Proporsi Pterigium Di Rsud Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012

(1)

Daftar Riwayat Hidup

Nama : Marisa Perucana Sinambela

Tempat, tanggal lahir : Balige, 27 Februari 1993

Alamat : Jl. Berdikari 52, Padang Bulan, Medan

E-mail

Riwayat pendidikan : 1. SD Negeri No. 173524 Balige (1998-2004) 2. SMP Negeri 1 Soposurung Balige (2004-2007) 3. SMA Negeri 2 Soposurung Balige (2007-2010) 4. Fakultas Kedokteran USU (2010 - sekarang) Riwayat Organisasi : 1. Anggota OSIS SMA Negeri 2 Balige (2009-2010)

2. SCOPH PEMA FK USU (2011-2012)


(2)

(3)

(4)

(5)

No Rekam Medis Usia

Jenis

Kelamin Pekerjaan

Derajat Pterigium

1 61-05-62 53 L PNS Derajat 2

2 82-13-06 24 P Petani Derajat 2

3 82-08-70 41 P PNS Derajat 4

4 82-05-23 64 P Pedagang Derajat 2

5 19-62-42 79 L Pensiunan Derajat 2

6 78-79-09 38 P PNS Derajat 1

7 65-08-05 76 P Pensiunan Derajat 2

8 79-54-79 62 L Petani Derajat 4

9 71-54-64 46 P Wiraswasta Derajat 2

10 82-34-55 39 L Pekerja Lepas Derajat 2

11 26-89-67 57 L PNS Derajat 1

12 82-34-39 34 P Pegawai Swasta Derajat 2

13 15-81-38 72 P Pensiunan Derajat 2

14 16-01-53 67 P Pensiunan Derajat 2

15 82-36-35 67 P Petani Derajat 2

16 82-37-96 44 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

17 42-81-23 59 P Pensiunan Derajat 2

18 65-08-01 63 P Pensiunan Derajat 1

19 41-82-62 75 P Pensiunan Derajat 2

20 70-01-46 56 P PNS Derajat 2

21 26-89-87 57 L PNS Derajat 1

22 82-29-97 31 P Ibu Rumah Tangga Derajat 3

23 33-23-14 86 L Pensiunan Derajat 2

24 82-42-54 64 P Pensiunan Derajat 1

25 82-54-09 50 P PNS Derajat 2

26 82-54-77 38 P Pedagang Derajat 2

27 24-56-67 66 P Pensiunan Derajat 2

28 80-42-55 62 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

29 82-68-46 37 P Petani Derajat 2

30 34-43-56 69 L Pensiunan Derajat 3

31 82-57-77 53 P Pekerja Lepas Derajat 2

32 34-43-56 69 L Pensiunan Derajat 2

33 82-62-70 57 L PNS Derajat 2

34 60-14-29 56 P PNS Derajat 2

35 31-91-60 57 P PNS Derajat 1

36 82-86-76 59 P Wiraswasta Derajat 2


(6)

38 80-91-88 52 P PNS Derajat 2

39 51-41-09 49 P PNS Derajat 2

40 82-90-21 32 P Petani Derajat 2

41 33-63-89 51 L PNS Derajat 1

42 46-78-02 69 L Petani Derajat 2

43 69-55-33 57 P PNS Derajat 2

44 83-02-39 38 L Wiraswasta Derajat 2

45 83-06-93 50 P PNS Derajat 2

46 44-83-61 46 P PNS Derajat 2

47 83-11-54 57 L Wiraswasta Derajat 2

48 83-15-67 51 L PNS Derajat 1

49 28-76-90 64 P PNS Derajat 2

50 87-17-06 40 P Wiraswasta Derajat 2

51 82-24-77 24 P Wiraswasta Derajat 2

52 33-53-39 60 L PNS Derajat 2

53 78-61-25 35 P PNS Derajat 1

54 27-45-68 56 P Wiraswasta Derajat 2

55 83-34-86 60 L Pensiunan Derajat 3

56 60-10-97 74 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

57 79-04-25 71 P Pensiunan Derajat 2

58 83-30-64 39 P Wiraswasta Derajat 2

59 20-83-51 56 P PNS Derajat 2

60 83-39-29 68 P Ibu Rumah Tangga Derajat 3

61 83-37-62 63 L Petani Derajat 1

62 55-48-98 72 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

63 47-54-61 63 P Pensiunan Derajat 2

64 83-05-33 42 L PNS Derajat 2

65 83-50-89 30 P Ibu Rumah Tangga Derajat 1

66 43-95-04 51 P PNS Derajat 4

67 83-53-70 17 P Wiraswasta Derajat 2

68 82-98-63 67 P Pensiunan Derajat 2

69 36-70-15 68 P Pensiunan Derajat 3

70 45-29-91 59 P PNS Derajat 2

71 06-42-44 44 P Ibu Rumah Tangga Derajat 3

72 83-59-68 51 L Wiraswasta Derajat 2

73 38-79-97 49 P PNS Derajat 3

74 30-22-04 49 P PNS Derajat 2


(7)

76 79-29-52 65 P Pedagang Derajat 2

77 83-61-65 34 P Pedagang Derajat 2

78 83-61-78 47 L PNS Derajat 1

79 83-62-75 48 P PNS Derajat 2

80 83-63-67 56 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

81 80-05-40 56 P PNS Derajat 2

82 53-78-88 66 P PNS Derajat 2

83 83-66-24 37 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

84 79-24-66 63 L Wiraswasta Derajat 2

85 74-55-02 35 P Pekerja Lepas Derajat 3

86 68-71-42 50 L Pedagang Derajat 2

87 81-53-34 59 P Pensiunan Derajat 2

88 68-72-65 45 P PNS Derajat 2

89 26-81-64 72 P PNS Derajat 2

90 83-86-93 36 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

91 83-86-94 36 P Wiraswasta Derajat 2

92 36-95-82 55 P PNS Derajat 4

93 57-63-36 72 L Pensiunan Derajat 2

94 57-79-66 62 P Ibu Rumah Tangga Derajat 4

95 83-99-44 63 P Pedagang Derajat 2

96 83-99-81 56 P PNS Derajat 2

97 84-01-66 45 P Wiraswasta Derajat 4

98 50-86-52 64 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

99 00-22-01 73 L Pensiunan Derajat 4

100 55-90-03 42 P Ibu Rumah Tangga Derajat 4

101 47-24-94 61 P Pensiunan Derajat 2

102 84-17-75 57 L Supir Derajat 4

103 84-18-68 49 L Supir Derajat 2

104 84-15-43 43 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

105 72-89-09 54 P PNS Derajat 2

106 79-25-81 71 L Tidak bekerja Derajat 2

107 26-70-55 71 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

108 84-25-05 38 P Wiraswasta Derajat 4

109 77-29-86 38 L Supir Derajat 2

110 83-68-93 36 P Wiraswasta Derajat 2

111 84-03-53 64 P Pensiunan Derajat 2

112 54-08-75 64 P Pensiunan Derajat 2

113 82-66-84 74 P Pensiunan Derajat 3


(8)

115 84-35-27 40 P Wiraswasta Derajat 2

116 84-38-04 56 L PNS Derajat 2

117 84-45-98 41 P Pensiunan Derajat 2

118 84-48-18 33 L Pegawai Swasta Derajat 2

119 84-48-09 47 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

120 20-39-42 59 L Petani Derajat 3

121 84-50-37 54 P PNS Derajat 2

122 84-55-85 65 L PNS Derajat 3

123 36-94-46 44 L Pedagang Derajat 3

124 30-19-60 70 L PNS Derajat 2

125 84-66-91 70 P Pedagang Derajat 2

126 83-42-07 74 L Pensiunan Derajat 3

127 84-69-44 44 P Pensiunan Derajat 2

128 69-19-62 63 P Wiraswasta Derajat 3

129 21-10-12 68 P Pensiunan Derajat 3

130 79-12-03 53 P Pensiunan Derajat 3

131 89-66-91 70 L Wiraswasta Derajat 3

132 78-34-16 57 L Pensiunan Derajat 2

133 40-45-70 54 L PNS Derajat 3

134 14-89-51 65 P Ibu Rumah Tangga Derajat 3

135 85-02-03 43 P Pensiunan Derajat 2

136 82-19-24 46 P Wiraswasta Derajat 3

137 85-14-17 30 P Wiraswasta Derajat 2

138 85-18-80 60 P Wiraswasta Derajat 2

139 42-33-49 49 P Petani Derajat 2

140 85-24-20 47 L PNS Derajat 2

141 85-25-84 83 L Wiraswasta Derajat 2

142 85-26-72 61 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

143 51-12-99 50 P Pensiunan Derajat 2

144 82-99-25 45 P PNS Derajat 2

145 85-29-62 81 P Pegawai Swasta Derajat 2

146 85-24-76 60 P Pensiunan Derajat 2

147 85-00-88 54 P Pensiunan Derajat 2

148 76-65-55 56 P PNS Derajat 3

149 85-40-48 49 L Supir Derajat 3

150 85-42-18 54 P Pedagang Derajat 2

151 66-20-22 63 P Wiraswasta Derajat 3

152 85-04-56 52 P Pensiunan Derajat 3


(9)

