Karakteristik Penderita yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari Periode 2008-2012.

(1)

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH

SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI

DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK,

MEDAN DARI PERIODE 2008-2012

Oleh :

ARCHANAA SAMANTHAN

NIM: 100100201

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

KARAKTERISTIK PENDERITA YANG MENJALANI BEDAH

SINUS ENDOSKOPIK FUNGSIONAL (BSEF) DI

DEPARTEMEN THT-KL RSUP. HAJI ADAM MALIK,

MEDAN DARI PERIODE 2008-2012

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

ARCHANAA SAMANTHAN

NIM: 100100201

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Karakteristik Penderita yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari Periode 2008-2012.

Nama : Archanaa Samanthan NIM : 100100201

__________________________________________________________________ Pembimbing, Penguji 1,

... ...

(dr. Rizalina A,Asnir, Sp. THT-KL(K)) (Dr. dr. Iman Budi Putra, MHA Sp. KK) NIP:19610716 198803 2001 NIP: 19650725 200501 1001

Penguji 2,

... (dr. T. Siti Harilza Zubaidah, Sp.M) NIP: 19760422 200501 2002

Medan, 06 Januari 2014, Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

... (Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH)


(4)

ABSTRAK

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) adalah prosedur invasif minimal yang dilakukan untuk memulihkan ventilasi sinus dan fungsi normalnya. Penelitian mengenai Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) telah dilakukan di seluruh dunia termasuk penelitian yang dilakukan di RSUP. H. Adam Malik, Medan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional retrospektif. Pengambilan sampel dilakukan secara simple ramdom sampling (SRS) dan populasi penelitian ini adalah semua penderita yang menjalani bedah sinus endoskopik fungsional di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012 dengan besar sampel sebanyak 69 orang penderita.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari seluruh sampel penelitian sebanyak 69 orang, indikasi operasi BSEF terbanyak adalah rinosinusitis kronik yaitu sebanyak 41 penderita (59,4%), mayoritas penderita yang menjalani BSEF adalah laki-laki yaitu sebanyak 40 penderita (58%), mayoritas penderita yang menjalani BSEF adalah kelompok umur 31-45 tahun yaitu sebanyak 27 penderita (39,1%), mayoritas pekerjaan penderita yang menjalani BSEF adalah wiraswasta yaitu sebanyak 25 penderita (36,5%) dan mayoritas sebanyak 42 penderita (60,9%) tidak ada komplikasi operasi BSEF.

Indikasi terbanyak dilakukan BSEF adalah rinosinusitis kronik di mana lebih banyak dilakukan pada laki-laki dengan kelompok umur 31-45 tahun, mayoritas penderita tidak mengalami komplikasi operasi.

Kata kunci : bedah sinus endoskopik fungsional, karakteristik, Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik.


(5)

ABTRACT

Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) is a minimally invasive procedure used to restore sinus ventilation and normal function. Researches on Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) has been performed around the world including the researches conducted in the ENT Department of Adam Malik General Hospital, Medan.

The purpose of this study is to determine the characteristics of patients who underwent Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) in Adam Malik General Hospital from the period of 2008-2012.

This is a descriptive study with cross sectional retrospective. The number of samples are 68 patients and determined by using simple random sampling (SRS).

The results showed that out of 69 patients, the most common indication of FESS is chronic rhinosinusitis which are 41 patients (59.4%), the highest frequency of patients who underwent FESS are men by 40 patients (58%), the most common patients are in the age group 31-45 years which are 27 patients (39.1%), the most of patients are working in private sector which are 25 patients (36.5%) and majority of patients which are 42 patients (60,9%) had no complication after undergo FESS.

The common indication of FESS is chronic rhinosinusitis, the most patients went through FESS surgery are men in the age group 31-45 years and most of da patients do not experience any complications.

Keywords : functional endoscopic sinus surgery, characteristics, ENT Department, Adam Malik General Hospital.


(6)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya ucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dengan petunjuk dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah (KTI) ini yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyempurnakan pendidikan Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penelitian dan penyusunan KTI ini saya telah mendapat banyak bimbingan, pengarahan,saran, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dengan kerendahan hati saya ingin mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada :

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar A. Siregar , Sp.PD. KGEH atas izin penelitian yang diberikan.

2. dr. Rizalina A.Asnir, Sp. THT-KL(K) selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberikan bantuan, bimbingan serta pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan KTI ini.

3. Dr. dr. Iman Budi Putra, MHA SpKK selaku Dosen Penguji I dan dr. T. Siti Harilza Zubaidah, Sp.M selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran dan nasehat-nasehat dalam penyempurnaan penulisan KTI ini.

4. Rasa cinta dan terima kasih yang tidak terhingga saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, ayahanda Samanthan dan ibunda Sunthari, dan keluarga anggota lainnya atas doa, perhatian, dan dukungan yang tidak putus-putusnya sebagai bentuk kasih saying kepada saya.

5. Bapak/Ibu dosen Ilmu Kedokteran Komunitas (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan panduan, tanggapan, dan saran kepada saya sehingga hasil penelitian ini dapat diselesaikan. 6. Seluruh teman-teman yang turut membantu saya dalam menyelesaikan


(7)

Saya menyadari bahwa KTI ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaannya. Akhir kata, saya berharap semoga KTI ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Demikian dan terima kasih.

Medan, 11 Desember 2013

ARCHANAA SAMANTHAN 100100201


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR ISTILAH/SINGKATAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1.LatarBelakang ... 1

1.2.RumusanMasalah ... 3

1.3.TujuanPenelitian ... 3

1.4.ManfaatPenelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5

2.1. Anatomi Sinus Paranasal... 5

2.1.1. Sinus Maksila... 5

2.1.2. Sinus Frontal... 6

2.1.3. Sinus Etmoid... 7

2.1.4. Sinus Sfenoid... 8

2.1.5. Kompleks Ostio-Meatal... 9

2.2. Fungsi Sinus Paranasal…....………... 10

2.3. Bedah Sinus Endoskopik Fungsional ………... 11

2.3.1. Definisi... ... 11

2.3.2. Indikasi ... 12


(9)

2.3.4. Persiapan Pra-operasi ... 14

2.3.5. Tahapan operasi ... 16

2.3.6. Paska operasi ... 19

2.3.7. Komplikasi ... 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL... 23

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 23

3.2. Definisi Operasional... 24

BAB 4 METODE PENELITIAN... 27

4.1. Jenis Penelitian ... 27

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 27

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 29

4.5. Pengolahan dan Analisis Data ... 29

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 30

5.1. Hasil Penelitian... 30

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 30

5.1.2. Deskripsi Karekteristik Responden... 30

5.2. Pembahasan... 34

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 37

6.1. Kesimpulan... 37

6.2. Saran... 37

DAFTAR PUSTAKA ... 38 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 2.1 Indikasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional 13 2.2 Komplikasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional BSEF 22 5.1 Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus 30 Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Jenis Kelamin

5.2 Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus

Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Kelompok Umur 31 5.3 Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus

Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Pekerjaan 32 5.4 Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus

Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Indikasi Operasi 33 5.5 Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus 33


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Anatomi sinus paranasal 9

Gambar 2.2 Instrumen yang digunakan dalam BSEF 16

Gambar 2.3 Gambaran Kompleks Ostio-Meatal (KOM) 20


(12)

DAFTAR ISTILAH / SINGKATAN

Singkatan Penerangan

BSEF Bedah Sinus Endoskopik Fungsional CCTV Closed-circuit television

CT scan Computed Tomography CWL Caldwel-Luc operation

FESS Functional Endoscopic Sinus Surgery IRT Ibu Rumah Tangga

KOM Kompleks Osteomeatal NO Nitrous Oksida

PNS Pegawai Nasional Sipil RSUP Rumah Sakit Umum Pusat


(13)

ABSTRAK

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) adalah prosedur invasif minimal yang dilakukan untuk memulihkan ventilasi sinus dan fungsi normalnya. Penelitian mengenai Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) telah dilakukan di seluruh dunia termasuk penelitian yang dilakukan di RSUP. H. Adam Malik, Medan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012.

