Tindak Pidana Perjudian di Tinjau Dari Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif (Analisis Putusan No 273/Pid.B/2013/PN. BJ)

(1)

TINDAK PIDANA PERJUDIAN DITINJAU DARI HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

(Analisis Putusan No 273/Pid.B/2013/PN. BJ)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Program Studi Jinayah Syiasah

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy.)

Oleh :

RIDWAN DAUS

NIM. 1110045100027

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H / 2015 M


(2)

(3)

(4)

iv

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya, atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta.

Jakarta, 8 Mei 2015

Ridwan Daus NIM. 1110120000042


(5)

v

Bj). Konsentrasi Kepidanaan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 1437 H/2015 M. viii + 72 halaman + 1 lampiran.

Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai sanksi tindak pidana perjudian. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui sanksi tindak pidana perjudian dalam Undang-Undang Nomor 303 Tahun 1974 ditinjau dari hukum Positif.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang berarti penulis tidak menggunakan sample. Pengumpulan data dilakukan dengan metode kepustakaan, penulis melakukan pengidentifikasian secara sistemis dari sumber yang berkaitan dengan objek kajian. Setelah data diperoleh penulis menganalisis secara yuridis normatif data yang diperoleh terhadap objek kajian.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan sanksi dalam Undang-Undang Nomor 303 Tahun 1974. Sanksi yang diberikan adalah pidana penjara selama 10 bulan ditambah dengan denda. Dalam hukum Islam perjudian dikenakan sanksi, yaitu jarimah ta’zir.

Kata Kunci: jarimah ta’zir

Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Daftar Pustaka : Tahun 1956 s.d. Tahun 2013


(6)

vi

:دعب امأ .يعمأ هباحصأو هلآ ىلعو ،يلسرماو

Alhamdulillah, syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahman dan rahim-Nya kita diberikan pilihan untuk hidup dan bersikap sewajarnya manusia yang berfikir, tanpa lupa akan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad SAW, semoga kita menjadi pengikut beliau yang

diakui serta diberikan syafa’atnya di akhirat kelak. Ậmîn.

Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihakbaik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.

2. Ketua dan Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah. Dra. Hj. Maskufa, M.Ag dan Dra. Hj. Rosdiana, M.Ag.

3. Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. selaku dosen pembimbing, yang dengan arahan dan bimbingan beliau saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap dosen fakultas syari’ah dan hukum yang dengan ikhlas


(7)

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Dina Aulia selaku adik yang selalu memberi dukungan khususnya selama penulisan skripsi ini berjalan.

7. Teman-Teman seperjuangan Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Pidana Islama ngkatan 2010 yang telah memberikan semangat dan motivasi selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Kepada sahabat-sahabatku dalam kelompok Kampak Mintul Farid Fauzi, Andika Yudho, Muhammad Amin, Gerardin Ferari, Rijal El Muslim, M.Fadillah, Masrur Fuadi, Edo Fahmi, dan Badru Tamam Terima kasih sebanyak-banyaknya yang selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun berpetualang.

9. Kepada sahabatku yang setia menamaniku dalam pembuatan skripsi, Kasyful Anwar ibn Thabrani, S.Pd.I. saya ucapkan bermilyar-milyar terimakasih.

10.Kepada keluarga besar MC (Ayah’s Café), yang sudah menemani futsal

maupun ngopi bareng.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberi mereka balasan yang jauh lebih besar dari apa yang mereka lakukan dan berikan, khususnya kepada penlis,


(8)

viii

Penulis berharap semoga skripsi ini Allah jadikan wasîlah yang dapat memberikan manfaat khususnya terhadap diri saya sendiri, umumya bagi pembaca sekalian.

Ậmîn yâ Rabb al- ‘Ậlamîn.

Jakarta, 2 Juli 2015


(9)

viiii vokal.

a. Pedoman Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا tidak dilambangkan

Be

t Te

ts te dan es

ج j je

ح H ha dengan garis bawah

Kh ka dan ha

د D de

ذ dz de dan zet

ر r er

z zet

س S es

ش sy es dan ye

S es dengan garis bawah

d de dengan garis bawah t te dengan garis bawah

ظ z zet dengan garis bawah

koma terbalik di atas hadap kanan

gh ge dan ha

ف f ef

ق q ki

k ka

ل l el

M em

N en

W we

ه H ha

ء ˊ apostrop


(10)

x b. Vokal

1. Vokal Tunggal (Monoftong)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

_ a fathah

¯ I kasrah

_ u dammah

2. Vokal Rangkap (Diftong)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

_ Ai a dan i

_ Au a dan u

3. Vokal Panjang (Madd)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

اـ ȃ a dengan topi di atas

ـ ȋ i dengan topi di atas

وـ Ȗ u dengan topi di atas

c. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf ( لا ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf qomariyyah. Misalnya :

دا جإا = al-ijtihâd

خرلا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah d. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah


(11)

xi

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh sifat (na‘t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Dan jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1. عيرش syarîʻah

2. ماسإا عير لا al- syarîʻah al-islâmiyyah 3. ها ملا نراقم muqâranat al-madzâhib f. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‘l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas :

No Kata Arab Alih Aksara

1. اروظحملا ح ت ر ر لا al-darûrah tubîhu al-mahzûrât 2. ماسإا دا قإا al-iqtisâd al-islâmî

3. هق لا لوصأ usûl al-fiqh

4. حابإا ءا شأا يف لصأا al-asl fî al-asyyâ al-ibâhah 5. لسرملا حل ملا al-maslahah al-mursalah


(12)

xii

LEMBAR PENKGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PEDOMAN TRANSLETER ... viiii

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

a. Pembatasan Masalah ... 5

b. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1. Tujuan Penelitian ... 5

2. Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian ... 6

1. Jenis Penelitian ... 6

2. Sumber Data ... 7

3. Tehnik Pengumpulan Data ... 7

4. Tehnik Analisa Data ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM ... 11


(13)

xiii

1. Maksud Musabaqah ... 14

2. Hukum Muasabaqah ... 15

3. Jenis-Jenis Musabaqah ... 16

4. Taruhan dan Ganjaran Pertandingan ... 19

5. Urgensi Muhallil dalam Musabaqah ... 26

D. Sanksi Pidana ... 29

1. Menurut Hukum Islam ... 29

BAB III TINDAK PIDANA PERJUDI MENURUT HUKUM POSITIF ... 40

A. Pengertian Judi ... 40

1. Menurut Hukum Islam ... 40

B. Bentuk-bentuk Perjudian ... 43

C. Sanksi Pidana ... 44

1. Menurut Hukum Positf ... 44

BAB IV ANALISIS TERHADAPA PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BINJAI NO 273/PID.B/2013/PN.BJ BERDASARKAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ... 49

A. Duduk Perkara ... 49

1. Kronologis Kejadian ... 49

2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa ... 52

B. Putusan Hakim dan Dasar Pertimbangan Hakim ... 52

C. Analisan Putusan Pengadilan Negeri Binjai dalam Perkara Tindak Pidana Perjudian Menurut hukum Positif dan Hukum Negatif ... 55

1. Menurut Hukum Positif ... 55


(14)

xiiii


(15)

1

Perjudian adalah hal yang membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Banyak orang mengira judi hanya berdampak pada pelaku judi saja, padahal sebenarnya secara tidak langsung masyarakat sekitarnya pun ikut terpengaruh oleh kegiatan perjudian ini, terutama psikis.

Betapa tidak, adanya ketidak pedulian seseorang terhadap perilaku judi atau ikut berpartisipasi dalam judi dapat menimbulkan kebiasaan judi yang mendarah daging, buktinya saja seseorang dapat memulai berjudi sejak masih kecil karena kebiasaan mereka ketika masih kecil untuk memainkan permainan yang di dalamnya terdapat taruhan. Sehingga ketika dewasa, sewaktu memainkan permainan yang di dalamnya terdapat taruhan seakan-akan ada yang kurang. Pepatah mengatakan bagaikan sayur tanpa garam.

Permainan yang dimaksud adalah semisal permainan kartu (kwartet), yang mana di dalam permainan tersebut anak ditekankan untuk mengalahkan musuhnya (temannya). Selain itu kebanyakan orang Indonesia menganggap perjudian hanyalah berbetuk togel, remik, gaplek atau sejenisnya. Padahal masa kini perjudian lebih banyak dalam bentuk-bentuk yang lain yang mereka anggap sebagai permainan yang menghibur, seperti halnya judi bola dan lotre. Bahwa pada hakekatnya perjudian bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral pancasila, serta membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.


(16)

Sebagai makhluk sosial (zoon politicon), manusia dalam berinteraksi satu sama lain seringkali tidak dapat menghindari adanya bentrokan-bentrokan kepentingan di antara mereka, konflik yang terjadi dapat menimbulkan kerugian, karena biasanya disertai dengan pelanggaran hak dan kewajiban dari pihak satu ke pihak yang lain. Konflik-konflik seperti itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana hukum untuk menyelesaikannya.

Dalam keadaan seperti itulah hukum sangat diperlukan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi. Seperti ungkapan “di mana ada masyarakat, maka di situ perlu hukum”. Eksistensi hukum sangat diperlukan dalam mengatur kehidupan manusia, tanpa adanya hukum kehidupan manusia akan liar. Siapa yang kuat dialah yang menang1.

Dalam kehidupan ini, manusia diatur oleh sebuah norma-norma hukum Adanya norma hukum tersebut agar terciptanya kehidupan yang aman, tenteram dan damai, salah satu aturan hukum yang dikenal adalah hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Di dalam dua aturan hukum tersebut, banyak aturan-aturan yang harus dilaksanakan dan aturan-aturan dilarang dikerjakan manusia sebagai objek hukum. Salah satu aturan hukum yang harus dijauhi adalah tindak pidana perjudian. Masalah perjudian sudah dikenal sejak lama sepanjang sejarah ditengah- tengah masyarakat. Sejak zaman dahulu, masalah perjudian merupakan suatu kenyataan atau gejala

1

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h. 2


(17)

sosial, yang berbeda hanyalah pandangan hidup dan cara permainannya2.