154 53-00-39 72 P PNS Derajat 1

155 53-49-09 60 L Pensiunan Derajat 2

156 80-27-57 45 P Pensiunan Derajat 2

157 85-60-35 36 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

158 40-30-80 46 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

159 00-23-11 63 L PNS Derajat 2

160 85-55-75 39 P Pensiunan Derajat 2

161 85-60-35 45 P PNS Derajat 2

162 79-49-53 33 P Ibu Rumah Tangga Derajat 3

163 85-73-54 50 P PNS Derajat 2

164 24-69-56 64 P PNS Derajat 3

165 85-69-81 46 P Pensiunan Derajat 2

166 68-98-31 49 P PNS Derajat 3

167 43-67-09 82 P PNS Derajat 2

168 85-79-45 61 P Pedagang Derajat 2

169 85-82-41 29 P PNS Derajat 2

170 85-83-47 57 P Wiraswasta Derajat 2

171 85-83-37 44 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

172 40-60-03 56 L Pensiunan Derajat 2

173 83-94-06 65 L PNS Derajat 2

174 80-09-66 57 P Pensiunan Derajat 2

175 85-91-76 30 L PNS Derajat 2

176 21-81-05 51 L Wiraswasta Derajat 2

177 66-62-42 73 P PNS Derajat 2

178 86-01-85 49 P Pedagang Derajat 2

179 60-67-55 47 P Wiraswasta Derajat 2

180 85-78-94 37 P PNS Derajat 1

181 75-49-69 47 P Wiraswasta Derajat 2

182 70-14-70 76 P Wiraswasta Derajat 2

183 52-27-51 38 L Petani Derajat 2

184 86-18-53 59 P PNS Derajat 2

185 38-69-07 75 P Ibu Rumah Tangga Derajat 2

186 71-01-34 47 P Pensiunan Derajat 1

187 24-69-59 66 P PNS Derajat 2

188 78-83-22 43 P Pensiunan Derajat 2

189 65-95-42 63 P Wiraswasta Derajat 2

190 28-88-79 50 P Pensiunan Derajat 2

191 30-50-06 62 P PNS Derajat 2


(10)

193 86-34-90 22 P PNS Derajat 1

194 26-66-29 60 L PNS Derajat 2

195 52-46-19 44 P Pensiunan Derajat 2

196 37-24-97 73 L Wiraswasta Derajat 2

197 68-81-76 45 P Pensiunan Derajat 1

198 86-30-22 44 L PNS Derajat 2

199 42-22-86 64 L Wiraswasta Derajat 2

200 80-24-87 42 P Pensiunan Derajat 2

201 29-96-29 70 P Petani Derajat 2

202 86-55-56 64 P Petani Derajat 1

203 82-72-40 50 L Pensiunan Derajat 4

204 38-79-09 50 P PNS Derajat 2

205 80-26-11 68 P PNS Derajat 2

206 83-75-71 49 P Pensiunan Derajat 1


(11)

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Opthalomology., 2005. Basic and Clinical Science Course.

External Disease and Cornea.Section 8.Ed:USA. p: 344 & 405-408.

Bagian SMF Ilmu Penyakit Mata., 2006. PedomanDiagnosis dan Terapi, Edisi III. Surabaya: Airlangga.

Gondhowiardjo D, Tjahjono., 2006. Pterigium. Panduan Manajemen Klinis Perdami. Jakarta: CV. Ondo.

Donald,T.H.Tan., Sao-Bing L.E.E., Jessica Marie A.B.A.N.O., 2005. Clinical

Opthalmology-An Asian Persective. Singapore: Elsevier.

Fisher, Jerome P., 2013. Pterygium. Available from: April 2013].

Gazzard ,G ., et al ., 2002. Pterygium in Indonesia: prevalence, severity and risk

factors.British Journal Opthalmology. Available from : http://bjo.bmj.com/content/86/12/1341.full.pdf+ html?sid=325c775d-e2e4-465c-bd08-d1bdb49ca37c.

Holland, Edward J., Mannis,Mark. J., 2002. Ocular Surface Disease-Management

Surgical Management. New York: Springer Verlag.


(12)

Ilyas, S., Yulianti, S.R., 2011. Mata Merah dengan Penglihatan Normal: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-4. Jakarta: FKUI.

Imelda, Eva. 2010. Prevalensi Pterygium di RSUP.H.Adam Malik Medan Tahun

2010,Universitas Sumatera Utara. Available

from:http://digilib.usu.ac.id/buku/98933/Prevalensi-pterygium-di RSUP.H. Adam-Malik-Medan-tahun-2009.html.

James Bruce., Chew Chris., Bron Anthony., 2006. Lecture Notes: Oftalmology. Jakarta: Gelora Aksara Pratama.

[Accessed 25 Maret 2013].

Kanski,Jack J., 2003. Clinical Opthalmology-A Systematic Approach.5th

Khurana, A. K., 2007. Community Ophthalmology in Compherensive Ophthmology, Fourth Edition, chapter 20, New Delhi, New Age International Limited Published Publisher, p : 443-457.

ed.USA :Butterwoth Heinemann,p : 82.

Laszuarni, 2009. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat, Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan. Availabe from : repository.usu.ac.id/bitstream/.../6395/.../10E00178.

Liang, Qing et al. 2010. Epidemiology of pterygium in aged rural population of

China.Available from:

[Accessed 23 April 2013].


(13)

Maheshawari S., 2003. Indian Journal of Ophthalmology. Effect of Pterygium Excision on Pterygium Induced Astigmatisma. Available from: htpp://www.ijo.in/text.asp?2003/51/2/187/14703.

Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. 2010. Ilmu Penyakit Mata: Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, Edisi Ke-2. Jakarta: Sagung Seto.

[Accesed 10 Mei 2013].

Salomon S,A. 2006. British of Opthalmology. Pterygium. Available from http://www.pterygium. htm//

Stephen, Waller G, Antony, Adams P. 2004. Pterigium, Duane’s Clinical Ophthalmology, Chapter 35.

[Accessed 26 April 2013].

Vaughan ,Asbury., 2009.Oftalmologi Umum.Edisi ke -17. Jakarta:EGC.

Viso E, Gude F, Rodriguez-Ares MT. 2011. Prevalence of Pinguecula and Pterygium in a general population in Spain. PubMed related articles. Available from: http://www. ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc3178324.

Wlodarczyk, John et al. 2001. Clinical and Experimental Ophthalmology. Pterygium

in Australia: a cost of illness study. Available from:

[Accesed 20 Mei 2013].


(14)

Zaki A, Emerah S, Ramzy M, Labib H. 2011. Management of Recurrent Pterygia. Journal of American Science 2011 2011; 7(1):230-234]. (ISSN: 1545-1003). Available from 2013].


(15)

BAB 3

KERANGKA KONSEPDAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1

Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat ukur Cara

ukur Skala Hasil ukur

1. Usia Usia pasien pada saat pertama kali didiagnosa pterigium

Rekam medis

Observasi Interval -Kel 1 : 21-30 tahun -Kel 2 : 31 -40 tahun -Kel 3 : 41 – 50 tahun -Kel 4 : 51-60 tahun PTERIGIUM

USIA

JENIS KELAMIN

JENIS PEKERJAAN

DERAJAT PTERIGIUM


(16)

-Kel 5 : >60 tahun 2. Jenis

kelamin Pengelompokan manusia berdasarkan perbedaan gender Rekam medis

Observasi Nominal -Kel 1 : Laki – laki -Kel 2 : Perempuan 3 Jenis

pekerjaaan

Mata pencaharian pasien

Rekam medis

Observasi Nominal PNS, wiraswasta, buruh, ibu rumah tangga, petani, pedagang dan lain – lain 4. Derajat

pterigium

Tingkat perkembangan pterigium yang dialami oleh pasien berdasarkan pengklasifikasian

derajat pterigium

Rekam medis

Observasi Interval -Derajat 1 -Derajat 2 -Derajat 3 -Derajat 4


(17)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini menggambarkan proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Penyakit Mata RSUD Dr. Pirngadi Medan. Tempat penelitian ini dipilih karena RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan RS rujukan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan sehingga cukup representatif untuk diajukan sebagai sumber data epidemiologi penyakit khususnya di provinsi Sumatera Utara.