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan cross sectional retrospektif. Pengambilan sampel dilakukan secara simple ramdom sampling (SRS) dan populasi penelitian ini adalah semua penderita yang menjalani bedah sinus endoskopik fungsional di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012 dengan besar sampel sebanyak 69 orang penderita.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari seluruh sampel penelitian sebanyak 69 orang, indikasi operasi BSEF terbanyak adalah rinosinusitis kronik yaitu sebanyak 41 penderita (59,4%), mayoritas penderita yang menjalani BSEF adalah laki-laki yaitu sebanyak 40 penderita (58%), mayoritas penderita yang menjalani BSEF adalah kelompok umur 31-45 tahun yaitu sebanyak 27 penderita (39,1%), mayoritas pekerjaan penderita yang menjalani BSEF adalah wiraswasta yaitu sebanyak 25 penderita (36,5%) dan mayoritas sebanyak 42 penderita (60,9%) tidak ada komplikasi operasi BSEF.

Indikasi terbanyak dilakukan BSEF adalah rinosinusitis kronik di mana lebih banyak dilakukan pada laki-laki dengan kelompok umur 31-45 tahun, mayoritas penderita tidak mengalami komplikasi operasi.

Kata kunci : bedah sinus endoskopik fungsional, karakteristik, Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik.


(14)

ABTRACT

Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) is a minimally invasive procedure used to restore sinus ventilation and normal function. Researches on Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) has been performed around the world including the researches conducted in the ENT Department of Adam Malik General Hospital, Medan.

The purpose of this study is to determine the characteristics of patients who underwent Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) in Adam Malik General Hospital from the period of 2008-2012.

This is a descriptive study with cross sectional retrospective. The number of samples are 68 patients and determined by using simple random sampling (SRS).

The results showed that out of 69 patients, the most common indication of FESS is chronic rhinosinusitis which are 41 patients (59.4%), the highest frequency of patients who underwent FESS are men by 40 patients (58%), the most common patients are in the age group 31-45 years which are 27 patients (39.1%), the most of patients are working in private sector which are 25 patients (36.5%) and majority of patients which are 42 patients (60,9%) had no complication after undergo FESS.

The common indication of FESS is chronic rhinosinusitis, the most patients went through FESS surgery are men in the age group 31-45 years and most of da patients do not experience any complications.

Keywords : functional endoscopic sinus surgery, characteristics, ENT Department, Adam Malik General Hospital.


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan prosedur invasif minimal yang dilakukan untuk memulihkan aliran mukosilier dengan cara mengeluarkan jaringan-jaringan yang mengobstruksi kompleks ostiomeatal(KOM) (Al-Mujaini et al., 2009).

Awalnya, endoskopi di hidung dan sinus dilakukan oleh Hirshman pada tahun 1901 dengan memodifikasikan sitoskop. Seterusnya, pada tahun 1925, Maltz, seorang rinologist dari New York telah menggunakan teknik ini untuk membuat diagnosis dengan memperkenalkan istilah sinoskopi. Namun, Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) tidak diperkenalkan dalam literatur Eropa sehingga tahun 1967 di mana teknik ini diperkenalkan oleh Messerklinger. Kemudian, teknik ini dipopulerkan di Eropa oleh Stammberger pada tahun 1985. Pada tahun yang sama, Kennedy memperkenalkan teknik ini di Amerika Serikat dengan menggunakan isitilah Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) (Rowe-Jones et al., 2005; Casiano, 2002). Sejak tahun 1990, Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) sudah mulai diperkenalkan dan dikembangkan di Indonesia.

Menurut penelitian Chopra et al., (2006), Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) lebih sering dilakukan pada pasien yang berumur 35 tahun. Dalam penelitiannya juga dilaporkan bahwa pasien yang paling banyak menjalani operasi ini adalah laki-laki berbanding perempuan di mana dari 50 pasien yang menjalani operasi ini adalah 33 laki-laki dan 17 perempuan. Selain itu, didapati bahwa indikasi operasi Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) terbanyak adalah polip nasal yaitu 31 pasien dan diikuti oleh rinosinusitis kronik yaitu 19 pasien.

Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) menggunakan teknik operasi invasif minimal dibandingkan dengan prosedur operasi sinus sebelumnya yang bersifat invasif radikal seperti operasi Caldwel-Luc (CWL), frontoetmoidektomi


(16)

eksternal dan lainnya. Penelitian Penttila menunjukkan perbaikan yang nyata pada kelompok yang menjalani C-L adalah sebanyak 50,7% dan pada kelompok yang menjalani BSEF adalah sebanyak 76,7% pada satu tahun. Penelitian Vengkatachalam menunjukkan bahwa BSEF memberi penyembuhan yang komplit dari simtom sebanyak 76% dan hasil yang lebih baik berbanding dengan operasi konvensional yang lain sebanyak 60% (Fokkens et al., 2012). Hal ini karena, penggunaan alat diagnostik CT scan telah membuat pencitraan sinus paranasal lebih jelas dan terinci, sedangkan dipopulerkannya pemakaian alat endoskop untuk operasi bedah sinus. Selama 20 tahun terakhir ini, BSEF telah banyak digunakan sebagai tindakan operasi yang aman dan efektif bagi mengatasi gangguan sinus paranasal (Al-Mujaini et al., 2009; Azis et al., 2006).

Namun demikian, bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) juga dapat menimbulkan komplikasi yang dapat terjadi setelah atau selama prosedur operasi. Bagi mencegah komplikasi-komplikasi tersebut, diperlukan persiapan operasi dan perawatan pascaoperasi yang baik untuk memperoleh hasil yang optimal. Pada suatu penelitian retrospektif dan prospektif pada 200 pasien BSEF di Houston Ear, Nose, and Throat Clinic, Amerika Serikat, didapatkan komplikasi minor terjadi pada 8% pasien, dan hanya satu komplikasi mayor (0,05%). Dalam pengamatan tindak lanjut selama rata-rata 17 bulan didapatkan 88% gejala penyakit hilang atau mengalami perbaikan; namun demikian 41,5% masih memerlukan terapi medikamentosa (Smith dan Brindley, 1993).

Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF. Karena berbagai kendala dari jumlah ini hanya 60%nya (53 kasus) yang dilakukan operasi. Di Bagian THT RS Dr.


(17)

Wahidin Sudirohusodo, Makasar dilaporkan tindakan FESS pada periode Januari 2005-Juli 2006 adalah 21 kasus atas indikasi Sinusitis, 33 kasus pada polip hidung disertai sinusitis dan 30 kasus FESS disertai dengan tindakan septum koreksi atas indikasi sinusitis dan septum deviasi (HTA, 2006).

Penelitian Dewi (2013) di poliklinik THT-KL RS. H. Adam Malik Medan periode tahun 2008-2011 tentang penderita rinosinusitis kronik yang menjalani BSEF, didapatkan 111 penderita. Distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional terbanyak pada laki-laki (52,3%); kelompok umur 15-24 tahun, gejala tersering adalah hidung tersumbat sebesar 93,7%; lama keluhan terbanyak <1 tahun (43,2%); hasil nasoendoskopi terbanyak adalah edema/obstruksi mukosa meatus media (88,3%), lokasi sinus paranasal terbanyak di sinus maksila (95,5%) dan jumlah sinus terbanyak yang terlibat adalah multisinusitis (63,1%).

Dari penelitian sebelumnya seperti dikemukakan di atas, Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) sangat sering dilakukan sehingga mendorong peneliti untuk mengetahui indikasi dilakukan operasi ini dan karakteristik penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah karakteristik penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012?”

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui karakteristik penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012.


(18)

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui distribusi penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) berdasarkan jenis kelamin.

2. Mengetahui distribusi penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) berdasarkan kelompok umur.

3. Mengetahui distribusi penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) berdasarkan pekerjaan.

4. Mengetahui distribusi penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) berdasarkan indikasi operasi.

5. Mengetahui distribusi penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) berdasarkan komplikasi operasi.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Peneliti

1. Sebagai sarana pengembangan diri dan penerapan pengetahuan yang diperoleh penulis tentang metodologi penelitian.

1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan pada

penelitian lain yang berhubungan dengan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di masa akan datang.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal adalah hasil pneumatisasi tulang-tulang kranial sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Sinus paranasal diberi nama mengikut tulang kranial yang ditempatinya yaitu sinus frontal, sinus etmoid, sinus sfenoid dan sinus maksila (Moore et al., 2008).