Kehidupan masyarakat yang mempunyai tata aturan kehidupan, dengan arti dan tujuan tertentu berusaha menanggulangi permasalahan ini. Usaha preventif dan represif oleh pemerintah pun telah dilakukan, namun dewasa ini, berbagai macam dan bentuk perjudian sudah demikian merebak dalam kehidupan masyarakat sehari hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sehingga yang terjadi di berbagai tempat sekarang ini banyak dibuka agen-agen judi togel dan judi-judi lainnya yang sebenarnya telah menyedot dana masyarakat dalam jumlah yang cukup besar.

Sementara itu di sisi lain, memang ada kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah perjudian ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa tempat perjudian disinyalir mempunyai becking dari oknum aparat keamanan3.

Karena bagaimanapun kenyataan di masyarakat, perjudian dapat menimbulkan akibat negatif yang membahayakan dan meresahkan masyarakat seperti: seringnya terjadi pencurian, perkelahian, rusaknya moral generasi muda (pemarah dan emosional) serta identik dengan penjualan minuman keras dan pelacuran.

2

A. Hadyana Pudjaatmaka, dkk, Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989) jilid ke -7, h. 474

3

Bambang Sutiyoso, Perjudian dalam Perspektif Hukum, artikel diakses pada hari selasa, 08 Desember 2009 http://bambang.staff.uii.ac.id/2008/10/17/perjudian-dalam-perspektif-hukum


(18)

Pada hakekatnya, perjudian adalah perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

Ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai dampak yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Perjudian merupakan salah satu penyakit masyarakat yang menunggal dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi kegenerasi ternyata tidak mudah diberantas. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat menjauhi melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-kecilnya dan terhindarnya dampak-dampak negatif yang lebih parah untuk akhirnya dapat berhenti melakukan perjudian.

Keadaan demikian ini merupakan dilema sosial yang harus dihadapi dan dihentikan. Pada hakikatnya perjudian adalah bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.4 Padahal menurut hukum, penjudi yang tertangkap dapat dihadapkan ke meja hijau berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang perjudian yang menegaskan bahwa “semua bentuk perjudian dikatagorikan sebagai tindak kejahatan”, dan ini dipertegas lagi oleh intruksi presiden No. 7 Tahun 1981 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1981 bahwa “ segala bentuk perjudian dilarang di Indonesia” Berangkat dari permasalahan di atas, penulis memandang perlu

4H. Al Yasa’ Abubakar, Syari’at Islam

di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Paradigma,


(19)

memperhatikan serta membahas lebih jauh mengenai permasalahan tersebut, serta dapat dijadikan sebagai skripsi dengan judul “Tindak Pidana Perjudian ditinjau dari Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif (Analisis Putusan No

273/Pid.B/2013/PN. Bj)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Di dalam tindak pidana perjudian, penulis membatasi pokok bahasan agar tidak meluas dan focus dalam membahas tindak pidana perjudian, dan disini penulis akan membatasi tindak pidana perjudian dari segi macamnya, yaitu tindak pidana perjudian melalui kartu, togel, dan perlombaan yang menyebabkan perjudian.

2. Perumusan Masalah

Dengan mengacu pada pembatasan masalah di atas, untuk mendapatkan hasil yang baik, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

a) Apakah isi putusan Pengadilan Negeri Binjai mengenai tindak pidana perjudian?

b) Bagaimanakah putusan Pengadilan Negeri Binjai ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Positif?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Dari paparan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka dapat diketahui bahwa tujuan penelitian ini adalah


(20)

pidana perjudian baik dalam pandangan hukum Islam dan hukum positif 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan pandangan Hukum Islam terhadap

putusan Pengadilan No273/Pid.B/2013/pn.bj. tentang Perjudian 2. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini, diharapkan mendapat manfaat bagi pembangunan pengetahuan ilmiah di bidang hukum, baik hukum pidana Islam pada khususnya maupun hukum pidana positif pada umumnya. Selain itu diharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana perjudian menurut hukum pidana Islam dan hukum pidana positif kepada masyarakat luas, dan khususnya kepada umat Islam, begitu juga sebagai masukan kepada pihak-pihak yang berwenang dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan agar dapat dilakukan perbaikan yang diperlukan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang hukum, khususnya hukum mengenai perjudian

D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif yaitu penelitian yang data- datanya diungkapkan melalui kata-kata, norma atau aturan-aturan, dengan kata lain penelitian ini memanfaatkan data normatif.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif doktriner, yaitu penelitian yang mengkaji asas-asas dan norma-norma hukum. Penulis mencoba


(21)

menelaah dan menjelaskan aspek-aspek yang berkenaan dengan permasalahan ini.5 Penelitian ini digunakan karena untuk mengetahui dan menjelaskan asas-asas dan norma-norma hukum yang menjadi landasan hukum yang berkenaan dengan penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni penelitian yang bertujuan menjelaskan satu variabel.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah sumber data sekunder, yang terdiri dari :

a. Bahan primer yaitu : Perundang-undangan yakni dokumentasi putusan Pengadilan No.273/Pid.B/2011/pn.bj, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalil- dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an dal Al-Hadits, serta ketentuan-ketentuan Fiqh yang mengatur masalah perjudian.

b. Bahan hukum sekunder yaitu : buku-buku hukum yang ada kaitannya dengan materi yang ada kaitannya dengan materi yang menjadi pokok masalah.

Bahan hukum tersier yaitu : bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder

3. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumenter yaitu dengan cara memanfaatkan dokumen, buku-buku tertentu atau arsip yang ada di

5

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. Ke-8, h. 13


(22)

lembaga pemerintahan setempat sebagai objek penelitian serta data- data yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berhubungan dan berkenaan dengan judul skripsi ini

4. Tehnik Analisa Data

Dalam menganalisa data, digunakan tehnik analisis perbandingan antara positif dan islam. Dengan tehnik ini penulis berusaha untuk mengkualifikasikan bahan-bahan yang telah diperoleh dan disusun, kemudian melakukan interpretasi dan formulasi, yang mana, penulis menggambarjan objek pembahasan dengan apa adanya untuk kemudian dicermati secara mendalam.

Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, cetakan ke-1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013

E. Tinjauan pustaka

Ada sejumlah penelitian yang membahas tentang perjudian diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Lutfiah Rahmah yang berjudul Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Penyewaan Tempat Untuk Perjudian (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.803/PID/B/2009/PNJKT.SEL). Skripsi ini mengambil kesimpulan bahwa penyewaan tempat pada dasarnya adalah hasil yang manfaat bagi penyewa dan yang menyewakan tapi penyewaan tempat judi dilarang oleh agama maupun Negara karena keduanya tidak ada manfaat bagi keduanya. Walaupun hasil penyewa itu buat mata pencahariannya, walaupun penyewa dapat melalui telepon atau kartu undian dari hasil


(23)

perjudian. Yang bisa berakibat pada permusuhan dan pertengkaran apalagi sampai bisa saling membunuh satu sama lain.

Adapun dalam analisis putusan penyidikan dan kejahatan perjudian yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melakukan langkah-langkah dalam mengambil keputusan. Dalam menjatuhkan hukuman atau vonis terhadap terdakwa, Majelis Hakim menggunakan pasal 303 KUHP tentang perjudian. Oleh karena itu terdakwa dihukum dengan hukuman penjara 10 (sepuluh) bulan penjara

Selain itu ada juga penelitian yang dibahas oleh Reniati Sumanta yang berjudul Tinjauan Hukum Islam Terhadap Perjudian (Kajian Perbandingan Qanun Maisir di Aceh dan Perda Perjudian do Kota Bekasi) Skripsi ini mengambil kesimpulan bahwa dari aspek Perbuatan yang dilarang di dalam qanun Aceh dan Perda Bekasi ada yang sama, yaitu: Pertama, perbuatan menyelenggarakan dan/atau memberi fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan judi. Kedua, menjadi pelindung terhadap bentuk apapun terhadap kegiatan perjudian. Ketiga, memberikan izin usaha penyelenggaraan perjudian. Pengaturan ini juga tidak dibahas oleh ulama fiqh namun bukan berarti bertentangan dengan hokum Islam karena pengaturan judi termasuk jarimah takzir. Pengaturan perjudian dari aspek definisi perbuatan yang dilarang, pelaku hukum, sanksi pidana dan pelaksanaan hukuman tidak bertentangan dengan dengan hukum Islam. Karena ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam adalah bentuk jarimah takzir. Penelitian ini berbeda dengan penelitian di atas karena penelitian ini membahas tentang muhallil dalam kasus perjudian yang diputus di PN. Binjai, penelitian ini di tinjau menurut Hukum Pidana Islam dan


(24)

Hukum Pidana Positif. F. Sistematika Penulisan

Dalam upaya memudahkan penyusunan skripsi ini serta agar lebih terarah, maka penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut

BAB I Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Pembatasan danPerumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode

Penelitian,Telaah Studi Terdahulu, Sistematika Penulisan

BAB II Dalam bab ini penulis membahas tentang pengertian Perjudian, Bentuk-bentuk Perjudian, dan Sanksi Tindak Pidana Terhadap Perjudian Menurut Hukum Islam

BAB III Dalam bab ini penulis membahas tentang pengertian Perjudian, Bentuk-bentuk Perjudian, dan Sanksi Tindak Pidana Terhadap Perjudian Menurut Hukum Positif

BAB IV Bagian ini akan menerangkan tentang Analisa terhadap Putusan Hakim No.273/Pid.B/2011/pn.bj dalam Perkara Tindak

Pidana Perjudian, Deskripsi Kasus Perjudian, Analisa

Putusan Pengadilan No.273/Pid.B/2011/pn.bj Menurut Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif


(25)

11

BAB II

PERJUDIAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pengertian Perjudian 1. Menurut Hukum Islam

Maisir dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian di antaranya ialah: lunak, tunduk, keharusan, mudah, gampang, kaya, membagi-bagi, dll. Ada yang mengatakan bahwa kata maisir berasal dari kata yasara( رسي ) yang artinya keharusan. Keharusan bagi siapa yang kalah dalam bermain maisir/judi untuk menyerahkan sesuatu yang dipertaruhkan kepada pihak yang menang. Ada yang mengatakan bahwa kata maisir berasal dari kata yusrun ( رْسي ) yang artinya mudah, dengan analisa bahasa karena maisir/judi merupakan upaya dan cara untuk mendapatkan rezeki dengan mudah, tanpa susah payah.1

Menurut Syekh Muhammad Rasyid Ridha dalam buku Suplemen Ensiklopedia Islam menyatakan bahwa maisir itu suatu permainan dalam mencari keuntungan tanpa harus berpikir dan kerja keras.Menurut at-Tabarsi, ahli tafsir Syiah imamiah abas ke-6 Hijriah, maisir adalah permainan yang pemenangnya mendapatkan sejumlah uang atau barang tanpa usaha yang wajar dan dapat membuat

1

Ibrahim Hosen, Apakah Judi Itu ?,(Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), 1987), h. 24-25.