4.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan September hingga Oktober 2013.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menderita pterigium di poliklinik penyakit mata RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.


(18)

Sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling,dimana seluruh populasi digunakan berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi dalam penelitian.

Kriteria inklusi :

- Semua penderita pterigium pada salah satu atau kedua mata. - Usia penderita > 20 tahun.

Kriteria ekslusi :

- Penderita pterigium disertai kelainan menyerupai

pterigium(pinguekula,pseudopterigium).

4.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari data rekam medis poliklinik penyakit mata di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.

4.5. Metode Pengolahan dan Analisa Data

Semua data yang telah dikumpulkan,dicatat dan kemudian diolah dengan menggunakan program Statistic Package for Social Science (SPSS) versi 17.0, sesuai dengan tujuan penelitian untuk mengetahui proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan.


(19)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1. HASIL PENELITIAN

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di bagian rekam medis RSUD Dr.Pirngadi Medan. RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan suatu unit pelayanan kesehatan milik pemerintah Kota Medan yang berada di Jalan Prof. H.M Yamin SH No.47 Medan Sumatera Utara. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 1928 oleh pemerintah Hindia Belanda dan selesai pada tahun 1930 dengan nama Rumah Sakit Kota. RSUD Dr. Pirngadi Medan merupakan rumah sakit kelas B sesuai dengan akreditasi Dep.Kes RI No. 00.06.3.5.738. tanggal 9 Februari 2007 dan juga merupakan Rumah Sakit Pendidikan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No. 433/Menkes/SK/IV/2007 yang mempunyai komitmen menciptakan pelayanan yang excellent kepada masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.

5.1.2. Karakteristik Data Rekam Medis

Dari data rekam medis, didapatkan jumlah pasien yang mengalami pterigium pada tahun 2012 adalah sebanyak 207 orang, dan jumlah seluruh pasien yang melakukan kunjungan berobat ke RSUD Dr. Pirngadi Medan yang mengalami penyakit mata selama periode tahun 2012 sebanyak 11.923 orang.

Dari 207 pasien pterigium, penelitian ini mengklasifikasikan pasien berdasarkan beberapa variabel yang dapat diamati yakni distribusi frekuensi pterigium berdasarkan usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan derajat pterigium yang dialaminya.


(20)

Tabel 5.1. Karakteristik Data Rekam Medis 1. Berdasarkan Usia

Usia N (%)

21 - 30 tahun 8(3,9) 31 - 40 tahun 27(13,0) 41 - 50 tahun 51(24,6) 51 - 60 tahun 51(24,6) >60 tahun 70(33,8)

Usia Laki-laki (N) Perempuan(N)

21 - 30 tahun 1 7

31 - 40 tahun 5 22

41 - 50 tahun 10 41

51 - 60 tahun 19 32

>60 tahun 19 51

Usia PNS

(N) Pensiunan (N) Wiraswasta (N) Petani (N) Pedagang (N) Pekerja Lepas (N) Supir (N) Ibu rumah tangga (N)

21 - 30 tahun

3 0 3 1 0 0 0 1

31 - 40 tahun

4 1 9 3 2 2 1 5

41 - 50 tahun

20 12 5 1 3 0 2 8

51 - 60 tahun

27 12 7 1 1 1 1 1

>60 tahun

14 23 10 6 5 1 0 11

Usia Derajat 1(N) Derajat2 (N) Derajat 3 (N) Derajat 4 (N)

21 - 30 tahun 2 5 1 0

31 - 40 tahun 3 19 4 1

41 - 50 tahun 4 38 5 4

51 - 60 tahun 6 36 6 3


(21)

2. Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin N (%)

Laki-laki 54(26,1) Perempuan 153(73,9)

Jenis Kelamin

PNS (N) Pensi

unan (N) Wiras wasta (N) Petani (N) Pedagang (N) Pekerja Lepas (N) Supir (N) Ibu rumah tangga (N)

Laki-laki 18 13 10 5 2 2 4 0

Perempuan 50 35 24 7 9 2 0 26

Jenis Kelamin

Derajat 1 (N) Derajat 2 (N) Derajat 3 (N) Derajat 4(N)

Laki-laki 6 35 9 4

Perempuan 14 113 19 7

3.Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Jenis Pekerjaaan Derajat 1 (N) Derajat 2 (N) Derajat 3 (N) Derajat 4 (N)

PNS 12 46 7 3

Pensiunan 5 33 8 2

Wiraswasta 0 28 4 2

Petani 2 8 1 1

Pedagang 0 10 1 0

Pekerja Lepas 0 3 1 0

Supir 0 2 1 1

Ibu rumah tangga

1 18 5 2

Jenis Pekerjaaan N (%)

PNS 68(32,9)

Pensiunan 48(23,2) Wiraswasta 34(16,4)

Petani 12(5,8)

Pedagang 11(5,3) Pekerja Lepas 4(1,9)

Supir 4(1,9)


(22)

4. Berdasarkan Derajat Pterigium

Derajat Pterigium N(%)

Derajat 1 20(9,7) Derajat 2 148(71,5) Derajat 3 28(13,5) Derajat 4 11(5,3)

5.2. PEMBAHASAN

5.2.1. Proporsi Pterigium

Pterigium adalah penyakit mata yang dikarakteristikkan dengan lesi pada limbus kornea. Lesi stem cell pada limbus kornea dapat menginduksi konjungtivitis, trachoma dan radiasi ultraviolet mungkin berkontribusi pada terjadinya pterigium. Radiasi UV diduga merupakan faktor yang berperan pada patogenesis pterigium. Penelitian-penelitian case-control dan cross-sectional sebelumnya berusaha untuk meneliti hubungan antara paparan sinar ultraviolet dengan pterigium. Radiasi UV diduga menginduksi perubahan sel di limbus medial kornea dan mengakibatkan peningkatan signifikan produksi interleukin (IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF), dan metalloproteinase (Liang, 2010).

Penelitian setengah abad terakhir telah secara konsisten menunjukkan bahwa negara-negara di dekat khatulistiwa memiliki angka kejadian pterigium yang lebih tinggi ( Holland & Mannis, 2002). Dari penelitian Tan,dkk, didapati prevalensi pterigium yang tinggi pada area tropis, daerah lintang rendah, dan intensitas cahaya matahari yang tinggi. Indonesia, yang secara geografis dekat dengan garis ekuator bahkan ada beberapa wilayah yang dilewati garis ekuator, merupakan daerah tropis dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi, maka angka kejadian pterigium di Indonesia termasuk Medan cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya yang tidak berada di dekat garis khatulistiwa (Gazzard et al, 2002).


(23)

Proporsi adalah perbandingan suatu kejadian tertentu dibandingkan dengan jumlah semua populasi yang diteliti pada suatu tempat. Proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2012 adalah jumlah seluruh populasi pterigium dibandingkan dengan jumlah seluruh populasi yang mengalami penyakit mata di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.

Jumlah seluruh pasien yang mengalami pterigium ada sebanyak 207 orang, sedangkan jumlah seluruh pasien yang mengalami kelainan mata adalah sebanyak 11.953 orang, sehingga

proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2012 jumlah seluruh pasien pterigium

jumlah seluruh pasien dengan penyakit mata 207

11.923 = 1, 74 %.

Proporsi pterigium cukup sulit untuk dibandingkan pada berbagai penelitian karena variasi dari prevalensi pterigium yang diamati pada karakteristik populasi yang berbeda, daerah yang berbeda area kedekatannya dengan garis ekuator, juga ketinggian daratannya. Paula et al melaporkan prevalensi pterigium 18,4% di daerah Brazil dan Lu et al melaporkan 17,9 % pada populasi Mongolia di daerah dengan ketinggian 3450 m, sangat kontras dengan prevalensi di Australia 2,8 % dan di China 2,9 % area yang secara geografis diduga tinggi prevalensi pterigium karena lokasinya yang sangat dekat dengan garis khatulistiwa (E.Viso, 2010).

x 100 %

x 100 % =


(24)

5.2.2. Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Usia

Pterigium yang merupakan penyakit akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah intrapalpebra adalah penyakit mata yang bersifat degeneratif, sehingga prevalensi penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Ilyas, 2011).

Dalam penelitian ini didapatkan insidensi pterigium meningkat seiring dengan peningkatan usia. Dari tabel 5.1., pasien yang paling banyak mengalami pterigium adalah pasien berusia > 60 tahun yakni 70 orang ( 33,8 %) , sedangkan pasien pterigium yang berusia 41-50 tahun adalah sebanyak 51 orang ( 24,6 %), sama dengan frekuensi pada usia 51-60 tahun, dan pasien pterigium yang berusia 31-40 tahun ada sebanyak 27 orang (13,0 %), sedangkan pasien pterigium dengan frekuensi paling sedikit adalah pasien yang berusia 21-30 tahun yakni 8 orang (3,9%).