Perkembangan embriologi hidung dan sinus paranasal memberi gambaran anatomi sinus paranasal yang agak kompleks dan boleh dibahgikan kepada dua proses secara langsung. Pertama, kepala embrio berkembang menjadi satu struktur yang mempunyai dua rongga hidung yang berbeda. Kedua, dinding lateral hidung invaginasi untuk membuat lipatan yang dikenal sebagai konka dan ruangan yang dikenal sebagai sinus (Walsh dan Kern, 2006). Perkembangan sinus dimulai ketika fetus berusia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai ukuran maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

2.1.1. Sinus Maksila

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar dan berbentuk piramid. Sinus ini termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan


(20)

palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis.

2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Sinus maksila disuplai darah oleh cabang-cabang dari arteri maksilaris internal, yang meliputi infraorbital, alveolar, palatina , dan arteri sphenopalatina. Sinus ini diinervasi oleh cabang-cabang dari divisi kedua saraf trigeminal, nervus infraorbital, dan saraf palatine (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007; Walsh dan Kern, 2006; Moore et al., 2008; Porter, 2002).

2.1.2. Sinus Frontal

Sinus frontal yang terletak di os frontal berasal dari sel-sel resesus frontal dan sel-sel infundibulum etmoid. Sinus frontal hanya dapat dideteksi pada anak-anak yang berusia lebih dari 7 tahun karena pada waktu itulah sinus mulai berkembang dan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.

Volume sinus frontal adalah 6-7 ml. Sinus frontal kanan dan kiri jarang terdiri dari ukuran yang sama dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Sekat ini juga bukan selalu berada secara keseluruhan di garis tengah.


(21)

Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.

Sinus frontal biasanya sekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Sinus ini dipisahkan oleh tulang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal kanan dan kiri berdrenase melalui duktus frontonasal yang berhubungan dengan infundibulum etmoid.

Sinus frontal disuplai oleh arteri supraorbital dan supratrochlear dari arteri ophthalmik. Saraf supraorbital dan supratrochlear dari divisi pertama saraf trigeminal menginervasi sinus frontal (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007; Moore et al., 2008; Singh, 2011; Gupta et al., 2013).

2.1.3. Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior.

Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.

Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus


(22)

frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.

Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa dan di antaranya terdapat perpautan yang sangat tipis yang merupakan tempat masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus frontal.

Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh keros yaitu :

1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis kribriformis dangkal

2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina kribriformis lebih tinggi

3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis panjang dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam.

Sinus ethmoid disuplai darah oleh arteri ethmoidal anterior dan posterior dari arteri ophthalmik (sistem karotid internal), serta arteri sphenopalatina dari cabang-cabang terminal arteri maksilaris internal (sistem karotis eksternal). Saraf trigeminal yaitu V1 dan V2 mensarafi sinus etomid di mana V1 menginervasi bagian superior sinus dan V2 pula menginervasi bagian inferiornya (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007; Walsh dan Kern, 2006; Singh, 2011; Porter, 2002).

2.1.4. Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior dan dibahgi dua oleh sekat yang dikenal sebagi septum intersfenoid. Sinus ini tidak berkembang sehingga usia 3 tahun dan pada usia 7 tahun pneumatisasi sinus sfenoid mencapai sella turcica. Pada usia 18 sinus telah mencapai ukuran maksimal.

Ketebalan dinding sinus frontal adalah variabel. Dinding anterosuperior dan atap sinus sphenoid (planum sphenoidale) adalah sangat tipis. Sinus sfenoid


(23)

mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior.

Sinus sfenoid disuplai oleh arteri sphenopalatina, kecuali untuk planum sphenoidale, yang disuplai oleh arteri etmoidalis posterior. Persarafan dari sinus sfenoid berasal dari cabang divisi pertama dan kedua dari saraf trigeminal (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007; Singh, 2011; Porter, 2002).

2.1.5. Kompleks Ostio-Meatal

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM) terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).


(24)

2.2. Fungsi Sinus Paranasal

Fisiologi dan fungsi sinus telah menjadi subyek banyak penelitian. Namun, sampai saat ini kita masih tidak yakin tentang fungsi sinus paranasal, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal. Pertama, sinus paranasal berfungsi sebagai ruang untuk memanaskan dan melembapkan udara yang diinspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Hidung memanaskan udara inspirasi kepada 37oC dan inin memudahkan pertukaran gas alveolar. Sistem sinonasal dapat meningkatkan kelembaban udara inspirasi menjadi sekitar 85%, sehingga mengurangi efek pengeringan udara inspirasi dan secara signifikan membantu pertukaran gas di saluran udara bawah. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa bernapas melalui mulut tidak begitu efektif dan berkontribusi untuk tidur apnea.

Selain itu, sinus paranasal juga berfungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah. Akan tetapi kenyataanya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi.

Sinus paranasal juga membantu dalam mengatur tekanan intranasal dan tekanan gas serum.fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau mebuang ingus.

Fungsi lain sinus paranasal adalah berperan sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.

Seterusnya, sinus paranasal menbantu keseimbangan kepala dengan meringankan berat tengkorak tetapi bila udara dsalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan menambahkan lagi berat sebesar 1% dari berat kepala. Jadi teori ini dianggap tidak bermakna. Sinus paranasal juga memberi kerangka tulang untuk wajah dan mata.


(25)

Fungsi lain sinus paranasal adalah membantu sistem imun tubuh dengan menyaring udara inspirasi yang mengandung partikel dalam konsentrasi tinggi. Pembersihan mukosiliar berfungsi untuk mengangkut partikel terperangkap termasuk patogen keluar dari sinus dan hidung. Walaupun jumlah mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal adalah kecil, namun efektif untuk membersihkan partikel yang masuk karena mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis.

Akhir sekali, penelitian terbaru pada fungsi sinus telah difokuskan pada molekul Nitrous Oksida (NO). Penelitian telah menunjukkan bahwa NO intranasal diproduksi terutamanya di sinus. NO telah terbukti menjadi racun bagi bakteri, jamur, dan virus pada tingkat serendah 100 ppb. Konsentrasi zat ini dalam hidung bisa mencapai 30.000 ppb di mana beberapa peneliti telah berpendapat bahwa NO berperan penting dalam mekanisme sterilisasi sinus. NO juga telah terbukti meningkatkan motilitas silia (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007; Walsh dan Kern, 2006; Porter, 2002; Watelet dan Cauwenberge, 1999).

2.3. Bedah Sinus Endoskopik Fungsional 2.3.1. Definisi

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi invasif minimal yang dilakukan pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan “mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Tindakan ini hampir menggantikan semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal (HTA, 2006; Mangunkusumo, 2007; Slack dan Bates, 1998).


(26)

2.3.2. Indikasi

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) umumnya dilakukan untuk penyakit inflamasi dan infeksi di sinus. Walaupun BSEF secara mayoritas dilakukan untuk mengatasi masalah rinosinusitis kronik yang tidak mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal, tetapi bedah ini juga efektif pada penyakit yang lain seperti sinusitis akut berulang, seringkali disertai adanya poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga hidung.

Indikasi lain BSEF termasuk mukokel sinus, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia. BSEF juga dilakukan untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran cairan serebrospinal, tumor hipofisa, dekompresi orbita, kelainan kongenital (atresia koana), mengontrol epitaksis dan untuk mengeluarkan benda asing. Selain itu, BSEF juga dilakukan untuk mengangkat tumor pituitari karena berkembangnya teknik dan penggunaan instrumen yang lebih canggih. Adakalanya, bedah ini juga dilakukan pada angiofibroma nasofaring yang juvenil. Secara umum, indikasi untuk BSEF dibahgikan kepada dua yaitu absolut dan relatif. Absolut berarti operasi BSEF pasti dilakukan pada penderita manakala relatif berarti bahwa ahli bedah dan penderita harus mempertimbangkan potensi resiko dan keuntungannya, tetapi operasi BSEF dapat dianggap sebagai pilihan kepada penderita setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik (Patel, 2012; Stammberger, 2004; David, 2005).

Tabel 2.1 dapat menggambarkan pembahgian indikasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF ) dengan lebih jelas.


(27)

Table 2.1: Indikasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional

Absolut: Tumor

Komplikasi rhinosinusitis Mukokel sinus

Sinusitis jamur Ensefalokel

Kebocoran cairan serebrospinal Relatif:

Rhinosinusitis kronik

Nyeri kepala disertai nyeri pada wajah Sinusitis akut berulang

Epitaksis Polip nasal

(David, 2005)

2.3.3. Kontraindikasi

1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.

