19
BAB II PERADILAN DI SURAKARTA
SEBELUM REVOLUSI FISIK 1945-1949
A. Peradilan Masa Kerajaan
Sumber hukum dalam pemutusan perkara di kerajaan Surakarta Kasunanan dan Mangkunegaran, terdapat empat macam yakni serat Nawala
Pradata, serat Angger Sadasa, serat Angger Agung, serat Angger Biru dan serat Angger Gladag. Pada serat Angger Nawala Pradata merupakan pedoman dalam
pelaksanaan pengadilan Pradoto, misalnya perkara yang tidak dapat diselesaikan oleh pengadilan Pradoto dapat naik banding ke pengadilan Surambi. Perkara
pidana menggunakan serat Angger Sadasa dan serat Angger Agung. Perkara perdata dapat diselesaikan dengan serat Angger Biru, misalnya dalam hal
sengketa tanah. Serat Angger Gladag digunakan oleh patih gladag dalam menjalankan hukuman di Alun-alun. Terdapat beberapa sumber hukum lain yang
dibuat oleh raja yang diberlakukan pada masa kepemimpinannya, misalnya kitab hukum PB IV, serat Sultan Ngalam pada masa PB III. Pada dasarnya, segala
hukum yang diberlakukan merupakan saduran hukum Islam. Dasar hukum kerajaan Surakarta menggunakan hukum Islam yang
mempunyai kesamaan dengan hukum Hindhu. Hukum Islam dan hukum Hindhu tidak mengenal hukum kurungan. Hukum yang dijalankan berupa hukuman mati,
potong anggota badan, dan hukum denda. Didalam hukum Islam, hukum tersebut dinamakan hukum kisas, sedang dalam Hindhu hukuman mati dan potong
anggota badan dimasukan dalam hukum pokok dan hukuman denda masuk dalam hukum tambahan
1
. Perkembangan hukum Islam di kerajaan Mataram, lama kelamaan hilang akibat campur tangan dari pemerintahan Kolonial.
Kisas merupakan kata dari Arab yakni Qishas. Qishas berasal dari kata qashsha, yang berarti memotong ataupun berasal dari kata aqtashsha yang berarti
mengikuti perbuatan penjahat untuk pembalasan yang sama daripada perbuatannya itu
2
. Hal ini berarti penjahat akan dikenakan hukuman yang sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya, misal bila seorang pencuri tertangkap maka
akan dijatuhi hukuman berupa potong tangan, dalam serat Ngalam tertulis “ yen ana wong memaling kalebu kisas, kasasana tugelen tangane tengen, yen kanthi
geneb pindho tugelen tangane tengen kiwo, yen geneb ping telu tugelen sukune tengen, yen geneb ping pat tugelen sukune tengen kiwo
3
bila ada orang yang mencuri dimasukkan dalam kisas, oleh karena itu potong tangan kanan, bila
sampai genab dua kali potong tangan kanan kiri, kalau sampai tiga kali maka potong kaki kanan, kalau empat kali potong kaki kanan kiri. Hukuman bagi
pembunuhan juga menggunakan kisas, misalnya dalam kitab hukum PB IV “ ….wong kang amteni wong kalawan borang kang den mateni mangka iku wajib
diyat kisas….”
4
orang yang membunuh dengan sengaja atau direncanakan maka orang yang membunuh itu wajib dihukum kisas.
