BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak  adalah  amanah  dan  karunia  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  yang  didalam dirinya  melekat  harkat  dan  martabat  sebagai  manusia  seutuhnya.  Anak  sebagai
tunas, potensi dan  generasi  muda  penerus cita-cita perjuangan bangsa,  memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu, agar setiap anak kelak  mendapat  kesempatan  yang  seluas-luasnya  untuk  tumbuh  dan  berkembang
secara  optimal,  baik  fisik,  mental  maupun  sosial,  dan  berakhlak  mulia,  perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahtraan anak dengan
memberikan  jaminan  terhadap  pemenuhan  hak-haknya  serta  adanya  perlakuan tanpa diskriminasi.
1
Akhir-akhir  ini  harapan  tersebut  seperti  dikandaskan  oleh  berbagai  berita di  media  massa  yang  memuat  tentang  kenakalan  remaja  dan  tindak  pidana  yang
telah  dilakukan  oleh  anak  semakin  meningkat.  Apabila  dicermati  perkembangan tindak pidana  yang dilakukan anak selama ini, baik  dari kualitas maupun  modus
operandi  yang  dilakukan  oleh  anak  dirasakan  telah  meresahkan  semua  pihak khususnya  orang  tua.  Fenomena  meningkatnya  perilaku  tindak  kekerasan  yang
dilakukan anak tidak sebanding lurus dengan usia pelaku.
1
M  Nasir  Djamil,  Anak  Bukan  Untuk  Dihukum    Catatan  Pembahasan  UU  Sistem Peradilan Anak UU-SPPA, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm 8.
Ada  2  dua  kategori  perilaku  anak  yang  membuat  ia  harus  berhadapan dengan hukum, yaitu:
1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh  orang  dewasa  tidak  dianggap  kejahatan,  seperti;  tidak  menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah.
2. Juvenile  Deliquency  adalah  perilaku  kenakalan  anak  yang  apabila
dilakukan  oleh  orang  dewasa  dianggap  kejahatan  atau  pelanggaran hukum.
2
Berdasarkan  hasil  pemantauan  KPAI  anak  berhadapan  dengan  hukum hingga  april  2015  tercatat  6006  kasus.
3
Kemudian  catatan  Komnas  Perlindungan Anak, di tahun 2013, sekitar 5000 anak mendekam dipenjara dan ada yang sudah
divonis melakukan tindak pidana.
4
Sedangkan dari data statistik Polda Metro Jaya antara  bulan  Januari-Maret  2015  tercatat  14.918  kasus  kenakalan  remaja.
5
Kemudian  catatan  yang  disampaikan  oleh  Direktur  Bimbingan  Kemasyarakatan dan  Pengentasan  Anak  Ditjen  Pemasyarakatan  Priyadi  dalam  konferensi  pers  di
Aula  Lapas  Anak,  Jalan  Arcamanik,  Selasa  482015,  Priyadi  mengatakan bahwa catatan kriminalitas di Indonesia pada tahun 2015, anak-anak yang berada
di lingkungan rutan dan lapas jumlahnya 3.812 orang. Anak-anak yang dilakukan diversi sebanyak 5.229 orang, dan total ada sekitar 10 ribu termasuk mereka yang
2
M  Nasir  Djamil,  Anak  Bukan  Untuk  Dihukum    Catatan  Pembahasan  UU  Sistem Peradilan Anak UU-SPPA, hlm 33.
3
http:www.kpai.go.idberitakpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun- meningkat
. Diakses pada 16 Oktober 2016.
4
http:Metro.sindonews.comread910410315-000-anak-mendekam-di-penjara- 1412957017
. diakses pada 21 Agustus 2015.
5
http:reskrimun.metro.polri.go.idsitestatistik . diakses pada 21 September 2015
sedang  asimilasi,  pembebasan  bersyarat,  dan  cuti  jelang  bebas.  Kebanyakan  dari mereka terlibat dalam kasus narkoba, kesusilaan, dan pencurian.
6
Penyimpangan  tingkah  laku  atau  perbuatan  yang  melanggar  hukum  yang dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adanya dampak
negatif  dari  perkembangan  pembangunan  yang  cepat,  arus  globalisasi  di  bidang komunikasi  dan  informasi,  kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  serta
perubahan  gaya  dan  cara  hidup  sebagian  orang  tua,  telah  membawa  perubahan sosial  yang  mendasar  dalam  kehidupan  masyarakat  yang  sangat  berpengaruh
terhadap nilai dan perilaku anak.
7
Dewasa ini, upaya pencegahan dan penanggulangan kenakalan anak telah dilakukan oleh pemerintah. Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-
Hak  Anak  Convention  on  the  Right  of  the  Child  yang  mengatur  prinsip perlindungan  hukum  terhadap  anak,  berkewajiban  untuk  memberikan
perlindungan khusus  terhadap anak  yang berhadapan dengan hukum.
8
Salah satu bentuk  perlindungan  anak  oleh  negara  diwujudkan  melalui  sistem  peradilan
pidana  khusus  anak  yang  berhadapan  dengan  hukum.  Sistem  Peradilan  Pidana Anak  adalah  keseluruhan  proses  penyelesaian  perkara  Anak  yang  berhadapan
dengan  hukum,  mulai  tahap  penyelidikan  sampai  dengan  tahap  pembimbingan setelah menjalani pidana.
6
http:www.pikiran-rakyat.combandung-raya20150804337054sepuluh-ribu-anak- kini-berhadapan-dengan-hukum
. diakses pada  21 September 2015.
7
Lihat  Naskah  Akademik  Peraturan  Perundang-undangan  Tentang  Rancangan  Undang- Undang Pengadilan Anak.
