PengertianTindak Pidana TINJAUAN TENTANG DIVERSI DALAM PENYELESAIAN

pada segi legalistiknya, sedangkan dalam perlindungan anak penentuan batas usia anak lebih dititikberatkan pada aspek untuk melindungi anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya. 19 Untuk menentukan batasan usia anak secara pasti tergolong agak sulit karena perkembangan seseorang baik fisik maupun psikis sangat variatif satu dan yang lainnya, walaupun seseorang itu sudah dewasa namun tingkah lakunya masih memperlihatkan tanda-tanda belum dewasa dan demikian pula sebaliknya. Bertitik tolak dari uraian diatas maka untuk pendefinisian anak yang dapat dijadikan acuan oleh penulis yaitu merujuk pada pengertian anak menurut Undang-Undang no 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan An ak, dimana yang dimaksud dengan anak adalah “Seseorang yang belum berusia 18 Delapan belas tahun, termasuk anak yang didalam kandungan”.

B. PengertianTindak Pidana

1. Tindak Pidana Menurut Hukum Positif. Tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “Delict”, atau “Crime” dalam bahasa Inggris. Namun, dalam beberapa literature dan perundang-undangan hukum pidana, terdapat istilah lain yang dipakai oleh para sarjana untuk menerjemahkan Strafbaar feit, seperti perbuatan pidana, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, dan lain-lain. 20 19 Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Perlindungan Anak berdasarkan UU No. 23 tahun 2002, hlm 8. 20 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013, hlm 9. Pada dasarnya, istilah Strafbaar feit dijabarkan secara harfiah terdiri dari tiga kata. Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum.Kata baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.Kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.Jadi, secara singkat bisa diartikan perbuatan yang dapat dihukum. 21 Selanjutnya menurut Pompe perkataan “Strafbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum ”. 22 Menurut Vos memberikan definisi yang singkat, bahwa strafbaar feit ialah kelakuan atau tingkah laku manusia, yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Pidana yang dimaksud disini adalah hukuman, menurut R. Soesilo yang dimaksud dengan hukuman ialah “suatu perasaan tidak enak sengsara yang dijatuhkan oleh hakim dengan ponis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana ”. 23 Sudarto, menggunakan istilah tindak pidana dengan alasan bahwa istilah tindak pidana sudah sering dipakai oleh pembentuk undang-undang dan sudah diterima oleh masyarakat. Menurut Sudarto, 24 yang dimaksud tindak pidana adalah “Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan pemberian pidana”.D. Simons berpendapat bahwa tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja 21 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: AMZAH, 2012, hlm 25. 22 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm 23. 23 R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor: Politea, 1995, hlm 56. 24 Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto, 1990, hlm 39. oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang- undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 25 Moeljatno, dengan memberikan alasan yang sangat luas lebih senang menggunakan istilah perbuatan pidana.Dalam definisinya, Moeljatno membedakan secara tegas antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana.Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.Dengan demikian, terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana, pertama-tama harus dibuktikan dahulu mengenai perbuatan yang telah dilakukannya apakah telah memenuhi rumusan undang-undang atau tidak.Walaupun perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, namun tidak secara otomatis orang tersebut harus dihukum, karena dilihat pula mengenai kemampuan bertanggung jawabnya.Apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab, maka orang tersebut lepas dari segala tuntutan hukum. 26 Apabila dihubungkan dengan masalah tindak pidana anak, maka terhadap anak yang telah melakukan Criminal act selain perlu dikaji sifat dari perbuatannya, patut diuji pula masalah kemampuan bertanggung jawab.Dengan demikian, diperlukan adanya kecermatan bagi hakim dalam menangani anak yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana, untuk menentukan masalah pertanggungjawaban pidananya. 25 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press, 2009, hlm 8. 26 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, hlm 11. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif.Dalam masalah ini, Satochid Kartanegara menjelaskan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang terdapat diluar diri manusia, yaitu berupa suatu tindak-tanduk, jadi suatu tindakan, suatu akibat tertentu dan berupa keadaan yang semuanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. 27 Adapun unsur subjektif adalah unsur yang terdapat pada diri pembuat.Unsur-unsur subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan toerekeningsvat baarheiddan kesalahan seseorang schuld. 28 Seseorang dapat dikatakan toerekeningsvat baarheidapabila orang tersebut memenuhi tiga syarat, yaitu keadaan jiwa orang tersebut dapat mengerti akan nilai dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, 29 Orang tersebut dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang dilakukan, 30 Orang tersebut harus sadar bahwa perbuatan yang telah dilakukannya itu adalah perbuatan yang terlarang, baik dilihat dari segi hukum, dari sudut kemasyarakatan, ataupun darisegi ketatasusilaan. Kemudian kesalahan seseorang atau schuldmerupakan unsur subjektif kedua dari tindak pidana bisa berupa dolus atau dalam Bahasa Belanda disebut opzet yang berarti kesengajaan dan culpa atau ketidaksengajaan atau kealpaan.Indikasi adanya opzet pada diri pelaku tindak pidana, KUHP menggunakan beberapa istilah. Yaitu dengan sengaja, 27 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian satu, Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th, hlm 73. 28 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm 27. 29 Dalam hukum Islam, masalah ini biasanya dihubungkan dengan kondisi orang yang bersangkutan haruslah sudah baligh, dewasa, dan berakal sehat serta tidak dalamkondisi dipaksa oleh pihak lain. 30 Dalam konsep-konsep fiqih klasik, syarat yang kedua ini berkaitan dengan status sosial subjek hukum.Dalam hal ini, statusnya disyaratkan harus hurriyyah merdeka dan mandiri. seperti dalam pasal 333 dan 338 KUHP, yang diketahuinya, seperti dalam pasal 280 dan 286 KUHP, dengan maksud seperti dalam pasal 362 dan 368 KUHP. 31 Wirjono Projodikoro menjelaskan arti culpa adalah kesalahan pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak berat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak sengaja terjadi. 32 Tindak pidana akibat culpa ini dalam rumusan undang-undang ada dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tetapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidakhati-hatian itu sendiri. 33 Sedangkan menurut Simon salah satu yang berpandangan monistis, unsur-unsur tindak pidana adalah: a Perbuatan manusia positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat b Diancam dengan pidana c Melawan hukum d Dilakukan dengan kesalahan e Oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan menurut Pompe yang berpandangan dualistik, walaupun menurut teori tindak pidana terdiri dari unsur-unsur: a. Perbuatan, b. Bersifat melawan hukum, c. Dilakukan dengan kesalahan, d. Diancam pidana. Namun dalam hukum positif, sifat 31 Tongat, Hukum Pidana Materiil, Malang: UMM Press, 2006, cet ke-3, hlm 8-10, lihat juga P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Harta Milik dan Lain-Lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, Bandung: Tarsito, 1997, hlm 62. 32 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT Refika Aditama, 2003, cet pertama, hlm 72. 33 M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, hlm 30. melawan hukum dan kesalahan bukan sifat mutlak untuk adanya tindak pidana. Oleh karena itu, ia memisahkan antara tindak pidana dari orang yang dapat dipidana. 34 Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Moeljatno yang berpendapat bahwa unsur-unsur perbuatan pidana meliputi: a. Perbuatan manusia b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang c. Bersifat melawan hukum Adapun kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari sipembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang berbuat. Apabila dilihat dari aspek yuridis-normatif, mengkaji suatu tindakpidana termasuk di dalamnya masalah kejahatan, maka arah pandangannya hanya fokus pada maslah lahiriyah, dalam arti hanya menitik-beratkan pada perbuatan nyata actus- reus.Walaupun jangkauan secara luas dari hukum pidana mencakup pula pada persoalan batin mens-rea khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.Namun, menyangkut persoalan tindak pidana, persoalan pokok lebih menitik-beratkan pada masalah moraletika yang erat hubungannya dengan masalah kepribadiankejiwaan psikologis.Terkait dengan persoalan tindak pidana anak, maka persoalan pokok lebih menitik-beratkan pada masalah tingkah laku yang erat dengan masalah kejiwaan. 