(26)

orang jatuh ke lembah kemiskinan.Permainan anak-anak pun jika ada unsur taruhannya, termasuk dalam kategori ini.2

Dan menurut Yusuf Qardlawy dalam kitabnya “Al-halal Wal-Haram Fil-Islam”, judi adalah setiap permainan yang mengandung taruhan.Qimar atau judi adalah setiap permainan yang permainannya bisa untung dan bisa rugi (untung-untungan). Definisi maisir/judi menurut pengarang Al-Munjid, maisir/judi ialah setiap permainan yang diisyaratkan padanya bahwa yang menang akan mendapatkan/mengambil sesuatu dari yang kalah baik berupa uang atau yang lainnya.3

Menurut Imam Syafi’i di dalam kitabnya Al-Iqna’ juz II hal 268, apabila kedua orang yang berlomba pacuan kuda itu mengeluarkan taruhannnya secara bersama-sama (artinya, siapa yang kalah harus memberi kepada yang menang) maka dalam kondisi seperti itu tidak boleh. Kecuali apabila keduanya tadi memasukan muhallil itu sepadan dengan kuda orang yang berpacu tersebut. Pihak ketiga menjadi penengah tadi dinamakan muhallil karena ia berfungsi untuk menghalalkan aqad, dan mengeluarkannya dari bentuk judi yang diharamkan.4

Berdasarkan definisi-definisi yang diutarakan para ulama tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa judi ialah segala macam bentuk permainan yang didalamnya mendapat taruhan dan praktik untung-untungan, yang membuat orang

2

Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 297-298.

3

Ibrahim Hosen, Op.Cit., h. 28-34.

4


(27)

yang bermain berharap akan mendapatkan keuntungan dengan mudah tanpa bekerja keras.Judi dilarang oleh agama dan negara karena judi itu sendiri membahayakan bagi masyarakat lingkungan terutama buat keluarganya itu sendiri, akibat berjudi banyak orang yang menjadi korban, judi juga dalam bentuk permainan ataupun tidak dalam bentuk permainan banyak keburukannya.

B. Bentuk-Bentuk Perjudian Menurut Hukum Islam

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perjudian, apabila telah memenuhi unsur-unsur khusus, menurut H.S. Muchlis ada dua unsur yang merupakan syarat khusus untuk dinamakan seseorang telah melakukan jarimah perjudian, ialah:

a. Harus ada dua pihak yang masing-masing terdiri dari satu orang atau lebih yang bertaruh: yang menang (penebak tepat atau pemilik nomor yang cocok) akan dibayar oleh yang kalah menurut perjanjian dan rumusan tertentu.

b. Menang atau kalah dikaitkan dengan kesudahan suatu peristiwa yang berada di luar kekuasaan dan di luar pengetahuan terlebih dahulu dari para pertaruh.5

Rasyid Ridha dan at-Tabarsi sepakat menyatakan bahwa segala bentuk permainan yang mengandung unsur taruhan termasuk ke dalam pengertian maisir yang dilarang syara’.Menurut Hasbi ash-Shiddieqiy permainan yang mengandung unsur untung-untungan, termasuk judi, dilarang syara’.6 Berdasarkan rumusan di atas, maka jika ada kesebelasan sepak bola yang bertanding oleh sponsor akan diberikan hadiah kepada yang menang, ini bukan judi, karena tidak ada dua pihak

5

Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), h. 148.

6


(28)

yang bertaruh. Contoh lain: dua pemain catur yang mengadakan perjanjian, siapa yang kalah membayar kepada yang menang sejumlah uang, juga tidak dapat dinamakan berjudi, sebab pertandingan itu merupakan adu kekuatan/keterampilan/kepandaian.7

C. Perlombaan atau Taruhan dan Unsur Unsur Perjudian di dalamnya

Dewasa ini, berbagai bentuk peraduan dan pertandingan telah muncul dalam kalangan Umat Islam dengan janjian uang taruhan yang lumayan. Namun, Umat Islam masa kini tidak mengetahui akan hukum-hukum yang berkaitan peraduan dan pertandingan, sehingga banyak di kalangan mereka terjebak dalam perjudian secara tidak sadar.

Maka di sini, kami akan menjelaskan sedikit hukum-hukum musabaqah yang seyogyanya termaktub dalam kitab-kitab fiqh, bahkan Imam al-Syafii ra. telah meletakkan masalah ini dalam bab khusus berbeda dengan Ulama-ulama sebelum beliau.

1. Maksud Musabaqah:

Musa>baqah atau al-Sibaq atau al-Sabq (ق سلا-قا سلا- قباسملا) artinya ialah perlombaan, seperti lomba pacu kuda, lomba lari, dan jalan kaki. Adapun al-Ramyu (يمرلا) atau Muna>dhalah ( لضانملا) artinya adalah peraduan yang berkaitan dengan lontaran, seperti lontar lembing, memanah, dan menembak.

7


(29)

Adapun al-Sabaq (ق سلا) adalah uang taruhan yang diberikan untuk pemenang dalam sesuatu perlombaan atau peraduan.

2. Hukum Musabaqah:

Islam membenarkan atau membolehkan perlombaan dan pertandingan untuk maslahah agama dan kesehatan tubuh/badan sebagaimana dalam firman Allah Taala:

اودِعَأَو

ْمََُ

اَم

ْمُتْعَطَتْسا

ْنِم

ٍةوُ ق

ْنِمَو

ِطاَبِر

ِلْيَْْا

َنوُبِْرُ ت

ِهِب

وُدَع

ِّا

ْمُكوُدَعَو

)

لافناا

/

8

:

60

َ

Artinya: “dan sediakanlah untuk menentang mereka (musuh yang menentang) segala jenis kekuatan yang dapat kamu sediakan dan dari pasukan-pasukan berkuda yang lengkap sedia, untuk mengancam dengan persediaan tersebut musuh Allah dan

musuhmu…” [Al-Anfa>l: 60].

Apabila Allah Ta’ala memerintahkan kita supaya mempersiapkan diri untuk peperangan dan jihad di jalan-Nya, maka disyariatkan juga latihan perang dan dalam latihan ini, untuk mengetahui tahap pencapaian seseorang memerlukan ujian dan pertandingan.

Dalam hadits pula banyak sekali dalil keharusan dan disyariatkan pertandingan yang dapat memberi maslahah untuk jihad di antaranya:

ِنَع

ِنْبا

َرَمُع

َيِضَر

ُّا

اَمُهْ َع

-: َلاَق

«

َقَباَس

ِب لا

-ىلَص

ُّا

ِهْيَلَع

َملَسَو

ِلْيَْْاِب

ِتلا

ْدَق

، ْتَرِّمُض

ْنِم

،ِءاَيْفَْْا

َناَكَو

اَُدَمَأ

َةيَِث

ِعاَدَوْلا

َقَباَسَو

َْيَ ب

ِلْيَْْا

ِتلا

َْل

ْرمَضُت

ْنِم

ِةيِثلا

َلإ

ِد ِجْسَم

ِنَب

، ٍقْيَرُز

َناَكَو

ُنْبا

َرَمُع

ْنَميِف

َقَباَس

»

.

ٌقَف تُم

.ِهْيَلَع

َداَز

،يِراَخُبْلا

َلاَق

:ُناَيْفُس

ْنِم

ِءاَيْفَْْا

َلإ

ِةيَِث

ِعاَدَوْلا

ُةَسََْ

، ٍلاَيْمَأ

ْوَأ

،ٌةتِس

ْنِمَو

ِةيِثلا

َلإ

ِدِجْسَم

َب

ِن

ٍقْيَرُز

ٌليِم

.


(30)

Artinya: Dari Ibn Umar r.hma beliau berkata: "Pernah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melombakan antara dua kuda, kuda yang memang khusus untuk pacuan dilepas dari Haifa hingga Tsaniyyatul wada', sedang kuda biasa (tak dipersiapkan untuk pacuan) dilepas dari Tsaniyatul wada' hingga masjid bani Zuraiq, dan Abdullah di antara mereka yang ikut pacuan." [Muttafaq ‘Alaih]. Imam Bukha>ri menambah: Sufyan berkata: Jarak dari Hafya ke Tsaniyyatul wada’ 5 atau 6 mil,

dan dari Tsaniyyatul wada’ ke Masjid Zuraiq 1 mi>l.8

Berkata Imam al-San’ani r.a:“Hadits ini menjadi dalil disyariatkan musabaqah dan perlombaan bukanlah perbuatan sia-sia bahkan merupakan suatu aktivitas yang terpuji yang dapat memperoleh penghasilan tujuan-tujuan peperangan dan bermanfaat untuk jihad dan hukumnya antara harus dan mustahab (sunat)”.9

Maka Ulama telah sepakat bahwa perlombaan dalam perkara-perkara yang bermanfaat untuk jihad dan kesehatan adalah harus bahkan sunat bagi mereka yang belajar ilmu peperangan untuk beradu kemahiran dan makruh jika meninggalkannya.10

3. Jenis-jenis Musabaqah:

Pertama: Musabaqah yang diharuskan dan disyariatkan, baik dengan taruhan (uang taruhan) atau tidak ialah pertandingan yang berkaitan dengan Jihad seperti lomba kuda, memanah, melontar lembing, dan lomba unta. Pada zaman sekarang

8

Shahih Bukha>ri, hadits No. 6791.

