2,43 hal ini disebabkan pada stasiun 4 baik pada periode I, II dan III jumlah individu tiap genus relatif merata dibandingkan ketiga stasiun lainnya. Menurut Brower et al., 1990, suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies yang relatif merata. Dengan kata lain apabila suatu komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah. Universitas Sumatera Utara Indeks Keanekaragaman H’ terendah pada periode I, II dan III terdapat pada stasiun 2 yakni sebesar 1,62, 1,69, 1,70. Rendahnya nilai Indeks Keanekaragaman ini karena melimpahnya jumlah genus Epeorus pada periode I dan genus Isoperla pada periode I dan II, sehingga menyebabkan penyebaran jumlah dari individu pada setiap spesiesnya tidak merata. Menurut Odum 1994 keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh pembagian atau penyebaran individu dari tiap jenisnya, karena suatu komunitas walaupun banyak jenis tetapi bila penyebaran individunya tidak merata maka keanekaragaman jenisnya rendah. Berdasarkan Indeks Diversitas Shannon Wiener H’ dari makrozoobentos pada masing-masing lokasi penelitian yang diamati, dapat dibuat klasifikasi derajat pencemaran lingkungannya. Menurut Sastrawijaya 2000 klasifikasi derajat pencemaran air berdasarkan indeks diversitas dapat digolongkan sebagai berikut : H’ 1,0 : Tercemar Berat H’ = 1,0 – 1,6 : Tercemar Sedang H’ = 1,6 – 2,0 : Tercemar Ringan H’ 2,0 : Tidak Tercemar Berdasarkan pengelompokkan tersebut beserta data yang diperoleh maka periode I pada stasiun 4 , periode II dan III masing –masing pada stasiun 1, 3 dan 4, termasuk ke dalam kelompok perairan yang tidak tercemar, sedangkan pada periode I stasiun 1, 2, 3, periode II dan III pada stasiun 2, termasuk dalam kelompok tercemar ringan. Pada periode I stasiun 1 dan 3, indeks keanekaragamannya rendah karena penyebaran jenis tidak merata, ada jenis yang mendominasi. Pada stasiun 2 baik pada Universitas Sumatera Utara periode I,II dan III, termasuk perairan yang tercemar ringan, hal ini di duga karena perairan tersebut difungsikan sebagai tempat pemandian gajah dua kali dalam sehari, tempat pemancingan dan disekitar perairan tersebut digunakan juga untuk camping ground. Heddy dan Kurniati 1996 menyatakan bahwa keanekaragaman rendah menandakan ekosistem mengalami tekanan atau kondisinya menurun. Indeks Keseragaman E yang diperoleh dari tiga periode pengambilan sampel berkisar antara 0,63 – 0,98 . Indeks keseragaman tertinggi terdapat pada periode III stasiun 4. Pada stasiun ini jumlah genus yang diperoleh penyebarannya merata, hampir tidak ada yang mendominasi. Indeks Keseragaman terendah terdapat pada periode I stasiun 2. Pada stasiun ini penyebarannya tidak merata dan ada genus yang mendominasi. Menurut Krebs 1985, Indeks Keseragaman E berkisar antara 0 – 1 . Jika Indeks Keseragaman mendekati 0 berarti keseragamannya rendah karena adanya jenis yang mendominasi. Bila mendekati 1, maka keseragaman tinggi dan menggambarkan tidak ada jenis yang mendominasi sehingga pembagian jumlah individu pada masing- masing jenis sangat seragam atau merata.

4.1.4 Indeks Kesamaan IS Makrozoobentos pada Setiap PeriodeStasiun Penelitian