Pembagian Harta Waris Bagi Penderita Cacat Mental Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif (Analisis Putusan Perkara No. 94/Pdt.P/2008/Pn.Jkt.Sel)

(1)

PEMBAGIAN HARTA WARIS BAGI PENDERITA CACAT MENTAL MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

(ANALISIS PUTUSAN PERKARA NO. 94/Pdt.P/2008/PN.JKT.SEL)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

Oleh:

Muhammad Lutfi 204043203081

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

iii

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Segala Puji hanya Bagi Allah SWT, Tuhan penguasa semesta, karena hanya dengan karunia dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. serta Shalawat dan Salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarganya.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarajana Hukum Islam (S.HI).

Dalam kesempatan ini, penulis hendak menyampaikan ungkapan terima

kasih kepada orang tuanya; Salim Saleh dan Nurmah, saudarinya; Nur’aini dan

Abdul Haris atas doa dan motivasi yang diberikan sehingga memacu semangat penulis untuk menyelesaikan karya tulisnya. Semoga Allah memberikan pahala yang luas kepada mereka.

Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H.M. Amin Suma, SH.MA.MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

2. Ketua Program Studi PMH Dr. H. Jaenal Aripin, M.Ag. dan Sekretaris Jurusan Mufidah, S.HI

3. Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag selaku Pembimbing I dan Al Fitra, SH. M.Hum selaku Pembimbing II atas nasihat, bimbingan, dan


(6)

iv

informasi sesuai dengan yang penulis butuhkan.

5. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah, staf Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, dan staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum.

6. Para Dosen pengajar atas ilmu pengetahuan, bimbingan, dan ketulusannya dalam memberikan ilmunya yang tak nilai harganya kepada penulis. Semoga Allah SWT menjadikannya sebagai amal jariyah dan memberikan pahala yang tak terputus kepada mereka. 7. Para Arkadiawan/wati KPA Arkadia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

yang telah membantu memotivasi untuk tetap semangat. Dan sang isteri tercinta yaitu Vita Bella Y.S yang selalu membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu penulis menerima kritik yang membangun serta saran dari pembaca guna meningkatkan kemampuan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Jakarta, 17 Juli 2012


(7)

v

PEMBAGIAN HARTA WARIS BAGI PENDERITA CACAT MENTAL

MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Analisis putusan NO.:94/Pdt.P/2008/PN.JKT.SEL)

Nama : Muhammad Lutfi

Nim : 204043203081

Fak/Jurusan : Syariah dan Hukum / Perbandingan Madzhab dan Hukum Tanggal Munaqsah : 17 Juli 2012

Lulus dengan Nilai : 3, 07

Pembimbing 1 : Dr.H.Fuad Thohari, M.Ag. Pembimbing 2 : Al Fitra,SH.,M.Hum.

ABSTRAK

Pengampuan menurut konsep hukum islam disebut dengan al- Hajr dan menurut hukum Positif disebut dengan Curatele. Adapun pengertian dari pengampuan itu adalah larangan atau pembatasan melakukan suatu tindakan hukum karena sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap atau tidak mampu untuk bertindak didalam suatu perbuatan hukum. Dilihat dari pengertian dan sebab diampunya seseorang yaitu karena akalnya yang belum sempurna, dan pembatasan umur dewasanya, secara fiqh disebut dengan umur baligh, dan mata gelap. Mereka mendapatkan pengampuan terhadap hak dan kewajiban mereka dalam lalu lintas hukum, salah satu hak yang dibatasi dalam pengampuan ini adalah hak mengelola harta. Dalam penelitian ini peneliti meneliti tentang kelayakan pengampuan seorang anak dengan membandingkan dua konsep yaitu konsep hukum Islam dengan konsep hukum Positif. Oleh karena itu penelitian ini mempunyai dua permasalahan yang akan dibahas yaitu pertama pengampuan bagi anak penderita cacat mental dalam pembagian harta warisan, cara pembagian harta waris bagi penderita cacat mental. Jenis penelitian ini dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif comparative, dan metode pengumpulan data yang ditempuh adalah metode library research, yaitu dengan membaca sumber-sumber primer berupa ketetapan fiqh, dan hukum positif, lalu memperkuat dengan buku-buku, dan rujukan terkait. Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah, bahwa dalam konsep hukum islam menetapkan bahwa seorang anak yang belum dewasa untuk mengelola hartanya harus dengan perwalian, sedangkan dalam konsep hukum positif, menetapkan pengampuan itu dapat dijatuhkan kepada orang yang dianggap tidak cakap hukum, seperti orang yang selalu dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap. Dengan membandingkan antara kedua konsep ini, penulis menyimpulkan bahwa konsep hukum Islam itu diterapkan karena lebih menjaga hak anak yang lebih diutamakan dalam penerapannya, sedangkan dalam konsep hukum positif pengampuan itu sendiri ditujukan kepada orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap.


(8)

vi

Kata Pengantar ... iii

Abstrak ... v

Daftar Isi ... vi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

F. Kajian Pustaka... 8

G. Metodologi Penelitian ... 10

H. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II : AHLI WARIS DAN CACAT MENTAL A. Ahli Waris... 13

1. Pengertian Ahli Warismenurut Hukum Islam ... 13

2. Pengertian Ahli Waris menurut Hukum Positif ... 14

3. Penggolongan Ahli Waris ... 16

B. Cacat Mental ... 18

1. Pengertian Cacat Mental ... 18

2. Jenis-jenis Cacat Mental ... 19


(9)

vii

BAB III : PENGAMPUAN BAGI PENDERITA CACAT MENTAL MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Konsep Pengampuan………..24

1. Pengampuan a. Pengertian pengampuan ……….25

1) Pengampuan menurut Hukum Islam………...…..27

2) Pengampuan menurut Hukum Positif ………. 28

3) Orang yang Berhak Memintakan Pengampuan ….. 29

4) Kedudukan Orang yang Berada di bawah Pengampuan. ... 30

b. Dasar Hukum Pengampuan 1) Dasar Hukum Pengampuan menurut Hukum Islam ... 33

2) Dasar Hukum Pengampuan menurut Hukum Positif ... 35

c. Tujuan Pengampuan………36

2. Pengampu a. Pengertian Pengampu ... 37

b. Syarat-Syarat menjadi Pengampu ... 38

c. Orang yang Berhak Menjadi Pengampu ... 39

d. Hak-HakPengampu ... 40

e. Pencabutan Hak Menjadi Pengampu ... 41

3. Berakhirnya Pengampuan ... 44

BAB 1V :ANALISIS PENGAMPUAN DALAM KHI DAN PUTUSAN PENGADILAN NO.:94/Pdt.P/2008/PN.JKT.SEL. TENTANG KASUS PENGAMPUAN 1. Pengampuan Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam)………45 2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Perkara No. : 94/Pdt.P/2008/PN.JKT.SEL. Tentang Pengampuan ………47

a. Deskripsi Kasus Pengampuan Terhadap Anak Cacat Mental di Pengadilan Negri Jakarta Selatan ………47


(10)

viii

c. Analisis Putusan Hakim PN Jakarta Selatan Mengenai Kasus Pengampuan Atas Anak Cacat Mental…………...58 BABV : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA……….………..61


(11)

1

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Sejalan dengan laju perkembangan jaman, kehidupan manusia yang dinamis tentunya mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun non fisik. Namun munculnya permasalahan-permasalahan baru dan sifatnya yang beragam turut mengiringi perubahan-perubahan tersebut. Selain itu, faktor interaksi sesama manusia juga turut memberi andil akan adanya masalah lain, artinya, semakin banyak manusia berinteraksi, maka semakin beragam pula masalah yang ia miliki.

Meskipun manusia digolongkan sebagai makhluk sosial yang tentunya membutuhkan manusia lainnya untuk berinteraksi, namun sebagai makhlukindividu tentulah mempunyai permasalahan sendiri-sendiri, adakalanya masalah tersebut bisa diselesaikan secara kekeluargaan atau dengan jalan damai, namun ada juga masalah yang penyelesaiannya membutuhkan campur tangan hukum. Sebagai lembaga hukum di Indonesia, Pengadilan mempunyai peranan penting untuk mencari kepastian dan jalan keluar permasalahan hukum. Salah satu permasalahan keluarga yang biasanya membutuhkan pengadilan untuk mencari jalan keluar dari masalah keluarga adalah soal pewarisan.

Dalam Islam, segala hukum dan ketentuan yang ditetapkan adalah bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Hal ini tampak jelas bagaimana


(12)

Al-Qur’ãn membahas tentang jenis harta peninggalan atau warisan beserta pembagiannya yang telah diatur dengan seadil-adilnya dengan maksud untuk menghindari perselisihan dalam keluarga tersebut. Firman Allah SWT:                               

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan. (QS. An-Nisaa’: 7)

Sedangkan menurut hukum Positif, mengatur pembagian harta warisan kedalam beberapa golongan. Golongan pertama, yaitu suami/istri (hak mewarisi oleh suami atau istri dari si meninggal, baru sejak tahun 1935 dimasukkan kedalam Undang-undang oleh pemerintah Indonesia, yaitu kedudukannya sama dengan seorang anak sah, jadi mereka tergolong dalam golongan I) beserta anak-anak dan turunan-turunan dalam garis lancang ke bawah tanpa membedakan antara laki-laki maupun perempuan,1 termasuk jika sang ahli waris mengalami ganguan kejiwaan dan cacat mental.