9

Muhammad Bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subul as-Sala>m – Syarh~ Bulugh al-Maram, (Jakarta : Darus Sunnah, 2007). Cet. II, h. 510-512

10

Syihabuddin al-Qolyubiy dan Syihabuddin ‘Umairah, Ha>syiyah al-Qolyuubiy Wa ‘Umairoh ‘Ala> Syarh~ al-Mahalliy ‘Ala> Minha>j ath-Tha>libi>n, (Kairo-Mesir: Maktabah Wa


(31)

dihubungkan dengannya seperti lomba jet perang, pertandingan menembak, dll. Ini berdalilkan sabda Nabi s.a.w:

َع ْن

ِبَأ

َةَرْ يَرُ

َلاَق

:

َلاَق

ُلوُسَر

ِّا

ىلَص

ُّا

ِهْيَلَع

َملَسَو

َا

َقَبَس

اإ

ِف

، ٍّفُخ

ْوَأ

ٍلْصَن

،

ْوَأ

ٍرِفاَح

.

َر َو

ُا

َأ ُ ب ْو

َد

ُواد

،

َو

ِّْتلا

ِم ِذ

ّي،

َو

لا

َس

ِئا

ّي،

َو ْب

ُن

ِح ب

،نا

دا ساو

حيحص

.

artinya: “Tidak (boleh) mengadakan uang taruhan atau taruhan untuk pertandingan kecuali dalam lomba unta, kuda, dan memanah”.[HR. Abu> Da>wud, al-Tirmidzi>, al-Nasa>i, Ibn H~ibba>n].11

Hadits ini mebatasi pertandingan yang boleh disediakan uang taruhan hanyalah dalam lomba kuda, unta, dan memanah, namun hukum ini adalah mu’allal (mempunyai illat) maka diqiaskan atasnya segala jenis permainan yang sama illat dengannya yaitu alat perang dan jihad.12

Musabaqah jenis ini hanya khusus untuk mereka yang layak menjadi Mujahidin, mereka itu ialah lelaki, adapun wanita dan khunsa makruh mereka bertanding dalam perkara ini jika tanpa uang taruhan dan tiada perkara haram lain (seperti mengumbar aurat dll.) dan jika dengan uang taruhan adalah haram hukumnya.13

Kedua: Musabaqah yang tidak dibenarkan (yakni haram) baik dengan uang taruhan maupun tidak ialah dalam perkara-perkara yang haram seperti bermain dadu, alat musik, ratu kecantikan, dan catur. Sabda Nabi s.a.w:

11

Abdullah Bin Abdurrahman al-Bassam, Taudih al-Ahka>m Min Bulu>gh al-Mara>m, (Jeddah-Saudi Arabia: Dar al-Qiblah Li ats-Tsaqafah al-Islamiyyah, 1992), Jilid V, Cet. I, h. 478

12

Muhammad Bin Shalih al-‘Utsaimin, Mudzakkirah Fiqh, (Kairo-Mesir: Daar Ghad al-Gadeed, 2007), Jilid II, Cet. I, h. 263

13


(32)

ْنَع

َناَمْيَلُس

ِنْب

َةَدْيَرُ ب

ْنَع

ِهيِبَأ

نَأ

ِب لا

ىلَص

ُّا

ِهْيَلَع

َملَسَو

َلاَق

ْنَم

َبِعَل

ِي ِشَدْر لاِب

اَََأَكَف

َغَبَص

َُدَي

ِف

ِمَْْ

ٍريِزِْخ

ِهِمَدَو

.

ٌملسم ُهجرخأ

ُ

2260

َ

دواد وبأو ،

ُ

4939

َ

هجام نباو ،

ُ

3763

َ

دمأو ،

ُ

5

/

352

،

361

َ

ف يراخبلاو ،

"

ُ "درفما بدأا

1271

. (

ف يوو لا ُمامإا لاق

"

ملسم حرش

ُ "

16

/

15

َ

:

دْر لا َوُ يِشَدْر لا :ءاَمَلُعْلا َلاَق

،

برَعُم ّيِمَجَع دْر لاَف

،

همَدَو ريِزِْْْا مَْْ ِف دَي َغَبَص" ََْعَمَو ...وْلُح ُاَْعَم َيِشُ َو

ِهِمِرْحَتِل هيِبْشَت َوَُو " اَمُهْ ِم هلْكَأ لاَح ِف

. .ا. مَلْعَأ ُّاَو .اَمهلْكَأ ِمِرْحَتِب

Maksudnya: dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barang Siapa yang bermain dengan permainan Nardasyir (sejenis catur), maka seolah-olah ia telah melumuri tangannya dengan daging dan darah babi." [HR. Muslim, Ibn Ma>jah, Ahma>d].

Ketiga: Musabaqah yang boleh bila tanpa uang taruhan, dan tidak boleh bila dengan uang taruhan yaitu permainan yang mempunyai masalahah kesehatan tetapi tidak bermanfaat secara langsung dalam jihad dan peperangan seperti berenang, jalan kaki, lomba lari, bermain pedang, seni pertahanan diri, angkat beban, lomba perahu, dan lain-lain selagi tidak dimasuki perkara yang diharamkan seperti pengumbaran aurat, percampuran lelaki dan wanita, melupakan waktu terutama waktu sholat.14

14

Abdullah Bin Abdurrahman al-Bassam, Taudih al-Ahka>m Min Bulu>gh al-Mara>m, (Jeddah-Saudi Arabia: Dar al-Qiblah Li ats-Tsaqafah al-Islamiyyah, 1992), Jilid V, Cet. I, h. 478


(33)

4. Taruhan dan Uang taruhan Pertandingan:

Boleh mengadakan uang taruhan atau pertaruhan dalam pertandingan yang mempunyai manfaat langsung dalam peperangan seperti: lomba pacu kuda, unta, memanah dan yang serupa dengannya seperti menembak, lumba jet tempur, dan lain-lain.

Ini berdasarkan hadits:

ْنَع

ِبَأ

َةَرْ يَرُ

َلاَق

:

َق

َلا

ُلوُسَر

ِّا

ىلَص

ُّا

ِهْيَلَع

َملَسَو

َا

َقَبَس

اإ

ِف

، ٍّفُخ

ْوَأ

ٍلْصَن

،

ْوَأ

ٍرِفاَح

.

َر َو

ُا

َأ ُ ب ْو

َد

ُواد

،

َو

ِّْتلا

ِم ِذ

ّي،

َو

لا

َس

ِئا

ّي،

ُنْبَو

،نابِح

دا ساو

حيحص

.

artinya: “Tidak (boleh) mengadakan uang taruhan atau taruhan untuk pertandingan kecuali dalam lomba unta, kuda, dan memanah”.[HR. Abu> Dawu>d, al-Tirmidzi>, al-Nasa>i, Ibn H~ibba>n].15

Berkata Syeikhul Islam Ibn Taimiah r.h:

َ ف َل

ْم

َُي ِّو

ْز

ِب

َْلا

ْع ِل

َش ْي

اًئ

َا

ُي

ْس َ ت

َع

ُنا

ِب

ِه

َع َل

ى

ِْلا

َه

ِدا

،

َو ِإ ْن

َك

َنا

ُم َب

،اًحا

َو َق

ْد

َي ُك

ْو ُن

ِف ْي

ِه

َم ْ َف

َع ٌة،

َك

َما

ِف

ْلا ُم

َص

َرا َع

ِة،

َو ْلا

ُم

َس

َ با َق

ِة

َع َل

ى

َْأا

ْق َد

ِما

.

artinya: “Maka tidak boleh memberi uang taruhan apapun pada pertandingan yang tidak digunakan untuk berjihad, walaupun mubah (boleh) dan mungkin ada padanya manfaat, seperti bergulat dan lomba lari”.16

Jumhur Ulama telah sepakat bahwa tiga jenis permainan ini boleh padanya uang taruhan dan pertandingan dengan uang taruhan ini terdapat beberapa bentuk, yaitu:

15

Sunan An-nasa>’i, hadits No. 3530.

16

Ahmad Bin Abdul Halim Ibn Taimiyah, Majmu’fata>wa , (Madinah-Saudi Arabia:


(34)

Pertama: Uang taruhan dikeluarkan oleh pihak ketiga, tidak melibatkn peserta, seperti harta uang taruhan itu dibayar oleh Sultan atau pemerintah dan harus menggunakan uang baitul mal karena perlombaan tersebut untuk maslahah jihad, maka termasuk di bawah Asnaf Fi Sabi>lillah. Dan peserta harus lebih dari dua orang.

Kedua: Dua orang bertanding lomba pacu kuda misalnya dan uang taruhan akan dikeluarkan salah seorang daripada mereka. Misalnya Yusuf berlomba kuda dengan Ahmad dan Ahmad akan mengeluarkan uang taruhan jika Yusuf berhasil mengunggulinya dan jika Ahmad berhasil mengungguli Yusuf tiada uang taruhan yang perlu Yusuf keluarkan.

Ketiga: Dua orang bertanding dan kedua-duanya perlu membayar uang taruhan kepada yang menang seperti bentuk di atas. Hanyasaja apabila Ahmad berhasil menang atas Yusuf maka Yusuf juga mesti memberi uang taruhan kepada Ahmad.

