daripada laki-laki yaitu masing-masing 60 dan 40; kelompok umur terbanyak pada 15-24 tahun 34, di mana dijumpai gejala terbanyak
adalah hidung tersumbat 43, jenis operasi yang paling sering dilakukan adalah bedah sinus endoskopik fungsional 70 kemudian diikuti
antrostomi 26 dan CWL 4. Dari penelitian sebelumnya seperti dikemukakan di atas, BSEF
sangat sering dilakukan sehingga penulis tertarik ingin melakukan penelitian tentang profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani
tindakan BSEF di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu belum diketahuinya profil penderita rinosinusitis kronik
yang menjalani tindakan BSEF di bagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008-
2011.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum Mengetahui profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani
tindakan BSEF di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011.
1.3.2 Tujuan khusus 1. Mengetahui distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik
yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin.
2. Mengetahui distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan pekerjaan.
3. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan gejala.
Universitas Sumatera Utara
4. Mengetahui distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF berdasarkan lamanya keluhan.
5. Mengetahui distribusi frekuensi gambaran nasoendoskopi penderita rinosinusitis kronik sebelum dilakukan BSEF.
6. Mengetahui distribusi lokasi sinus paranasal penderita rinosinusitis kronik yang menjalani BSEF dengan CT Scan SPN.
7. Mengetahui distribusi frekuensi jumlah sinus paranasal yang terlibat dengan CT Scan SPN.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat antara lain :
1. Manfaat Bagi Institusi
Sebagai bahan informasi dalam upaya peningkatan kelengkapan data penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan
BSEF. 2. Manfaat Bagi Pengembangan Ilmu dan Penelitian
Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang akan melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan BSEF.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan informasi untuk persiapan penanganan kasus rinosinusitis kronik
yang lebih baik dan maksimal. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan
penyuluhan bagi masyarakat untuk mengetahui pencegahan, gejala, penatalaksanaan rinosinusitis kronik serta komplikasi.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga
menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior Ballenger, 2004;
Higler, 1997. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat
dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh
permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka
inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar
dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang
terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila
dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding
lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior,
media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os
palatum Ballenger 2004; Hilger,1997. Dinding superior atau atap hidung terdiri dari kartilago lateralis
superior dan inferior, os nasal, prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid. Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh
lamina kribrosa yang dilalui filamen - filamen n.olfaktorius yang berasal
Universitas Sumatera Utara
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior Ballenger 2004;
Hilger, 1997.
Gambar 1. Penampang Koronal Hidung McCormick, 2007
Kompleks osteomeatal KOM
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung, yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan
sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks osteomeatal KOM. KOM adalah bagian dari sinus etmoid
anterior. Pada potongan koronal sinus paranasal, gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga antara konka media dan lamina papirasea. Isi dari
KOM terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat dibelakang prosesus unsinatus, sel agger nasi, resesus frontalis, bula etmoid, dan sel-sel
etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila Hwang, 2009; Kennedy et al, 2003; Kamel, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2. Kompleks osteomeatal See et al, 2007
Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung,
melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus
membentuk dinding medial dari infundibulum Kennedy et al, 2003; Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993.
Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior.
Bula etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila Kennedy et
al, 2003; Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993. Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding
anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya
terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus
semilunaris anterior Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993. Sel agger nasi merupakan sel ekstramural paling anterior dari sel-
sel etmoid anterior. Karena letaknya sangat dekat dengan resesus frontal, sel ini merupakan patokan anatomi untuk operasi sinus frontal. Dengan
Universitas Sumatera Utara
membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal Shankar et al, 2001; Mangunkusumo, 2000.
Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung
ke meatus media atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi Browning, 2007; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga
hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-
sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus
anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di
meatus superior Walsh et al, 2006.
Sinus Maksila
Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding
posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar
orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan
bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar P1 dan P2, molar M1 dan M2, kadang-kadang juga
gigi taring C dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah
naik ke atas menyebabkan sinusitis 2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita
Universitas Sumatera Utara
3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga
harus melalui infundibulum yang sempit Walsh et al, 2006. Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami
sinus maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan
prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior
lamina papirasea. Sinus maksila dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior
Nizar, 2000.
Sinus Etmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal
infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid
berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media
dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993.
Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil- kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan
bagian posterior konka media dengan dinding lateral lamina basalis, sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih
sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis Walsh et al, 2006.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel
etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
Universitas Sumatera Utara
terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat
menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila Walsh et al, 2006.
Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan
tembus. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior dan dan daerah yang kedua adalah daerah sel etmoid posterior yang meluas ke
belakang dan di atas rostrum sfenoid sel Onodi. Kainz dan Stammberger menekankan daerah rawan tembus pada saat melakukan etmoidektomi di
bagian medial. Pada daerah medial ini terdapat pertautan yang sangat tipis antara atap etmoid dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat
masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus frontal Walsh et al, 2006.
Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh Keros yaitu : Walsh et al, 2006
1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis kribriformis dangkal
2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina kribriformis lebih tinggi
3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis panjang dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam.
Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia
8-10 tahun dan akan mencapai usia maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris. Sinus frontal kanan
dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15
Universitas Sumatera Utara
orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5 sinus frontalnya tidak berkembang Walsh et al, 2006.
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk- lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto
Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid Punagi, 2008; Kennedy et al, 2003; Burton, 2000; Amedee, 1993.
Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior
diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan
indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior Ballenger, 2004;
Kamel, 2002; Nizar, 2000.
Gambar. 3. Sinus Paranasal
Dikutip dari : Conten.answers.commaincontentimgelsevierdentalf0098- 01.jpg.gambar
Universitas Sumatera Utara
2.2 Rinosinusitis Kronik 2.2.1 Definisi