8
Lihat Konsideran Menimbang huruf C UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sistem  pengadilan  anak  yang  terdapat  pada  Undang-Undang  Nomor  3 Tahun  1997  telah  diperbaharui  melalui  Undang-Undang  Nomor  11  Tahun  2012
tentang  Sistem  Peradilan  Pidana  Anak  karena  sudah  tidak  sesuai  lagi  dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan
perlindungan  Khusus  kepada  anak  yang  berhadapan  dengan  hukum.  Terdapat perubahan  yang  fundamental  dalam  Undang-Undang  tersebut,  antara  lain
digunakannya  pendekatan  restorative  justice  melalui  sistem  diversi  yang dimaksudkan  untuk  menghindari  dan  menjauhkan  anak  dari  proses  peradilan
sehingga  dapat  menghindari  stigma  negatif    terhadap  anak  yang  berhadapan dengan  hukum  dan  si  anak  dapat  kembali  ke  dalam  lingkungan  sosial  secara
wajar. Restorative  Justice  adalah  penyelesian  perkara  tindak  pidana  dengan
melibatkan  pelaku,  korban,  keluarga  korbanpelaku,  dan  pihak  lain  yang  terkait untuk  bersama-sama  mencari  penyelesain  yang  adil  dengan  menekankan
pemulihan  kembali  pada  keadaan  semula,  dan  bukan  pembalasan.  Sedangkan diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana
ke  proses  diluar  peradilan  pidana.
9
Dalam  Undang-Undang  Sistem  Peradilan Pidana  Anak,  diversi  bertujuan  mencapai  perdamain  antara  korban  dan  anak,
menyelesaikan  perkara  anak  diluar  proses  peradilan,  menghindarkan  anak  dari
9
Pasal 1 ayat 6 dan 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
perampasan  kemerdekaan,  mendorong  masyarakat  untuk  berpartisipasi,  dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
10
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, disebutkan bahwa:
Ayat 1 “Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib di upayakan diversi”.
Ayat  2 “Diversi  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  1
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan: 1.
Diancam dengan pidana penjara dibawah 7tujuh tahun; dan 2.
Bukan merupakan pengulangan tindak pidana”.
11
Oleh  karena  itu  penerapan  diversi  merupakan  suatu  kewajiban,  maka menjadi  penting  bagi  pejabat  penegak  hukum  dalam  setiap  tingkat  pemeriksaan
untuk benar-benar memahami bagaimana mekanisme penerapan diversi tersebut. Atas  dasar  itu,  kemudian  Mahkamah  Agung  merespon  UU  Sistem
Peradilan Pidana Anak dengan  menerbitkan PERMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. PERMA ini
memuat  tata  cara  pelaksanaan  diversi  yang  menjadi  pegangan  hakim  dalam penyelesaian  pidana  anak  mengingat  belum  ada  regulasi  yang  memuat  hukum
acara khusus diversi Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam hukum Islam, dikenal adanya proses penyelesaian sengketa melalui
perdamaian  yang  disebut  dengan    al-sulh.  Secara  bahasa,  al-sulh  berarti menyelesaikan  perkara  atau  pertengkaran.  Sayyid  Sabiq  memberikan  pengertian
10
Lihat Pasal 6 undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
11
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
al-sulh  dengan  akad  yang  mengakhiri  persengketaan  antara  dua  pihak.
12
Islam menganjurkan  pihak  yang  bersengketa  menempuh  jalur  damai,  baik  didepan
pengadilan  maupun  diluar  pengadilan.  Al-sulh  memberikan  kesempatan  para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam penyelesaikan sengketa.
Meskipun  UU  SPPA  telah  diberlakukan  per  1  Agustus  2014,  keinginan besar untuk selalu menghukum pelaku kejahatan dengan hukuman penjara  bukan
saja  membuat  penjara  penuh,  tetapi  juga  menghambat  penerapan  restorative justice. Seperti kasus pencurian sepeda motor yang dilakukan anak dibawah umur
yaitu Mohammad Abdul Faisal Bin Sarmaya 17 tujuh belas tahun yang terjadi di Kp.  Bolang  RT  004001  Ds.  Sukasari  Kec,  Rajeg  Kab.  Tangerang.  Bahwa
sebelum  sampai  ke  persidangan  korban  dan  anak  telah  ada  perdamaian,  namun dalam putusannya, hakim memvonis terdakwa anak dengan pidana penjara selama
8 delapan bulan dengan dakwaan pencurian dengan pemberatan dan membawa senjata tanpa ijin dari yang berwenang.
Prof.  M  Taufik  Makarao,  mengatakan  kultur  sebagian  masyarakat Indonesia  yang  cenderung  selalu  ingin  menghukum  justru  belum  mendukung
penerapan restorative justice, termasuk diversi. Padahal, menghukum pelaku anak dibawah  umur  apalagi  mengirimnya  ke  penjara  dalam  waktu  lama  tak  akan
menyelesaikan sepenuhnya masalah yang dihadapi.
13
12
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah juz 2 Kairo: Dar al Fath,1990, hlm 201.
13
http:m.hukumonline.comberitabacalt522ec06e6e632kultur-menghukum--hambatan- penerapan-diversi
. diakses pada 21 Agustus 2015.
Berdasarkan uraian permasalahan diatas, menjadi dorongan penulis untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“Penerapan  Diversi  Dalam  Penyelesaian  Tindak  Pidana  Anak  Menurut  Hukum Positif  dan  Hukum  Islam  Analisis  Kasus  Putusan  Perkara  Nomor  15Pid.Sus-
Anak2014PN.TNG .”
B. Identifikasi Masalah