2.2 Rinosinusitis Kronik 2.2.1 Definisi
Rinosinusitis Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai adanya dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua
gejala minor yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri pada daerah muka pipi, dahi, hidung, hidung
buntu, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk Busquets et al,
2006. Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal
Polyps 2012, rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah
satunya termasuk hidung tersumbat obstruksi kongesti atau pilek sekret hidung anterior atau posterior , nyeri wajah rasa tertekan di wajah,
penurunan hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi berupa polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus
medius dan atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan atau gambaran tomografi komputer berupa penebalan mukosa di
kompleks osteomeatal dan atau sinus, yang berlangsung lebih dari 12 minggu Fokkens et al, 2012.
The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology EAACI mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung
berlangsung selama lebih dari 12 minggu disertai satu atau salah satu dari 3 gejala : nyeri wajah tekanan, post nasal drip, dan hiposmia Schlosser
et al, 2009.
2.2.2 Patofisiologi Rinosinusitis Kronik
Patofisiologi rinosinusitis kronik terkait 3 faktor yaitu patensi ostium, fungsi silia dan kualitas sekret. Gangguan salah satu faktor tersebut atau
kombinasi faktor-faktor akan menimbulkan sinusitis. Kegagalan transpor
Universitas Sumatera Utara
mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik Pinheiro, 2001.
Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses radang di area kompleks osteomeatal Gambar 4. Blokade
daerah kompleks osteomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus
akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri
anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang
memperberat blokade kompleks osteomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka blokade kompleks osteomeatal untuk memperbaiki
drainase dan aerasi sinus Kennedy et al, 1995. Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya :
obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, hipertrofi konka inferior, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga
hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor
lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia Busquets et
al, 2006 ; Fokkens et al, 2012.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Siklus rinosinusitis Kennedy et al,1995
2.2.3 Etiologi Rinosinusitis Kronik
Etiologi dari Rinosinusitis dapat disebabkan oleh alergi, infeksi dan dapat disebabkan oleh kelainan struktur anatomi variasi KOM, deviasi
septum, hipertrofi konka atau penyebab lain seperti idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi Fokkens et
al, 2012; Higler,1997 ; Weir et al, 1997. Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan dengan etiologi
rinosinusitis kronik adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influenza dan Moraxella kataralis Fokkens et al, 2012.
2.2.4 Kekerapan
Penelitian Azis et al 2006 di Arab Saudi mendapatkan 172 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus
endoskopik fungsional dari tahun 1998-2004 Azis et al, 2006. Prevalensi rinosinusitis kronik di Indonesia bervariasi. Di RS dr.
Sardjito Yogyakarta selama tahun 2000-2006 frekuensi penderita rinosinusitis kronik sekitar 2,5 - 4,6 dari seluruh kunjungan poliklinik
Harowi, 2011.
Universitas Sumatera Utara
Munir 2006 pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani operasi tahun 2002-2003 di RSUP H.
Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak 34,3, sedangkan jumlah penderita perempuan
sebanyak 20 penderita 57 dan laki-laki sebanyak 15 penderita 43.
Penelitian Firman 2011 di RSUP H Adam Malik Medan mendapatkan penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan
bedah sinus endoskopik tahun 2009-2010 sebanyak 47 penderita, yang terdiri dari 60 perempuan dan 40 laki-laki.
Multazar 2011 pada penelitiannya terhadap 296 penderita rinosinusitis kronik tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik , Medan
mendapatkan jenis kelamin terbanyak yang menderita rinosinusitis kronik adalah perempuan sebanyak 169 penderita 57,09 diikuti laki-laki
sebanyak 127 penderita 42,91.
2.2.5. Diagnosis Rinosinusitis Kronik
Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan melalui anamnesis, rinoskopi anterior, pemeriksaan nasoendoskopi dan pemeriksaan
penunjang Fokkens et al, 2012; Busquets, 2006.
Anamnesis
Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari
kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, 2006. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada
daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi
dan batuk Busquets et al, 2006. Sakit kepala merupakan salah satu tanda yang paling umum dan
paling penting pada sinusitis. Sakit kepala yang timbul merupakan akibat
Universitas Sumatera Utara
adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan
dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini
berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004.
Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal,
nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas
lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal Ballenger, 2004.
Gangguan penghidu hiposmia terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat
terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah
proses infeksi hilang Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004.
Rinoskopi anterior
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang
terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik Pinheiro, 2001.
Pemeriksaan nasoendoskopi
Pemeriksaan ini sangat dianjurkan karena dapat menunjukkan kelainan yang tidak dapat terlihat dengan rinoskopi anterior, misalnya
sekret purulen minimal di meatus media atau superior, polip kecil, hipertrofi prosesus unsinatus, konka media bulosa, konka media polipoid,
konka media hipertrofi, konka inferior hipertrofi, post nasal drip dan septum deviasi Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Pemeriksaan foto polos sinus
Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa
dilakukan adalah foto polos hidung dan sinus paranasal posisi Water’s. Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja, sedangkan
daerah kompleks osteomeatal tidak jelas tampak. Air fluid level pada rinosinusitis kronik tidak selalu dijumpai Busquets et al, 2006.