1
Slametkunjawa, 1967, Perundangan-Undangan Majapahit, Jakarta : Bharata, halaman 20
2
Haliman, 1971, Hukum Pidana Sjariat Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, Jakarta : Bulan Bintang, halaman 275
3
Kitab Hukum Paku Buwono IV, Surakarta, Radya Pustaka, halaman 116
4
Ibid, halaman 109, borang berarti bambu yang ditajami dan dipakai untuk melukai orang yang berjalan. Hal ini berarti melakukan perbuatan sengaja, Bausastra jawa, 2008, Kamus
Bahasa Jawa, Yogyakarta : Balai Pustaka
Hukum kisas merupakan hukum pokok dalam hukum kerajaan namun ada beberapa hukuman yang berbeda. Pada kasus pembunuhan misalnya ada
beberapa pengecualian dalam penerapan hukum, seperti dalam kutiban sebagai berikut “saupami wonten tiyang ngamuk ngantos kenging kakepang gesang dene
angenipun ngamuk wau sampun amejahi tetiyang punika kepatrapan paukuman ing nagari, kawedalaken diyatipun gangsal atus reyal, yen boten medal diyatipun,
kagitika ing penjalin kaping gangsal atus lajeng kabucal sajawing nagari “
5
seumpama ada orang marah sampai dia tidak sadar kalau sedang marah sehingga sampai membunuh orang harus dihukum di ibukota, ia harus mengeluarkan diyat
lima ratus reyal, kalau tidak keluar diyatnya, dicambuk lima ratus kali lalu dibuang ke luar negara. Hukuman bagi kasus pembunuhan dapat berupa kisas,
cambuk atau denda. Pada kasus perampokan kecil seperti nyolong, njupuk, ngutil dan yang sejenisnya tidak perlu diadili di pradoto namun cukup diadili oleh
bandar pasar, seperti dalam kutiban “wong nyolong, njupuk, nyeler, nyebrot, ngutil barang dagangan utawa saliyane, mangka kongsi utawa mati, dadiya
kewajibane ing bandar mau”
6
orang nyolong, njupuk, nyeler, nyebrot, ngutil barang dagangan atau sejenisnya, maka hukumannya menjadi kewajiban dari
bandar pasar. Tahun 1677 merupakan awal hilangnya kedaulatan Mataram secara
penuh. Segala bidang mulai dicampuri oleh VOC termasuk juga bidang hukum. Orang-orang Eropa yang tinggal dalam kekuasaan kerajaan tidak tunduk terhadap
5
Tempat pembuangan tahanan berupa tempat yang berawa atau hutan belantara. Serat Angger Sadasa, pasal 14, Surakarta, Radya Pustaka, Sugiarti, 2000, Pengadilan Surambi di
Surakarta Pasca Palihan Nagari, Fakultas sastra dan Seni Rupa, tidak dipublikasikan, halaman 98
6
Serat Angger Agung, halaman 87 pasal 83, Surakarta, Radya Pustaka
hukum kerajaan tapi tunduk pada hukum buatan VOC. Kekuasaan raja terhadap hukum mulai runtuh pada masa raja Amangkurat II dan kekuasaan tersebut
diberikan oleh para abdi dalem. Hal inilah yang memulai raja-raja Mataram menarik diri dalam hal pengadilan dan diserahkan kepada pejabat-pejabatnya.
Masuknya pengaruh asing di kerajaan menyebabkan tersingkirnya hukum kerajaan.
Hukum kisas dipandang oleh para penguasa Indie seperti Raffles tidak mempunyai perikemanusiaan. Raffles menganggap bahwa hukum adat pidana
tidak mempunyai perikemanusiaan karena apa yang telah dilakukan oleh pelaku tidak sebanding dengan apa yang diterima atau hukuman oleh pelaku
7
dan bahkan hukuman tersebut dijadikan tontonan hiburan bagi penduduk Surakarta
8
. Raffles berusaha agar hukum kerajaan dihapuskan. Pada tahun 1756 karena desakan dari
pihak asing, Paku Buwono III mempunyai rencana menghilangkan hukum kisas dan potong anggota badan. Hal yang sama juga dilakukan oleh PB IV, namun hal
tersebut hanya sebatas keinginan sedang dalam pelaksanaan masih menggunakan hukum kisas.