2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi). 3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan

hemostasis yang tidak terkontrol. (HTA, 2006)


(28)

2.3.4. Persiapan Praoperasi a. CT Scan

Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT scan tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi.

b. Naso-endoskopi prabedah

Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus media, dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.

c. Persiapan kondisi pasien.

Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan. Sebelum dilakukan operasi, pasien harus diberi injeksi anestasi lokal yaitu lidocaine 1% dan epinefrin dengan perbandingan 1:100 000. Ini dapat menstabilkan tekanan darah pasien dan meminimalkan pendarahan ketika operasi.

d. Instrumen Bedah

Sebelum dilakukan pembedahan, maka alat-alat perlu dipersiapkan. Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Teleskop 4 mm 00 2. Teleskop 4 mm 300 3. Sumber cahaya 4. Cable light


(29)

5. Sistem kamera + CCTV 6. Monitor

7. Teleskop 2,7 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas kearah frontal, maksila dan sfenoid)

8. Teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)

Instrumen operasi yang diperlukan adalah seperti berikut:

1. Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8mm, Luer-lock) 2. Pisau Sabit (Sickle Knife 19cm)

3. Respatorium (MASING Elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt, 21.5cm)

4. Suction lurus 5. Suction Bengkok

6. Cunam Blakesley lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps)

7. Cunam Blakesley upturned (BLAKESLEY-WILDE Nasal Forceps

8. Cunam Cutting-through lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Straight)

9. Cunam Cutting-through upturned (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting Upturned)

10.Cunam Backbiting ("Backbiter" Antrum Punch) 11.Ostium seeker

12.Trokar sinus maksila

13.J Curette (Antrum Curette Oval)

14.Kuhn Curette (Sinus Frontal Curette Oblong) 15.Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm) 16.Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm) 17.Cunam Jamur (Stammberger Punch)


(30)

Gambar 2.2: Instrumen yang digunakan dalam BSEF (Stammberger, 2004).

2.3.5. Tahapan operasi

Sewaktu melakukan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF), pasien dibaringkan dalam posisi supine di atas meja operasi. Ahli bedah yang bertugas akan berada di sebelah kanan pasien dalam posisi duduk ataupun berdiri. Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi. Berikut ini dijelaskan tahapan operasi.

1. Infundibulektomi

Pertama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa masuk.

Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium sinus maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium sinus maksila dan infundibulum maka drenase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali dan


(31)

penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup. Tahap operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF Mini. Prosesus uncinatus harus diangkat secara lengkap supaya tidak mengganggu visualisasi pada tahap seterusnya. Jika tidak, ini akan dapat menyebabkan operasi ini gagal. Selain itu, harus berhati-hati supaya tidak terjadi penetrasi ke dinding orbita media ketika mengangkat prosesus uncinatus.

2. Eksenterasi sinus maksila

Setelah mengangkat prosesus uncianatus, ostium sinus maksila harus diidentifikasi dan dipotong dengan menggunakan cunam cutting. Pengangkatan kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista besar dan jamur masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium sinus maksila yang telah diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan cunam melalui meatus inferior jika cara diatas gagal. Ketika melakukan teknik ini harus berhati-hati supaya tidak penetrasi ke lamina papiracea.

3. Etmoidektomi retrograde

Seterusnya, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan jika disertai sinusitis frontal. Setelah tahap awal tadi (BSEF Mini), sebaiknya mempergunakan teleskop 00, dinding anterior bula etmoid diidentifikasi dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka lamina basalis akan berada dibelakang sinus lateralis ini. Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 00 dan tampak tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior diobservasi dan jika ada kelainan, sel-sel-sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Identifikasi dasar otak di sinus etmoid posterior sangat penting mencegah penetrasi dasar otak pada pengangkatan sel etmoid selanjutnya. Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas


(32)

diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan partisi sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fossa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papiracea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau 300. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar.

4. Sfenoidektomi

Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang. Perhatikan letak n.optikus, a.karotis dan apakah ujung septum intersfenoid melekat pada a.karotis sehingga jika diangkat dapat menyebabkan ruptur arteri yang fatal. Setelah ostium sinus sfenoid diidentifikasi, harus diperlebarkan dengan menggunakan cunam jamur. Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati karena n.optikus dan a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di bagian medial dan inferior saja. Menurut Stammberger (2004), pada 25% kasus ditemukan dehisence di kanal tulang a.karotis. Jika ingin mengangkat septum intersfenoid, harus yakin bahwa ujung septum tidak bertaut pada a.karotis interna atau n.optikus.

5. Sinus frontal

Secara umum, teknik ini tidak dilakukan jika tidak ada kelainan pada sinus frontal. Akan tetapi jika ada kelainan, maka teknik ini ditangani dengan penuh perhatian supaya meminimalkan cedera pada mukosa. Apabila diindikasi untuk operasi sinus frontal, teleskop 45° ataupun 70° sangat bermanfaat. Beberapa penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem, polip/popipoid, sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel agger nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini dibersihkan dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J dipandu endoskop 300 dan 700, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada


(33)

gambar CT, serta mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka ostium sinus frontal dapat dihindari. Kista atau polip di sinus frontal dapat dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat dicapai dengan cunam jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Polip yang berada di ujung lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat dicapai dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal. Jaringan parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF. Pada keadaan ini operasi trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi merupakan pilihan. Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka jalan ke sinus frontal dan maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih dan kelainan patologik di kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan didalamnya.

6. “Nasal packing”

Sebelum dilakukan terminasi, semua sinus harus diperiksa kembali dan memastikan bahwa pendarahan telah dikontrol. Packing harus dilakukan di meatus medialis agar dapt mencegah terjadinya lateralisasi pada konka tengah (David, 2005; HTA, 2006; Patel, 2012).

2.3.6. Paska Operasi

Perawatan paska operasi sangat penting dimana pembersihan paska operasi dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Terapi steroid dan antibioktik diberikan kepada pasien yang dilakukan BSEF dengan indikasi inflamasi ataupun polip. Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan paska operasi dilakukan seawal mungkin setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari secara teratur. Durasi follow-up tergantung pada indikasi BSEF. Umumnya, kontrol endoskopi pertama akan menentukan apakah pasien memerlukan


(34)

follow-up yang durasi intervalnya pendek atau 4 hingga 5 minggu sekali. Fungsi normal sinus paranasal akan kembali selepas 6 minggu ataupun 6 bulan tergantung pada gambaran patologi penyakit pasien (Stammberger, 2000; Slack dan Bates, 1998).

Gambar 2.3: Gambaran Kompleks Ostio-Meatal (KOM). Area yang dibulatkan adalah menunjukkan pencetus sinusitis (kiri). Selepas BSEF, kompleks

ostio-meatal telah buka (kanan). (Slack dan Bates, 1998)

2.3.7. Komplikasi operasi

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) telah terbukti efektif bagi mengatasi rhinosinusitis kronik. Namun, seperti operasi yang lain, BSEF juga menyebabkan bebepapa komplikasi yang dapat terjadi setelah atau selama prosedur operasi.

Komplikasi ini boleh dibahgikan kepada dua kategori yaitu komlikasi mayor dan minor. Komplikasi minor yang sering timbul setelah operasi adalah sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling berdekatan, umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Disfungsi penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka perlekatan superior dan inferior dari konka media harus dipertahankan. Komplikasi mayor adalah termasuk perdarahan, hilang penglihatan, dan trauma intrakranial. Komplikasi minor lebih banyak timbul pada penderita berbanding dengan


(35)

komplikasi mayor yaitu sebanyak 6.9% komplikasi yang terjadi adalah komplikasi minor dan 0.85% adalah komplikasi mayor.

Pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Pada masa sekarang, banyak penelitian dilakukan tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat BSEF dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya (David, 2005; HTA, 2006).

Tabel 2.2 dapat menggambarkan pembahgian komplikasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) mengikut kategori komplikasi mayor dan minor.


(36)

Tabel 2.2: Komplikasi Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)

Mayor:

Epitaksis berat Hematoma orbita Diplopia

Hilang penglihatan Kurang ketajaman visual Perdarahan intrakranial

Kebocoran cairan serebrospinal Anosmia

Trauma nasolacrimal Meningitis

Pneumocephalus Stroke

Trauma arteri carotid Minor:

Epitaksis ringan Hyposmia Adhesi Nyeri kepala Ekimosis periorbita Emfisema periorbita Nyeri wajah

sakit gigi

(David, 2005)


(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambar 3.1: Kerangka konsep penelitian Penderita yang menjalani

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)

a. Jenis kelamin b. Kelompok umur c. Pekerjaan d. Indikasi operasi e. Komplikasi operasi

Berdasarkan data yang berasal dari rekam medis pasien di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012.