Seseorang bisa saja mengalami penyakit, baik penyakit fisik maupun penyakit mental. Penyakit mental disebabkan karena adanya kerusakan pada otak, saraf dan juga gangguan jiwa. Seseorang yang

1


(13)

3

diserang penyakit jiwa (Psycose), kepribadiannya terganggu, dan selanjutnya kurang mampu menyesuaikan diri dengan wajar, dan tidak sanggup memahami problemnya. Seringkali orang yang sakit jiwa, tidak merasa bahwa ia sakit, sebaliknya ia menganggap bahwa dirinya normal saja, bahkan lebih baik, lebih unggul dan lebih penting dari orang lain.2

Menurut Zakiyah Daradjat, sakit jiwa itu dibedakan menjadi 2 macam, yaitu; pertama, disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh, misalnya otak, sentral saraf atau hilangnya kemampuan berbagai kelenjar. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena keracunan akibat minuman keras, obat-obatan perangsang atau narkotik, akibat penyakit kotor dan sebagainya.Kedua, disebabkan oleh gangguan-gangguan jiwa yang telah berlarut-larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian secara wajar atau hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh, akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, ketegangan batin dan sebagainya.3

Seseorang yang mengalami penyakit cacat mental atau sakit jiwa tersebut, kemungkinan tidak dapat mengontrol harta kekayaannya dan melakukan perkawinan, untuk itulah dibutuhkan jalur hukum untuk mengatasi hal tersebut. Jalur hukum bisa ditempuh melalui Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama, kedua pengadilan tersebut sama-sama menangani permasalahan pengampuan.

2Artikel, ZakiahDaradjat, www.refleksiteraphy.com. Diunduhpada 30 Maret 2011 3


(14)

Pengampuan atau juga dikenal dengan curatele adalah keadaan di mana seseorang dianggap tidak cakap atau mampu dalam segala hal untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum. Pengampuan pada dasarnya ditujukan untuk melindungi pihak yang tidak cakap, dengan melakukan pengurusan pribadi dan harta kekayaan pihak tersebut.4

Dasar hukum dari pengampuan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bab XVII pasal 433 yang kemudian diturunkan dalam pasal 434-461. Adapun pasal 433 menyatakan:

"Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan".5

Berdasarkan undang-undang diatas, dapat dikatakan orang yang dapat pengampuan menurut hukum di Indonesia salah satunya adalah orang yang menderita sakit kejiwaan. Setiap warga negara yang ada di Indonesia diatur oleh negara agar tidak ada warga yang merasa dirugikan.

Sedangkan menurut hukum Islam, pengampuan dikenal dengan istilah mahjur.Mahjur berasal dari kata al-hajr,hujranan atau hajara, yang berarti tercegah atau terhalang. Rasyid berpendapat bahwa mahjur (al

-Hajr) ialah melarang atau menahan seseorang dari membelanjakan hartanya, yang berhak melarangnya ialah wali atau hakim (qãdhi).6Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan mahjur

4

HukumKeluargadanWariscuratele (pengampuan) dankepailitan,

http://202.153.129.35/klinik/detail/cl6790 , ditelusuritanggal 28 Maret 2011

5

R. Subekti, KitabUndang-undangHukumPerdata,Cet. 40, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2009), hal. 136

6


(15)

5

ialah cegahan bagi seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan adanya pencegahan.

Mahjur atau halangan dibedakan menjadi dua; pertama, halangan

samawiy, yaituhalangan yang bukan karena upaya dan bukan pula karena pilihan, misalnya keadaan belum dewasa, gila dan gila berselang, lupa tidur, pingsan, dan meninggal. Kedua, halangan kasbiy, yaitu halangan-halangan karena usaha dan upaya manusia, artinya diakibatkan karena perbuatan manusia, misalnya: mabuk, diletakkan di bawah pengampuan (al-hajr), kesalahan dan keadaan dipaksa (al-ikrãh).Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisaa, ayat 5:

                         

Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.

Namun adakalanya karena pailit (tafl

ī

s) ialah bila utang seseorang yang menenggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat menutup utangnya itu. Untuk itu apabila para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim (qãdhi) agar meng-hijr-nya maka ia terkena hijr (tidak boleh men-tasharruf hartanya).7

7


(16)

                                                                                           …. 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. (Q.S. Al-Baqarah: 282)

Melihat pentingnya hal-hal yang berkenaan dengan pengampuan (curatele) menurut hukum positif atau mahjur dalam Islam, penulis merasa tertarik untuk melakuan penelitian tentang perbandingan antara keduanya, kemudian skripsi ini dengan judul :

”Pembagian Harta Waris bagi Penderita Cacat Mental (Studi komparatif antara Hukum Islam dan Hukum Positif) ”.

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah diatas, timbul beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi, diantaranya:


(17)

7

1. Bagaimana pembagian harta waris bagipenderita cacat mental dalam perspektif hukum Islam (mahjur)

2. Bagaimana pembagian harta waris bagi penderita cacat mental dalam Perspektif Hukum Positif (curatele)?

3. Hal apakah yang membandingkan antara kedua sistem hukum tersebut?

C. Pembatasan Masalah

Dengan harapan supaya pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan fokus pada satu permasalahan saja, maka penulis membatasi persoalan yang akan dibahas dalam penelitian ini denganmemfokuskan pada hal-hal tentang pembagian harta waris bagi penderita cacat mental menurut KHI dan hukum positif, tidak termasuk tentang teori pembagian jumlah harta waris.

D. Perumusan Masalah

Menurut peraturan perundangan waris bagi penderita cacat mental harus ada pengampu sedang dalam KHI tidak dijelaskan dengan harus ada pengampu.

Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Karena pengampuan itu penting bagi anak penderita cacat mental dalam pembagian harta warisan


(18)

2. Cara pembagian harta waris bagi penderita cacat mental menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

a. Untuk menjelaskan mengapa pengampuan itu dianggap penting bagi anak penderita cacat mental dalam pembagian harta warisan. b. Untuk menjelaskancara pembagian harta waris bagi penderita

cacat mental menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. 2. Manfaaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:

a. Bagi penulis sendiri, semoga penelitian ini dapat memperkaya

khazanah pengetahuan ilmiah,khususnya dibidang kajian hukum perdata (hukum Positif dan hukum Islam) tentang masalah pengampuan dan perwalian.

b. Bagi instansi-instansi yang terkait, baik lembaga hukum ataupun lembaga akademisi, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu bahan masukan dalam proses perumusan kebijakan dibidang hukum dan sebagai salah satu bahan pustaka atau referensi karya-karya ilmiah yang lain.

c. Bagi masyarakat pada umumnya, diharapkan bisa meningkatkan kesadaran akan pentnignya arti taat hukum dan menunjukan cara menjalankannya. Terutama terkait masalah praktek perwalian


(19)

9

dan pengampuan yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

F. Tinjauan Pustaka

1. Pembagian Wasiat Wajibah kepada ahli waris yg berbeda agama. Yang mengambil pada permasalahan wasiat Wajibah menurut fiqh dan KHI, pembagian wasiat Wajibah kepada ahli waris beda agama, serta dasar putusan hakim No.339/Pdt.6/2000/PA.JB

2. Pengaruh Sistem Penentuan Nilai Waris dalam Pembagian Warisan atas Tanah dan Bangunan di Kecamatan Tebet Selatan. Studi ini mengkaji tentang pengaruh sistem penilaian terhadap objek warisan berupa harta tidak bergerak dalam hal ini tanah atau bangunan terhadap pembagian warisan, khususnya masyarakat muslim yang diharapkan mampu memenuhi rasa keadilan diantara para ahli waris diwilayah kecamatan Tebet Jakarta Selatan.

3. Status Hukum Perkawinan Cacat Mental. Penulis hanya meneliti pada ranah status hukum perkawinan cacat mental ditinjau dari fiqh dan hukum positif, yang dimaksud fiqh adalah pendapat ulama yang bersumber dari Al- qur’an, Al-hadits, Ijmã’, dan Qiyãsh. Sedangkan hukum positifnya peneliti hanya menganalisis peraturan perundang-undangan bidang perkawinan yakni undang-undang No.1 tahun 1974 dan instruksi R.1 No.1 tahun 1991 tentang KHI.


(20)

G. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian berdasarkan studi kepustakaan yang bersifat yuridis-normatif, artinya penelitian hanya dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum belaka.Oleh karena itu, data yang digunakan merupakan data sekunder yang didapat melalui studi dokumen.

Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analisis, karena pada usul penelitian ini peneliti berusaha untuk mempelajari mengenai orangyang sudah dewasayang menderita sakit jiwa,sakit ingatan dan cacat mental menurut undang-undang ditaruh dibawah pengampuan (curatele dalam perspektif Hukum Perdata)dan (mahjur dalam Hukum Islam). Serta berusaha untuk mengembangkan konsep, menghimpun fakta tidak menguji hipotesis.

Sedangkan jenis bahan hukum yang dipergunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang digunakan yaitu berupa Al-Qur’n dan Hadits, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BugerlijkWetboek), UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Untuk Bahan hukum sekunder penulis menggunakan jurnal hukum, dokumen-dokumen hukum, buku-buku umum, artikel hukum, dan referensi lainnya yang berkaitan dengan pengampuan.


(21)

11

H. Sistematika penulisan

Dalam penulisan skripsi ini akan disajikan suatu sistematika penulisan yang bertujuan untuk memberikan suatu gambaran yang jeleas mengenai pembahasan yang akan diuraikan. Penulisan skripsi ini disajikan dalam lima bab yang terangkum sebagaimana berikut:

BAB I Pendahuluan

Bab I adalah pendahuluan yang akan terdiri atas uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalahtujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Ahli Waris dan Cacat Mental

Bab II adalah tinjauan umumyangakan membahas tentang; ahli waris berikut pengertian dan penggolongannya, cacat mental beserta pengetian, jenis-jenisnya, dan hak-hak penderita cacat mental.