Pada tahun 1847 PB VII mengumumkan bahwa hukum kisas dan hukum potong anggota badan dihapuskan. Hukuman yang bersifat merusak sifat
dihilangkan seperti kisas dan potong anggota badan, sedang untuk daerah Mangkunegaran hukum yang merusak sifat dihilangkan pada tahun 1848
9
.
7
Hilman Hadikusumo, 1978, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Bandung : Alumni, halaman 77
8
Hukuman tersebut diadu dengan binatang buas yang dilaksanakan di alun-alun keratin. Capt. R. P Suyono, 2004, Peperangan Kerajaan di Nusantara Penelusuran Kepustakaan Sejarah,
Jakarta : Grafindo, halaman 133-134
9
Staatblad tahun 1848 no 9. hukuman yang merusak sifat tercantum pada pasal 12
Dihapuskannya hukum kisas membuat hukum kerajaan tidak diberlakukan dan sebagai gantinya digunakan hukum Eropa yang berupa hukum kurungan dan
hukum kerja paksa. Interversi asing terhadap hukum kerajaan membuat berkurangnya ruang
lingkup kekuasaan hukum kerajaan. Waktu Amangkurat II menandatangani perjanjian kontrak politik, hukum kerajaan hanya berlaku di daerah Kuthanegara
pusat pemerintahan dan Negaragung daerah sekitar pusat pemerintahan seperti Kedu, Siti Ageng, Begelen dan Pajang. Wilayah Mancanegara daerah jajahan
dan daerah pesisir diberlakukan hukum VOC. Pada tahun 1903 ruang lingkup hukum kerajaan hanya sebatas pada golongan kerajaan seperti keluarga sedarah
dan semada sampai dengan pupu ke empat dari raja-raja dan terhadap golongan pegawaai tertinggi pada daerah sawapraja termasuk yuridis dari peradilan
Gubernamen
10
. Pengadilan kerajaan terbagi menjadi empat bagian kekuasaan yakni
pengadilan Balemangu, pengadilan Pradata, pengadilan Surambi dan pengadilan Kadipaten Anom. Tiap-tiap pengadilan itu mempunyai wewenang dan kekuasaan
tersendiri. Intervensi dari pihak asing mengakibatkan hilangnya wewenang dan kekuasaan itu dan bahkan pengadilan itu sendiri. Pada dasarnya pengadilan
kerajaan hanya dapat mengadili orang-orang pribumi. Pengadilan Balemangu dibentuk pada tahun 1737. Pengadilan ini berpusat
di Balemangu sehingga sering juga disebut pengadilan Balemangu Kepatihan atau jaksa nagara. Pengadilan ini merupakan lembaga pengadilan reh jobo,
karena hanya dapat mengadili orang-orang yang berada di luar kerajaan.
10
R Supomo, 1982, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia ke II, Jakarta : Pradya Paramita, halaman 85. kontrak perjanjian diundangkan pada Staatblad no 8 tahun 1903
Penyelenggaraan pengadilan ini hanya pada waktu hari kamis dan ahad minggu. Pengadilan ini dipimpin oleh Patih Dalem yang dibantukan oleh delapan orang
abdi dalem bupati nayaka dan abdi dalem bupati kadipaten anom
11
. Wewenang dan tugas dari pengadilan ini adalah menangani persengketaan
tanah-tanah desa dan perkara-perkara yang ada hubunngannya dengan bangsa kulit putih. Kekuasaan pengadilan ini meliputi penduduk Surakarta dan penduduk
Kasunanan yang menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Sumber hukum yang digunakan oleh pengadilan ini yaitu serat angger sadasa. Serat angger
sadasa berisi tentang hukum adminitrasi dan hukum agraria yang meliputi pemerintah desa, pertikaian desa, sewa menyewa tanah dan sebagainya. Serat ini