(38)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Gambar 3.1: Kerangka konsep penelitian Penderita yang menjalani

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)

a. Jenis kelamin b. Kelompok umur c. Pekerjaan d. Indikasi operasi e. Komplikasi operasi

Berdasarkan data yang berasal dari rekam medis pasien di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012.


(39)

3.2. Definisi Operasional

Judul Penelitian: Karakteristik Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan Dari Periode 2008-2012.

a) Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) merupakan teknik operasi terkini yang dilakukan oleh pasien yang menderita penyakit seperti sinusitis kronik, sinusitis akut berulang, polip hidung tumor hidung dan sebagainya.

b) Variabel yang diteliti dalam penelitian ini mencakup, jenis kelamin penderita, umur penderita, pekerjaan penderita, indikasi operasi dan komplikasi operasi.

1. Jenis kelamin penderita yang menjalani BSEF sesuai dengan yang tercatat dalam rekam medis yaitu laki-laki atau perempuan.

Cara ukur : Mengumpul dan mencatat data Alat ukur : Rekam Medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal

2. Umur dihitung dalam tahun menurut ulang tahun terakhir. Umur penderita BSEF sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, dikelompokkan atas:

a. 0-15 tahun b. 16-30 tahun c. 31-45 tahun d. 46-60 tahun e. >60 tahun


(40)

Cara ukur : Mengumpul dan mencatat data Alat ukur : Rekam Medis

Hasil ukur : Persentase

Skala ukur : Ordinal

3. Pekerjaan yang dilakukan oleh penderita yang menjalani BSEF sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, dikelompokkan atas :

a. IRT (Ibu Rumah Tangga) b. PNS (Pegawai Nasional Sipil) c. Petani

d. Pegawai swasta e. Wiraswasta f. Mahasiswa /i g. Pelajar h. Pensiunan

Cara ukur : Mengumpul dan mencatat data Alat ukur : Rekam Medis

Hasil ukur : Persentase

Skala ukur : Nominal

4. Indikasi operasi adalah sebab dilakukan operasi BSEF pada penderita.

Cara ukur : Mengumpul dan mencatat data Alat ukur : Rekam Medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal


(41)

5. Komplikasi operasi adalah komplikasi yang terjadi pada penderita yang menjalani BSEF.

Cara ukur : Mengumpul dan mencatat data Alat ukur : Rekam Medis

Hasil ukur : Persentase Skala ukur : Nominal


(42)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional retrospektif, di mana penelitian ini akan mendeskripsikan karakteristik penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012. Data diperoleh dengan menggunakan data sekunder yaitu melalui rekam medis penderita.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian direncanakan akan dilaksanakan dari bulan September hingga Nopember 2013.

4.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Departemen THT-KL dan Bagian Rekam Medis Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012 yang tercatat dalam rekam medis yang tersedia.

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu sehingga dapat mewakili populasinya. Dalam penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan secara secara simple ramdom sampling (SRS). Metode SRS adalah


(43)

metode penarikan sampel dimana masing-masing subjek memiliki peluang yang sama untuk terpilih menjadi sampel. Rumusnya:

n = jumlah sampel

d = penyimpangan statistik dari sampel terhadap populasi ditetap sebesar 0,1 N = jumlah populasi

Hitungan : n = jumlah sampel d = 0,1

N = 225

n = _____225_____ 1+ 225 [(0,1)2]

n = 69.23 ≈ 69 orang 4.3.2.1. Teknik Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel yang paling klasik adalah dengan menggunakan undian. Nomor rekam medis jumlah populasi dicatat dalam satu lembar kecil masing-masing, dibuat gulungan dan diaduk. Ambil satu gulungan, catat nomor rekam medis dan masukkan kembali ke dalam wadah gulungan. Seterusnya diambil lagi sampai terpenuhi sejumlah sampel yang dibutuhkan. Jika terambil nomor yang sudah pernah terambil sebelumnya, masukkan kembali tanpa dicatat.

n = _____N______ 1+ N (d2)


(44)

4.3.2.2. Kriteria inklusi adalah penderita yang telah menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) dari periode 2008-2012 di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan.

4.3.2.3. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah penderita yang memenuhi kriteria inklusi namun memiliki data yang tidak lengkap dalam rekam medis yaitu data-data yang diperlukan untuk ditabulasi seperti jenis kelamin, umur, pekerjaan, indikasi operasi dan komplikasi operasi BSEF.

4.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan setelah mendapat rekomendasi izin pelaksanaan penelitian dari Institusi Pendidikan dan Komisi Etik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Setelah itu, data mengenai penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) dari Januari 2008 sampai Desember 2012 di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik dikumpul dari data sekunder yaitu rekam medis. Setelah selesai, peneliti akan mendapatkan surat selesai penelitian dari RSUP Haji Adam Malik Medan.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan diolah dengan menggunakan program komputer dan ditampilkan secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan dilakukan pembahasaan sesuai dengan pustaka yang ada.


(45)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit milik pemerintah. Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara. Rumah sakit ini terletak di pusat kota Medan Indonesia. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan Rumah Sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes no.547/Menkes/SK/VII/1998 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes no.502/Menkes/SK/IX/1991.

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden

Responden pada penelitian ini adalah sebanyak 69 penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. Haji Adam Malik, Medan dari periode 2008-2012. Karakteristik responden pada penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

5.1.2.1. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Jenis Kelamin.

Tabel 5.1. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Jenis Kelamin.

Jenis Kelamin Frekuensi(n) Persentase (%) Laki-laki 40 58,0 Perempuan 29 42,0 JUMLAH 69 100,0

Dari tabel 5.1, dapat dilihat bahwa frekuensi tertinggi penderita yang menjalani BSEF terdapat pada laki-laki yaitu sebanyak 40 penderita (58%) sedangkan perempuan sebanyak 29 penderita (42%).


(46)

5.1.2.2. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Kelompok Umur.

Tabel 5.2. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Kelompok Umur.

Umur (tahun) Frekuensi(n) Persentase (%) 0-15 tahun 5 7,2 16-30 tahun 19 27,5 31-45 tahun 27 39,1 46-60 tahun 13 18,8 >60 tahun 5 7,2 JUMLAH 69 100,0

Dari tabel 5.2, dapat diketahui bahwa frekuensi tertinggi penderita yang menjalani BSEF terdapat pada kelompok umur 31-45 tahun yaitu sebanyak 27 penderita (39,1%) dan diikuti oleh kelompok umur 16-30 tahun yaitu sebanyak 19 penderita (27,5%). Frekuensi terendah penderita yang menjalani BSEF terdapat pada kelompok umur 0-15 tahun dan > 60 tahun yaitu sebanyak 5 penderita (7,2%) masing-masing.


(47)

5.1.2.3. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Pekerjaan.

Tabel 5.3. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Pekerjaan.

Pekerjaan Frekuensi(n) Persentase (%) IRT 9 13,0 Mahasiswa 3 4,3 Pegawai negeri 15 21,7 Pegawai swasta 2 2,9 Pelajar 8 11,6 Pensiunan 1 1,4 Petani 6 8,7 Wiraswasta 25 36,2 JUMLAH 69 100,0

Dari tabel 5.3, didapati bahwa frekuensi pekerjaan penderita yang menjalani BSEF terbanyak adalah wiraswasta yaitu sebanyak 25 penderita (36,2%) dan diikuti oleh pegawai negeri yaitu sebanyak 15 penderita (21,7%). Frekuensi pekerjaan penderita terendah adalah pensiunan yaitu sebanyak 1 penderita (1,4%).

5.1.2.4. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Indikasi Operasi.

Tabel 5.4. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Indikasi Operasi.

Indikasi Frekuensi (n) Persentase (%) Hemangioma 4 5,8 Inverted papiloma 1 1,4 Polip nasal 23 33,3 Rinosinusitis kronik 41 59,4 JUMLAH 69 100,0


(48)

Dari tabel 5.4, didapati bahwa indikasi operasi BSEF terbanyak adalah rinosinusitis kronik sebanyak 41 penderita (59,4%) dan diikuti oleh polip nasal sebanyak 23 penderita (33,3%). Indikasi operasi BSEF terendah adalah inverted papiloma sebanyak 1 penderita (1,4%).