BAB III Pengampuan Bagi Penderita Cacat Mental Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif.

Bab III ini akan menjelaskan mengenai pengampuan, dasar hukum pengampuan, tujuan pengampuan, pengampu, dan berakhirnya pengampuan.


(22)

BAB IV Analisis Terhadap Putusan Perkara Pengadilan No.:94/pdt.P/2008/PN.JKT.SEL. Tentang Kasus pengampuan

Bab IV membahas mengenai deskripsi kasus, putusan pengadilan tentang kasus pengampuan, dan analisis terhadap putusan Hakim tersebut.

BAB V PENUTUP

Bab V penutupberisi kesimpulan dan saran-saran yang akan menjadi jawaban yang telah dirumuskan berdasarkan temuan data penelitian.Sedangkan saran adalah rekomendasi-rekomendasi yang dirasa penting berkaitan dengan hasil penelitian.


(23)

13

BAB II

AHLI WARIS DAN CACAT MENTAL

A. Ahli waris

1. Pengertian ahli waris Menurut Hukum Islam

Waris adalah bagian dari syari’at Islam, oleh karenanya Islam mengatur secara sempurna masalah yang berkaitan dengan waris. Al-Qur’an menegaskan secara terperinci ketentuan bagian ahli warisyang disebut denganFur

ū

dhul Muqabarah (bagian yang ditentukan) atau bagian ashabah serta orang-orang yangtidak termasuk ahli waris.1

Didalam hukum waris Islam,sebab-sebab mempusakai dapat terjadi karena 3 (tiga) hal, yaitu:2

a) Perkawinan. Ahli waris berdasarkan perkawinan adalah janda, yaitu orang yang berstatus suami atau istri pewaris pada saat pewaris meninggal dunia.

b) Kekerabatan. Ahli waris berdasarkan kekerabatan meliputi ushūl

(leluhur), fur

ū

(keturunan), dan hawãsy

ī

(saudara)

c) Wala’. Ahli waris wala’ meliputi kekerabatan menurut hukum yang timbul karena membebaskan budak, atau adanya perjanjian dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang lainnya.

1

Hasbiyallah, Belajar Ilmu Waris,cetakan. 1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), h. 6

2

Otje Salman, Hukum Waris Islam, cet.1, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2002), h. 49


(24)

Untuk memudahkan pemahaman atas ketiga macam ahli waris tersebut maka para ahlifarã’idh mencobamelakukan pengelompokan dan penggolongan atas ahli waris tersebut. Istilah pengelompokan ahli waris digunakan untuk membedakan ahli waris berdasarkan keutamaan mewaris, sementara istilah penggolongan ahli waris digunakan untuk membedakan ahli waris berdasarkan besarnya bagian waris dan cara penerimaannya.

Dalam Al-Qur’ãn pembicaraan surat An-Nisã’ ayat 7 mengenai pembagian kewarisan yaitu : ayat tentang hak kewarisan laki-laki dan wanita dari orang tuanya dan kerabatnya, yang berbunyi :

                              

Artinya: Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.

2. Pengertian Ahli Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Menurut undang-undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :

a) sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang, b) karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament)


(25)

15

Cara yang pertama dinamakan mewarisi “ menurut undang-undang

“atau”ab intestato.” Cara yang kedua dinamakan secara “testamentair”.3 Pasal 830-832 KUHPerdata mendefinisikan:

Pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Apabila beberapa orang antara mana yang satu adalah untuk menjadi pewaris yang lain karena satu malapetaka yang sama, atau pada suatu hari, telah menemui ajalnya, dengan tak dapat diketahui siapakah kiranya yang mati terlebih dahulu maka dianggaplah mereka telah meninggal dunia pada detik saat yang sama, dan perpindahan warisan dari yang satu kepada yang lain taklah berlangsung karenanya. Menurut Undang-undang yang berhak untuk menjadi ahli waris adalah, para keluarga sedarah baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, semua menurut peraturan tertera di bawah ini. Dalam hal, bilamana baik keluarga sedarah, maupun yang hidup terlama diantara suami istri, tidak ada, maka segala harta peninggalan si yang meninggal, menjadi milik negara, yang mana berwajib akan melunasi segala utangnya, sekadar harga harta peninggalan mencukupi untuk itu.4

Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Oleh karena itu hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau pada umumnya hak dan kewajiban kepribadian, misalnya hak dan kewajiban seorang suami atau sebagai seorang ayah tidak dapat diwariskan, begitu pula hak dan kewajiban seseorang sebagai anggota suatu perkumpulan.

Menurut Pasal 834 B.W. seorang ahli waris berhak untuk menuntut segala yang termasuk harta peninggalan si meninggal agar diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli waris. Hak penuntutan ini

3

Ibid,.hal. 2.

4


(26)

menyerupai hak penuntutan seorang pemilik suatu benda, dan menurut maksudnya penuntutan ituharus ditujukan pada orang yang menguasai suatu benda warisan dengan maksud untuk memilikinya. Penuntutan tersebut tidak dapat ditujukan pada seorang executeur-testamentair atau seorang

curator atas suatu harta peninggalan yang tidak terurus.5

Pada dasarnya setiap orang, meskipun seorang bayi yang baru lahir adalah cakap untuk mewarisi. Hanya oleh Undang-undang telah ditetapkan ada orang-orang yang ada oleh karena perbuatannya, tidak patut (onwaardig) menerima warisan (Pasal 838).

Dalam hal mewarisi menurut undang-undang (ab intestato) kita dapat membedakan antara orang-orang yang mewarisi “uit eigen hoofde” dan mereka yang mewarisi “bij plaatsvervulling”. Seseorang dikatakan mewarisi jika ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si meninggal. Ia dikatakan mewarisi jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas suatu bagian warisan, tetapi orang itu meninggalkan warisan.

3. Penggolongan Ahli Waris

Dengan memperhatikan keutamaan mewaris para kerabat di dalam hukum waris Islam, maka dapat dibagi kedalam tujuh kelompok, yaitu:

a) Leluhur perempuan adalah leluhur perempuan dari pihak ibu dalam satu garis lurus keatas (tidak terhalang oleh pihak laki), seberapa pun tingginya, dan ibu kandung dari leluhur

5


(27)

17

laki. Itu adalah ibu, nenek sahihah dari pihak ibu, dan nenek sahihah dari pihak bapak;

b) Leluhur laki-laki adalah leluhur laki-laki dari pihak bapa dalam satu garis lurus ke atas (tidak terhalang oleh pihak perempuan), seberapa pun tingginya. Itu adalah bapak dan kakek sahihah dari pihak bapak.

c) Keturunan perempuan adalah anak perempuan pewaris dan anak perempuan keturunan laki-laki. Itu adalah anak perempuan dan cucu anak pancar laki-laki;

d) Keturunan laki adalah keturunan laki dari anak laki-laki dalam satu garis kebawah (tidak terhalang oleh pihak perempuan), seberapa pun rendahnya. Itu adalah anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki;

e) Saudara seibu adalah saudara perempuan dan saudara laki-laki yang hanya satu ibu dengan pewaris. Itu adalah saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu;

f) Saudara sekandung, sebapak adalah keturunan laki-laki dari leluhur laki-laki dalam satu garis lurus kebawah (tidak terhalang oleh pihak perempuan), seberapa pun rendahnyadan anak perempuan dari bapak. Itu adalah saudara laki-laki sekandung/sebapak dan saudara perempuan sekandung, sebapak. g) Kerabat lainnya yaitu kerabat lain yang tidak termasuk kedalam


(28)

B. Cacat Mental

Manusia diciptakan Allah SWT sesuai dengan fitrahnya. Semua ciptanNya adalah sempurna, karena tidak ada satu mahlukpun mampu menciptakan mahluk lainnya. Namun, meskipun terdapat beberapa kekurangan baik dalam hal fisik maupun non fisik dalam penciptanNya,akan tetapi hal tersebut tidak mengurangi hak dan kewajibannya sebagai mahluk terhadap mahluk lainnya dan penciptanya. 1. Pengertian cacat mental

Banyak pengertian dan definisi yang diberikan oleh para ahli tentang kesehatan mental dan cacat mental. Menurut kamus ilmu jiwa dan pendidikan, mental memiliki dua pengertian. Pertama adalah non fisik, kecerdasan. Kedua adalah kepribadian yang merupakan kebulatan yang dinamik seseorang yang tercermin dalam cita-cita, sikap dan perbuatannya.6

Cacat mental atau Tuna Grahita adalah kata lain dari retardasi mental yang secara istilah dapat diartikan sebagai; tuna artinya merugi dan grahita artinya pikiran. Menurut American on Mental Deficiency/AMD mendefinisikan cacat mental sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum dibawah rata-rata (sub average), yaitu IQ dibawah 84 berdasarkan tes yang dilakukan sebelum usia 16 tahun yang menunjukkan hambatan perilaku adaptif.7

6

Mursal H.M Taher, Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan, cet.1, (Bandung: PT Al-Ma’arif, CV Majasari Indah, 1977), hal. 86

7


(29)

19

Cacat mental disebabkan oleh adanya penyakit jiwa (psychose). Sakit jiwa didefinisikan sebagai akibat dari tidak mampunya seseorang menghadapi kesukaran-kesukaran yang wajar, atau tidak sanggup ia menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.8

Sedangkan menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 tentang penyandang cacat pasal 1 menyebutkan :9

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat menggangu atau merupakan rintangan dan hambatan baginyauntuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari :

a) Penyandang cacat fisik; b) Penyandang cacat mental

c) Penyandang cacat fisik dan mental. 2. Jenis-jenis Cacat Mental

Dari berbagai pengertian diatas, dapat dikatakan bahwa sakit jiwa atau cacat mental adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun mental.Penyebab keabnormalan itu terbagi atas dua jenis yaitu :10

a. Gangguan jiwa (neurose)

Ada perbedaan antara neurose dan psychose. Orang terkena

neurose masih dapat mengetahui dan merasakan kesukaran, sedangkan psychose tidak. Orang neurose kepribadiannya jauh dari realitas dan masih hidupdalam alam kenyataan pada umumnya.