Keempat: Tiga orang bertanding dan dua orang daripada mereka akan memberikan uang taruhan kepada orang ketiga jika dia berjaya menandingi mereka berdua, adapun jika mereka berdua yang berjaya menandingi orang ketiga maka boleh uang taruhan dikenakan. Misalnya Yusuf, Ahmad, dan Amin berlomba memanah, jika Amin berjaya menandingi panahan si Yusuf dan Ahmad, maka Amin akan mendapat uang taruhan dari Yusuf dan Ahmad, jika sebaliknya, maka tiada uang taruhan.17

17

Mushthafa al-Khin dan Mushthafa al-Bugha, Fiqh Manhajiy ‘Ala> Madzhab

al-Ima>m asy-Sya>fi’iy, (Damaskus: Dar el-Qalam Li ath-Thaba’ah Wa an-Nasyr Wa at-Tauzi>’, 1992), Jilid VIII, Cet. II, h. 158


(35)

Jumhur Ulama sepakat bahwa bentuk yang pertama adalah boleh jika harta uang taruhan bersumber dari pemerintah atau baitul ma>l, namun jika rakyat yang mengeluarkannya seperti seorang bangsawan atau orang kaya, maka Imam Malik r.h berpendapat tidak boleh, karena urusan Jihad adalah urusan pemerintah. Namun, pendapat yang rajih (kuat) adalah boleh karena ini hanyalah latihan jihad bukan pelaksaan jihad sesungguhnya sama seperti boleh bagi siapa saja mewaqafkan kuda dan peralatan perang.18

Bentuk yang kedua pula adalah boleh juga di sisi Jumhur Ulama, kecuali Imam Malik r.h karena beliau hanya mengharuskan uang taruhan daripada pemerintah saja, jika uang taruhan dikeluarkan pemain, maka termasuk ‘Qima>r’ (judi) dan menjadi permainan yang bathil.19

Namun, yang sahih adalah pendapat Jumhur, karena terdapat hadits dari Ibn ‘Umar r.a:

َو َع

ِن

ْبا

ِن

ُع

َم َر

{

َأ ن

لا

ِب

َص ل

ى

ُل

َع َل

ْي ِه

َو َس

ل َم

َس ب

َق

ِب

َْْا

ْي ِل

َو َر

َا

َن

}

َو

ِْف

َل ْف

َس ب

َق

َ ب َْي

َْْا

ْي ِل

َو َأ ْع

َط

ى

سلا

ِبا

َر َو

َُهاا

َأ

َْم

د

.

artinya: “Bahwa Nabi s.a.w berlomba kuda dan baginda memberi uang taruhan kepada pemenang”. [Ahma>d, sahi>h].

18

Abu Husein Yahya Ibn Abi al-Khair Ibn Salim al-‘Imroniy, Baya>n Fi> Madzhab

al-Ima>m asy-Sya>fi’I, (Beirut: Dar el-Minhaj, tt.), Jilid VII, h. 425-426

19

Yahya Ibn Syarf Al-Nawa>wi>, Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, (Jeddah: Saudi Arabia, Maktabah al-Irsyad, tt.), Jilid XVI, h.24


(36)

Bentuk yang ketiga pula, Jumhur Ulama mengharamkannya karena termasuk dalam keumuman larangan Qima>r dan Maisir (judi) sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:                             .

: دئاماُ

90

َ

artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bahwa Sesungguhnya arak, dan judi, dan pemujaan berhala, dan mengundi nasib dengan batang-batang anak panah, adalah (Semuanya) kotor (keji) dari perbuatan syaitan. oleh karena itu hendaklah kamu menjauhinya supaya kamu beruntung .” [al-Ma>idah: 90].

*yang dimaksud al-Maisir adalah Qima>r: “Semua permainan atau pertaruhan yang mensyaratkan yang kalah mesti membayar uang taruhan kepada yang menang”.20 Berkata Ibn Abbas r.a:

رسيما

.رامقلا

ناك

لجرلا

ف

ةيل الا

رطاخ

ىلع

هل أ

،هلامو

امهيأف

رمق

هبحاص

ب ذ

هل أب

.هلامو

artinya: “al-Maisir itu adalah qimar. Ada seseorang di zaman Jahiliyyah bertaruh dengan keluarga dan hartanya, maka siapa yang menang atas pertaruhan rekannya maka dia akan mengambil keluarga dan hartanya”.21

Maka semua permainan yang melibatkan ada untung dan rugi pada kedua pihak adalah qima>r dan maisir yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Namun, Syeikhul Islam Ibn Taimiah r.h dan Ibn al-Qayyim r.h melihat keumuman sabda Nabi s.a.w berkenaan musabaqah dan kebolehan membuat pertaruhan atasnya dan dalam hadits:

20Muhammad Rawwas Qal’ahji dan Hamid Shadiq Qanaybiy, Mu’jam Lughat al

-Fuqaha>, (Beirut-Lebanon: Dar an-Nafaais, 1988), Cet. II, h. 355

21Abu Ja’far At

-Thabari, Ja>mi’ al-Baya>n Fi> Ta’wil al-Qur’an, (Beirut: Muassasah ar-Risaalah, 1994), Jilid IV, Cet. I, h. 324


(37)

ْنَع

ِبَأ

ٍديِبَل

َلاَق

ْتَلِسْرُأ

ُلْيَْْا

َنَمَز

ِجاجَْْا

ُمَكَْْاَو

ُنْب

َبويَأ

ٌيِمَأ

ىَلَع

ِةَرْصَبْلا

َلاَق

اَْ يَ تَأَف

َناَِّرلا

امَلَ ف

ْتَءاَج

ُلْيَْْا

اَْلُ ق

ْوَل

اَْلِم

َلِإ

ِسَنَأ

ِنْب

ٍكِلاَم

ُاَْلَأَسَف

ْمُتُْكَأ

َنوُِاَرُ ت

ىَلَع

ِدْهَع

ِلوُسَر

ِّا

ىلَص

ُّا

ِهْيَلَع

َملَسَو

ُاَْ يَ تَأَف

َوَُو

ِف

ِِرْصَق

ِف

ِةَيِوازلا

ُاَْلَأَسَف

اَْلُقَ ف

اَي

اَبَأ

َةَزَْم

ْمُتُْكَأ

َنوُِاَرُ ت

ىَلَع

ِدْهَع

ِلوُسَر

ِّا

ىلَص

ُّا

ِهْيَلَع

َملَسَو

َناَكَف

ُلوُسَر

ِّا

ىلَص

ُّا

ِهْيَلَع

َملَسَو

ُنِاَرُ ي

َلاَق

ْمَعَ ن

ِّاَو

ْدَقَل

َنَاَر

ُلوُسَر

ِّا

ىلَص

ُّا

ِهْيَلَع

َملَسَو

ىَلَع

ٍسَرَ ف

ُهَل

ُلاَقُ ي

ُهَل

ٌةَحْبَس

َقَبَسَف

َسا لا

ىَشَتْ ناَف

َكِلَذِل

ُهَبَجْعَأَو

.

َر َو

ُا

َأ

َْم

د

َو

دلا

ُرا ُق

ْط

ِن

َو ْلا َ ب

ْ ي َه

ِق

artinya: dari Abu Labid berkata; "Telah dikirim seekor kuda ketika Al Hajjaj dan Al Hakam bin Ayyub menjadi amir di Bashroh". (Lubaid RH) berkata; "Kami melakukan perlombaan adu cepat kuda (dengan memberikan hadiah bagi yang menang), dan tatkala seekor kuda telah datang, kami berkata; 'bagaimana kalau kita pergi kepada Anas bin Malik. Kita bertanya kepadanya, apakah kalian melakukan lomba kuda pada masa Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam? ' maka kami mendatangi dia di rumahnya yang ada di tepi, kami bertanya padanya, 'wahai Abu Hamzah apakah engkau melakukan lomba adu kuda pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ', 'apakah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam ikut berlomba kuda di dalamnya? ' (Anas bin Malik RA) berkata; "Ya, demi Allah Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam telah ikut lomba berkuda dengan seekor kuda miliknya yang dijuluki dengan Sabhah, maka beliau menang hingga beliau kagum dan suka akan itu".[HR. Ahma>d, al-Da>ruqutni, al-Baihaqi-sahi>h].

kata “نهارت” secara bahasa menunjukkan adanya perlakuan dari dua pihak, maka zhahir hadits ini kedua belah pihak meletakkan uang taruhan dalam perlombaan kuda itu dan tidak ada dalam hadits ini menceritakan berkenaan ‘Muhallil’ yakni orang ketiga.22 Adapun jika dikatakan jika tidak ada Muhallil maka ini adalah ‘Qima>r’ (judi) maka dijawab ini adalah yang diharuskan dengan dalil khusus.23

22

Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad Ibn Abi Bakar Ibn Ayyub Ibn Qayyim al-Jauziyyah, al-Furu>siyyah, (Hail-Saudi Arabia: Dar el-Andalus, 2003), Cet. I, h.165-166

23

Shalih Ibn Fauzan Ibn Abdullah al-Fauzan, al-Mulakhkhash al-Fiqhiy, (Riyadl-Saudi Arabia: Riaasah Idarat al-Buhuuts al-‘Ilmiyyah Wa al-Ifta, 1423 H), Jilid II, Cet. I, h. 158


(38)

Adapun Jumhur Ulama berdalilkan hadits berikut:

ْنَع

ِبَأ

َةَرْ يَرُ

ْنَع

ِِّبلا

ىلَص

ُّا

ِهْيَلَع

َملَسَو

َلاَق

ْنَم

َلَخْدَأ

اًسَرَ ف

َْيَ ب

ِْيَسَرَ ف

َوَُو

َا

ُنَمْأَي

ْنَأ

َقِبْسَي

َلَف

َسْأَب

ِهِب

ْنَمَو

َلَخْدَأ

اًسَرَ ف

َْيَ ب

ِْيَسَرَ ف

ْدَق

َنِمَأ

ْنَأ

َقِبْسَي

َوُهَ ف

.ٌراَمِق

ُاَوَر

دَْمَأ

نْباَو

هَجاَم

ِنْطُقُرادلاَو

يِقَهْ يَ بْلاَو

.

Artinya:dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Barangsiapa memasukkan kudanya pada dua kuda lainnya (yang sedang berlomba) sedang dirinya tidak merasa yakin bahwa kudanya akan mendahului maka tidaklah mengapa. Dan barangsiapa memasukkan kudanya pada dua kuda lainnya sedang dirinya merasa yakin bahwa kudanya akan menang maka itu adalah judi". [HR. Abu> Da>ud, Ibn Ma>jah, Ahma>d, al-Da>ruqutni, al-Baihaqi>].