5.1.2.5. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Komplikasi Operasi.

Tabel 5.5. Distribusi Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Berdasarkan Komplikasi Operasi.

Komplikasi Frekuensi(n) Persentase (%) Nyeri wajah 4 5,8 Perdarahan minimal 23 33,3 Tidak ada 42 60,9 JUMLAH 69 100,0

Dari tabel 5.5, dapat dilihat bahwa mayoritas yaitu sebanyak 42 penderita (60,9%) tidak ada komplikasi operasi BSEF sedangkan sebanyak 4 penderita (5,8%) mengalami nyeri wajah setelah operasi BSEF.


(49)

5.2. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP Haji Adam Malik, Medan dari tahun 2008-2012, diperoleh data mengenai karakteristik penderita yang menjalani Bedah Sinus Eendoskopik Fungsional (BSEF). Data-data tersebut akan digunakan sebagai dasar dari pembahasan hasil akhir penelitian ini dan dijabarkan sebagai berikut. Dari tabel 5.1, dapat dilihat bahwa Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) lebih sering dilakukan pada laki-laki yaitu sebanyak 40 penderita (58%) sedangkan perempuan sebanyak 29 penderita (42%). Hal yang sama dilaporkan oleh Bajaj et al., (2009) dalam penelitiannya di mana dari 105 penderita yang menjalani BSEF, 44 (41.9%) adalah perempuan dan 61 (58.1%) merupakan laki-laki.

Jika ditinjau lebih lanjut, dalam penelitian ini banyak penderita yang menjalani operasi BSEF adalah penderita rinosinusitis kronik. Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (2012), perokok cenderung lebih mudah terkena rinosinusitis kronik daripada yang tidak perokok sehingga diduga laki-laki lebih banyak merokok daripada perempuan (Fokkens et al., 2012).

Selain itu, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan mungkin disebabkan aktifitas harian laki-laki, di mana mereka lebih sering berada di luar rumah sehingga mudah terpapar polusi udara, debu, udara dingin dan kering yang dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia. Penelitin Busquets et al., (2006) yang dikutip oleh Dewi (2013) mengatakan bahwa faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia.

Dari tabel 5.2, didapati bahwa penderita dari kelompok umur 31-45 tahun telah paling banyak menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) yaitu sebanyak 27 penderita (39,1%). Hasil yang didapat dalam penelitian ini sama dengan penetilian sebelumnya yang dilaporkan oleh Chopra et al., (2006). Dalam penelitiannya, sampel yang diambil adalah dari umur 5-65 tahun dan yang paling banyak menjalani BSEF adalah penderita yang berumur 35 tahun.


(50)

Penderita pada kelompok umur 31-45 tahun paling banyak menjalani BSEF mungkin karena perilaku mereka di mana aktivitas harian lebih sering di rumah sehingga mereka mudah terpapar dengan polutan seperti asap rokok, debu dan asap kenderaan bermotor yang mengakibatkan penyakit seperti sinusitis, polip nasal, tumor sinonasal dan sebagainya.

Dalam penelitian ini, penderita pada kelompok umur 0-15 tahun dan >60 tahun menjalani BSEF merupakan frekuensi yang terendah dibandingkan kelompok umur yang lain. Operasi BSEF tidak sering dilakukan pada anak-anak karena perkembangan sinus paranasal anak-anak umumnya mencapai ukuran maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Dalam penelitian ini indikasi terbanyak dilakukan operasi BSEF adalah rinosinusitis kronik, di mana hal ini telah mempengaruhi hasil distribusi penderita berdasarkan kelompok umur. Penelitian di Kanada dijumpai penderita rinosinusitis kronik terbanyak dijumpai pada kelompok umur 20-29 tahun dan menurun setelah usia 60 tahun (Fokkens et al., 2012). Sebagai tambahan, pada penelitian Hellgren (2008) yang dikutip oleh Dewi (2013) didapati meningkatnya kejadian rinosinusitis kronik pada usia muda dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan, perubahan gaya hidup, pola makan dan infeksi.

Dari tabel 5.3, dapat dilihat bahwa mayoritas pekerjaan penderita yang menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) adalah wiraswasta yaitu sebanyak 25 penderita (36,2%). Sedangkan, penderita yang paling sedikit menjalani BSEF adalah pensiunan yaitu sebanyak 1 penderita (1,4%). Pekerjaan yang dilakukan oleh penderita dapat mempengaruhi aktivitas sosial sehingga mereka lebih beresiko tinggi untuk terinfeksi oleh jamur, virus ataupun bakteri. Pada penelitian Dewi (2013) dilaporkan bahwa wiraswata lebih banyak menderita sinusitis (28,8%) dan pensiunan lebih sedikit menderita sinusitis (0,9%).

Penderita juga mungkin sibuk dalam melakukan pekerjaan seharian mereka sehingga tidak mempunyai waktu untuk berobat ke dokter. Hal ini dapat menyebabkan penyakit mereka semakin parah dan mengalami kondisi di mana pengobatan yang optimal tidak berespons sehingga mereka diindikasikan untuk menjalani operasi BSEF.


(51)

Dari tabel 5.4, didapati bahwa indikasi operasi BSEF terbanyak adalah rinosinusitis kronik yaitu sebanyak 41 penderita (59,4%). Hal ini sama dengan teori yang disampaikan oleh Patel (2012), Stammberger (2004), David (2005) dan Slack dan Bates (1998), di mana Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) secara mayoritas dilakukan pada penderita rinosinusitis kronik yang tidak mengalami perbaikan setelah diberi pengobatan yang optimal berbanding dengan indikasi-indikasi yang lain.

Namun, dalam penelitian oleh Chopra et al., (2006) dilaporkan bahwa dari 50 penderita, yang terbanyak menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) adalah atas indikasi polip nasal yaitu sebanyak 31 penderita. Yang selebihnya adalah penderita rinosinusitis kronik yaitu sebanyak 19 orang. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapat dalam penelitian ini karena polip nasal merupakan indikasi terbanyak kedua yaitu sebanyak 23 penderita (33,3%). Ketidaksesuian ini terjadi mungkin karena dalam kedua penelitian ini sampel telah diambil secara randomisasi.

Dari tabel 5.5, didapati bahwa mayoritas yaitu sebanyak 42 penderita (60,9%) tidak mengalami komplikasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF). Hal ini sama dengan teori yang dikemukakan oleh Slack dan Bates (1998) dan David (2005) di mana sangat jarang terjadinya komplikasi akibat BSEF.

Pada penelitian ini juga didapati bahwa sebanyak 23 penderita (33,3%) mengalami perdarahan minimal dan sebanyak 4 penderita (5,8%) mengalami nyeri wajah setelah operasi BSEF. Hal ini menunjukkan bahwa komplikasi yang terjadi merupakan komplikasi minor di mana tidak ada penderita yang mengalami komplikasi mayor seperti perdarahan berat, hilang penglihatan, dan trauma intracranial.

Pada penelitian Chopra et al., (2006) dilaporkan bahwa tidak ada komplikasi mayor pada penderita yang menjalani BSEF dan terjadi perdarahan yang minimal pada 6 penderita (12%). Selain itu, pada penelitian Khalil dan Nunez (2009) juga dilaporkan bahwa dari 212 penderita yang menjalani BSEF, tidak ada yang mengalami komplikasi mayor.


(52)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh maka dapat ditarik kesimpulan seperti berikut:

1. Berdasarkan jenis kelamin, penderita terbanyak yang menjalani Bedah Sinus Eendoskopik Fungsional (BSEF) adalah laki-laki sebanyak 40 penderita (58%).

2. Penderita dari kelompok umur 31-45 tahun lebih banyak menjalani Bedah Sinus Eendoskopik Fungsional (BSEF) yaitu sebanyak 27 penderita (39,1%).

3. Penderita yang paling banyak menjalani Bedah Sinus Eendoskopik Fungsional (BSEF) adalah wiraswasta yaitu sebanyak 25 penderita (36,5%).