8

J.P. Cahplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada, 2004), hal.298

9

http://www.dinsos.pemdadiy.go.id, Andesgraf, Jakarta, 20 Juni 2011

10

Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental,cet ke-1 (Jakarta: PT. TokoGunung Agung, 1995), hal.28


(30)

Sedangkan psychose kepribadiannya dari segi (tanggapan, perasaanatau emosi, dan dorongan-dorongannya)sangat terganggu, tidak ada integritas dan ia hidup dari alam kenyataan.

b. Sakit jiwa (psychose)

Sakit jwa itu ada dua macam, yaitu :

1) Yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada anggota tubuh, misalnyaotak, sentral saraf, atau hilangnya kemampuan beberapa kelenjar, saraf-saraf atau anggota fisik lainnya untuk menjalankan tugasnya.hal ini mungkin diakibatkan oleh karena keracunan akibat minuman keras, obat-obat perangsang, atau narkotik, akibat penyakit kotor dan sebagainya.

2)Disebabkanoleh ganguan jiwa yang telah berlarut-larut sehingga mencapai puncaknya tanpa suatu penyelesaian secara wajar. Atau dengan kata lain disebabkan hilangnya keseimbangan mental secara menyeluruh, akibat suasana lingkungan yang sangat menekan, ketegangan batin dan sebagainya.

Penyandang cacat mental (sakit jiwa) terdiri dari :11 a. Cacat mental eks psikotik

1) Eks penderita penyakit gila

2) Kadang masih mengalami kelainan tingkah laku

11


(31)

21

3) Sering mengganggu orang lain b. Cacat mental retardasi

1) Idiot:kemampuan mental dan tingkah laku setingkat dengan anaknormal usia 2 tahun, wajahnya terlihat seperti wajah dungu

2) Embisil:kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 3-7 tahun.

3) Debil:kemampuan mental dan tingkah lakunya setingkat dengan anak normal usia 8-12 tahun.

Jenis penyakit gangguan jiwa lainnya adalah : a) Schizophrenia

Penyakit jiwa skizofrenia merupakan penyakit jiwa yang benar dan gawatyang dapat dialami manusia sejak muda dan berlanjut menjadi kronisdan lebih gawat ketika muncul pada lanjut usia (lansia) karena menyangkut segi fisik, psikologis dan sosial-budaya.Gangguan skizofrenia berawal dengan dengan keluhan halusinasi yang khas seperti mendengar pikirannya sendiri di ucapkan dengan nada keras, atau mendengar dua orang atau lebih memperbincangkan diri sipenderita sehingga ia merasa menjadi orang ketiga.12

12

http://www.e-psikologi.com/usia/140 Drs. H. Zainuddin Sri Kuntjoro, M.Psi.


(32)

b) Paranoia

Paranoia adalah “gila menuduh orang”. Ciri khas penyakit ini

adalah munculnya delusi yaitu satu pikiran salah yang menguasai orang yang diserangnya. Delusi ini tidak bisa hilang. Penderita paranoia biasanya orang yang cerdas, kuat ingatannya, emosinya seimbang, hanya saja ia mempunyai salah persepsi atas dirinya sendiri karena segala perhatian dan perkatannya dalam hidup dikendalikan oleh pikiran yang salah tersebut.13

3. Hak-hak Orang Penderita Cacat Mental

Pasal 5 Undang-undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyebutkan bahwa:

“setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama

dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan”.

Hal tersebut diperjelas melalui Pasal 6 yang berisi:

1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan;

2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya;

3. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya;

4. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya;

5. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteran sosial;

6. Dan hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

13


(33)

23

Pasal 7 yang berisi:

1. Setiap penyandang cacat mempunyai kewajiban yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara.

2. Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaannya disesuaikan dengan jenis dan derajat

kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.14

14


(34)

24 BAB III

PEMBAGIAN HARTA WARIS BAGI PENDERITA CACAT MENTAL MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

A. Konsep pengampuan

Di Indonesia, telah banyak terjadi kasus mengenai pengampuan. Di latar belakangi oleh sifat manusia yang selalu berusaha menjalin hubngan dengan manusia lainnya maka proses pengampu terwujud, karena bila dilihat dibalik tujuan pokok mengampu pastilah terjadi antar manusia didalamnya. Tentunya manusia sebagai subjek hukum selain badan hukum, karena proses pengampuan adalah peristiwa hukum. Peristiwa hukum yang terjadi atas dasar hubungan-hubungan hukum yang terjadi antar manusia. Hubungan-hubungan hukum adalah Hubungan-hubungan antara seorang manusia dengan manusia lainnya atau apa apa yang dipersamakan dengan manusia yaitu badan hukum tadi, atau antara seorang manusia dan suatu harta benda yang ada aturan-aturannya dalam hukum dengan rangkaian kewajiban-kewajiban hukum dan hak perseorangan.

Ada subjek hukum sudah pasti ada objek hukum. Yang menjadi objek dalam hubungan hukum adalah hak dan kewajiban seseorang/suatu pihak terhadap orang/pihak lainnya.hak dan kewajiban ini yang nantinya harus dipenuhi. Subjek dalam hubungan hukum terkait dengan pengampuan adalah manusia. Manusia sudah barang tentuyang mempunyai hak dan kewajiban.


(35)

25

Setiap terjadinya hubungan hukum pastilah mempunyai causa. Causa adalah alasan-alasan yang menyebabkan adanya hubungan hukum, yaitu rangkaian kepentingan yang harus dijaga dan diperhatkan sesuai yang termaktub dalam isi hubungan hukum itu.1Kembali kepersoalan awal dimana pengampuan adalah hubungan hukum, maka sebagai awal kita perlu melihat pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) sebagai acuan dalam penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan hukum perdata.

Pada dasarnya seorang anak yang menderita cacat mental tidak serta merta kehilangan hak-haknya dalam mewarisi harta peninggalan. Hanya saja ia membutuhkan bantuan orang lain yang masih ada hubungan darah dengannya untuk megelola hartanya. Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, bahwa orang dewasa yang menderita cacat mental, dungu, mata gelap atau bahkan pemboros maka ia mendapat pengampuan.

1. Pengampuan

a. Pengertian pengampuan

Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa pengampuan dapat ditinjau dari ilmu pengetahuan yang dikhususkan dalam bidang Hukum Perdata. Dalam hukum perdata dikenal adanya pembagian-pembagian hukum menurut ilmu pengetahuan dan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

1

Ridwan Indra, Asas-asas Hukum Perdata di Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: CV Trisula, 1997), hlm.39


(36)

Hukum Perdata materiil menurut ilmu pengetahuan dibagi menjadi 4 bagian yang salah satu diantaranyaterdapat pengaturan mengenai pengampuan. Ke empat bagian tersebut adalah :2

1) Hukum Perorangan (Personenrecht) 2) Hukum Keluarga (Familirecht)

3) Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht) 4) Hukum Waris (Erfrecht)

Pengaturan mengenai pengampuan terdapat dalam bagian Hukum Keluarga. Timbulnya pengampuan bersifat kekeluargaan dikarenakan antara orang yang diampu dan yang mengampubiasanya memiliki hubungan darah atau hubungan keluarga. Hukum keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan.3

Pengampuan atau dikenal juga dengan istilah curatele adalah keadaan di mana seseorang karena sifat-sifat pribadinya lantas dianggap tidak cakap dalam berbagai hal untuk bertindak di dalam lalu lintas hukum, karena dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-haknya, hukum memperkenankan seseorang agar dapat bertindak sebagai wakil dari orang yang berada dibawah pengampuan4.

2Kin’s Tatang S

, Tanya jawab Hukum Perdata di Indonesia, Cet. 1,(Jakarta: CV Trisula,1997), hlm. 39.

3

Sri Soesilowati Mahdi, dkk., Hukum Perdata (suatu pengantar), Cet. 1, (Jakarta: Gitamajaya Jakarta, 2005), hlm. 41.

4

http://advokatku.blogspot.com/2010/03/pengampuan-syarat-dan-prosedurnya.html


(37)

27

Dengan kata lain, pengampuan adalah keadaan orang dewasa yang disebabkan sifat-sifat pribadinya maka ia dianggap tidak cakap mengurus kepentingannya sendiri atau kepentingan orang lain yang menjadi tanggungannya, sehingga pengurusan itu harus diserahkan kepada seseorang yang akan bertindak sebagai wakil menurut undang-undang dari orang yang tidak cakap hukum tersebut. Orang dewasa yang dianggap tidak cakap disebut kurandus, sedangkan orang yang bertindak sebagai wakil dari kurandus disebut pengampu (kurator).

b. Pengampuan Menurut Hukum Islam

Mahjur berasal dari kata al-hajr-hujranan-hajarayang secara bahasa adalah mempunyai arti al-man’u yaitu terlarang, terdinding, tercegah atau terhalang. Sedangkan menurut syara’ artinya:

1) Menurut Muhammad as-Syarbini al-Khatib bahwa mahjur ialah al-man’u minat tasharrūfãtilmãliyyati (cegahan untuk pengelolaan harta).5

2) Menurut Idris Ahmad dalam bukunya fiqh al-Syafi’iyah

mahjur adalah orang yang terlarang mengendalikan harta bendanya disebabkan oleh beberapa hal yang terdapat pada dirinya, yang mengeluarkan pengawasan.