3. Tindak Pidana Menurut Hukum Islam Dalam hukum Islam, istilah hukum pidana disebut dengan fiqh jinayah. Fiqih jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang 34 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, hlm 11-12. jarimah dan hukumannya uqubah, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. 35 Dalam penjelasan lain, Fiqih Jinayah adalah ilmu yang membicarakan tentang jenis-jenis hukum yang diperintah dan dilarang al- Qur’an dan hadis Nabi SAW, serta hukuman yang akan dikenakan kepada orang yang melanggar baik perintah maupun larangan tersebut tindakan kriminal. Yang dimaksud tindakan kriminal adalah perbuatan kejahatan yang mengganggu ketertiban umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan. 36 Hukum Pidana Islam merupakan Syari’at Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. 37 Menurut Abdul Qadir Audah, Jinayah berarti “perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, maupun lainnya”. 38 a. Macam-Macam Jarimah Ulama fiqh membagi jarimah dilihat dari berat ringannya hukuman ada tiga jenis, yaitu: 1 Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Menurut Abdul Qadir Audah, “hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah”. Jarimah hudud yang terdiri atas: a Jarimah zina, b Jarimah qadzaf menuduh muslim baik-baik berbuat zina, c Jarimah syrub al-khamr meminum minuman keras, d Jarimah al-bagyu pemberontakan, e Jarimah al-riddah murtad, 35 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,2005, cet ke-1, hlm 1. 36 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional Jakarta: KENCANA, 2013, Cet-1, hlm 111. 37 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam Jakarta: Sinar grafika, 2007, hlm, 1. 38 Abd Qadir Audah, al- Tasyri’ al-Jina’iy al-Islamiy, Juz 1 Beirut: Dar al-Kitab al-‘Araby, t.t., hlm 67. f Jarimah al-sariqah pencurian, g Jarimah al-hirabah perampokan. 39 2 Jarimah Qishash adalah menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh. Dalam fiqh jinayah sanksi qishash ada dua macam, yaitu: a Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan. b Qishash karena melakukan jarimah penganiayaan. 40 3 Jarimah Ta’zir adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya dikenakan sanksi hukuman had dan tidak pula membayar kaffarah atau diyat. Dalam hukum Islam jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta’zir diserahkan semuanya kepada kesepakatan manusia. 41 Ditinjau dari unsur-unsur jarimah atau tindak pidana, objek utama kajian fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Al-rukn al-syar’i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana. 2. Al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan sebuah jarimah, 39 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013, hlm 3. 40 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 4-5. 41 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm 10. 3. Al-rukn al-adabi atau unsure moril ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah umur, atau sedang dibawah ancaman. 42 Jika kita berbicara tentang hukum, secara sederhana segera terlintas dalam pikiran kita peraturan-peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Bentuknya mungkin berupa hukum yang tidak tertulis seperti hukum adat, mungkin juga berupa hukum tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti hukum Barat. Hukum Barat melalui asas konkordansi, sejak pertengahan abad ke-19 1855 berlaku di Indonesia. Hukum dalam konsepsi seperti hukum Barat adalah hukum yang sengaja dibuat oleh manusia untuk mengatur kepentingan manusia itu sendiri dalam masyarakat tertentu. Dalam konsepsi hukum perundang-undangan Barat, yang diatur oleh hukum hanyalah hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat. Di samping itu, ada konsepsi hukum lain, di antaranya adalah konsepsi Hukum Islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan- hubungan lainnya, karena manusia yang hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Seperti hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya. 43 42 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, hlm 2-3. 43 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2009, hlm, 42. Sedangkan untuk tujuan hukum Islam disebut dengan maqasid al- syari’ah. Secara umum tujuan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial. Dengan kata lain, untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. Abu Ishaq al Shatibi merumuskan maqasid al- syari’ah menjadi lima bidang, yakni 1 untuk memelihara agama hifdz al-din, 2 memelihara jiwa hifdz al-nafs, 3 memelihara akal hifd al-aql, 4 memelihara keturunan hifdz al- nasl, dan 5 memelihara harta hifdz al-mal. 44 Berdasarkan uraian tersebut, jelas bahwa tujuan hukum Islam termasuk juga hukum pidana, tidak hanya melindungi kepentingan individu, tetapi juga kepentingan masyarakat dan Negara, bahkan lebih dalam lagi adalah kepentingan yang berhubungan dengan keyakinan agama, jiwa, akal atau potensi berpikir, keturunan, maupun harta kekayaan. Jadi wilayah yang menjadi tujuan perlindungan dari hukum pidana Islam ini jelas luas sekali karena menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, kaitannya dengan sesame manusia maupun dengan Sang Pencipta. 