Tantangan dalam Pelaksanaan Pengendalian Keuangan Partai dalam
80
Pengendalian Keuangan Partai Politik
negatif uang dalam proses politik, tetapi hanya apabila regulasi tersebut dipersiapkan dan diimplementasikan dengan baik. Pengawasan yang efektif
terhadap regulasi keuangan partai tidak hanya tergantung pada aktivitas interaksi antar-pemangku kepentingan stakeholders, seperti regulator,
organisasi masyarakat sipil, dan media massa; tetapi juga pelaksanaan prinsip transparansi tersebut. Peningkatan kesadaran publik tentang pentingnya
pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam keuangan partai politik sangat menentukan berfungsinya lembaga demokrasi.
Kedua, partai politik di Indonesia tidak lagi dapat dikategorikan sebagai partai massa karena telah gagal menyediakan insentif bagi para anggota untuk tidak
saja bersedia aktif dalam partai tetapi juga bersedia memberikan iuran dan sumbangan lain kepada partai. Partai politik di Indonesia dapat dikategorikan
sebagai partai pasca-massa yang kegiatannya tidak lagi dibiayai oleh para anggota post-mass party in free riding society. Para anggota tidak membayar
iuran kepada partai sesuai dengan ADART partai tidak hanya karena partai memang tidak melaksanakan ADART partai yang menempatkan
anggota sebagai pemegang kedaulatan partai tetapi juga karena partai lebih berorientasi pada mencari dan mempertahankan kekuasaan daripada
berorientasi pada memperjuangkan alternatif kebijakan publik sesuai dengan ideologi partai dan kehendak para anggota dan simpatisan.Hal
ini terjadi karena kepercayaan para anggota kepada partai politik semakin menurun. Empat fakta berikut membuktikan hal itu: jumlah anggota partai
menurun atau basis pendukung partai makin berkurang, jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih menurun dari Pemilu ke Pemilu berikutnya,
jumlah suara yang dicapai partai pemenang Pemilu menurun dari Pemilu ke Pemilu berikutnya, dan jumlah swing voter meningkat dari Pemilu ke Pemilu
berikutnya setiap Pemilu melahirkan dua partai baru dengan jumlah suara melebihi ambang-batas masuk DPR.
Ketiga, hanya para kader yang mempunyai ambisi akan kekuasaan dalam partai atau dalam pemerintahan sajalah yang bersedia menyediakan
dana bagi kegiatan partai. Para anggota partai yang tidak memiliki ambisi kekuasaan akan dengan segera menyadari bahwa mereka tidak memiliki
pengaruh apapun jua terhadap keputusan partai. Karena kegiatan partai memerlukan dana yang cukup besar, maka para kader kemudian berupaya
mencari dana dari sumber keuangan lainnya. Partai politik peserta pemilu di Indonesia membiayai kegiatannya dari tiga sumber utama berikut, tetapi tidak
ada satupun partai politik tersebut membiayai kegiatannya berdasarkan iuran
81
anggota. Ketiga sumber dana tersebut adalah Ketua Umum dan kader partai yang duduk dalam lembaga legislatif dan eksekutif elite internal partai, para
pengusaha yang mengharapkan kebijakan khusus alokasi proyek, izin, dan jaminan lainnya dari penjabat politik, individu, badan usaha swasta, organisasi,
dan kelompok elite eksternal partai, baik yang diperoleh secara sah maupun secara tidak sah private funding, dan uang negara public funding. Karena
jumlah bantuan Negara secara resmi amat sangat kecil sekali, maka semua partai politik di DPRD berkolusi mendapatkan dana dari Negara dalam
berbagai modus secara tidak resmi illegal. Para kader partai yang kemudian terpilih berupaya mengembalikan dana yang diperoleh dari pribadi danatau
swasta dari dana yang diperoleh melalui penggunaan kewenangan legislasi dan anggaran yang dimilikinya. Karena itu dapatlah disimpulkan bahwa
sumber penerimaan terbesar dari partai adalah dari negara public funding, baik yang diperoleh secara sah sesuai dengan undang-undang maupun
yang diperoleh secara tidak sah; disusul kemudian dari sumber swasta
private funding. Tidak mengherankan apabila partai politik di Indonesia dinamai partai kartel karena terjadi kesepakatan atau kolusi antarpartai untuk
memperoleh dana dari negara baik secara sah maupun tidak sah.
Keempat, partai politik peserta pemilu di Indonesia dewasa ini, khususnya yang memiliki kursi di DPR dan DPRD, lebih fokus sebagai “pencari kekuasaan”
power seeking daripada berorientasi pada kebijakan publik berdasarkan ideologi dan sesuai dengan kehendak masyarakat policy seeking. Kegiatan
partai politik lebih banyak pada upaya mencari dan mempertahankan kekuasaan baik dalam partai melalui proses pemilihan pengurus, maupun
dalam lembaga legislatif dan eksekutif melalui proses pemilu, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Kegiatan yang berfokus pada upaya
memperjuangkan alternatif kebijakan publik yang tidak saja berdasarkan ideologi partai visi, misi, dan program, tetapi juga sesuai dengan aspirasi
masyarakat yang diwakili melalui proses politik menjadi kebijakan publik, hanya menempati porsi kecil. Hal ini merupakan konsekuensi dari faktor
ketiga di atas
Kelima, Undang-Undang melarang partai politik menerima dana dari APBN APBD ataupun BUMNBUMD bans against public funding, tetapi mengizinkan
sumbangan dari kalangan swasta private funding. Akan tetapi keduanya dengan regulasi dan penegakan yang longgar. Partai politik melaksanakan
tugas publik berdasarkan UUD 1945 dan UU, tetapi pelaksanaan tugas publik tersebut dibiayai oleh unsur swasta. Yang terjadi kemudian tidak saja proses