Dari banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan prevalensi pterigium meningkat seiring dengan peningkatan usia. Menurut Li Liu et al (2013), dalam penelitiannya dengan systematic review dan meta analysis yang didapatkan dari 20 laporan penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko untuk pterigium, didapati peningkatan prevalensi pterigium dengan peningkatan usia khususnya setelah umur 40 tahun ke atas. Menurut Fisher (2013) dalam penelitian yang dilakukannya, juga didapatkan hasil yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya bahwa pasien pterigium meningkat seiring dengan peningkatan usia. Penelitian lain yang dilakukan di Riau, Sumatera, menunjukkan peningkatan prevalensi dari 2,9% pada usia 21-29 tahun ke 17,3 % pada populasi yang berusia diatas 50 tahun (Gazzard et al, 2002).


(25)

5.1.3.3.Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Jenis Kelamin

Dari tabel 5.1., distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis kelamin didapati bahwa pasien yang berjenis kelamin perempuan memiliki proporsi yang lebih tinggi yakni 153 orang (73,9%) dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin laki-laki yang berjumlah 54 orang (26,1%). Kebanyakan penelitian-penelitian sebelumnya memang menemukan bahwa prevalensi pterigium lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Hal ini dikaitkan dengan gaya hidup yang berbeda antara kedua jenis kelamin. Laki-laki diduga melakukan aktivitas di luar ruangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, sehingga meningkatkan risiko terhadap paparan sinar ultraviolet. Penelitian yang dilakukan di daerah rural Beijing, didapati bahwa prevalensi pterigium lebih tinggi pada laki-laki yakni 5,13 % dibandingkan dengan perempuan 3,17 % ( Liang et al, 2010). Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lu et al pada tahun 2002, prevalensi pterigium lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan di Riau, didapati jumlah yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan yakni 612 pasien laki-laki dan 598 psien perempuan (Gazzard et al, 2002).

Pterigium yang merupakan penyakit degeneratif adalah penyakit multifaktorial, namun etiologi pastinya sampai sekarang tidak diketahui dengan jelas (American Academy of Opthalmology, 2005). Banyak penelitian telah berusaha mengkorelasikan epidemiologi dan fitur geografis dari prevalensi pterigium dengan berbagai faktor risiko. Hasilnya adalah faktor risiko untuk perkembangan pterigium didominasi oleh lingkungan alam, seperti matahari dan dan radiasi ultraviolet dan iritasi kronik dari partikel-partikel udara (Holland & Mannis, 2002).

Faktor risiko untuk terjadinya pterigium dapat dikaitkan dengan jenis kelamin, walaupun tetap dihubungkan dengan berbagai faktor-faktor gabungan


(26)

lainnya, seperti tempat penelitian terhadap populasi, gaya hidup, paparan terhadap sinar ultraviolet, dan hal-hal yang lain. (Holland & Mannis, 2002).

Dalam penelitian tentang apakah perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap prevalensi pterigium sebenarnya tidak pasti ( Lei Liu et all, 2013).

5.1.3.4. Distribusi Frekuensi Penderita Pterigium Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tabel 5.1., menunjukkan distribusi pasien berdasarkan jenis pekerjaannya. Pasien yang paling banyak mengalami pterigium adalah pasien yang bekerja sebagai PNS yakni sebanyak 68 orang (32,9 %),sementara pasien pterigium yang bekerja sebagai pensiunan 48 orang (23,2 %), wiraswasta 34 orang (16,4 %), petani 12 orang (5,8%), pedagang 11 orang (5,3 %), ibu rumah tangga 26 orang ( 12,6 %), dan yang paling sedikit adalah pasien yang bekerja sebagai pekerja lepas yaitu sebanyak 4 orang (1,9%), dan supir 4 orang (1,9 %). Dari penelitian Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007 di seluruh pelosok di provinsi yang terdapat Indonesia, prevalensi pterigium tertinggi didapati pada petani yakni 9,6 %, sementara pasien pterigium yang bekerja sebagai PNS 5,5%, pasien tidak bekerja 7,8%, ibu rumah tangga 5,2 %, pedagang 5,3 %, nelayan 8,3 % dan buruh 6,9 %.

Penelitian – penelitian sebelumnya menyatakan bahwa faktor risiko utama untuk pterigium adalah paparan terhadap sinar ultraviolet ( Donald, Sao-Bing& Jessica , 2005).Terdapat asosiasi epidemiologi antara aktivitas di luar ruangan dengan prevalensi pterigium. Frekuensi dan durasi aktivitas di luar ruangan berpengaruh terhadap risiko terkena paparaan radiasi sinar ultraviolet. Semakin sering dan semakin lama terpapar dengan sinar ultraviolet akan meningkatkan risiko untuk mengalami pterigium (Li Liu et al, 2013).

Salah satu faktor yang mempengaruhi frekuensi dan durasi terhadap aktivitas di luar ruangan adalah faktor jenis pekerjaan ( profesi) seseorang, dan bukan faktor satu-satunya. Hal lain seperti mengendarai sepeda motor, berlibur ke pantai, lingkungan tempat tinggal, penggunaan kacamata dan topi, dan hal lain


(27)

yang mempengaruhi paparan terhadap sinar matahari mempengaruhi prevalensi pterigium ( Maheshawari, 2003).

Hasil dalam penelitian ini dipengaruhi beberapa hal, penelitian ini dilakukan di satu tempat saja, penelitian ini juga dilakukan di RS sehingga kemungkinan ada hubungan antara data yang diperoleh terhadap bagaimana kesadaaran pasien penderita pterigium untuk datang berobat ke rumah sakit, dan jenis-jenis pekerjaan dan atau ladang pekerjaan yang tersedia di kota Medan ( 93 % pasien bertempat tinggal di kota Medan).

5.1.3.5.Distribusi frekuensi penderita pterigium berdasarkan derajat pterigium.

Pterigium adalah penyakit mata yang dapat dibagi dalam 4 derajat (derajat 1, derajat 2, derajat 3, derajat 4).

Berdasarkan tabel 5.1., distribusi frekuensi berdasarkan derajat pterigium yang dialami pasien, pasien yang paling banyak adalah pasien yang mengalami pterigium derajat dua yaitu sebanyak 148 orang ( 71,5 %), pterigium derajat 1 sebanyak 20 orang (9,7 %), derajat 3 sebanyak 28 orang (13,5%), dan sedikit adalah pasien dengan pterigium derajat 4 sebanyak 11 orang (5,3 %). Penelitian yang dilakukan di Riau dari 166 penderita pterigium didapati 89 orang pasien dengan derajat 1, 42 orang dengan derajat dua, dan sebanyak 35 orang dengan derajat 3, dan tidak ada pasien mengalami pterigium derajat 4 (Gazzard et al, 2002). Penelitian oleh Hasnawati tahun 2009 di daerah Langkat Kabupaten Tapanuli Selatan, didapati dari total populasi 512 pasien yang menggalami pterigium, ada 46,3 % pasien pterigium derajat 1, derajat 2 sebanyak 32,0 %, derajat 3 sebanyak 18,7%, dan yang mengalami derajat 4 sebanyak 3,0 %. Penelitian Liang dkk pada tahun 2010 di Beijing, China didapati 26,9 % pasien derajat 1, 20,9 % derajat 2, yang tertinggi adalah pasien derajat 3 yakni sebanyak 46,5 %, dan derajat 4 sebanyak 5,7 %.


(28)

Pterigium derajat 3 dan 4, biasanya didapatkan pada penduduk yang tinggal di dekat pantai yang rata- rata mata pencahariannya sebagai nelayan Hal ini mungkin dipengaruhi frekuensi dan lamanya pekerjaan tersebut mengharuskan aktivitas di luar ruangan sehingga mendapatkan paparan sinar ultraviolet yang tinggi, juga dipengaruhi faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keinginan pasien untuk berobat ke rumah sakit atau puskemas ketika pterigium masih dalam derajat ringan yaitu derajat 1 atau derajat 2 (Hasnawati, 2009).


(29)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

1. Proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012 adalah 1,74 %.

2. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan usia, didapati pasien pterigium meningkat jumlahnya seiring dengan peningkatan usia. Pasien pterigium yang terbanyak adalah pasien yang berusia di atas 60 tahun (33,8%).

3. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis kelamin, didapati pasien berjenis kelamin perempuan memiliki frekuensi pterigium yang lebih tinggi (73,9%) dibandingkan dengan pasien laki-laki (26,1%).

4. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis pekerjaan, didapati pasien yang bekerja sebagai PNS memiliki frekuensi yang paling tinggi (32,9%), dan yang paling sedikit adalah pasien yang bekerja sebagai pekerja lepas dan supir ( 1,9%).

5. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan derajat pterigum, didapati pasien pterigium derajat 2 memiliki frekuensi yang paling tinggi (71,5%), dan yang paling sedikit adalah pasien pterigium derajat 4 (5,3%).

6.2 SARAN

1. Bagi pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti RSUD Dr. Pirngadi Medan, disarankan untuk meningkatkan kualitas pencatatan rekam medis, rekam medis sebaiknya lebih lengkap dalam melampirkan data-data pasien agar pihak peneliti selanjutnya dapat menggunakan data rekam medis secara optimal.

2. Bagi pelayan kesehatan, meningkatkan upaya promotif dan preventif, mengingat letak geografis Indonesia yang dekat dengan garis ekuator yang merupakan faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya pterigium.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. KERANGKA TEORI

2.1.1. Definisi dan Morfologi Pterigium

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif (Ilyas, 2011). Pterigium merupakan pertumbuhan yang berbentuk segitiga yang terdiri dari epitel konjungtiva bulbi dan hipertropi jaringan ikat subkonjungtiva yang letaknya di medial dan lateral pada fissura palpebra dan menginvasi kornea(Donald,Sao-Bing&Jessica,2005). Gambarannya seperti sayap klasik (sesuai dengan asal katanya dari bahasa Yunani pteron) yang artinya sayap kecil (Holland & Mannis, 2002).

Pterigium dapat digolongkan sebagai pterigium primer atau pterigium berulang, Lesi berulang biasanya merupakan lesi yang lebih agresif, yang secara cepat terjadi beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah eksisi dari pterigium primer(Donald, Sao-Bing&Jessica2005).

Pterigium primer umumnya berasal dari konjungtiva yang merupakan perambahan berbentuk segitigadari jaringan konjungtiva bulbi menuju kornea dan telah diyakini bahwa pterigium merupakan gangguan kronik dengan distribusi geografis yang berbeda dan hubungannya dengan paparan sinar matahari (Holland & Mannis, 2002).

2.1.2. Faktor Risiko

Banyak penelitian telah berusaha mengkorelasikan epidemiologi dan fitur geografis dari prevalensi pterigium dengan berbagai faktor risiko pterigium. Dari penelitian didapati bahwa faktor risiko untuk perkembangan pterigium didominasi oleh lingkungan alam, seperti matahari dan radiasi ultraviolet juga iritasi kronik


(31)

dari partikel-partikel udara.Beberapa penelitian juga menyebutkan adanya keterlibatan faktor herediter (Holland & Mannis, 2002).

1. Radiasi ultraviolet

Faktor risiko utama untuk perkembangan pterigium adalah paparan terhadap sinar ultraviolet (UV). Penipisan lapisan ozon pada dekade terakhir ini, memiliki efek pada peningkatan radiasi ultraviolet dan berikutnya memiliki efek pada peningkatan insidensi penyakit yang berhubungan dengan sinar matahari seperti pterigium, katarak dan keratopathy(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).

Cahaya matahari yang diabsorbsi oleh kornea dan konjungtiva memicu kerusakan sel yang selanjutnya berproliferasi. Percobaan yang dilakukan pada tikus telah menunjukkan bahwa radiasi ultraviolet menyebabkan hiperplasia sel dan degenerasi membran Bowman (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).

Albedo merupakan istilah unuk mencerminkan radiasi cahaya matahari yang bertanggung jawab untuk sebagian besar cahaya yang melewati permukaan kornea dan faktor utama yang menentukan terpaparnya UVB pada mata. Coroneo telah menunjukkan efek albedo pada mata, yaitu bahwa sinar ultraviolet dari sisi temporal difokuskan pada limbus nasalis tepat sebagai lokasi pterigium(Holland & Mannis, 2002).

Tinggi rendahnya sinar matahari yang jatuh pada mata dipengaruhi oleh faktor lokal dan faktor eksternal. Kelengkungan kornea, kedalaman bilik anteriordan penonjolan okular merupakan faktor lokal, sementara faktor eksternal meliputi lintang, medan reflektif seperti permukaan datar horizontal, paparan terhadap pasir, serpihan beton, hamparan salju, waktu di luar ruangan,penggunaan kacamata dan topi(Maheshawari, 2003).


(32)

2. Faktor genetik

Beberapa kasus dilaporkan bahwa ada sekelompok anggota keluarga mengalami pterigium. Dari penelitian case control menunjukkan apabila terdapat riwayat keluarga dengan pterigium, maka kemungkinan pterigium akan diturunkan secara autosomal dominan (Donald, Sao-Bing&Jessica,2005). Walaupunpada kasus, faktor risiko utama yakni radiasi ultraviolet tidak bisa dipisahkan. Disamping itu, onkogen p53 diduga sebagai marker yang mungkin berperan dalam pterigium(Holland & Mannis, 2002).

3. Faktor Risiko Lain

Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini mendukung teori baru patogenesis pterigium. Selain itu, debu,kelembaban yang rendah,dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu,dry eye dan virus papiloma juga diduga dapat menyebabkan pterigium. Wong juga menunjukkan adanya faktor angiogenesis pterigium dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).

2.1.3. Patogenesis

Konjungtiva merupakan organ yang secara selektif memberikanperlindungan atas bagian dalam sistem mata terhadap dunia luar. Konjungtiva dalam tugasnya sebagai pelindung sering kali terpapar pada berbagai jenis perusak, seperti kuman, debu, alergen, aerosol, gas toksik, dan berbagai jenis radiasi (Wlodarczyk et al, 2001).

Konjungtiva yang selalu berhubungan dengan dunia luar adalah konjungtiva bulbi.Adanya kontak denganUV,debu,kekeringan mengakibatkan penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi ke kornea. Pterigium biasanya bilateral karena kedua mata memiliki kemungkinan terpapar dengan UV dan debu.


(33)

Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal lalu ke pungtum lakrimalis dan dialirkan ke meatus nasi inferior. Disamping kontak langsung, nasal konjungtiva juga secara tidak langsung mendapat sinar UV akibat pantulan dari hidung sehingga bagian nasal lebih sering terkena daripada temporal pterigium (Zaki, 2011).

Menurut American Academy of Oplthalmology (2005), hingga saat ini etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas.Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah yang panas.Oleh karena itu gambaran yang paling dapat diterima tentang hal ini adalah respon terhadap faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear

filmmenimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. .

Ultraviolet adalah mutagen untuktumor supresor gene p53pada limbal basal stem cell.Tanpa apoptosis, transforming growth factor-betadiproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan membentuk angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagendan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik, proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelyang selanjutnya menembus dan merusak kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, yang sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia (Khurana, 2007).

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karenan itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan


(34)

manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra (Viso, Gude & Rodriguez-Ares, 2011).

Pemisahan fibroblast dari jaringan pterigium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhanlebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Lapisan fibroblast pada bagian pterigium menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan.Pada fibroblast pterigium menunjukkan matrix metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan mengapa pterigium cenderung terus bertumbuh, invasi ke stroma kornea, dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi (Zaki, 2011).

2.1.4. Patofisiologi

Pterigium ini biasanya bilateral karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior (Ilyas, 2011).

Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena disamping kontak langsung,bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultraviolet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal (Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotikkolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epitel. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan daerah basofilia


(35)

bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untukjaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase (Fisher, 2013).

Histologi pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan pada pewarnaan hematoksin dan eosin. Berbentuk seperti ulat atau degenerasi elastotik dengan penampilan seperti cacing bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan fibrovaskular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet (Fisher, 2013).

Gambar 2.1 Histologi Pterigium dengan Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (Zaki, 2011)

2.1.5. Gejala Klinis

Pada fase awal, pterigiumtidak memberikan keluhan atau hanya menimbulkan keluhan mata merah, iritatif, dan keluhan kosmetik (Ilyas, 2011).

Pterigium memperlihatkan gambaran yang sama seperti pingekula. Bedanya, pada pterigium lapisan Bowman dirusak. Destruksi lapisan Bowman (panah 1) oleh

jaringan fibrovaskular menghasilkan sebuah luka di

kornea. Terdapat juga formasi pannus (panah 2) dan inflamasi kronik (panah 3)


(36)

Gangguan terjadi ketika pterigiummencapai daerah pupil atau menyebabkan astigmatisma karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata (Stephen & Antony, 2004).

Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat tetapi jarang simetris.Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan yang menyebabkan penglihatan kabur (Zaki, 2011).

Secara klinis pterigiummuncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium(stoker's

line)(Kanski, 2003).

Pterigiumdibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya ke arah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut

cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas

pinggir pterigium(Khurana, 2007).