5


(38)

3) Menurut Sulaiman Rasyid bahwa mahjur (al-Hajr) ialah melarang atau menahan seseorangdari membelanjakan hartanya, yang berhak melarangnya ialah wali atau hakim (qãdhi).

Dari ta’rif di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan

mahjur ialah cegahan bagi seseorang untuk mengelola hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengharuskan terjadinya pencegahan.

c. Pengampuan Menurut Hukum Positif (Burgelijk Wetboek)

Pengampuan pada dasarnya ditujukan untuk melindungi pihak mereka yang tidak cakap, dengan melakukan pengurusan pribadi dan harta kekayaan pihak tersebut.

Dasar hukum dari pengampuan adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata bab XVII Pasal 433 yang kemudian diturunkan dalam Pasal 431-461. Adapun Pasal 433 menyatakan:

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu,gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan dibawah

pengampuan karena keborosannya”.6

Berdasarkan ketentuan Pasal 433 di atas jelas dan tegas, mengenai pengertian dari pengampuan.bahwa pengampuan adalah peletakan orang dewasa yang selalu dalam kondisi sakit jiwa, mata gelap pun jika kadang-kadang ia cakap mempergunakan pikirannya

6


(39)

29

dalam keadaan sama seperti anak yang belum dewasa dan diwakili oleh pengampu bila akan melakukan perbuatan hukum, permanen atau tidak, merupakan hal yang mutlak seseorang dapat ditempatkan dibawah pengampuan. Namun demikian, orang yang suka berfoya-foya pun dapat dimintakan pengampuan karena keborosannya. Adapun pihak yang berwenang antara lain adalah balai harta peninggalan.

Dalam pasal-pasal selanjutnya juga menjelaskan siapa yang berhak menjadi pengampu, bagaimana cara jadi mencari pengampu, syarat-syarat menjadi pengampu. Dalm pasal 434-436 KUHPerdata menerangkan tentang siapa dan bagaimana mendapat pengakuan yang sah menurut hukum dalam hal menjadi seorang pengampu. Syarat-syarat apa yang harus di penuhi bila ingin mengajukan permohonan untuk meletakan seseorang di bawah pengampuan dan menjadi pengampu bagi orang tersebut. Hal ini diatur dalam pasal 438 KUHPerdata yang berbunyi:

“Apabila Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa peristiwa -peristiwa itu cukup pentingguna mendasarkan suatu pengampuan, maka haruslah didenagar para keluarga sedarah dan semendanya.”7

d. Orang yang Berhak Memintakan Pengampuan

Menurut Subekti orang yang sudah dewasa, yang menderita sakit ingatan menurut undang-undang harus ditaruh di bawah pengampuan atau curatele. Dengan alasan bahwa ia tidak mampu mengelola hartanya dan dikhawatirkan akan menghamburkan kekayaannya. Kemudian

7


(40)

Kansil dalam bukunya yang berisi asas-asas hukum perdata yang dipelajari dan berlaku di Indonesia, mengemukakan penjelasannya tentang pengampuan dalam Pasal 433 KUHPerdata, pengampuan adalah orang dewasa akan tetapi:

1) Sakit ingatannya; 2) Seorang pemboros;

3) Lemah daya atau lemah jasmaninya;

4) Tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk diluar batas atau mengganggu kemanan, memerlukan pengampuan8.

Pasal 434 KUHPerdata menjelaskan secara tegas bahwasanya Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Dan barang siapa lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik maka dapat dimintakan pengampuan bagi dirinya sendiri.

Kesimpulannya, barang siapa yang lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, maka

8

C.S.T Kansil, Modul Hukum Perdata I (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata), Cet.1, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1990), hlm. 56.


(41)

31

ia dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri. Namun melalui proses peradilan yang berlaku di negara tersebut.

e. Kedudukan Orang yang Dibawah Pengampuan

Kedudukan orang yang diletakkan dibawah pengampuan adalah sama seperti seorang yang belum dewasa, seperti yang dijelaskan dalam KUHPerdata Bab ke 17 tentang Pengampuan ayat 452 yang berbunyi:

452. setiap orang yang ditaruh dibawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama dengan seorang yang belum dewasa.

Jika seorang yang karena keborosannya ditaruh dibawah pengampuan, hendak mengikat diri dalam perkawinan, maka ketentuan-ketentuan pasal 38 dan 151 berlaku terhadapnya.

Ketentuan-ketentuan undang-undang mengenai perwalian atas anak-anak belum dewasa tercantum dalam pasal 331 sampai 344, dalam pasal 362, 367, 369 sampai 388,391, dan berikutnya dalam bagian ke sebelas,ke dua belas, dan ketiga belas bab ke lima belas, berlaku juga terhadap pengampuan.9

Karena ia tak dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Akan tetapi, jika seorang diletakkan di bawah pengampuan atas alasan mengobralkan kekayaannya, menurut undang-undang masih dapat membuat pernyataan dan dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan ini ia harus mendapatkan ijin dari kurator atau Weeskamer

10

. Lainhalnya jika seseorang yang ditaruh dibawah pengampuan atas alasan sakit ingatan, dan tidak dapat membuat suatu pernyataan dan

9

Ibid., hal, 4 10


(42)

tidak pula dapat melakukan perkawinan, maka tidaklah sah perbuatan hukum tersebut, karena untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum diperlukan akal yang sehat dan sadar.

Tidak jauh berbeda dengan kedudukan kurandus menurut KUHPerdata dengan Hukum Islam, karena dalam Hukum Islam pun menetapkan hal yang sama tentang kedudukan anak yang ditaruh di bawah pengampuan. Yaitu berlandaskan pada Kompilasi Hukum Islam Bab XIV tentang Pemeliharaan Anak, Pasal 98 ayat 1-2 yang berbunyi:

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan

perkawinan”.

Kemudian dipertegas dengan ayat

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hokum di dalam dan di luar Pengadilan.11

Artinya, segala bentuk perbuatan hukum yang dilakukan oleh kurandus adalah tidak sah menurut hukum, karena ia dianggap tidak cakap untuk melakukan hal-hal tersebut. Maka dari itu, curator sebagai walinya berhak melakukan tindakan-tindakan hokum atas nama kurandus tersebut.

11


(43)

33

2. DasarHukumPengampuan

a. Dasar Hukum Pengampuan menurut Hukum Islam

Dasar hukum pengampuan dalam hukum Islam yang pertama adalah jelas dengan mengacu pada Al-Qur’an Surah An-Nisaa’ayat 5:

                         

Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Q.S.An-Nisaa’ 5) Mereka yang di hijr ini ada beberapa macam, yaitu adakalanya karena usia orang yang bersangkutan masih sangat muda sebab perkataan seorang anak kecil tidak dianggap (dalam mua’mmalah). Adakalanya hijr

disebabkan karena penyakit gila.Adakalanya karena buruk dalam

ber-tasharrūf, mengingat akalnya kurang sempurna atau agamanya kurang.

Adakalanya karena pailit (taflīs),yakni bila hutang seseorang mampu menenggelamkan dirinya, dan semua hartanya tidak dapat menutup hutangnya. Untuk itu apabila para pemilik piutang menuntut kepada pihak hakim (qadhi) agar meng-hijr-nya maka ia terkena hijr

(tidak boleh men-tasharrūf hartanya). Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Baqarahayat 282 :


(44)

                                                                                        …… 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu)…. . (QS. Al Baqarah: 282)

Dalam KHI ( Kompilasi Hukum Islam) buku II hokum kewarisan Bab III tentang Besarnya Bagian pasal 184 :

Bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan hakim atas usul anggota keluarga.12

12


(45)

35

b. Dasar Hukum Pengampuan menurut Hukum Positif

Adapun dasar hokum pengampuan mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BurgelijkWetboek) yang terbagi ke dalam pasal-pasal yang mengatur tentang pengampuan, yaitu pasal-pasal 433 sampai dengan pasal 462.Dalam pasal-pasal tersebut juga dijelaskan siapa saja yang berhak menjadi pengampu, bagaimana cara menjadi pengampu, dan syarat-syarat menjadi pengampu.

3. Tujuan Pengampuan

Terdapat kesamaan dalam hal tujuan dilakukannya curatele atau

mahjur antara Hukum Islam maupun Hukum Positif, yaitu untuk menjaga hak-hak orang lain seperti pencegahan terhadap:

a. Orang yang hutangnya lebih banyak daripada hartanya, maka orang tersebut dilarang mengelola harta guna menjaga hak-hak yang berpiutang.

b. Orang yang sakit parah, dilarang berbelanja lebih dari sepertiga hartanya guna menjaga hak-hak ahli warisnya.

c. Murtad (orang yang keluar dari Islam) dilarang mengedarkan hartanya guna menjaga hak muslimin.

d. Mahjur dilakukan untuk menjaga hak-hak orang yang dimahjur itu sendiri, seperti:

1) Anak kecil, dilarang membelanjakan hartanya hingga beranjak dewasa dan sudah pandai mengelola dan mengendalikan harta.


(46)

2) Orang gila, dilarang mengelola hartanya sebelum dia sembuh, hal ini dilakukan guna menjaga hak-hak nya sendiri.