4. Indikasi operasi Bedah Sinus Eendoskopik Fungsional (BSEF) terbanyak adalah rinosinusitis kronik sebanyak 41 penderita (59,4%). 5. Mayoritas penderita tidak mengalami komplikasi operasi Bedah Sinus Eendoskopik Fungsional (BSEF) yaitu sebanyak 42 penderita (60,9%).

6.2. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat saran dari peneliti yaitu penelitian selanjutnya mengenai Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) sebaiknya menggunakan populasi penelitian yang lebih banyak dengan menggunakan data dari beberapa rumah sakit, yang bertujuan untuk memperbanyak data sehingga karakteristik penderita yang menjalani BSEF dapat dikenali dengan lebih baik.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mujaini, A., Wali, U. dan Alkhabori, M. (2009) Functional Endoscopic Sinus Surgery: Indications and Complication in the Ophthalmic Field. Oman Medical Journal. [Online] 24(2). p.70-80. Available from: DOI:10.5001/omj.2009.18. [Accessed: 21 April 2013].

Aziz, A.A., Hassan, H.S. dan Shama, K.A. (2006) Functional Endoscopic Sinus Surgery. Bahrain Medical Bulletin. [Online] 28(1 March). Available from: http://www.bahrainmedicalbulletin.com. [Accesed 25 April 2013].

Bajaj, Y., Sethi, N. dan Knight, L.C. (2009) Endoscopic sinus surgery as day-case procedure. The Journal of Laryngology & Otology. [Online] 123(6). p.619-622. Available from: DOI:10.1017/S0022215108003332. [Accesed 07 Nopember 2013].

Casiano, R.R. (2002) Endoscopic Sinus Surgery Dissection Manual: A Stepwise, Anatomically Based Approach to Endoscopic Sinus Surgery. Switzerland: Marcel Dekker.

Chopra, H., Khurana, A.S., Munjal, M. et al. (2006) Role of F.E.S.S in Chronic Sinusitis. Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. [Online] 58(2 April-June). p.137-140. Available from: DOI: 10.1007/BF03050768. [Accesed 08 Nopember 2013].

David, E.S. (2005) Primary Sinus Surgery. In: Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Edition. USA, Elsevier Mosby: p.1229-1252.


(54)

Dewi, E. (2013) Profil Penderita Rinosinusitis Kronik Yang Menjalani Tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional Di Rsup H.Adam Malik Medan Tahun 2008-2011. [Online] Available from: http://repository.usu.ac.id. [Accesed 20 April 2013].

Fokkens, W.J., Lund, V.J., Bachert, C. et al. (2012) European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps. Rhinology. [Online] 50(23). p.1-298. Available from: http://www.rhinologyjournal.com. [Accessed: 21 April 2013].

Gupta, T., Aggarwal, A. dan Sahni, D. (2013) Surgical Anatomy of the Frontalsinus Outflow Pathway: A Cadaveric Study. European Journal of Anatomy. [Online] 17(1). p.29-34. Available from: http://www.eurjanat.com. [Accesed 18 Mei 2013].

HTA Indonesia. (2006) Functional Endoscopic Sinus Surgery di Indonesia. p.1-52.

Khalil, H. dan Nunez, D.A. (2009) Functional Endoscopic Sinus Surgery for Chronic Sinusitis. [Online] Cochrane Database of Systemic Reviews (3). Available from: DOI: 10.1002/14651858.CD004458.pub2. [Accesed 07 Nopember 2013].

Mangunkusumo, E. (2007) Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., dan Restuti, R.D. (ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK Universitas Indonesia, p.151-153.

Moore, K.L., Dalley, A.F. dan Agur, A.M.R. (2008) Head. In: Clinically Orientated Anatomy, 6th Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins, p.959-964.


(55)

Netter, F.H. (2011) Head and Neck: Nasal Region. In: Atlas of Human Anatomy. 5th Edition. USA: Saunders, 49.

Notoatmodjo, S. (2005) Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Patel, A. (2012) Functional Endoscopic Sinus Surgery. [Online] Available from: http://emedicine.medscape.com. [Accesed 6 Mei 2013].

Porter, G.T. (2002) Paranasal Sinus Anatomy and Function. [Online]. Available from: http://www.utmb.edu. [Accesed 10 Mei 2013].

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia. (2010) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Rowe-Jones, J.M., Medcalf, M., Durham, S.R. et al. (2005) Functional Endoscopic Sinus Surgery: 5 year follow up and results of a prospective, randomised, stratified, double-blind, placebocontrolled study of postoperative fluticasonepropionate aqueous nasal spray. Rhinology. [Online] 43(1). p.2-10. Available from: http://www.rhinologyjournal.com. [Accessed: 23 April 2013].

Sastroasmoro, S. dan Ismael, S. (2008) Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto.

Singh, A. (2011) Paranasal Sinus Anatomy. [Online] Available from: http://emedicine.medscape.com. [Accesed 5 Mei 2013].


(56)

Slack, R. dan Bates, G. (1998) Functional Endoscopic Sinus Surgery. [Online] American Family Physician 58(3). p.707-718. Available from: http://www.aafp.org. [ Accesed 3 Mei 2013].

Smith, L.F. dan Brindley, P.C. (1993) Indications, evaluation, complication and results of functional endoscopic sinus surgery in 200 patients. [Online]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov. [Accesed 7 Mei 2013].

Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. (2007) Sinus paranasal. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., dan Restuti, R.D. (ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FK Universitas Indonesia, p.145-149.

Stammberger, H. (2000). F.E.S.S. “Uncapping The Egg” The Endoscopic Approach to Frontal Recess and Sinuses: Introducing the New KARL STORZ 45o HOPKINS II Telescopes. Tuttlingen, Germany: Endo-press.

Stammberger, H. (2004) Endoscopic Diagnosis and Surgery of the Paranasal Sinuses and Anterior Skull Base: the Messerklinger technique. Tuttlingen, Germany: Endo-press.

Wahyuni, A.S. (2007) Statistika Kedokteran (Disertai Aplikasi dengan SPSS). Jakarta : Bamboedoea Communication.

Walsh, W.E. dan Kern, R.C. (2006) Sinonasal Anatomy, Function, and Evaluation. In: Bailey, B.J., Johnson, J.T., Newlands, S.D. (ed). Head and Neck Surgery–Otolaryngology. 4th Edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.


(57)

Watelet, J.B. dan Cauwenberge, P.V. (1999) Applied Anatomy and Physiology of the Nose and Paranasal Sinuses. Allergy. [Online] 54(s57). p.5-159. Available from: DOI: 10.1111/j.1398-9995.1999.tb04402. [Accesed 17 Mei 2013].


(58)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Archanaa Samanthan

Tempat/ tanggal lahir : Sungai Petani, Kedah / 21 Feb 1991 Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : Hindu

Alamat : Jl. Kacang, Pringgan, No 3, Medan Nomor Telepon : 083194825993

Orang tua : Samanthan Rajoo / Sundiri Velliappan Riwayat pendidikan : Sijil Pelajaran Menengah (SPM) - 2008 : AIMST University - 2009

: President College - 2010

: Fakultas Kedokteran USU - sekarang

Riwayat Organisasi : Ahli, Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar Malaysia Indonesia Cawangan Medan. (PKPMI- CM)


(59)