(37)

A = Cap B = Whitish C = Badan

Gambar 2.2 Tiga Bagian Pterigium (Gondhowiardjo,2006)

Pembagianpterigiumberdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu progresif dan regresif (Fisher,2013).

- Progresifpterigium: tebal dan banyak pembuluh darah dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterigium(disebut cap pterigium).


(38)

- Regresifpterigium: tipis, atrofi, sedikit pembuluh darah. Akhirnya membentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.

Menurut Fisher(2013), jika dari tampilan klinisnya, pterigium bisa dibedakan menjadi dua kategori umum, yaitu:

1. Pasien dengan proliferasi minimal dan tampilan atrofik.

Pterigium pada grup ini tambah lebih datar dan tumbuh.lambat. Memiliki insidensi kekambuhan yang lebih rendah setelah dieksisi.

2. Pasien dengan riwayat pertumbuhan cepat dan komponen fibrovaskular yang meninggi secara signifikan.

Pterigium pada grup ini tumbuh lebih cepat dan memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi setelah dieksisi.

Sementara itu, menurut Kanski (2007), pembagian lain pterigiumyaitu: 1. Tipe I: meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi

dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

2. Type II: menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma. 3. Type III: mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi

yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.


(39)

Tipe I Tipe II Tipe III Gambar 2.3 Tipe Pterigium

(James,Chew&Bron,2006)

Menurut Donald, Sao-Bing&Jessica (2005), berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus diperiksa dengan slit lamp, pterigium dibagi menjadi 3 yaitu:

1. T1 (atrofi) :pembuluh darah episklera jelas terlihat 2. T2 (intermediet) :pembuluh darah episklera sebagian terlihat 3. T3 (fleshy, opaque) :pembuluh darah tidak jelas terlihat

Dari beberapa jenis pembagian pterigium, yang lebih umum digunakan adalah pembagian berdasarkan derajat pterigium. Pterigium juga dapat dibagi menjadi 4 ( Fisher, 2013).

1. Derajat 1

Jika pterigiumbelum melewati limbus, hanya terbatas pada limbus kornea.

2. Derajat 2

Jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Pterigium belum mencapai pupil.


(40)

Sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupilmata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3– 4mm)

4. Derajat 4

Pertumbuhan pterigiummelewati pupil sehingga


(41)

Pterigium derajat 1 Pterigium derajat 2

Pterigium derajat 3 Pterigium derajat 4 Gambar 2.4 Derajat Ptrerigium

(Ghondhowiardjo,2006)

2.1.6. Diagnosis

2.1.6.1. Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan keluhan berupa gangguan penglihatan. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal atau alasan kosmetik.Pada kasus berat dapat terjadi diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu tumbuh di kornea dan kuatir akan adanya keganasan(Ilyas, 2011).

2.1.6.2. Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi, pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva.Pterigium dapat memberikan gambaran yang


(42)

vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskular dan datar (Zaki, 2011).

2.1.6.3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan untuk mendiagnosis pterigiumadalah topografi kornea, yang untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa astigmatisma irregular yang disebabkan oleh pterigium (Fisher, 2013).

2.1.7. Diagnosis Banding

Secara klinis pterigium sering didiagnosis banding dengan kelainan mata yaitu pinguekula dan pseudopterigium (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2010).

Pinguekula adalah kelainan mata yang terdapat pada kunjungtiva bulbi, pada bagian nasal maupun temporal, di daerah celah kelopak mata (James, Chew, Bron, 2006). Pinguekula terlihat sebagai penonjolan berwarna putih kuning keabu-abuan, berupa hipertrofi yaitu penebalan selaput lendir. Bentuknya kecil, meninggi dan kadang–kadang mengalami inflamasi. Secara histopatologik pada puncak penonjolan ini terdapat degenerasi hialin. Pinguekula tidak menimbulkan keluhan, kecuali apabila menunjukkan peradangan sebagai akibat iritasi. Dalam keadaan iritasi, maka dapat disertai seperti ada benda asing (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2010).

Menurut Vaughan (2000), prevalensi insiden meningkat dengan meningkatnya umur. Pinguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki–laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet bukan merupakan faktor risiko penyebab pinguekula.

Pseudopterigium mirip dengan pterigium, dimana jaringan parut fibrovaskular timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea (Laszuarni, 2009). Dapat terjadi dalam proses penyembuhan suatu ulkus kornea atau kerusakan permukaan kornea, konjungtiva menutupi luka kornea tersebut, sehingga terlihat seolah-olah konjungtiva menjalar ke kornea. Keadaan ini disebut


(43)

pseudopterigium. Pseudopterigium merupakan kelainan terdapatnya perlengketan konjungtiva dengan kornea yang cacat (Ilyas, 2011).

Perbedaan pseudopterigium dengan pterigium adalah:

- puncak pterigium menunjukkan pulau-pulau Fuchs pada kornea sedangkan pseudopterigium tidak.

- pseudopterigium didahului riwayat kerusakan permukaan kornea sedangkan pterigium tidak.

Selain kedua hal di atas kadang-kadang dapat dibedakan dengan melihat pembuluh darah konjungtiva yang lebih menonjol pada pterigium daripada pseudopterigium. Pada pseudopterigium pembuluh darah konjungtiva sesuai dengan konjungtiva bulbi normal. Pada pseudopterigium dapat dimasukkan sonde di bawahnya, sedangkan pada pterigium tidak. Pterigium bersifat progresif sedangkan pseudopterigium tidak. Pseudopterigium tidak memerlukan pengobatan, serta pembedahan kecuali sangat menganggun visus, atau alasan kosmetik (Perhimpuan Dokter Spesialis Mata Indonesia, 2010).


(44)

C

Gambar 2.5 Diagnosa Banding Pterigium (Ilyas, 2011)

Diagnosis banding pterigium sangat luas. Massa pada limbus seperti

papilloma, squamous sel karsinoma, melanoma konjungtiva dan pagetoid atau sebaceous karsinoma. Lesi yang jarang seperti kista epitel, pyogenic granuloma, keratoacanthoma, adenoma, fibroma, fibrochondroma, fibrous histiocytoma, angioma, lyphaangioma, Kaposi sarcoma, alveolar endothelioma, neurolommoma, maligna schwanoma, mycosis fungioides, juvenile xantthagranuloma, leukemia, episclera osseous christoma, ectopic lacrimal tissue, lipoma, amyloid, blue nevus, nevus dan limbal dermoid. Namun lesi

tersebut mudah dibedakan dengan pterigium (Stephen & Antony, 2004).

2.1.8. Penatalaksanaan

2.1.8.1. Konservatif

Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea (Ilyas, 2011).

2.1.8.2. Bedah

Pada pterigium derajat 3 dan 4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium, bagian konjungtiva bekas

Keterangan:

A : Pseudopterigium B : Pinguekula C : Pterigium


(45)

pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium adalah memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah.

Penggunaan mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat (Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).

2.1.8.3.Indikasi Operasi

- Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus. - Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi

pupil.

- Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena astigmatisma.

- Kosmetik, terutama untuk penderita wanita (Bag. SMF Ilmu Penyakit Mata, 2007).

2.1.8.4. Teknik Pembedahan

Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,di buktikan dengan pertumbuhan fibrovaskular di limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karenatingkat kekambuhan yang bervariasi. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisipterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan.


(46)

Banyak dokter mata lebihmemilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang mendasarinya.Keuntungantermasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parutyang minimal dan halus dari permukaan kornea (American Academy of Oplthalmology, 2005).

1. Teknik Bare Sclera

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, dan memungkinkansklera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24% dan 89%, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005). 2. Teknik Autograft Konjungtiva

Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbi superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah dieksisi pterigium tersebut. Komplikasi jarang terjadi dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva d, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini (Holland & Mannis, 2002).

3. Cangkok Membran Amnion

Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan pterigium.Meskipun

keuntungkan dari penggunaan membranamnion ini belum teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa membran amnion merupakan faktor penting untuk menghambat peradangan, fibrosis dan epithelialisai(Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005). Membran amnion biasanya ditempatkan di atas sklera, dengan membran basal menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran amnion menempel jaringan episcleral di bawahnya. Lem fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva (Holland & Mannis, 2002).


(47)

Namun berdasarkan penelitian, tingkat kekambuhan teknik sangat beragam, diantaranya 2,6% dan 10,7% untuk pterigium primer dan setinggi 37,5% pterigium berulang (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).

4. Simple Closure

Pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat kecil).

5. Sliding Flap

Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap konjungtiva untuk menutup luka.

6. Rotational Flap

Insisi bentuk U dibuat di sekitar luka untuk membentuk lidah dari konjungtiva yang diputar untuk menutup luka.