3) Pemboros, dilarang membelanjakan hartanya sebelum dia sadar, hal ini juga guna menjaga hak terhadap hartanya ketika ia membutuhkan pembelanjaannya.

4. Pengampu

a. Pengertian Pengampu

Orang yang diletakkan dibawah pengampuan dianggap tidak cakap untuk bertindak sendiri dalam ranah hukum karena sifat pribadinya. Atas dasar tersebut, orang tersebut melalui keputusan hakim lantas dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak. Karenanya, orang tersebut diberi wakil menurut undang-undang, atau disebut dengan pengampu. Sebagai pengawas yangbertugas dalam mengelola, pengampu bertindak sebagai seorang pengampu-pengawas (toeziende curator)13.

Penunjukan pengampu dibuat dalam bentuk penetapan yang dikeluarkan oleh pengadilan atas dasar keyakinan hakim setelah melalui prosedur pemeriksaan yang diberitahukan kepada si pengampu beserta permintaan surat atau laporan yang memuat tentang pendapat-pendapat keluarga sedarah tentang persetujuan dirinya untuk diangkat menjadi

13

H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Cet.1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada: 1983), hal.177.


(47)

37

pengampu. Jika hakim telah memperoleh keyakinan akan hal tersebut, maka baru diangkatlah seorang pengampu atau curator, yang diletakkan dalam pengampuan serta urusan-urusan mengenai diri pribadi maupun harta kekayaan orang tersebut14.

Biasanya yang berhak menjadi pengampu adalah keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk oleh penetapan pengadilan guna melaksanakan pemeliharaan dan bimbingan terhadap seorang Kurandus 15

.

Dapat disimpulkan bahwa pengampu adalah orang yang padanya diletakkan tanggungjawab kelanjutan hak-hak dan kewajiban si terampu dalam hukum selanjutnya.

b. Syarat-syarat Menjadi Pengampu

Untuk menjadi seorang pengampu bukanlah perkara mudah, karena si pengampu menanggung nasib terampu setelah dirinya tidak mampu bertindak sesuai hukum yang dibebankan padanya. Maka untuk menjadi seorang pengampu haruslah mampu bertanggungjawab untuk dirinya sendiri maupun atas semua hal yang berkaitan dengan orang yang diampunya.

Maka, untuk menjadi pengampu harus memenuhi kriteria seperti yang ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari sifatnya, tidak adanya paksaan untuk menjadi pengampudan menunjuk pada satu jenis

14

Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata (Asas-asas Hukum Perdata Orang dan Keluarga) cet.1 (Jakarta: Gitamajaya Jakarta: 2004), hal.88.

15

C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata I (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata)... hal. 139.


(48)

anggota keluarga saja, artinya tidak hanya orang tua yang boleh mengampu, melainkan saudara-saudara (adik atau kakak) dari terampu diperbolehkan menjadi pengampu.

Menarik kesimpulan dari pasal 343 KUHPerdata, bahwa yang boleh menjadi pengampu bagi orang yang terus menerus hidup dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap adalah keluarga yang memiliki hubungan darah (nasab) dengan si kurandus dari garis lurus ke atas atau lurus ke bawah.

Pengangkatan kurator harus diberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan (BHP) yang bertindak sebagai pengawas. Balai Peninggalan Harta bertindak sebagai Hakim Pengawas, yaitu tugasnya adalah mengawasi jalannya proses mengampu dan pengampu dalam melaksakan tugasnya.

c. Orang yang Berhak Menjadi Pengampu

Sesuai dengan ketentuan Pasal 434 KUHPerdata, tidak semua orang dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Hukum mensyaratkan hanya orang yang memiliki hubungan darah saja yang dapat mengajukan dan ditetapkan sebagai pemegang hak pengampuan. Bahkan terhadap saudara semenda (hubungan persaudaraan karena tali perkawinan) pun hukum tetap mengutamakan orang yang memiliki hubungan darah sebagai pemegang hak pengampuan.


(49)

39

Dalam menetapkan seseorang digaris pengampuan, Pengadilan Negeri harus tunduk pada ketentuan yang diterangkan secara rinci dalam KUHPerdata mulai pasal 438 sampai pasal 442.

d. Hak-hak Pengampu

Hak atau wewenang pengampu dalam bertugas sebagai kurator didapat setelah hakim membacakan putusannya dalam sidang terbuka, setelah mendengar saksi-saksi yang telah dipanggil secara sah untuk memberikan keterangan yang berkaitan dengan pengampuan 16. Setelah mendengar putusan hakim tersebut, si pengampu mendapat wewenang hanya dari perintah pengadilan. Oleh karena itu, kurator harus dapat bertanggungjawab atas kesalahan atau kelalaian dirinya dalam melaksanakan kewajiban pengurusan atau penyelesaian urusan kurandus. Selain itu, hak-hak sebagai pengampu telah diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan dapat ditarik kesimpulan mengenai hak kurator terhadap kurandus antara lain:

1) Pasal 453 KUHPerdata: Pengampu berhak memangku kekuasaan sebagai orang tua dari anak-anak si terampu yang belum dewasa, jika suami atau istri kurandus dipecat dari kekuasaannya sebagai orang tua. Pengampu berhak menjadi wali atas anak-anak sampai pengampuannya dihentikan.

2) pasal 452, 446 KUHPerdata: Setiap kurandus pasti berkedudukan sama seperti seorang yang belum dewasa, jadi pengampu berhak mendampingi (dalam hal boros dan lemah daya), mewakili (dalam hal sakit otak dan gangguan kejiwaan) dalam melakukan tindakan-tindakan hukum. Tindakan hukum yang dilakukan oleh kurandus tanpa dibantu pengampunya adalah batal.

16

Wahyono Darmabrata, Hukum Perdata (Asas-asas Hukum Perdata Orang dan


(50)

3) Pasal 14 UU Perkawinan: Pengampu berhak mencegah berlakunya perkawinan atas kurandusnya guna menghindarkan kesengsaraan yang mungkin timbul bagi calon mempelai lain. 4) Pasal 38, 151, 452 KUHPerdata: Pengampu berhak melakukan

pencegahan perkawinan atas kurandus yang boros jika ia hendak mengikatkan diri dalam perkawinan.

5) Pasal 454 KUHPerdata: Pengampu berhak mengurus semua pendapatan kurandus yang digunakan untuk kesembuhannya. Wewenang lain yang didapatnya antara lain; menjual harta milik kurandus, menjual harta warisan milik kurandus, dan sebagainya. Pada intinya kurator berhak melakukan suatu perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan untuk dan atas nama kurandus.

e. Pencabutan Hak Menjadi Pengampu

Pengadilan sebagai lembaga yang berwenang menetapkan pengampuan sesuai dengan undang-undang berupa penetapan atas pengampu tersebut. Pengampu yang berasal dari anggota keluarga mendapat hak untuk mengatur serta mengurus harta si terampu. Harta benda ini antara lain yang dapat digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari si terampu. Dan pengampu juga memiliki hak untuk ikut menikmati harta benda si terampu.

Namun wewenang-wewenang tersebut bisa juga dicabut dan pengampu dibebaskan dari tugas mengampunya. Pengampu yang melakukan apa-apa yang termasuk dalam kriteria pasal 1365 KUHPerdata, yaitu perbuatan melawan hukum dapat mengakibatkan dirinya kehilangan hak sebagai kurator.


(51)

41

Pada setiap pengampu dapat dikenakan pencabutan hak atasnya bila ia menyalahgunakan hak-haknya. Menyebabkan kerugian terus-menerus dan terlihat nyata oleh BHP maka dapat diusulkan untuk pencabutan hak menjadi pengampu. Melakukan pemindahan-pemindahan hak terhadap benda milik pengampu untuk tujuan memperkaya diri sendiri juga merupakan jenis pelanggaran nyata dan dapat menyebabkan kurator kehilangan haknya.

Pencabutan perwalian ini berlandaskan hukum pada KUHPerdata pasal 380 tentang pengecualian, pembebasan, dan pemecatan dari perwalian diterangkan bahwa hak mengurus orang yang diwakili ini dapat dicabut karena nyata-nyata pengampu karena17:

1) Jika terbukti, mereka berkelakuan buruk;

2) Mereka yang dlaam menunaikan tugasnya mengampu menyalahgunakan, memperlihatkan ketidakcakapan bahkan mengabaikan kewajibannya;

3) Mereka dalam keadaan pailit;

4) Mengadakan perlawanan kepada si terampu baik terhadap dirinya sendiri, dan harta bendanya di pengadilan;

5) Mereka yang dijatuhi hukuman telah berkekuatan hukum tetap karena kejahatan atas orang yang diampunya;

6) Pengampu yang dihukum penjara selama dua tahun atau lebih.

Menurut pasal 381 KUHPerdata, yang melakukan pemecatan terhadap si pengampu adalah Pengadilan Negeri setempat dimana

17


(52)

permohonan pengampuan diajukan atau tempat tinggal terakhir para pihak yang bersangkutan. Pemeriksaan perkara ini berlangsung dalam sidang tertutup dan harus dibacakan penetapannya. Jika terbukti sah maka pengadilan berhak secara langsung menghentikan dan memecat pengampu dalam menunaikan pengampuan tersebut (pasal 382 KUHPerdata).