*Maksud hadis ini ialah apabila dua orang yang berlomba mengeluarkan uang taruhan, maka perlu ada peserta ketiga yang tidak mengeluarkan uang taruhan dan disyaratkan peserta ketiga ini juga setara dengan dua peserta lainnya dari segi kecepatan kuda (misalnya pada lomba kuda), jika dia hanya sekedar masuk sedangkan kudanya memang pasti lemah dan tidak mampu menandingi kuda dua peserta lainnya maka ia tetap qima>r (judi).24

Hadits ini dinilai berbeda pandangan antara Ulama hadits, Ibn Hajar al-Asqalani dalam Bulughul Maram mendhaifkannya dan disokong oleh mereka yang tidak mensyaratkan Muhallil seperti Ibn Taimiah, Ibn al-Qayyim, dan kebanyakan Ulama Hanabilah Mutaakhirin dan disetujui juga oleh Syeikh al-Albani.25

24

Yahya Ibn Syarf Al-Nawa>wi>, Op. Cit., h. 30-31

25

Muhammad Nashir ad-Di>n al-Albani, Irwaa al-Ghal>il, (Lebanon: al-Maktab al-Islamiy, 1979), Jilid V, Cet. I, h. 340


(39)

Sebagian Ahli Hadits lagi menshahihkan hadits ini, diantaranya: al-Hakim dan Ibn Hibban namun yang benarnya hadits ini adalah dha’if tetapi dalam Shahih Ibn Hibban:

،اًقْ بَس اَمُهَ ْ يَ ب َلَعَجَو ،ِلْيَْْا َْيَ ب َقِباَس َملَسَو ِهْيَلَع ُّا ىلَص ِبلا ّنَأ ،َرَمُع ِنْبا ِنَع

اَمُهَ ْ يَ ب َلَعَجَو

َلاَقَو ،لِّلَُُ

:

َا"

َقْبَس

ِإ

ا

ٍلْصَن ْوَأ ٍرِفاَح ِف

."

.ِنابِح ُنْبا ُاَوَر

artinya: “dari Ibn Umar, bahwa Nabi s.a.w berlomba kuda dan baginda jadikan antara keduanya uang taruhan dan baginda letakkan muhallil dan bersabda: “Tidak ada uang taruhan kecuali dalam lomba kuda atau unta”. [HR. Ibn H~ibba>n].

Tetapi hadits ini juga dha’if karena dha’ifnya Abdullah bin Dinar, namun yang rajih (kuat) pada kami –walla>hua’lam- disyaratkan muhallil walaupun dalil-dalil naqlinya dha’if namun dari segi qiyas hal tersebut (adanya muhallil) itu benar, supaya tidak termasuk qima>r.

Maka dapat disimpulkan bahwa antara empat bentuk uang taruhan dalam musabaqah yang dibolehkan padanya uang taruhan ini, hanya bentuk pertama, kedua, dan keempat saja, adapun bentuk yang ketiga adalah haram menurut Jum>hur Ulama.26

5. Urgensi Muhallil dalam Musabaqah

Muhallil ialah pihak ketiga di dalam sebuah perlombaan yang menyebabkan suatu perlombaan menjadi sah dan bukan termasuk ke dalam qimar. Karena terdapat

26

Wahbah az-Zuhailiy, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuh, (Damaskus: Dar el-Fikr, 1985), Jilid V, Cet. II, h. 787-788


(40)

sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra. Bahwasanya Nabi SAW. Bersabda: “Barangsiapa yang memasukkan kuda antara dua kuda sedangkan dia tidak aman daripada didahului maka tidaklah mengapa (bukanlah qimar), dan barangsiapa yang memasukkan kuda antara dua ekor kuda sedangkan dia aman daripada didahului maka ia adalah qima>r”.[Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, al-Daruqutni, al-Baihaqi]. *Maksud hadis tersebut ialah apabila dua orang yang berlomba mengeluarkan uang taruhan, maka perlu ada peserta ketiga yang tidak mengeluarkan uang taruhan dan disyaratkan peserta ketiga ini juga setara dengan dua peserta lainnya dari segi kecepatan kuda (misalnya pada lomba kuda), jika dia hanya sekedar berpartisipasi sedangkan kudanya memang pasti lemah dan tidak mampu menandingi kuda dua peserta lainnya, maka ia tetap qima>r (judi).

Dengan adanya muhallil, Perlombaan tersebut bukan termasuk perjudian, karena ada seseorang yang mengambil (taruhan) bila Ia menang dan tidak memberi (taruhan) jika Ia kalah. Namun bila tanpa muhallil, maka yang terjadi adalah seseorang mengambil (taruhan) apabila Ia menang, dan memberikan (taruhan) apabila Ia kalah, dan hal yang demikian itu merupakan bentuk perjudian (qimar). Muhallil juga diperbolehkan terdiri dari dua orang atau lebih, karena hal tersebut semakin menjauhkan dari bentuk perjudian.

Jika perlombaan tersebut antara dua kelompok/tim, maka hukum kedua kelompok tersebut dalam mengikutsertakan muhallil sama seperti hukum 2 orang kontestan, karena tujuan dari masuknya muhallil adalah membebaskan dari bentuk perjudian, dan hal itu dapat dicapai dengan cara mengikutsertakan seorang muhallil, baik sedikit


(41)

ataupun banyaknya jumlah kontestan. Dan ashaab ‘ulaama berbeda pendapat mengenai masuknya muhallil, mayoritas dari mereka berpendapat bahwa masuknya muhallil tersebut untuk menghalalkan taruhan bagi setiap peserta yang menang diantara para kontestan.

Sedangkan Abu ‘Ali Ibn Khairan berpendapat bahwa masuknya muhallil itu adalah untuk membolehkan taruhan hanya bagi dirinya saja. Ia (muhallil) mengambil (taruhan) bila Ia menang, dan tidak mendapat (uang taruhan/taruhan) bagi kedua kontestan bila mereka berdua yang menang. Karena bila seandainya dikatakan kepada kami: “jika kedua kontestan tersebut menang, kemudian mereka mendapat (uang taruhan/taruhan), hasilnya ialah ada pihak yang memberi taruhan, dan ada pihak yang mengambil taruhan, dan itu termasuk qima>r (judi).

Menurut pendapat pertama (ashaab), bahwa dengan masuknya muhallil, maka kedua kontestan terbebas dari unsur perjudian, karena dalam perjudian ada pihak yang memberi taruhan dan ada pihak yang menerima taruhan. Dengan masuknya muhallil menghasilkan ada pihak yang mengambil taruhan dan tidak memberi taruhan, maka hal tersebut tidak menjadi qima>r (judi).

Kemudian jika mereka semua seimbang, yakni mereka sampai ke garis finish secara berbarengan, maka salah seorang (yang mengeluarkan taruhan) dari kedua kontestan menyimpan kembali harta taruhannya, karena berarti tidak ada seorangpun yang memenangkan pertandingan. Dan bagi muhallil tidak mendapat apapun karena Ia tidak mengungguli salah seorang dari mereka berdua. Dan jika kedua kontestan yang menang, maka salah seorang (yang mengeluarkan taruhan) dari kedua kontestan


(42)

juga tetap menyimpan kembali harta taruhannya, karena mereka berdua imbang, dan muhallil pun tidak menerima ataupun memberi harta taruhan sebab Ia kalah. Namun jika muhallil mengungguli kedua kontestan, maka muhallil berhak menerima harta taruhannya, karena Ia menang atas keduanya. Dan bila salah satu kontestan (yang mengeluarkan harta taruhan) menang atau mengungguli muhallil serta salah satu peserta lainnya, maka pemenang tersebut (orang yang mengeluarkan harta taruhan) juga tetap menyimpan taruhannya (mengambil harta taruhannya sendiri).

Dan mengenai masalah harta taruhan bagi yang kalah, ada dua pendapat: Pertama, menurut ashaab bahwasanya pemenang juga mengeluarkan harta taruhan/uang taruhan, karena Ia sendiri ikut andil dalam perlombaan. Kedua, menurut pendapat Ibn Khairan hanya peserta yang kalah saja yang mengeluarkan harta taruhan/uang taruhan, karena menurutnya pemenang tidak berhak untuk mengeluarkan harta taruhan.27

D. Sanksi Pidana

27

Yahya Ibn Syarf Al-Nawa>wi> , Kita>b al-Majmu>’ Syarh~ al-Muhadzdzab, (Jeddah, Saudi Arabia: Maktabah al-Irsyad), . Jilid XVI, h. 150


(43)

Agama Islam membolehkan berbagai macam hiburan dan permainan bagi setiap pemeluknya, tetapi Islam mengharamkan setiap permainan yang di campuri dengan unsur perjudian, yaitu suatu permainan yang mengandung unsur taruhan, baik itu berupa uang, barang, kehormatan dan orang yang menang itu mendapat hak taruhan tersebut.

1. Menurut Hukum Islam

Sanksi pidana dalam bahasa Arab disebut ‘uqu>bah.‘Uqu>bah artinya: mengiringnya dan datang dibelakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz: yang artinya: membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukan.28 Perbuatan yang dilarang ( روظحملا) adakalanya berupa mengajarkan perbuatan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Sedangkan lafaz syari>’ah ( عيرش) dalam definisi tersebut mengandung pengertian, bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila perbuatan itu tidak ada larangannya dalam syara’ dan diancam dengan hukuman. Dengan demikian apabila perbuatan itu tidak ada dalam larangan dalam syara’ maka perbuatan tersebut hukumnya mudah, sesuai dengan dalil kaidah yang berbunyi: Pada dasarnya semua perkara diperbolehkan, sehingga ada dalil yang mengajukan keharamannya.

Pengertian jarimah menurut syara’, pada lahirnya agak berbeda dengan pengertian jarimah atau tindak pidana menurut hukum positif dalam kaitan dengan

28

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: PT Sinar Grafika), h. 136.


(44)

masalah hukuman takzir. Menurut hukum Islam hukuman takzir adalah hukuman yang ketentuan jumlahnya tidak tercantum di dalam nash sedangkan menurut hukum positif, hukuman itu harus tercantum dalam undang-undang. Akan tetapi, apabila dipelajari dapat juga kita temui persesuaiannya terutama pada garis besarnya.Hukuman takzir dimaksudkan untuk mencegah dari kerusakan timbulnya bahaya. Apabila tujuan diadakannya takzir itu demikian maka jelas sekali hal itu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena setiap perbuatan yang merusak dan merugikan orang lain hukumnya tetap dilarang. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an.

. . . .