7. Lamellar Keratoplasty

Excimer laser fototerapi keratektomi dan yang terbaru dengan mengunakan gabungan steroid angiostatik.

2.1.8.5. Terapi Tambahan

Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi masalah, karena itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah berkurang dengan penambahan terapi ini, tetapi ada komplikasi dari terapi tambahan ini (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).

MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan

karena kemampuannya untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditemukan . Ada dua bentuk MMC yang saat ini digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif MMC langsung ke sklera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas (Imelda, 2010).


(48)

Sehingga, untuk mencegah kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan pemberian:

- Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1 tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.

- Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.

2.1.9. Komplikasi

Menurut Fisher (2013), komplikasi pterigium antara lain : - Distrorsi dan penglihatan sentral berkurang

- Mata merah - Iritasi

- Scar (parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

- Pada pasien yang belum eksisi,scarpada otot rectus medial yang dapat menyebabkan diplopia

Komplikasi setelah eksisi pterigium adalah:

- Infeksi,reaksi bahan jahitan (benang),diplopia,scar kornea,konjungtiva graft longgar,dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata,

vitreous hemmorage atau retinal detachment.

- Penggunaan mytomicin C setelah operasi dapat menyebabkan ektasis pada sklera dan kornea.


(49)

Komplikasi jangka panjang setelah operasipterigium, yaitu:

- Penipisan kornea atau sklera dapat terjadi bahkan puluhan tahun setelah operasi. Penatalaksanaan kasus ini sangat sulit.

- Beberapa kasus ,penggunaan MMC topikal sebagai terapi tambahan dan setelah operasi pterigium menyebabkan kelainan seperti mencairnya sklera dan atau kornea

Komplikasi yang paling umum dari pterigium adalah kekambuhan setelah operasi. Eksisi bedah sederhana memiliki tingkat kekambuhan tinggi sekitar 50-80%. Tingkat kekambuhan telah dikurangi menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva atau lumbal atau transplantasi membran pada saat eksisi.

Meskipun jarang,degenerasi ganas jaringan epitel yang melapisi pterigium dapat terjadi.

2.1.10. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik setelah dieksisi adalah baik (Zaki, 2011). Rasa tidak nyaman pada hari pertama setelah operasi dapat ditoleransi,kebanyakan pasien setelah 48 jam setelah operasi dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan pterigium berulang dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Sebaiknya dilakukan penyinaran dengan strontium yang mengeluarkan sinar beta, dan apabila residif maka dapat dilakukan pembedahan untuk mencegah kekambuhan pterigium (sekitar 50-80%).


(50)

Pada beberapa kasus pterigium dapat berkembang menjadi degenerasi ke arah keganasan jaringan epitel (Salomon,2006).

2.1.11. Pencegahan

Pasien dengan risiko tinggi timbulnya pterigium seperti riwayat keluarga mengalami pterigium atau penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti petani yang banyak kontak dengan debu dan UV disarankan memakai topi yang memiliki pinggiran, dan menggunakan kacamata sunblock dan mengurangi terpapar dengan sinar matahari (Zaki, 2011).


(51)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Mata adalah organ fotosensitif yang kompleks dan berkembang lanjut yang memungkinkan analisis cermat tentang bentuk, intensitas, dan warna yang dipantulkan objek. Mata terletak di suatu struktur tengkorak yang melindunginya, yaitu orbita (Vaughan & Asbury, 2010).

Banyak sekali penyakit yang bisa menyerang mata, walaupun mata berukuran sangat kecil dibandingkan dengan bagian tubuh yang lain. Penyakit pada mata dapat sangat mengganggu penderitanya bahkan dapat menyebabkan hilangnya penglihatan jika tidak ditangani dengan serius, misalnya katarak, konjungtivitis, pterigium, dan penyakit mata lainnya (Wijaya, 2012).

Pterigium adalah salah satu penyakit mata yang kurang dikenal oleh masyarakat awam. Dari asal katanya, pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap (Admin, 2008). Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasive, berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea (Ilyas, 2011). dan berpotensi menyebabkan kebutaan pada pertumbuhan lebih lanjut. (Holland & Mannis, 2002).

Asosiasi geografis antara kejadian pterigium dan sinar matahari pertama kali diusulkan oleh Talbot pada tahun 1948 dan hubungannya dengan keterlibatan komponen radiasi ultraviolet pada tahun 1961. Paparan berlebihan terhadap sinar ultraviolet, baik UVA ataupun UVB berperan penting dalam hal ini.Kemudian, Cameron pada tahun 1965 meneliti distribusi pterigiumdi dunia menemukan bahwa negara-negara yang panas, kering, danberdebu memiliki prevalensi pterigium yang lebih tinggi. (Donald, Sao-Bing&Jessica, 2005).


(52)

Dari hasil penelitian case controlyang dilakukan di Australia, didapati bahwa pterigium dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko. Ditemukan bahwa pasien pterigium 44 x lebih banyak pada pasien yang bermukim di daerah tropis (< dari lintang 30°),11 x lebih banyak pada pekerja yang berhubungan dengan pasir, 9 x lebih banyak pada pasien dengan riwayat tanpa memakai sun glasses dan 2 x lebih banyak pada pasien tidak memakai topi (Stephen & Antony, 2004).

Sementara itu, dalam penelitiannya, Punjabi dkk menemukan bahwa sejumlah pekerja di India yang berhubungan dengan debu yang bekerja didalam rumah mempunyai prevalensi pterigium yang lebih tinggi daripada pekerja di luar rumah yang terpapar ultraviolet lebih banyak (Gazzard et al, 2002). Menurut Augustiana (2011), paparan sinar matahari dan sumber iritan seperti debu merupakan faktor penting yang menyebabkan terjadinya pterigium.

Distribusi frekuensi pterigium juga dipengaruhi usia. Pterigium jarang ditemukan pada pasien berusia di bawah 20 tahun. Pterigium umumnya dialami setelah usia 20 tahun, dan pasien di atas 40 tahun memiliki prevalensi pterigium tertinggi (Fisher, 2013).

Salah satu yang paling menyolok dari pterigium adalah distribusi geografisnya. Distribusi pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi banyak penelitian selama setengah abad terakhir telah secara konsisten menunjukkan bahwa negara-negara di dekat khatulistiwa, memiliki angka kejadian pterigium yang lebih tinggi(Holland & Mannis, 2002).

Wilayah Indonesia, secara geografis dekat dengan garis khatulistiwa bahkan ada beberapa wilayah di Indonesia berada dilewati garis khatulistiwa. Selain itu, Indonesia adalah negara beriklim tropis dan letak Indonesia sendiri yang terletak pada lintang rendah dengan paparan sinar ultraviolet yang tinggi. Hal ini menyebabkan angka kejadian pterigium di Indonesia cukup tinggi dibandingkan wilayah lainnya (Gazzard et al. , 2002).


(53)

Berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dalam Erry, Mulyani & Susilowati (2011), kejadian pterigium di Indonesia cukup tinggi yakni 26. 989 kasus pterigium pada kedua mata dan 16. 045 pasien mengalami pterigium pada salah satu matanya. Di Provinsi Sumatera Utara, pasien yang mengalami pterigium pada kedua mata sebanyak 372 orang dan pterigium pada salah satu mata sebanyak 204 orang.

Tingginya frekuensi pterigium di wilayah Indonesia baik pterigium primer maupun pterigium berulang dan pertumbuhan yang agresif pada pterigium berulang merupakan masalah klinis yang menjadi tantangan. Pterigium menimbulkan keluhan kosmetik bahkan berpotensi mengganggu penglihatan pada stadium lanjut yang memerlukan tindakan operasi untuk rehabilitasi penglihatan. Pengetahuan tentang faktor risiko, penyebab dan distribusi penyakit, dapat membantu dalam menyusun strategi pencegahan(Holland & Mannis, 2002).

Atas dasar latar belakang ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pterigium, yang dalam hal ini peneliti melakukan penelitian tentang proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2012. Penelitian mengenai pterigium merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Berapa proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahuiproporsipterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.


(54)

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pterigium berdasarkan usia di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis kelamin di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012. c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pterigium berdasarkan

jenis pekerjaan di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012. d. Untuk mengetahui distribusi frekuensi pterigium berdasarkan

derajat pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Bagi RSUD Dr. Pirngadi Medan, data atau informasi hasil penelitian ini dapat menjadi masukan tentang proporsi terjadinya pterigium dan jumlah pasien pterigium pada tahun 2012.

b. Bagi pelayan kesehatan, data atau informasi hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam merencanakan tindakan dan upaya pencegahan dalam menangani kasus pterigium.

c. Bagi mahasiswa, data atau informasi hasil penelitian dapat digunakan sebagai sarana pembelajaran atau sebagai referensi.

d. Bagi peneliti, penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman dan menambah wawasan serta kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian.