5. Berakhirnya Pengampuan

Pengampuan mulai berlaku terhitung sejak saat putusan atau penetapan pengadilan diucapkan. Artinya, pengampuan sudah berlaku walaupun putusan atau penetapan itu dimintakan banding. Pengampuan berjalan terus tanpa terputus-putus seumur hidup kurandus, kecuali dihentikan berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Berakhirnya suatu pengampuan dibedakan antara berakhirnya pengampuan secara absolut dan secara relatif18.

a. Secara absolut, yaitu berakhirnya yang disebabkan: 1) Meninggalnya kurandus;

2) Adanya putusan pengadilan yang menyatakan bahwa sebab-sebab dan alasan-alasan pengampuan telah hapus; b. Secara relatif, yaitu berakhirnya yang disebabkan:

1) Curator meninggal dunia;

2) Curator dipecat atau dibebastugaskan;

18


(53)

43

3) Suami diangkat sebagai kurator yang dahulunya berstatus sebagai kurandus;

Sesuai dengan KUHPerdata pasal 460 menerangkan bahwa:

”pengampuan berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya telah hilang; sementara itu, pembebasan dari pengampuan tak akan diberikan melainkan dengan memperhatikan acara yang ditentukan oleh undang-undang guna memperoleh pengampuan, dan karena itu seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan tidak boleh menikmati kembali hak-haknya sebelum putusan tentang pembebasannya memperoleh kekuatan mutlak19.

Dan pasal 461 menyatakan: “Pembebasan dari pengampuan harus diumumkan dengan cara sebagaimana teratur dalam pasal 444 (menempatkannya dalam Berita Negara)”.

Dalam hukum Islam, status pengampunan (al-hajr) berakhir apabila :

a. Anak kecil sudah baligh & berakal

b. Orang bodoh/dungu sudah menjadi cerdas/sadar c. Pemboros sudah mulai hemat

d. Orang gila sudah menjadi waras

e. Orang yang sakit kritis sudah sembuh kembali

f. Khusus bagi orang yang pailit, dia baru bebas dari status hokum pengampunan setelah dia lunasi hutang-hutangnya20.

19

Ibid,.hal. 4. 20


(54)

Hendaknya diingat bahwa apabila al-Hajr (pengampunan) ditentukan berdasarkan penetapan qadhi (hakim) maka pencabutannya juga harus demikian supaya mempunyai kekuatan hukum. Apabila pengampunan itu berada dibawah kekuasaan wali maka walilah yang dapat mempertimbangkannya.

Seperti yang diterangkan juga dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 109:

Pengadilan agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hokum dan hokum dan memindahkan kepada pihak lain diatas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan melalaikan atau menyalahgunakan hak wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada dibawah perwaliannya.21

21


(55)

45 BAB IV

ANALISIS PENGAMPUAN DALAM KHI DAN PUTUSAN PERKARA PENGADILAN NO.:94/PDT.P/2008/PN.JKT.SEL. TENTANG

PENGAMPUAN. A. Pengampuan dalam KHI

Sebagaimana Keputusan Menteri Agama RI No.154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi Presiden RI No.1 tahun 1991 tanggal 10 juni 1991, yang berbunyi:

Pertama:

Seluruh instansi departemen agama dan instansi pemerintah lainnya yang terkait agar menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sebagaimana dimaksud dalam diktum pertama Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut

Kedua:

Seluruh lingkungan Instansi tersebut dalam diktum pertama, dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang hukum Perkawinan, Kewarisan dan Perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut samping peraturan perundang-undangan lainnya.

Ketiga:

Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut dan urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia ini dalam bidang tugas masing-masing.1

Surat Keputusan tersebut merupakan ketetapan pelaksanaan Intruksi Presiden RI untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam, sebagai acuan dalam hal-hal Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, dan Perwakafan, di

1


(56)

dalamnya tertulis lengkap mengenai permasalahan yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut, namun dalam hal pembagian harta warisan bagi penderita cacat mental, secara tersurat memang tidak tertulis dengan jelas, di sana hanya disebutkan pembagian harta warisan bagi yang tidak mampu melaksanakan hak dan kewajiban.2

Penulis mengambil kesimpulan bahwa kata-kata “tidak mampu melaksanakan hak dan kewajiban” dalam KHI pasal 184, termasuk di dalamnya penderita cacat mental, hal ini menepis wacana yang menyatakan bahwa pengampuan tidak tertulis dalam KHI. Jadi pembagian harta warisan bagi ahli waris penderita cacat mental secara tersirat termaktub dalam pasal tersebut.

B. Putusan Hakim PN Jakarta Selatan Mengenai Kasus Pengampuan Atas Anak Cacat Mental

1. Deskripsi Kasus Pengampuan terhadap Anak Cacat Mental di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pengampuan bagi anak (anak yang sudah dewasa menurut pasal 330 KUHPerdata) atas semua anggota keluarga yang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUHPerdata) pasal 433 tergolong orang yang patut diampu atau dikenal dengan sebutan Kurandus, (sakit otak, selalu dalam keadaan dungu atau mata gelap), maka anggota keluarga sedarah semendanya yang berhak

2


(57)

47

mengajukan permohonan untuk itu. Anak yang sakit otak atau mengalami gangguan jiwa termasuk orang yang diampu dalam rangka memenuhi haknya. Maka yang pantas menjadi pengampunya adalah salah satu orang tuanya yang hidup (pasal 434 KUHPerdata). Terkait hukum atas anak tersebut, maka kedudukannya sama dengan orang yang belum dewasa. Karena anak yang diampu adalah anak yang telah dewasa tapi tidak cakap mewakili dirinya sendiri untuk bertindak dalam lalu lintas hukum. Sehingga pengampu tadi bertugas dalam membantu melaksanakan, menggantikan ataupun mewakili Kurandus. Karena biasanya Pengampuan terkait dengan harta benda maka pengampu dalam melaksanakan tugasnya diawasi oleh Balai Harta Peninggalan (BHP) sebagai pengampu pengawas. Dari persetujuan pengampu pengawas inilah pengadilan mengeluarkan ijin untuk pemanfaatan harta benda milik ataupun hak waris Kurandus. Begitu juga dengan masalah apakah penetapan Nomor.94/Pdt.P/2008/PN.Jkt.Sel dan Nomor 100/Pdt.P/2008/PN.Jkt.Sel. telah sesuai dengan KUHPerdata.

Peletakan seseorang dibawah pengampuan dan pengangkatan seorang pengampu harus melalui pengadilan, pasal 433-461 KUHPerdata mengenai pengampuan dan pasal-pasal tentang perwalian yang juga dipakai dalam pengampuan telah ditetapkan oleh hakim dalam penetapannya. Dengan demikian yang berhak memohon pengampuan atas kriteria yang ada dalam pasal 433 diatas hanyalah keluarganya. Karena kurandus ditempatkan dalam keadaan belum dewasa sehingga dalam


(58)

tindakan yang mempunyai akibat hukum tertentu dibantu oleh pengampunya dan diawasi oleh pengampu pengawas baik sebelum atau sesudah pengadilan membacakan penetapan pengampuan.

2. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Perkara NO.:94/pdt.P/2008/PN.JKT.SEL. Pengampuan.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara perdata pada tingkat pertama, telah memberikan penetapan sebagai berikut dibawah ini atas permohonan dari :

Ny. Dorkas Napitupulu (dikenal juga dengan nama RUFINA DORCAS NAPITUPULU ), bertempat tinggal dijakarta, Jl. Setiabudi Barat VII Nomor 1, RT.004, RW.004, Kelurahan Setiabudi, Jakarta Selatan, selanjutnya sebagai PEMOHON; Pengadilan Negeri Tersebut;

Telah membaca surat-surat dalam berkas permohonan ; Telah mendengar keterangan pemohon dan saksi-saksi ; Telah mempelajari bukti-bukti yang tertulis ;

TENTANG DUDUKNYA PERKARA

Menimbang, bahwa pemohon dengan surat permohonannya tertanggal 28 maret 2008, yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada register No.94/Pdt.P/2008/PN.Jak.Sel., telah mengemukakan hal-hal sebagai berikut :


(59)

49

Bahwa Tuan SAHAT MARULI TUA NAINGGOLAN, SH. Telah meninggal dunia dijakarta, pada tanggal 22 Desember 2006, sehingga dengan demikian berdasarkan surat keterangan Ahli Waris yang dibuat dibawah tangan bermaterai cukup tertanggal 24 Maret 2008 maka yang menjadi Ahli Waris Almarhum adalah :

1. Ny. Dorkas Napitupulu 2. Rita Revolusia, SH.

3. Drs. Poltak Partogi Nainggolan 4. Deborah Nainggolan, SE. 5. Maria

6. Hatigoran Nainggolan, SE. 7. Yacob Nainggolan

Bahwa saat ini dimiliki sebidang tanah negara / tanah eks Hak Pakai, seluas 373 M2 (tiga ratus tujuh puluh tiga meter persegi) demikian seperti tercantum dalam sertifikat hak pakai yang diterbitkan oleh kepala kantor Agraria Wilayah Jakarta Selatan pada tanggal 24 februari 1983 Nomor : 34 154/7329/1982, tercatat atas nama SAHAT MARULI NAINGGOLAN, Sarjana Hukum, yang terletak di Propinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Selatan, Kecamatan Setia Budi, Kelurahan Setia Budi, Jl. Setia Budi Barat VII Nomor 1, yang merupakan tempat tinggal pemohon.

