PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4. Berdasarkan Derajat Pterigium Derajat Pterigium N Derajat 1 209,7 Derajat 2 14871,5 Derajat 3 2813,5 Derajat 4 115,3

5.2. PEMBAHASAN

5.2.1. Proporsi Pterigium Pterigium adalah penyakit mata yang dikarakteristikkan dengan lesi pada limbus kornea. Lesi stem cell pada limbus kornea dapat menginduksi konjungtivitis, trachoma dan radiasi ultraviolet mungkin berkontribusi pada terjadinya pterigium. Radiasi UV diduga merupakan faktor yang berperan pada patogenesis pterigium. Penelitian-penelitian case-control dan cross-sectional sebelumnya berusaha untuk meneliti hubungan antara paparan sinar ultraviolet dengan pterigium. Radiasi UV diduga menginduksi perubahan sel di limbus medial kornea dan mengakibatkan peningkatan signifikan produksi interleukin IL-1, IL-6, IL-8 dan TNF, dan metalloproteinase Liang, 2010. Penelitian setengah abad terakhir telah secara konsisten menunjukkan bahwa negara-negara di dekat khatulistiwa memiliki angka kejadian pterigium yang lebih tinggi Holland Mannis, 2002. Dari penelitian Tan,dkk, didapati prevalensi pterigium yang tinggi pada area tropis, daerah lintang rendah, dan intensitas cahaya matahari yang tinggi. Indonesia, yang secara geografis dekat dengan garis ekuator bahkan ada beberapa wilayah yang dilewati garis ekuator, merupakan daerah tropis dengan intensitas cahaya matahari yang tinggi, maka angka kejadian pterigium di Indonesia termasuk Medan cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya yang tidak berada di dekat garis khatulistiwa Gazzard et al, 2002. Universitas Sumatera Utara Proporsi adalah perbandingan suatu kejadian tertentu dibandingkan dengan jumlah semua populasi yang diteliti pada suatu tempat. Proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2012 adalah jumlah seluruh populasi pterigium dibandingkan dengan jumlah seluruh populasi yang mengalami penyakit mata di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012. Jumlah seluruh pasien yang mengalami pterigium ada sebanyak 207 orang, sedangkan jumlah seluruh pasien yang mengalami kelainan mata adalah sebanyak 11.953 orang, sehingga proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan tahun 2012 jumlah seluruh pasien pterigium jumlah seluruh pasien dengan penyakit mata 207 11.923 = 1, 74 . Proporsi pterigium cukup sulit untuk dibandingkan pada berbagai penelitian karena variasi dari prevalensi pterigium yang diamati pada karakteristik populasi yang berbeda, daerah yang berbeda area kedekatannya dengan garis ekuator, juga ketinggian daratannya. Paula et al melaporkan prevalensi pterigium 18,4 di daerah Brazil dan Lu et al melaporkan 17,9 pada populasi Mongolia di daerah dengan ketinggian 3450 m, sangat kontras dengan prevalensi di Australia 2,8 dan di China 2,9 area yang secara geografis diduga tinggi prevalensi pterigium karena lokasinya yang sangat dekat dengan garis khatulistiwa E.Viso, 2010. x 100 x 100 = = Universitas Sumatera Utara 5.2.2. Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Usia Pterigium yang merupakan penyakit akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah intrapalpebra adalah penyakit mata yang bersifat degeneratif, sehingga prevalensi penyakit ini meningkat seiring dengan bertambahnya usia Ilyas, 2011. Dalam penelitian ini didapatkan insidensi pterigium meningkat seiring dengan peningkatan usia. Dari tabel 5.1., pasien yang paling banyak mengalami pterigium adalah pasien berusia 60 tahun yakni 70 orang 33,8 , sedangkan pasien pterigium yang berusia 41-50 tahun adalah sebanyak 51 orang 24,6 , sama dengan frekuensi pada usia 51-60 tahun, dan pasien pterigium yang berusia 31-40 tahun ada sebanyak 27 orang 13,0 , sedangkan pasien pterigium dengan frekuensi paling sedikit adalah pasien yang berusia 21-30 tahun yakni 8 orang 3,9. Dari banyak penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapatkan prevalensi pterigium meningkat seiring dengan peningkatan usia. Menurut Li Liu et al 2013, dalam penelitiannya dengan systematic review dan meta analysis yang didapatkan dari 20 laporan penelitian tentang prevalensi dan faktor risiko untuk pterigium, didapati peningkatan prevalensi pterigium dengan peningkatan usia khususnya setelah umur 40 tahun ke atas. Menurut Fisher 2013 dalam penelitian yang dilakukannya, juga didapatkan hasil yang sama dengan penelitian- penelitian sebelumnya bahwa pasien pterigium meningkat seiring dengan peningkatan usia. Penelitian lain yang dilakukan di Riau, Sumatera, menunjukkan peningkatan prevalensi dari 2,9 pada usia 21-29 tahun ke 17,3 pada populasi yang berusia diatas 50 tahun Gazzard et al, 2002. Universitas Sumatera Utara 5.1.3.3.Distribusi Frekuensi Pterigium Berdasarkan Jenis Kelamin Dari tabel 5.1., distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis kelamin didapati bahwa pasien yang berjenis kelamin perempuan memiliki proporsi yang lebih tinggi yakni 153 orang 73,9 dibandingkan dengan pasien berjenis kelamin laki-laki yang berjumlah 54 orang 26,1. Kebanyakan penelitian- penelitian sebelumnya memang menemukan bahwa prevalensi pterigium lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan. Hal ini dikaitkan dengan gaya hidup yang berbeda antara kedua jenis kelamin. Laki-laki diduga melakukan aktivitas di luar ruangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, sehingga meningkatkan risiko terhadap paparan sinar ultraviolet. Penelitian yang dilakukan di daerah rural Beijing, didapati bahwa prevalensi pterigium lebih tinggi pada laki-laki yakni 5,13 dibandingkan dengan perempuan 3,17 Liang et al, 2010. Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Lu et al pada tahun 2002, prevalensi pterigium lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal berbeda didapatkan dari penelitian yang dilakukan di Riau, didapati jumlah yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan yakni 612 pasien laki-laki dan 598 psien perempuan Gazzard et al, 2002. Pterigium yang merupakan penyakit degeneratif adalah penyakit multifaktorial, namun etiologi pastinya sampai sekarang tidak diketahui dengan jelas American Academy of Opthalmology, 2005. Banyak penelitian telah berusaha mengkorelasikan epidemiologi dan fitur geografis dari prevalensi pterigium dengan berbagai faktor risiko. Hasilnya adalah faktor risiko untuk perkembangan pterigium didominasi oleh lingkungan alam, seperti matahari dan dan radiasi ultraviolet dan iritasi kronik dari partikel-partikel udara Holland Mannis, 2002. Faktor risiko untuk terjadinya pterigium dapat dikaitkan dengan jenis kelamin, walaupun tetap dihubungkan dengan berbagai faktor-faktor gabungan Universitas Sumatera Utara lainnya, seperti tempat penelitian terhadap populasi, gaya hidup, paparan terhadap sinar ultraviolet, dan hal-hal yang lain. Holland Mannis, 2002. Dalam penelitian tentang apakah perbedaan jenis kelamin berpengaruh terhadap prevalensi pterigium sebenarnya tidak pasti Lei Liu et all, 2013. 5.1.3.4. Distribusi Frekuensi Penderita Pterigium Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tabel 5.1., menunjukkan distribusi pasien berdasarkan jenis pekerjaannya. Pasien yang paling banyak mengalami pterigium adalah pasien yang bekerja sebagai PNS yakni sebanyak 68 orang 32,9 ,sementara pasien pterigium yang bekerja sebagai pensiunan 48 orang 23,2 , wiraswasta 34 orang 16,4 , petani 12 orang 5,8, pedagang 11 orang 5,3 , ibu rumah tangga 26 orang 12,6 , dan yang paling sedikit adalah pasien yang bekerja sebagai pekerja lepas yaitu sebanyak 4 orang 1,9, dan supir 4 orang 1,9 . Dari penelitian Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007 di seluruh pelosok di provinsi yang terdapat Indonesia, prevalensi pterigium tertinggi didapati pada petani yakni 9,6 , sementara pasien pterigium yang bekerja sebagai PNS 5,5, pasien tidak bekerja 7,8, ibu rumah tangga 5,2 , pedagang 5,3 , nelayan 8,3 dan buruh 6,9 . Penelitian – penelitian sebelumnya menyatakan bahwa faktor risiko utama untuk pterigium adalah paparan terhadap sinar ultraviolet Donald, Sao-Bing Jessica , 2005.Terdapat asosiasi epidemiologi antara aktivitas di luar ruangan dengan prevalensi pterigium. Frekuensi dan durasi aktivitas di luar ruangan berpengaruh terhadap risiko terkena paparaan radiasi sinar ultraviolet. Semakin sering dan semakin lama terpapar dengan sinar ultraviolet akan meningkatkan risiko untuk mengalami pterigium Li Liu et al, 2013. Salah satu faktor yang mempengaruhi frekuensi dan durasi terhadap aktivitas di luar ruangan adalah faktor jenis pekerjaan profesi seseorang, dan bukan faktor satu-satunya. Hal lain seperti mengendarai sepeda motor, berlibur ke pantai, lingkungan tempat tinggal, penggunaan kacamata dan topi, dan hal lain Universitas Sumatera Utara yang mempengaruhi paparan terhadap sinar matahari mempengaruhi prevalensi pterigium Maheshawari, 2003. Hasil dalam penelitian ini dipengaruhi beberapa hal, penelitian ini dilakukan di satu tempat saja, penelitian ini juga dilakukan di RS sehingga kemungkinan ada hubungan antara data yang diperoleh terhadap bagaimana kesadaaran pasien penderita pterigium untuk datang berobat ke rumah sakit, dan jenis-jenis pekerjaan dan atau ladang pekerjaan yang tersedia di kota Medan 93 pasien bertempat tinggal di kota Medan. 5.1.3.5.Distribusi frekuensi penderita pterigium berdasarkan derajat pterigium. Pterigium adalah penyakit mata yang dapat dibagi dalam 4 derajat derajat 1, derajat 2, derajat 3, derajat 4. Berdasarkan tabel 5.1., distribusi frekuensi berdasarkan derajat pterigium yang dialami pasien, pasien yang paling banyak adalah pasien yang mengalami pterigium derajat dua yaitu sebanyak 148 orang 71,5 , pterigium derajat 1 sebanyak 20 orang 9,7 , derajat 3 sebanyak 28 orang 13,5, dan sedikit adalah pasien dengan pterigium derajat 4 sebanyak 11 orang 5,3 . Penelitian yang dilakukan di Riau dari 166 penderita pterigium didapati 89 orang pasien dengan derajat 1, 42 orang dengan derajat dua, dan sebanyak 35 orang dengan derajat 3, dan tidak ada pasien mengalami pterigium derajat 4 Gazzard et al, 2002. Penelitian oleh Hasnawati tahun 2009 di daerah Langkat Kabupaten Tapanuli Selatan, didapati dari total populasi 512 pasien yang menggalami pterigium, ada 46,3 pasien pterigium derajat 1, derajat 2 sebanyak 32,0 , derajat 3 sebanyak 18,7, dan yang mengalami derajat 4 sebanyak 3,0 . Penelitian Liang dkk pada tahun 2010 di Beijing, China didapati 26,9 pasien derajat 1, 20,9 derajat 2, yang tertinggi adalah pasien derajat 3 yakni sebanyak 46,5 , dan derajat 4 sebanyak 5,7 . Universitas Sumatera Utara Pterigium derajat 3 dan 4, biasanya didapatkan pada penduduk yang tinggal di dekat pantai yang rata- rata mata pencahariannya sebagai nelayan Hal ini mungkin dipengaruhi frekuensi dan lamanya pekerjaan tersebut mengharuskan aktivitas di luar ruangan sehingga mendapatkan paparan sinar ultraviolet yang tinggi, juga dipengaruhi faktor sosial ekonomi yang mempengaruhi keinginan pasien untuk berobat ke rumah sakit atau puskemas ketika pterigium masih dalam derajat ringan yaitu derajat 1 atau derajat 2 Hasnawati, 2009. Universitas Sumatera Utara