mengalami perubahan sebanyak dua kali, pertama pada tanggal 4 Oktober 1818 dan tanggal 12 Oktober 1840. Pada perubahan yang kedua merupakan pergantian
dari serat angger sadasa menjadi serat angger gunung. Didalam serat angger gunung itu salah satu isinya tentang jumlah pengadilan yang dipakai di
Kasunanan hanya tiga yaitu pengadilan pradata, pengadilan surambi dan pengadilan kadipaten anom. Keluarnya serat angger gunung mengakibatkan
hilangnya pengadilan Balemangu pada tahun 1847. Pengadilan kadipaten Anom terdiri dari beberapa pangeran dan
tumenggung yang diangkat oleh Sunan. Wewenang dan kekuasaan pengadilan ini menangani perselisihan diantara para sentana dalem dan perselisihan dimana
sentana dalem menjadi pihak yang digugat. Hasil pengadilan ini dapat dibanding di pengadilan pradata. Pada tahun 1903 pengadilan ini dihapuskan dan tugasnya
11
Karena jumlahnya sepuluh orang maka sering disebut mantri sadasa. Tugas dari mantri mengadakan pemeriksaan di desa-desa di daerahnya, menyampaikan laporan dan menerima
perintah dari bupati, mereka mempunyai pangkat Panewu. Sugiarti, Op.cit, halaman 65
diserahkan kepada pengadilan pradata Gedhe, “Ewah-ewahan sanesipun kadoso bangsawan pranatan pradata pilah-pilah kewajibanipun pradata kaliyan
pengadilan surambi, nyarengi titimangsa lan pada kadipaten lajeng kasawak…..kagemblokaken dateng pengadilan pradata gedhe”
12
. Pada awalnya lembaga pengadilan kerajaan dijalankan di serambi masjid
sehingga dinamakan pengadilan Surambi. Pengadilan ini mempunyai hak mengadili semua perkara sipil perdata dan perkara pidana. Pemimpin dari
pengadilan raja yang dibantukan oleh penghulu memberikan nasehat kepada raja untuk memutuskan hukuman. Pemimpin dari pengadilan ini yakni penghulu yang
mempunyai gelar Kanjeng Kyai Mas Penghulu Tafsin Anom Adiningrat
13
yang dibantu oleh empat orang ulama delapan orang khotib. Keputusan-keputusan
yang diambil dari pengadilan Surambi mempunyai arti suatu nasehat kepada raja dalam mengambil keputusan
14
. Pada masa PB VII 1830-1861 tugas dan wewenang dari pengadilan
surambi mulai dikurangai. Tugas dari pengadilan ini hanya dapat menangani perkara keluarga seperti pernikahan, perceraian, warisan, wasiat dll, sedangkan
untuk perkara pidana tidak boleh ditangani oleh pengadilan surambi. Pengadilan ini juga kehilangan sebagai lembaga pengadilan banding, seperti dalam kutiban
berikut “prakara kang wis dirampungi dening pengadilan pradata gedhe ora kena kaulurake marang pengadilan kang luwih dhuwur, karampungane rad surambi
12
Rijkblad Soerakarta tahun 1930 no 6, Surakarta : Sasana Pustaka
13
Pada tahun 1903 gelar pemimpin pengadilan ini diganti dengan Abdi Dalem Wadana yang gelarnya lebih rendah dari penghulu.
14
Dalam pengambilan keputusan oleh penghulu dan para alim ulama, menggunakan cara bermusyawarah. Mr R Tresna, 1978, Peradilan di Indonesia Dari Abad ke Abad, Jakarta : Pradya
Paramita, halaman 18
isih kena kaulurake marang pengadilan pradata gedhe”
15
Perkara yang sudah diselesaikan oleh pengadilan pradata gedhe tidak boleh dijatuhkan di pengadilan
yang lebih tinnggi, perkara dari pengadilan surambi boleh dijatuhkan di pengadilan pradata gedhe.