(55)

ABSTRAK

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium dapat disebabkan oleh ultraviolet (UV) baik UVA ataupun UVB, debu, atau faktor lainnya. Gejala yang ditimbulkan adalah mata sering berair, tampak kemerahan, merasa seperti ada benda asing, dan dapat timbul atigmatisma yang mengganggu penglihatan. Insiden pterigium tinggi pada daerah dekat garis khatulistiwa yang beriklim tropis dan panas. Indonesia sendiri terletak di dekat garis khatulistiwa sehinggga mempunyai faktor risiko yang tinggi untuk terjadinya pterigium.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan total sampling, dimana seluruh populasi digunakan berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari data rekam medis RSUD Dr. Pirngadi Medan. Kemudian analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 17,0.

Hasil penelitian didapatkan proporsi pterigum di RSUD Dr. Pirngadi Medan sebesar 1,74%.


(56)

ABSTRACT

Pterygium is a growth fibrovaskular conjunctiva which is degenerative and invasive . Pterygium can be caused by ultraviolet ( UV ) either UVA or UVB rays , dust , or other factors . Symptoms are often watery eyes , looks red , feels like there is a foreign object , and can arise atigmatisma that interfere with vision.The incidence of pterygium high in areas near the equator and tropical heat. Indonesia is located near the equator, so it has high risk factor for the occurrence of pterygium.

This research is descriptive research and uses total sampling , where the entire population is used based on the criteria for inclusion and exclusion criteria . The purpose of this study was to determine the proportion of pterygium in RSUD Dr.Pirngadi Medan . The data was collected using secondary data medical records of RSUD Dr. Pirngadi Medan. Then the data analysis were performed using SPSS version 17.0

The results showed the proportion pterigum in RSUD Dr.Pirngadi Medan is 1,74%.


(57)

PROPORSI PTERIGIUM DI RSUD Dr.

PIRNGADI MEDAN TAHUN 2012

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

MARISA SINAMBELA

NIM: 100100192

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(58)

LEMBAR PENGESAHAN

PROPORSI PTERIGIUM DI RSUD Dr. PIRNGADI

MEDAN TAHUN 2012

Nama : Marisa Sinambela NIM : 100100192

________________________________________________________ Pembimbing Penguji I

dr. Laszuarni, Sp.M dr. Ali Nafiah Nst, Sp.JP

NIP. 140349520 NIP.198104142006041002

Penguji II

dr. Hafaz Zakky Abdilah,M.Ked(Ped), Sp.A NIP. 19831023201001019

Medan, Januari 2014

Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP. 19540220 19811 1 001


(59)

ABSTRAK

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium dapat disebabkan oleh ultraviolet (UV) baik UVA ataupun UVB, debu, atau faktor lainnya. Gejala yang ditimbulkan adalah mata sering berair, tampak kemerahan, merasa seperti ada benda asing, dan dapat timbul atigmatisma yang mengganggu penglihatan. Insiden pterigium tinggi pada daerah dekat garis khatulistiwa yang beriklim tropis dan panas. Indonesia sendiri terletak di dekat garis khatulistiwa sehinggga mempunyai faktor risiko yang tinggi untuk terjadinya pterigium.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan menggunakan total sampling, dimana seluruh populasi digunakan berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder dari data rekam medis RSUD Dr. Pirngadi Medan. Kemudian analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 17,0.

Hasil penelitian didapatkan proporsi pterigum di RSUD Dr. Pirngadi Medan sebesar 1,74%.


(60)

ABSTRACT

Pterygium is a growth fibrovaskular conjunctiva which is degenerative and invasive . Pterygium can be caused by ultraviolet ( UV ) either UVA or UVB rays , dust , or other factors . Symptoms are often watery eyes , looks red , feels like there is a foreign object , and can arise atigmatisma that interfere with vision.The incidence of pterygium high in areas near the equator and tropical heat. Indonesia is located near the equator, so it has high risk factor for the occurrence of pterygium.

This research is descriptive research and uses total sampling , where the entire population is used based on the criteria for inclusion and exclusion criteria . The purpose of this study was to determine the proportion of pterygium in RSUD Dr.Pirngadi Medan . The data was collected using secondary data medical records of RSUD Dr. Pirngadi Medan. Then the data analysis were performed using SPSS version 17.0

The results showed the proportion pterigum in RSUD Dr.Pirngadi Medan is 1,74%.


(61)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. KTI ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan di program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak dalam menyelesaikan KTI ini. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD (KGEH) selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

2. Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, Sp. A(K) selaku pembantu dekan I atas ijin penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr.Laszuarni, Sp.M selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyusunan KTI ini,

4. Seluruh staf pengajar Departemen Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan materi penelitian dan statistika kedokteran sehingga penulis memiliki pengetahuan untuk penyusunan KTI ini,

5. Orang tua penulis yang telah memberikan dukungan moril dan materi,

6. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran stambuk 2010 Grace Duma, Jane, Fitriyani, Maria, Johannes, Carina yang telah memberikan saran, kritik dan dukungan moril.


(62)

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan ke depannya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga KTI ini dapat bermanfaat bagi kita.

Medan, Desember 2013 Penulis,


(63)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERANGKA TEORI ... 5

2.1.1 Definisi dan Morfologi Pterigium ... 5

2.1.2 Faktor Risiko ... 5


(64)

2.1.4 Patofisiologi ... 9

2.1.5 Gejala Klinis ... 11

2.1.6 Diagnosis ... 16

2.1.7 Diagnosis Banding ... 17

2.1.8 Penatalaksanaan ... 19

2.1.9 Komplikasi ... 23

2.1.10 Prognosis ... 25

2.1.11 Pencegahan ... 25

BAB 3KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 26

3.2 Definisi Operasional ... 26

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 28

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 28

4.3 Populasi dan Sampel ... 28

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 29

4.5 Metode Analisis Data ... 29

BAB 5HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 30


(65)

5.1.2. Karakteristik Data Rekam Medis ... 30

5.2. Pembahasan ... 32

5.2.1. Proporsi Pterigium... 33

5.2.2. Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Usia ... 35

5.2.3.Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Jenis Kelamin 36 5.2.4. Distribusi Frekuensi Penderita Pterigium Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 37

5.2.5. Distribusi frekuensi penderita pterigium berdasarkan derajat pterigium ... 39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 40

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(66)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul

Halaman 2.1 Histologi Pterigium dengan Pewarnaan Hematoksilin

dan Eosin ... 11

2.2 Tiga Bagian Pterigium ... 13

2.3 Tipe Pterigium ... 15

2.4 Derajat Ptrerigium ... 16


(67)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Riwayat Hidup Lampiran 2 Surat Izin Penelitian Lampiran 3 Surat Selesai Penelitian Lampiran 4 Ethical Clearence Lampiran 5 Master Data


(1)

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan ke depannya.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga KTI ini dapat bermanfaat bagi kita.

Medan, Desember 2013 Penulis,


(2)

DAFTAR ISI

Halaman

Lembar Persetujuan ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KERANGKA TEORI ... 5

2.1.1 Definisi dan Morfologi Pterigium ... 5

2.1.2 Faktor Risiko ... 5


(3)

2.1.4 Patofisiologi ... 9

2.1.5 Gejala Klinis ... 11

2.1.6 Diagnosis ... 16

2.1.7 Diagnosis Banding ... 17

2.1.8 Penatalaksanaan ... 19

2.1.9 Komplikasi ... 23

2.1.10 Prognosis ... 25

2.1.11 Pencegahan ... 25

BAB 3KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 26

3.2 Definisi Operasional ... 26

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian ... 28

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 28

4.3 Populasi dan Sampel ... 28

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 29

4.5 Metode Analisis Data ... 29

BAB 5HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ... 30


(4)

5.1.2. Karakteristik Data Rekam Medis ... 30

5.2. Pembahasan ... 32

5.2.1. Proporsi Pterigium... 33

5.2.2. Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Usia ... 35

5.2.3.Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Jenis Kelamin 36 5.2.4. Distribusi Frekuensi Penderita Pterigium Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 37

5.2.5. Distribusi frekuensi penderita pterigium berdasarkan derajat pterigium ... 39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 40

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41 LAMPIRAN


(5)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul

Halaman 2.1 Histologi Pterigium dengan Pewarnaan Hematoksilin

dan Eosin ... 11

2.2 Tiga Bagian Pterigium ... 13

2.3 Tipe Pterigium ... 15

2.4 Derajat Ptrerigium ... 16


(6)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Izin Penelitian Lampiran 3 Surat Selesai Penelitian Lampiran 4 Ethical Clearence Lampiran 5 Master Data