1 Asas-Asas dalam Hukum Islam Secara terminologi asas merupakan landasan berpikir yang sangat mendasar. Jika dihubungkan dengan hokum, asas adalah kebenaran yang digunakan sebagai tumpuan berpikir dan alas an berpendapat, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hokum. Asas hukum berfungsi sebagai rujukan untuk mengembalikan segala masalah yang berkenaan dengan hukum. 44 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, dkk, Hukum Keluarga, Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan, Fikih dan Hukum Internasional, hlm 119. Asas Hukum Islam berasal dari sumber Hukum Islam terutama al- Qur’an dan Hadist yang dikembangkan oleh akal pikiran orang yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas umum Hukum Islam adalah asas-asas hukum yang meliputi semua bidang dan lapangan Hukum Islam, yaitu meliputi: a Asas Keadilan Asas keadilan merupakan yang paling penting dan substantif, serta mencakup semua asas dalam bidang hukum Islam. Sejatinya hukum adalah menjunjung tinggi keadilan karena keadilan adalah tujuan akhir dari pada sebuah hukum. Allah SWT menyebutkan kata “keadilan” sebanyak lebih dari 1000 kali dalam al-Qur’an. Hal tersebut mengingatkan kepada kita betapa pentingnya menegakkan keadilan diatas segalanya, terutama dalam menegakkan hukum. 45 Salah satu ayat al- Qur’an yang memerintahkan manusia berlaku adil dan menegakkan keadilan di antaranya firman Allah SWT QS. Al-Shad ayat 26.                                 Artinya: “Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah penguasa di muka bumi, Maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan ”. 46 45 http:www.islamcendikia.com201401asas-asas-umum-dalam-hukum-islam.html?m=1 . Diakses pada 24 Juni 2016. 46 Departemen Agama RI, Al-Akhyar Al- Qur’an dan Terjemahnya, hlm 454. Dari ayat diatas, Allah dengan sangat jelas memerintahkan penguasa, penegak hukum sebagai khalifah di bumi untuk menyelenggarakan hokum sebaik-baiknya, seadil-adilnya tanpa memandang stratifikasi sosial, baik kedudukan atau jabatan, asal-usul, termasuk mengenai keyakinan pencari keadilan. Semuanya harus ditegakkan berdasrkan keadilan. b Asas Kepastian Hukum Asas kepastian hukum adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada satu perbuatan yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan peraturan yang ada dan berlaku pada perbuatan itu. Asas ini berdasarkan firman Allah SWT QS. Al- Israa’ ayat 15.                          Artinya:“Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah Allah, Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk keselamatan dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi kerugian dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul ”. 47 Dari ayat tersebut dapat disimpulkan asas kepastian hukum yang menyatakan bahwa tidak ada suatu perbuatan pun dapat dihukum kecuali atas kekuatan ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku untuk perbuatan itu 48 . 47 Departemen Agama RI, Al-Akhyar Al- Qur’an dan Terjemahnya, hlm 283. 48 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam diIndonesia, hlm 129. c Asas Kemanfaatan Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan dan kepastian hukum tersebut diatas. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastian hukum, seyogyanya dipertimbangkan kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan sendiri maupun bagi kepentingan masyarakat. Dalam menerapkan ancaman hukum mati terhadap seseorang yang melakukan pembunuhan, misalnya dapat dipertimbnagkan kemanfaatan penjatuhan hukum itu bagi diri terdakwa sendiri dan bagi masyarakat. Kalau hukum mati yang akan dijatuhkan itu lebih bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, hukuman itulah yang dijatuhkan. Kalau tidak menjatuhkan hukum mati lebih bermafaat bagi terdakwa sendiri dan keluarga atau saksi korban, ancaman hukuman mati dapat diganti dengan hukuman denda yang dibayarkan kepada keluarga terbunuh. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam firman Allah QS. Al- Baqarah ayat 178.                                           Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih ”. 49

C. Pengertian Diversi