Pada tahun 1656 pengadilan Pradoto diberlakukan, jalannya pengadilan bukan lagi di serambi masjid melainkan di setinggil kerajaan, walaupun demikian
pengadilan Surambi masih dipakai sebagai pengadilan banding terhadap perkara yang ditangani oleh pengadilan Pradoto. Pengadilan ini mempunyai wewenang
untuk menangani perkara kriminal seperti perkara pencurian, penggelapan, utang piutang, mengaku memiliki dan sebagainya. Segala perkara yang berada di
kekuasaan raja harus diadili oleh pengadilan Pradoto terkecuali perkara padu
16
. Pengadilan pradata diketuai oleh seorang wedana jaksa yang dibantu
oleh dua belas orang mantri. Pembantu ketua itu diantaranya terdiri dari satu orang dari Kepatihan, satu orang dari Kadipaten Anom, satu orang dari Pangulon,
satu orang dari prajuirt dan delapan orang dari Abdi dalem bupati nayaka. Gelar dari ketua pengadilan pradata selalu mengalami perubahan, pada masa PB III
bergelar Ngabehi Natayuda, PB IV bergelar Ngabehi Among Praja, PB VI bergelar Ngabehi Tumenggungan, sedangkan para anggotanya bergelar Lawang
Sarayuda. Pada masa PB VII, pengadilan pradata terdiri dari patih dalem sebagai ketua dan dibantu enam orang bupati juga dibantu oleh Ngabehi Hamongpraja
dan penghulu kepala. Pada tahun 1847 pengadilan pradata dibentuk di daerah Klaten, Ampel, Boyolali, Kartosuro, Sragen dan kawedanan Larangan.
15
Rijkblad Soerakarta tahun 1930 no 6, Surakarta : Sasana Pustaka, halaman 101 lihat pula pada Staatblad tahun 1859 no 32
16
Perkara padu merupakan perkara perorangan seperti perselisihan antara rakyat yang tidak membahayakan Negara, Mr R Tresna, Op.cit, halaman 14
Pembagian pengadilan pradata ini dilakukan untuk membatasi pengadilan di pusat. Pengadilan pradata pusat dinamakan pradata Gedhe sedangkan di tiap-
tiap kabupaten dinamakan pradata kadipaten. Tidak semua perkara pada daerah dibawa ke pengadilan Pradoto Gedhe
di Kuthanegara. Di setiap daerah terdapat perwakilan dari kerajaan sedangkan pemimpin daerah dijadikan jaksa. Semua perkara kecuali perkara padu di daerah
taklukkan dihadapkan oleh pengadilan Pradoto yang dipimpin oleh wakil pemerintah pusat. Perkara padu dapat diadili oleh Pradoto bila perkara tersebut
dapat dikatakan membahayakan Negara, misalnya seseorang pencuri bila tertangkap dengan menyerahkan diri maka termasuk perkara padu, namun bila
pencuri itu tidak tertangkap dan tidak mau menyerahkan diri dianggap sebagai perkara yang membahayakan Negara.
Perkembangan perpolitikan di Surakarta dengan terpecahnya Surakarta menjadi dua maka terpecah pula pengadilan Pradoto. Pengadilan raja Kasunanan
terdapat dua macam pengadilan Pradoto, 1 Pradoto, pengadilan Pradoto mempunyai kekuasaan yang sama dengan kekuasaan pengadilan Landgerecht.
Pengadilan Pradoto hanya dapat mengadili perkara pidana. 2 Pradoto Gedhe, Pradoto Gedhe merupakan pengadilan bandingan dari pengadilan Pradoto dan
pengadilan Surambi. Pengadilan raja Mangkunegaran hanya terdapat satu pengadilan Pradoto, yang mempunyai kekuasaan mengadili dalam perkara
pidana dan sebagai bandingan dari pengadilan Surambi
17
, seperti halnya dengan hukum kerajaan, pengadilan Pradoto kehilangan kekuasaan mengadili kawulanya
pada tahun 1903 melalui kontrak politik.
17
R Supomo, Op.cit, halaman 54
B. Peradilan Masa Hindia Belanda