“…dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS.Al-Baqarah [2]: 60)

Di samping itu, meskipun hukuman takzir itu ketentuannya diserahkan kepada ulil amri (penguasa), namun dalam pelaksanaannya tetap berpedoman kepada dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan tujuan mencegah manusia, supaya ia tidak membuat kekacauan dan tidak membuat kerusakan.29

Alangkah tepat dan indahnya Al-Qur’an ketika mengumpulkan antara khamr dan judi dalam ayat-ayat dan hukum-hukumnya, karena sama bahayanya terhadap pribadi, keluarga, tanah air, dan akhlak. Tidak ada bedanya orang yang mabuk karena

29


(45)

judi dengan orang mabuk karena khamr dan judi termasuk perbuatan syaitan.30Dalam hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminum khamr dan judi diungkapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an secara bertahap tentang status hukum.Meminum minuman memabukan (khamr) dan berjudi adalah dua perbuatan yang dilarang.Para peminum khamr dan berjudi dinilai sebagai perilaku setan.Dalil hukum yang mengatur tentang sanksi hukum peminum khamr diungkapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an secara bertahap tentang status hukum.Hal itu diungkapkan sebagai berikut.

Surah Al-Baqarah ayat 219

                                                  .

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada

keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 219).

Mengenai isi kandungan ayat tersebut, tampak jelas bahwa ayat ini sudah menyentuh sisimanfaat dan mudharat, ketika di turunkan ayat ini. Dalam Al-Qur’an dan tafsirnya menjelaskan manfaat meminum khamr sedikit sekali, boleh dikatakan tidak ada artinya dibandingkan dengan bahayanya.

30

Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Sholeh Tamhid, (Jakarta: Robbani Press, 2010), Cet. XI, h. 352.


(46)

Misalnya: minum khamr, mungkin dapat menjadi obat, dapat dijadikan perdagangan yang mendatangkan keuntungan, dan dapat menimbulkan semangat bagi para prajurit-prajurit yang akan pergi berperang dan lain-lain. Tapi semua itu bukanlah manfaat yang berarti. Begitu juga berjudi dapat menolong orang miskin kalau yang menang itu orang yang dermawan, cepat mendapat keuntungan tanpa susah payah. Tapi semuanya itu juga tidak ada artinya, dan tidak ada berkatnya. Tentang bahaya-bahaya minum khamr dan judi, dan apa yang akan diderita oleh peminum khamr dan pemain judi nantinya, selain dijelaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an juga banyak diterangkan dalam hadist-hadist Nabi Muhammad SAW.31

Kata maisir dijumpai dalam Qur’an sebanyak 3 kali, yaitu dalam surah Al-Baqarah ayat 219 dan surah Al-Maa’idah ayat 90-91 diketahui bahwa judi merupakan perbuatan keji yang diharamkan Islam. Keharaman judi dalam surah Al-Baqarah ayat 219 tidak begitu jelas. Dalam surah Al-maa’idah ayat 90, Allah SWT secara tegas menyatakan yang artinya: “wahai oran-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi (berkorban untuk) berhala, mengudi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jahuilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan.Penyebab diharamkannya perbuatan judi dijelaskan Allah SWT dalam ayat 91 yang artinya, “sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu

31


(47)

lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengintai Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan perintah itu).

Dari ketiga ayat tersebut, para mufasir menyimpulkan beberapa hal. 1) judi merupakan dosa besar. 2) judi merupakan perbuatan setan. 3) judi sejajar dengan syirik. 4) judi menanamkan rasa permusuhan dan kebencian di antara sesama manusia. 5) judi membuat orang malas berusaha. 6) judi juga akan menjauhkan orang dari Allah SWT. Selain lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya, perbuatan judi dilarang oleh Allah SWT karena tidak sesuai dengan ajaran agama Islam yang senantiasa memotivasi umatnya untuk melakukan kreasi yang positif dalam menunjang di dunia dan akhirat.32

Jika Islam membolehkan bermacam-macam hiburan dan permainan bagi orang Muslim, namun ia mengharamkan setiap permainan yang dibarengi dengan judi, di mana pemain tidak lepas dari untung dan rugi. Dan sabda Rasulullah SAW mengenai hal itu: “barangsiapa berkata kepada kawannya: ‘marilah berjudi’, maka

hendaklah ia bersedekah.” Dengan demikian, seorang Muslim tidak menjadikan permainan judi sebagai alat untuk menghibur diri dan mengisi waktu senggang, sebagaimana tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai cara mencari uang, dengan alasan apapun.33

Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam adalah bentuk jarimah takzir. Pidana perjudian termasuk ke dalam jarimah takzir sebab setiap orang

32

Hasan Muarif Ambary, Suplemen Ensiklopedi Islam, h. 298-299.

33


(48)

yang melakukan perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi had dan tidak ada kewajiban membayar harus di takzir, baik perbuatan maksiat itu berupa pelanggaran atas hak Allah atau hak manusia.34

Jarimah takzir adalah segala bentuk tindak pidana yang dikenakan hukuman takzir.Yang dimaksud dengan takzir adalah mengenakan hukuman selain hukuman hudud dan kafarat kepada pelaku perbuatan tindak pidana, baik perbuatan tindak pidanaitu menyangkut hak Allah SWT maupun hak pribadi seseorang.Hukuman dalam jarimah takzir tidak di tentukan bentuk, jenis dan jumlahnya oleh syara’.Hanya menentukan sejumlah hukuman, dari hukuman terendah sampai hukuman tertinggi. Untuk menentukan hukuman mana yang harus dilaksanakan terhadap suatu tindak pidana hukuman takzir, hukum Islam menyerahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim, setelah mempertimbangkan kemaslahatan terpidana, lingkungan yang mengitarinya, dan tujuan yang hendak dicapai dalam pelaksanaan hukum tersebut.35

Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman sesuai dengan macam tindak pidana takzir serta keadaan pelaku.Singkatnya, hukuman-hukuman tindak pidana takzir tidak mempunyai batasan-batasan tertentu.Meskipun demikian, hukum Islam tidak memberi wewenang kepada penguasa atau hakim untuk menentukan tindak pidana setengah hati, tetapi harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan)

34

Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, h. 359-360.

35


(49)

serta prinsip umum hukum Islam.Dari keterangan di atas bahwa tidak ada satu kejahatan yang tidak dikenakan sanksi atau hukuman.36Para ulama sepakat bahwa bentuk dan kualitas hukuman takzir tidak boleh menyamai hukuman diat atau hudud.37

Dalam hukum Islam, akan disebutkan beberapa hukuman takzir terpenting yang ditetapkan oleh hukum Islam. Selain itu, harus diingat bahwa prisnsip-prinsip hukum Islam tidak menolak untuk mengambil hukuman lain apapun juga yang dapat mewujudkan tujuan hukuman dalam hukum Islam.38

a. Hukuman Mati

Pada dasarnya menurut syari’at Islam hukum takzir adalah untuk memberikan pengajaran (Al-ta’dib) dan tidak sampai membinasakan, oleh karena itu dalam hukuman takzir tidak boleh pemotong anggota badan atau penghilangan nyawa, akan tetapi kebanyakan fuqaha membuat suatu pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkannya hukuman tersebut jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau jika pemberantasan kejahatan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya; seperti mata-mata, pembuat fitnah, dan residivis yang berbahaya.39Adapun alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati

36

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 100.

37

H.E. Hasan Saleh Ed. 1, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pres, 2008), h. 465.

38

Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, h. 86-87.

39

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), cet. 6, h. 299.


(50)

sebagai takzir tidak ada keterangan yang pasti. Ada yang mengatakan boleh dengan pedang, dan ada pula yang mengatakan boleh dengan alat yang lain, seperti kursi listrik.Namun kebanyakan ulama memilih pedang sebagai alat eksekusi, karena pedang mudah digunakan dan tidak menganiaya terhukum, karena kematian terhukum dengan pedang lebih cepat.40

b. Hukuman cambuk

Hukuman cambuk cukup efektif dalam menjerakan pelaku jarimah takzir. Hukuman ini dalam jarimah hudud telah jelas jumlahnya bagi pelaku jarimah zina ghairu muhshan dan jarimah qadzf. Namun dalam jarimah takzir, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan jumlah cambukan disesuaikan dengan kondisi pelaku, situasi dan tempat kejahatan.41Alat yang digunakan untuk hukuman cambuk ini adalah cambuk yang pertentangan (sedang, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil) atau tongkat.Pendapat ini juga dikemukakan oleh imam Ibnu Taimiyah, dengan alasan sebaik-baiknya perkara adalah pertengahan.42

Adapun sifat atau cara pelaksanaan hukuman cambuk masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Menurut Hanafiyah, cambuk sebagai takzir harus dicambukkan lebih keras dari pada cambuk dalam had agar dengan takzir orang yang terhukum akan menjadi jera, di samping karena jumlahnya lebih sedikit daripada dalam had. Alasan yang lain adalah bahwa semakin keras cambukan itu semakin menjerakan.

40

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 260.

41

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), h. 149.

42


(51)

Akan tetapi, ulama selain Hanafiyah menyamakan sifat cambuk dalam takzir dengan sifat cambuk dalam hudud.Apabila orang yang dihukum takzir itu laki-laki maka baju yang menghalangi sampainya cambuk ke kulit harus di buka. Akan tetapi,apabila orang terhukum itu seseorang perempuan maka bajunya tidak boleh di buka, karena jikan demikian akan terbukalah auratnya. Pukulan atau cambukan tidak boleh diarahkan ke muka, farji, dan kepala, melainkan diarahkan ke bagian punggung. Imam Abu Yusuf menambahkan tidak boleh mencambuk bagian dada dan perut, karena bisa membahayakan keselamatan orang yang terhukum43

c. Hukuman Penjara

Hukuman penjara dalam syari’at Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu: 1) Hukuman Penjara Terbatas

Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini ditegaskan untuk jarimah penghinaan, penjualan khamr, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci bulan ramadhan dengan berbuka di siang hari tanpa uzur, mengairi ladang dengan air dari saluran tetangga tanpa izin, caci mencaci antara dua orang yang perkara di depan sidang pengadilan, dan saksi palsu. Batas tertinggi hukuman penjara terbatas ini juga tidak ada kesepakatan di kalangan fuqaha, menurut Imam Syafi’i batas tertinggi hukuman penjara terbatas ini adalah satu tahun.Adapun pendapat yang dinukil dari

43


(52)

Abdullah Az-zaubairi adalah ditetapkanya masa hukuman penjara dengan satu bulan, atau enam bulan.44

2) Hukuman Penjara Tidak Terbatas

Hukuman penjara tidak terbatas tidak dibatasi waktunya, melainkan berlangsung terus sampai orang yang terhukum meninggal dunia atau sampai ia bertaubat. Dalam istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup. Hukuman seumur hidup ini dalam hukum pidana Islam dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya. Misalnya, seseorang yang menahan orang lain untuk dibunuh oleh orang ketiga. Hukuman penjara tidak terbatas macam yang kedua (sampai ia bertaubat) dikenakan antara lain untuk orang yang dituduh membunuh dan mencuri, melakukan homoseksual, atau penyihir. Mencuri untuk yang ketiga kalinya menurut Imam Abu Hanafiah, atau mencuri untuk kedua kalinya menurut imam yang lain.45

d. Hukuman Pengasingan

Hukuman pengasingan termasuk hukuman had yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana hirabah (perampokan). Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namun di dalam praktiknya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman takzir. Di antara jarimah takzir yang dikenakan hukuman pengasingan (buang) adalah orang yang berperilaku mukhannasts (waria), yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan mengasingkannya ke luar dari Madinah. Hukuman pengasingan ini dijatuhkan kepada pelaku jarimah yang dikhawatirkan berpengaruh

44

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 262-263.