Bahwa untuk kepentingan bersama dari para ahli waris Almarhum SAAHAT M. NAINGGOLAN, SH. Sepakat untuk mengalihkan


(60)

sebidang tanah berikut bangunan rumah tinggal yang terdiri diatas tanah (tempat tinggal pemohon) tersebut untuk biaya perawatan dan biaya hidup ;

Bahwa pemohon telah menandatangani Akta Kuasa menjual yang dibuat dihadapan HASNAH, SH., Notaris dijakarta, pada tanggal 25 maret 2008 No.03, namun salah seorang anak Pemohon tidak dapat menandatangani Akta kuasa penjualan tersebut, ia bernama MARIA ;

MARIA, adalah salah seorang anak Pemohon / Ahli Waris dari Alm. SAHAT M. NAINGGOLAN, SH. Sejak tahun 1990 an hingga saat ini telah mengalami gangguan kejiwaan, dengan demikian MARIA tidak dapat menandatangani Akta Kuasa penjualan dihadapan notaris ;

Berdasarkan hasil pemeriksaan Psikiatri, sebagaimana dinyatakan dalam surat keterangan dari Psikiater No. 690/WR/3/8 tertanggal 27 maret 2008, yang ditandatangani oleh dr. WIERIANTO PRASODJO, SpKJ., disebutkan bahwa MARIA, perempuan umur 39 tahun mengalami gangguan jiwa berat sehingga tidak dapat memprtanggung jawabkan perbuatanya secara hukum ;

Bahwa dengan demikian Nona MARIA sebagai salah satu Ahli waris Alm. SAHAT M. NAINGGOLAN, SH. tidak cakap


(61)

51

melakukan perbuatan hukum, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 434 Kitab Undang-Undang hukum perdata harus ditempatkan dibawah pengampuan. Pemohon selaku keluarga sedarah berhak untuk minta Pengampuan keluarga sedarahnya, yaitu anak kandungnya yang bernama saudari MARIA, karena ketidakmampuannya melakukan perbuatan hukum bagi dirinya sendiri ;

Karena berdasarkan Undang-Undang, saudari tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan Pemohon berhak untuk menjadi Wali Pengampu (CURATOR), maka demi tertib hukum kiranya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menetapkan dan mengangkat Ny. DORKAS NAPITUPULU (Pemohon) sebagai Wali Pengampu (CORATOR) untuk anaknya yang bernama MARIA;

Bahwa berdasarkan pasal 452 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata setiap orang yang ditaruh dibawah pengampuan mempunyai kedudukan yang sama dengan orang yang belum dewasa;

Maka, guna mendapatkan pengalihan bagian hak waris dari MARIA atas sebidang tanah berikut bangunan rumah tinggal yang berdiri diatas tanah sertifikat Hak Pakai No. 34/Setia Budi, Pemohon harus mendapat ijin atau kuasa untuk menjual dari pengadilan (pasal 388 kiatab Undang-Undang Hukum Perdata) ;


(1)

58 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah peneliti memaparkan beberapa bab, pembahasan tentang masalah pembagian harta waris bagi penderita cacat mental menurut hukum Islam dan hukum Positif, maka peneliti mempunyai beberapa kesimpulan tentang pembahasan diatas yaitu :

1. Jika peneliti melihat dari uraian dan penjelasan setiap bab diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa pengampuan memang perlu dilaksanakan jika orang yang dalam hal ini adalah merupakan penderita cacat mental dan tidak mampu untuk melakukan perbuatan hukum atau tidak cakap hukum, yaitu orang yang dalam keadaan belum dewasa, dungu, sakit otak, atau mata gelap. Bagi mereka yang mempunyai kekurangan tersebut diatas lebih baik berada dibawah wali pengampu (Curator) menurut KUHPerdata atau perwalian menurut KHI (Kompilasi Hukum Islam), karena fungsi dari wali pengampu ataupun perwalian tersebut adalah untuk menjalankan, mengawasi, dan memutuskan setiap gerak perjalanan orang yang diampu atau diwalikan dalam jalur hukum yang ada di negara, wilayah, atau Tempat dimana ia tinggal.


(2)

59 2. Pembagian harta waris bagi penderita cacat mental menurut hukum Islam itu dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada pasal 184 KHI (Kompilasi Hukum Islam) :

"bagi ahli waris yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya, maka baginya diangkat wali berdasarkan keputusan Hakim atas usul anggota keluarga”.

Secara umum, dari penjelasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hanya pada anak yang belum dewasa atau tidak mampu melaksanakan hak dan kewajibannya yang memposisikannya kepada perwaliannya saja dan tidak pada Bab tersendiri yang secara khusus menjelaskan dan menerangkan secara jelas. Dan bukan kepada orang yang menderita cacat mental, dungu, sakit otak atau mata gelap, seperti yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Walaupun sebenarnya dalam hukum Islam itu sendiri tertulis atau terdapat bahasan yang sangat jelas menerangkan masalah mahjur itu sendiri mulai dari pengertian, dasar hukum, dan tujuan dari mahjur itu sendir dalam al-Quran, As-sunnah, hadits, dan kitab-kitab fiqh Islam yang ditulis dan di sepakati oleh ulama fiqh.

3. Pembagian Harta waris dan pengampuan bagi penderita cacat mental menurut hukum positif dimana ini semua dijelaskan secara jelas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada buku ke -1 bab ke -17 tentang pengampuan yang dimulai dari pasal 433-461, dan pada buku ke -2 bab ke -12 tentang perwarisan karena kematian.


(3)

60 B. Saran-saran

Dari pembahasan penelitian ini kita dapat melihat pentingnya hukum atau aturan-aturan negara yang sudah ditetapkan dan diberlakukan dalam masyarakat, untuk kita jalani sebagaimana mestinya, walaupun itu hanya menyangkut atas kekurangan atau ketidak cakapan orang dalam menjalankan hukum atau aturan-aturan tersebut.

Adapun saran yang ingin peneliti sampaikan kepada:

1. Pemerintah Republik Indonesia agar masalah perwalian (curatele) mendapat perhatian yang lebiih serius lagi, mengingat bahwa hal tersebut berkaitan dengan asas perlindungan Hak Asasi Manusia. 2. Para perangkat hukum di Indonesia, agar lebih banyak memberikan

kajian dan mengembangkan inovasi-inovasi terbaru tentang hukum di Indonesia yang berdasarkan aturan Negara atau Syariah.

3. Kepada yang bertindak sebagai wali atau pengampu (curator) agar dapat menjaga amanah atau kepercayaan atas hak-hak dari si

terampu yang ditanggungnya. Serta dapat


(4)

61

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, cet ke-1, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1995.

Darmabrata, Wahyono, Hukum Perdata (Asas-asas Hukum Perdata Orang dan Keluarga) cet.1, Jakarta: Gitamajaya Jakarta: 2004.

Hasbiyallah, Belajar Ilmu Waris, cetakan. 1, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007.

Kansil, C.S.T., Modul Hukum Perdata I (Termasuk Asas-asas Hukum Perdata), Cet.1, Jakarta: Pradnya Paramita, 1990.

Moleong, J. Dr.Lexy, M.A ., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya: 2004.

Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam, Cet. 25, Bandung: Sinar Baru, 1992.

Salman, Otje, Hukum Waris Islam, cet.1, Bandung: PT. Refika Aditama, 2002. Subekti, R., Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. 31, Jakarta: Intermasa, 2003. Subekti, S.H., R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. 40,

Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2009.

Taher, Mursal H.M., Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan,cet.1, Bandung: PT

Al-Ma’arif, CV Majasari Indah, 1977.

Tim Redaksi Fokusmedia, Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokusmedia, 2005. Vollmar, H.F.A., Pengantar Studi Hukum Perdata, Cet.1, Jakarta: Raja Grafindo

Persada: 1983.

UNDANG-UNDANG UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Putusan Nomor : 0161/Pdt.P/2010/PA.Pt tentang Mahjur Anak Cacat Mental. Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1997 tentang


(5)

62

JURNAL HUKUM

Imma Indra Dewi, Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perdata Orang yang Tidak Cakap Hukum di Kabupaten Sleman., Mimbar Hukum Volume 20 Nomor 3, Oktober 2008 Halaman 411-588.

WEBSITE

www.refleksiteraphy.com

http://www.warungghuroba.wordpress.com/2010/.../bab-14-mahjur-terhalang

http://202.153.129.35/klinik/detail/cl6790

http://www.e-psikologi.com/usia/140 Drs. H. Zainuddin Sri Kuntjoro, M.Psi.

Mengenal Gangguan Jiwa pada Lansia.

http://www.dinsos.pemdadiy.go.id,

http://annesdecha.blogspot.com/2010/03/pengertian-tunagrahita.html

http://www.philipjusuf.com/2011/04/pengampuan-curatele-custodian/

http://www.warungghuroba.wordpress.com/2010/.../bab-14-mahjur-terhalang

http://advokatku.blogspot.com/2010/03/pengampuan-syarat-dan-prosedurnya.html

http://www.riadybarna.wordpress.com/2009/02

http://hukumislam.wordpress.com/.../perbandingan-hukum-islam-vs-konvensional


(6)

63

http://educationcarecenter378.blogspot.com/.../hutang-piutang-dalam-hukum-islam-i.html

http://www.forumsains.com/artikel/mengenal-penyakit-skizofrenia-salah-satu-gangguan-psikosis-fungsional/

http://id.wikipedia.org/wiki/Tunagrahita

http://annesdecha.blogspot.com/2010/03/pengertian-tunagrahita.html

http://www.hukumnews.com/konsultasi/39-opini/485-pasal-penagampuan.html

http://faizrokhman-faizrokhman.blogspot.com/

www.pa-pati.go.id/index.php?option=com...act...id

http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=124889&lokasi=lokal Riri Mela Lomika Siregar, FHUI, 2009, digital_124889-PK I 2131.8469-Curatele (Pengampuan)-HA.,