Pemeriksaan CT Scan
CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal potongan koronal, dimana dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam
rongga sinus dan kelainan di kompleks osteomeatal. CT Scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus rinosinusitis
berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. CT Scan memiliki
spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan CT Scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses
inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat terlihat dengan jelas Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006.
2.2.6 Komplikasi Rinosinusitis Kronik
Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut Giannoni et al, 2006.
Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah
yang kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat berakibat buruk misalnya
sampai menjadi buta atau bahkan kematian Giannoni et al, 2006. Komplikasi yang terjadi dapat berupa Giannoni et al, 2006:
1. Kelainan orbita Infeksi dari sinus paranasal dapat meluas ke orbita secara
langsung atau melalui system vena yang tidak berkatup. Komplikasi
Universitas Sumatera Utara
orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema
merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan
pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak
membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah.
2. Kelainan intrakranial Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis
sinus kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang
tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena.
Sinusitis maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat terlihat
sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan
hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi. 3. Mukokel kista
Bila saluran keluar sinus tersumbat dapat timbul mukokel. Sering timbul di sinus frontal meskipun dapat juga terjadi di sinus maksila,
etmoid atau sfenoid. Di dalam mukokel terjadi pengumpulan lendir yang steril yang kemudian menjadi kental. Mukokel dapat menjadi
besar dan mendesak organ disekitarnya terutama orbita. Mukokel menimbulkan gejala sakit kepala dan pembengkakan di atas sinus
yang terkena.
Universitas Sumatera Utara
2.2.7 Penatalaksanaan
Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian
antibiotik, kortikosteroid, anti jamur, anti bakteri, anti histamin, dekongestan dan mukolitik Ferguson et al, 2006.
Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, konka bulosa, hipertrofi adenoid pada anak, polip,
kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan Soetjipto,
2000. Rinosinusitis kronik yang tidak sembuh setelah pengobatan
medikamentosa yang adekuat dan optimal, serta adanya obstruksi kompleks osteomeatal merupakan indikasi tindakan bedah. Bedah sinus
endoskopik fungsional merupakan langkah maju dalam bedah sinus. Jenis operasi ini menjadi pilihan karena merupakan tindakan bedah invasif
minimal yang lebih efektif dan fungsional Lal D et al, 2009; Simmer et al, 2005.
Universitas Sumatera Utara
PANDUAN BAKU PENATALAKSANAAN SINUSITIS Soetjipto et al,
2001
TIDAK
Terapi tambahan : Dekongest.oral ,Kortikost.oral
dan atau topikal, Mukolitik Antihistamin pasien atopi
Diartemi,Proet,Irigasi sinus
YA YA
Faktor Predisposisi • Deviasi septum
• Konka bulosa, Hipertrofi Adenoid pada anak
• Polip, Kista, Jamur, Dentogenik
TIDAK TIDAK
ANAMNESIS Rinore purulen 7 hari
sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, gangguan penghidu, demam dll
RINOSKOPI ANTERIOR Polip? Tumor? Komplikasi sinusitis?
YA
Lakukan penatalaksanaan
yang sesuai SINUSITIS AKUT KRONIK ?
Lama gejala 12 minggu ? Episode serangan akut 4 x tahun? Konsensus Internasional Sinusitis 2004
SINUSITIS AKUT Rinoskopi Anterior RA
SINUSITIS KRONIK
RANaso-endoskopi Ro polos CT Scan
Pungsi irigasi sinus Sinuskopi
YA
Terapi tambahan : Dekongest.oral + topikal
Mukolitik, Analgetik Pasien Atopi :
• Antihist.Kortiko
steroid topikal
Perbaikan ? TIDAK
Lini II AB 7 hari Amoks. klav
Ampi. sulbaktam Cephalosporin gen. kell
Makrolid + terapi tambahan
YA Faktor Predisposisi?
Tata laksana yang sesuai Terapi sesuai pada
episode akut lini II + Terapi
TIDAK
Perbaikan ? YA
AB empirik 2 x 24 jam Lini I : Amoksil 3x500 mg
Cotrimoxazol 2x480 mg + terapi tambahan
AB alternatif 7 hari
Atau buat kultur TIDAK
Teruskan AB mencukupi
7-14 hari Perbaikan ?
TIDAK Evaluasi kembali :
NE, Sinuskopi atau CT jika belum
TIDAK Obstruksi KOM
TINDAKAN BEDAH : BSEF atau
Bedah Konvensional YA
Cari alur Diagnostik lain
Perbaikan ? Teruskan AB
mencukupi 7-14 hari
Ro.polosCT scan dan Naso-endoskopi NE
Kelainan ?
YA
Kemungkinan Sinusitis Akut
Berulang Lakukan terapi
sinusitis kronik
TIDAK Evaluasi diagnosis kembali
1. Evaluasi komprehensif` alergi, LPR
refluks 2.
Kultur pungsi sinus untuk resistensi kuman, beri AB sesuai kultur
Universitas Sumatera Utara
2.3. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional 2.3.1 Definisi