LAMPIRAN 5

NO INDIKASI JK UMUR PEKERJAAN KOMPLIKASI

1 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

2 Rinosinusitis kronik 1 5 Wiraswasta Nyeri wajah

3 Hemangioma 1 3 Pegawai swasta Tidak ada

4 Inverted papiloma 1 2 Pelajar Tidak ada

5 Polip nasal 2 1 Pelajar Nyeri wajah

6 Rinosinusitis kronik 1 1 Pelajar Perdarahan minimal

7 Hemangioma 1 3 Petani Tidak ada

8 Polip nasal 2 2 Wiraswasta Tidak ada

9 Polip nasal 1 4 Wiraswasta Tidak ada

10 Rinosinusitis kronik 2 2 Wiraswasta Tidak ada

11 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Tidak ada

12 Polip nasal 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

13 Rinosinusitis kronik 2 3 IRT Perdarahan minimal

14 Polip nasal 1 2 Wiraswasta Perdarahan minimal

15 Rinosinusitis kronik 2 3 IRT Nyeri wajah

16 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Tidak ada

17 Rinosinusitis kronik 2 2 Pegawai negeri Nyeri wajah

18 Polip nasal 1 2 Pelajar Tidak ada

19 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

20 Rinosinusitis kronik 2 4 Wiraswasta Tidak ada

21 Rinosinusitis kronik 1 2 Pelajar Perdarahan minimal

22 Rinosinusitis kronik 1 3 Pegawai swasta Tidak ada

23 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Tidak ada

24 Polip nasal 1 4 Petani Perdarahan minimal

25 Polip nasal 1 5 Petani Tidak ada

26 Polip nasal 1 2 Mahasiswa Perdarahan minimal

27 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Tidak ada

28 Rinosinusitis kronik 1 4 Pegawai negeri Tidak ada

29 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Tidak ada

30 Rinosinusitis kronik 1 2 Wiraswasta Tidak ada

31 Polip nasal 1 3 Wiraswasta Tidak ada

32 Rinosinusitis kronik 2 4 Pegawai negeri Tidak ada

33 Rinosinusitis kronik 1 2 Mahasiswa Tidak ada

34 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Tidak ada

35 Polip nasal 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

36 Rinosinusitis kronik 1 2 Wiraswasta Tidak ada


(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama

: Archanaa Samanthan

Tempat/ tanggal lahir

: Sungai Petani, Kedah / 21 Feb 1991

Pekerjaan

: Mahasiswa

Agama

: Hindu

Alamat

: Jl. Kacang, Pringgan, No 3, Medan

Nomor Telepon

: 083194825993

Orang tua

: Samanthan Rajoo / Sundiri Velliappan

Riwayat pendidikan

: Sijil Pelajaran Menengah (SPM) - 2008

: AIMST University - 2009

: President College - 2010

: Fakultas Kedokteran USU - sekarang

Riwayat Organisasi

: Ahli, Persatuan Kebangsaan Pelajar-pelajar

Malaysia Indonesia Cawangan Medan. (PKPMI-

CM)


(2)

LAMPIRAN 5

NO INDIKASI JK UMUR PEKERJAAN KOMPLIKASI

1 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

2 Rinosinusitis kronik 1 5 Wiraswasta Nyeri wajah

3 Hemangioma 1 3 Pegawai swasta Tidak ada

4 Inverted papiloma 1 2 Pelajar Tidak ada

5 Polip nasal 2 1 Pelajar Nyeri wajah

6 Rinosinusitis kronik 1 1 Pelajar Perdarahan minimal

7 Hemangioma 1 3 Petani Tidak ada

8 Polip nasal 2 2 Wiraswasta Tidak ada

9 Polip nasal 1 4 Wiraswasta Tidak ada

10 Rinosinusitis kronik 2 2 Wiraswasta Tidak ada

11 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Tidak ada

12 Polip nasal 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

13 Rinosinusitis kronik 2 3 IRT Perdarahan minimal

14 Polip nasal 1 2 Wiraswasta Perdarahan minimal

15 Rinosinusitis kronik 2 3 IRT Nyeri wajah

16 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Tidak ada

17 Rinosinusitis kronik 2 2 Pegawai negeri Nyeri wajah

18 Polip nasal 1 2 Pelajar Tidak ada

19 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

20 Rinosinusitis kronik 2 4 Wiraswasta Tidak ada

21 Rinosinusitis kronik 1 2 Pelajar Perdarahan minimal

22 Rinosinusitis kronik 1 3 Pegawai swasta Tidak ada

23 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Tidak ada

24 Polip nasal 1 4 Petani Perdarahan minimal

25 Polip nasal 1 5 Petani Tidak ada

26 Polip nasal 1 2 Mahasiswa Perdarahan minimal

27 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Tidak ada

28 Rinosinusitis kronik 1 4 Pegawai negeri Tidak ada

29 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Tidak ada

30 Rinosinusitis kronik 1 2 Wiraswasta Tidak ada

31 Polip nasal 1 3 Wiraswasta Tidak ada

32 Rinosinusitis kronik 2 4 Pegawai negeri Tidak ada

33 Rinosinusitis kronik 1 2 Mahasiswa Tidak ada

34 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Tidak ada

35 Polip nasal 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

36 Rinosinusitis kronik 1 2 Wiraswasta Tidak ada


(3)

38 Polip nasal 1 4 Petani Perdarahan minimal

39 Rinosinusitis kronik 1 4 Wiraswasta Tidak ada

40 Polip nasal 1 4 Wiraswasta Tidak ada

41 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Tidak ada

42 Polip nasal 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

43 Rinosinusitis kronik 1 3 Wiraswasta Perdarahan minimal

44 Polip nasal 2 2 Mahasiswa Tidak ada

45 Rinosinusitis kronik 1 4 Pegawai negeri Tidak ada

46 Polip nasal 2 2 IRT Perdarahan minimal

47 Rinosinusitis kronik 1 2 Wiraswasta Perdarahan minimal

48 Rinosinusitis kronik 1 5 Pensiunan Tidak ada

49 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Perdarahan minimal

50 Polip nasal 2 4 IRT Perdarahan minimal

51 Hemangioma 2 3 IRT Tidak ada

52 Rinosinusitis kronik 2 1 Pelajar Tidak ada

53 Hemangioma 2 5 IRT Perdarahan minimal

54 Rinosinusitis kronik 2 3 IRT Tidak ada

55 Polip nasal 2 1 Pelajar Perdarahan minimal

56 Rinosinusitis kronik 1 4 Petani Tidak ada

57 Rinosinusitis kronik 1 4 Pegawai negeri Tidak ada

58 Polip nasal 2 1 Pelajar Tidak ada

59 Polip nasal 1 2 Wiraswasta Perdarahan minimal

60 Rinosinusitis kronik 1 3 Petani Tidak ada

61 Rinosinusitis kronik 2 2 Wiraswasta Tidak ada

62 Rinosinusitis kronik 2 3 Pegawai negeri Tidak ada

63 Rinosinusitis kronik 2 5 Pegawai negeri Tidak ada

64 Polip nasal 2 2 IRT Perdarahan minimal

65 Rinosinusitis kronik 1 3 Pegawai negeri Tidak ada

66 Rinosinusitis kronik 2 2 IRT Perdarahan minimal

67 Polip nasal 2 2 Wiraswasta Perdarahan minimal

68 Polip nasal 1 3 Wiraswasta Tidak ada

69 Rinosinusitis kronik 2 4 Pegawai negeri Tidak ada

Rujukan:

JK = JENIS KELAMIN UMUR

1 = laki-laki 1 = 0-15 tahun

2 = perempuan 2 = 16-30 tahun

3 = 31-45 tahun 4 = 46-60 tahun 5 = > 60 tahun


(4)

LAMPIRAN 6

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid laki-laki 40 58.0 58.0 58.0

perempuan 29 42.0 42.0 100.0

Total 69 100.0 100.0

Umur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 0-15 5 7.2 7.2 7.2

16-30 19 27.5 27.5 34.8

31-45 27 39.1 39.1 73.9

46-60 13 18.8 18.8 92.8

> 60 5 7.2 7.2 100.0


(5)

Komplikasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Nyeri wajah 4 5.8 5.8 5.8

Perdarahan minimal 23 33.3 33.3 39.1

Tidak ada 42 60.9 60.9 100.0

Total 69 100.0 100.0

Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid IRT 9 13.0 13.0 13.0

Mahasiswa 3 4.3 4.3 17.4

Pegawai negeri 15 21.7 21.7 39.1 Pegawai swasta 2 2.9 2.9 42.0

Pelajar 8 11.6 11.6 53.6

Pensiunan 1 1.4 1.4 55.1

Petani 6 8.7 8.7 63.8

Wiraswasta 25 36.2 36.2 100.0

Total 69 100.0 100.0

Indikasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Hemangioma 4 5.8 5.8 5.8

Inverted papiloma 1 1.4 1.4 7.2 Polip nasal 23 33.3 33.3 40.6 Rinosinusitis kronik 41 59.4 59.4 100.0


(6)

Dokumen yang terkait

Gambaran Penderita Karsinoma Laring di Departemen THT-KL RSUP Haji Adam Malik Medan periode Januari 2011-Desember 2013

2 45 61

Karakteristik Penderita Tumor Sinonasal Di Departemen THT-KL RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2012

3 62 99

Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional di RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011

1 31 79

Karakteristik Penderita Yang Menjalani Trakeostomi di Bagian THT-KL RSUP Sanglah Periode 2012 - 2014.

0 3 22

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 0 16

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 2 2

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 0 4

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 2 26

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 0 11

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

0 1 31