I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Manusia adalah penyumbang gas CO
2
terbanyak ke udara. Salah satu kegiatan manusia yang dapat melepaskan emisi CO
2
adalah pembakaran lahan, emisi kendaraan bermotor dan limbah pabrik. Dampak dari pembakaran lahan ini
akan semakin besar bila tidak terkendali. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca GRK yaitu CO
2
di atmosfer. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerap karbon dan mulai menjadi
sorotan pada saat bumi dihadapkan pada persoalan efek rumah kaca. Efek rumah kaca dapat berupa kecenderungan peningkatan suhu udara atau biasa disebut
sebagai pemanasan global. Penyebab terjadinya pemanasan global ini adalah adanya peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca GRK di atmosfer dimana
peningkatan ini menyebabkan keseimbangan radiasi berubah sehingga suhu bumi meningkat.
Gas Rumah Kaca adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang dipancarkan kembali ke atmosfer oleh
permukaan bumi. Sifat termal radiasi inilah menyebabkan pemanasan atmosfer secara global global warming. GRK yang penting diperhitungkan dalam
pemanasan global adalah karbon dioksida CO
2
, metana CH
4
dan nitrous oksida N
2
O. Karbon dioksida CO
2
memiliki kontribusi lebih dari 55 terhadap kandungan GRK, maka dari itu CO
2
yang diemisikan dari aktivitas manusia anthropogenic mendapat perhatian yang lebih besar.
Peningkatan konsentrasi GRK saat ini berada pada laju yang mengkhawatirkan sehingga GRK harus segera dikendalikan. Upaya mengatasi
pemanasan global dapat dilakukan dengan cara mengurangi emisi karbon di atmosfer. Di permukaan bumi, karbon disimpan pada setiap organisme, misalnya
pohon. Karbondioksida pada tanaman terkumpul sebagai karbon pada jaringan tubuh tanaman, dimana jika tanaman itu mati, maka karbon akan terurai, dimana
kombinasi oksigen dan karbon akan terbentuk karbondioksida, sehigga dapat dikatakan jika pohon mati, maka karbondioksida akan kembali ke atmosfer,
dengan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan jika tanaman mati maka jumlah
karbondioksida di atmosfer akan semakin banyak, dan efek rumah kaca akan semakin nyata, tetapi jika pohon kembali ditanami, maka karbondioksida akan
kembali terurai dengan fotosintesis, dan kembali menjadi karbon pada jaringan tubuh tanaman, sehingga karbondioksida di atmosfer berkurang.
Vegetasi yang berklorofil mampu menyerap CO
2
dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis ini antara lain disimpan dalam bentuk
biomassa yang menjadikan vegetasi tumbuh menjadi makin besar atau makin tinggi. Pertumbuhan ini akan berlangsung terus sampai vegetasi tersebut secara
fisiologis berhenti tumbuh atau dipanen. Secara umum hutan pada fase pertumbuhan mampu menyerap lebih banyak CO
2
daripada hutan dewasa Kyrklund 1990. Adanya hutan yang lestari, diharapkan jumlah karbon C yang
disimpan akan semakin banyak dan semakin lama. Kegiatan penanaman vegetasi pada lahan yang kosong atau merehabilitasi hutan yang rusak akan membantu
menyerap kelebihan CO
2
di atmosfer. Jenis vegetasi berkayu merupakan penyerap karbon yang paling tinggi.
Dahlan 2004 dalam Ginoga 2004 menerangkan jenis vegetasi berkayu yang cepat tumbuh dapat menyerap karbon lebih tinggi dibandingkan vegetasi yang
lama tumbuh, tetapi vegetasi yang lebih cepat tumbuh sebagian besar memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam pengukuran pendugaan potensi serapan
karbon yang ada dalam vegetasi itu, kebanyakan disebabkan oleh bentuk batang yang relatif kurang silindris dan akar yang meluas, sehingga metode yang
digunakan dapat berbeda-beda berdasarkan jenis vegetasi tersebut. Metode pengukuran karbon merupakan hal yang penting untuk mengetahui potensi
serapan karbon dalam suatu kawasan hutan, dengan memakai metode yang efektif dan benar maka potensi pengukuran karbon dapat diketahui secara tepat dan
meyakinkan.
1.2 Tujuan Penelitian