45 Ibid.


(53)

kepada orang lain sehingga pelakunya harus dibuang (diasingkan) untuk menghindarkan pengaruh-pengaruh tersebut.46

Lamanya (masa) pengasingan juga tidak ada kesepakatan di kalangan para fuqaha. Menurut Imam Syafi’i dan Hambali, masa pengasingan tidak boleh lebih dari satu tahun. Menurut Imam Abu Hanafi, masa pengasingan bisa lebih dari satu tahun, sebab pengasingan di sini merupakan hukuman takzir, bukan hukuman had.47

e. Hukuman Denda (Al-gharamah)

Hukuman denda bisa merupakan hukuman pokok yang berdiri sendiri dan dapat pula digabungkan dengan hukuman pokok lainnya. Penjatuhan hukuman denda bersama-sama dengan hukuman yang lain bukan merupakan hal yang dilarang bagi seorang hakim yang mengadili perkara jarimah takzir, karena hakim diberi kebebasan yang penuh dalam masalah ini. Dalam hal ini hakim dapat mempeetimbangkan berbagai aspek, baik yang berkaitan dengan jarimah, pelaku, situasi, maupun kondisi tempat dan waktunya.48

46

Ibid., h. 264.

47

Ibid., h. 265.

48


(1)

dapat dibagi menjadi beberapa macam yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Prinsip-prinsip hukum Islam tidak menolak untuk mengambil hukum lain jika hukum itu tidak bertentangan dengan syari’at Islam dan hukum itu dapat mewujudkan tujuan hukum dalam hukum Islam. Sementara masalah perjudian dalam hukum Islam belum ada pembahasan yang terinci dan tegas di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, sehingga perjudian dimasukkan ke dalam tindak pidana takzir. Dalam pelaksanaan hukuman takzir hak mutlak diberikan kepada ulil amri atau hakim dimaksudkan untuk memberi keleluasaan yang memberi kemungkinan berbedanya hukuman keluwesan dalam menanggapi kemajuan budaya manusia, sehingga dengan demikian hukum Islam dapat responsip terhadap setiap perubahan sosial. Karena itu sanksi hukuman takzir dapat berubah sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan. Hakim boleh mengancam lebih dari satu hukuman, ia boleh memperingan atau memperberat hukuman, jika hukuman tersebut mempunyai dua batasan terpenting, hukuman tersebut sudah cukup untuk mendidik, memperbaiki dan mencegah pelaku tindak pidana tersebut.

4. Saran-saran.

Dari permasalahan yang dikemukakan, maka penulis menyarankan kepada aparat penegak hukum dalam rangka meningkatkan upaya penanggulangan terhadap tindak pidana tersebut maka :


(2)

68

1. Perlunya pembinaan kesadaran hukum dikalangan masyarakat dan pemerintah, agar dapat terciptanya ketertiban, ketentraman dan masyarakat yang taat akan hukum.

2. Untuk para penegak hukum diharapkan lebih objektif dalam menyelesaika suatu tinddak pidana, dan lebih khusus kepada para Hakim dalam menjatuhkan suatu pidana lebih mempertimbangkan lagi pemidanaan apa yang cocok untuk diri pelaku, agar suatu pemidanaan sejalan dengan tujuan pemidanaan sebagai pendidikan yang tentunya tanpa mengurangi hak dari si korban sebagai pemenuhan rasa keadilan.

3. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi para penegak hukum dalam menentukan sanksi pidana terhadap pelaku perjudian menurut aturan pidana Islam.


(3)

69

A. Pudjaatmaka, Hadyana, dkk, Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid VII, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989.

Abubakar H. Al Yasa’, Syari’at Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, ed. 3, Banda Aceh, Dinas Syari’at Islam Provinsi NAD, 2005.

Al-‘Imroniy, Abu Husein Yahya Ibn Abi al-Khair Ibn Salim, al-Bayaan Fii Madzhab al-Imam asy-Syafi’I, Jilid VII, Beirut: Dar el-Minhaj, tt.

Al-‘Utsaimin, Muhammad Bin Shalih, Mudzakkirah Fiqh, Jilid II, Cet. I, Kairo-Mesir: Daar al-Ghad al-Gadeed, 2007.

Al-Albani, Muhammad Nashir ad-Diin, Irwaa al-Ghaliil, Jilid V, Cet. I, Lebanon: al-Maktab al-Islamiy, 1979.

Al-Bassam, Abdullah Bin Abdurrahman, Taudih Ahkam Min Bulugh al-Maram, Jilid V, Cet I, Jeddah-Saudi Arabia: Dar al-Qiblah Li ats-Tsaqafah al-Islamiyyah, 1992.

Al-Bugha, Mushthafa al-Khin dan Mushthafa, al-Fiqh al-Manhajiy ‘Alaa Madzhab al-Imam asy-Syafi’iy, Jilid VIII, Cet. II, Damaskus: Dar el-Qalam Li ath-Thaba’ah Wa an-Nasyr Wa at-Tauzii’, 1992.

Al-Fiqhiy, Shalih Ibn Fauzan Ibn Abdullah al-Fauzan, al-Mulakhkhash, Jilid II, Cet. I, Riyadl-Saudi Arabia: Riaasah Idarat al-Buhuuts al-‘Ilmiyyah Wa al -Ifta, 1423 H.

Al-Jauziyyah, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad Ibn Abi Bakar Ibn Ayyub Ibn Qayyim, al-Furuusiyyah, Cet. I, Hail-Saudi Arabia: Dar el-Andalus, 2003.

Ambary, Hasan Muarif, Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

An-Nawawi, Yahya Ibn Syarf, Kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid XVI, Jeddah: Saudi Arabia, Maktabah al-Irsyad, tt.


(4)

70

Ash-Shan ani’, Muhammad Bin Ismail Al-Amir, Subul as-Salam – Syarh Bulugh al-Maram, Cet. II, Jakarta : Darus Sunnah, 2007.

At-Thabari, Abu Ja’far, Jaami’ al-Bayaan Fii Ta’wil al-Qur’an, Cet. I, Jilid IV, Beirut: Muassasah ar-Risaalah, 1994.

Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Cet II, Penerjemah Tim Tsalisah Bogor, T.tp., PT Kharisma Ilmu, T.th.

Az-Zuhailiy, Wahbah, al-Fiqh al-Islamiy Wa Adillatuh, Jilid V, Cet. II, Damaskus: Dar el-Fikr, 1985.

Chazawi, Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: PT. Raja Grafindo, T.th.

Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Dian Hati dan Ahmad Syaufi, Kajian Terhadap Putusan Perkara No. 508/Pid. B/ 2006/PN.Bjm, Tentang Tindak Ksewenang-wenangan Aparat Penegak Hukum.

Djazuli, Ahmad, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), cet. II, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997.

Hamzah, Andi, KUHP& KUHAP, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007.

Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet. VI, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.

Hosen, Ibrahim, Apakah Judi Itu ?, Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiah Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ), 1987.

http://mbahdaur.blogspot.com/2012/05/macam-macam-perjudian-di-indonesia.html. Diakses pada tanggal 26 April 2015.

http://tenagasosial.blogspot.com/2013/08/unsur-unsur-tindak-pidana.html.

Ibn Taimiyah, Ahmad Bin Abdul Halim, Majmu’ Fataawa, Jilid XXXI, Madinah-Saudi Arabia: Mujamma’ al-Maliki Fahd Lithabaa’at al-Mushhaf Asy-Syarif, 2004.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metode Penelitian hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2005.


(5)

Mertokusumo, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985.

Moeliono, Anton M., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta: PT Sinar Grafika, tt.

Pudjaatmaka, A. Hadyana, dkk, Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid VII, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989.

Putusan Pengadilan Negeri Binajai No. 273/Pid.B/2013/PN.BJ

Qanaybiy, Muhammad Rawwas Qal’ahji dan Hamid Shadiq, Mu’jam Lughat al -Fuqahaa, Cet. II, Beirut-Lebanon: Dar an-Nafaais, 1988.

Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram, Cet. IX, Penerjemah: Abu Sa’id al-Falahi dan Aunur Rafiq Sholeh Tamhid, Jakarta: Robbani Press, 2010.

Saleh, H.E. Hasan, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, Ed. I, Jakarta: Rajawali Pres, 2008).

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Cet.VIII. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

Soerodibroto, R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Sonhadji, Al-Qur’an dan Tafsirnya..

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta: UII Press, 2006.

________________, Perjudian dalam Perspektif Hukum, http://bambang.staff.uii.ac.id/2008/10/17/perjudian-dalam-perspektif-hukum, artikel diakses pada hari selasa, 08 Desember 2009.

Syihabuddin al-Qolyubiy dan Syihabuddin ‘Umairah, Haasyiyah al-Qolyuubiy Wa ‘Umairoh ‘Alaa Syarh al-Mahalliy ‘Alaa Minhaaj ath-Thaalibiin, Jilid IV, Cet. III, Kairo-Mesir: Maktabah Wa Mathba’ah Mushthafaa al-Baab al-Halbiy Wa Aulaadih, 1956.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.


(6)

72