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

1. Proporsi pterigium di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2012 adalah 1,74 . 2. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan usia, didapati pasien pterigium meningkat jumlahnya seiring dengan peningkatan usia. Pasien pterigium yang terbanyak adalah pasien yang berusia di atas 60 tahun 33,8. 3. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis kelamin, didapati pasien berjenis kelamin perempuan memiliki frekuensi pterigium yang lebih tinggi 73,9 dibandingkan dengan pasien laki-laki 26,1. 4. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan jenis pekerjaan, didapati pasien yang bekerja sebagai PNS memiliki frekuensi yang paling tinggi 32,9, dan yang paling sedikit adalah pasien yang bekerja sebagai pekerja lepas dan supir 1,9. 5. Distribusi frekuensi pterigium berdasarkan derajat pterigum, didapati pasien pterigium derajat 2 memiliki frekuensi yang paling tinggi 71,5, dan yang paling sedikit adalah pasien pterigium derajat 4 5,3.

6.2 SARAN

1. Bagi pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti RSUD Dr. Pirngadi Medan, disarankan untuk meningkatkan kualitas pencatatan rekam medis, rekam medis sebaiknya lebih lengkap dalam melampirkan data-data pasien agar pihak peneliti selanjutnya dapat menggunakan data rekam medis secara optimal. 2. Bagi pelayan kesehatan, meningkatkan upaya promotif dan preventif, mengingat letak geografis Indonesia yang dekat dengan garis ekuator yang merupakan faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya pterigium. Universitas Sumatera Utara