Pengalaman Indonesia Partai Oligarhis Tanpa Orientasi

33

D. Strategi Pembiayaan Partai yang Tidak Demokratis

Dari segi demokrasi elektoral, khususnya model pembiayaan partai politik dalam pemilu, Richard Katz membedakan demokrasi menjadi dua model, yaitu populisme dan liberalisme. 19 Yang dimaksud dengan demokrasi populisme di sini adalah keterlibatan rakyat dalam proses politik, baik dalam penentuan penjabat publik maupun dalam penentuan kebijakan publik. Prinsip dasar yang mendasari kedaulatan rakyat adalah preferensi setiap warga negara harus dinilai setara. Dari prinsip kesetaraan inilah lahir prinsip dasar berikutnya: kebijakan publik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah haruslah berupa pola dan arah kebijakan publik yang dikehendaki oleh sebagian terbesar warga negara. Strategi pembiayaan partai yang mengandalkan sepenuhnya dari elite eksternal the Externally Financed Elite Party bertentangan dengan pengertian demokrasi populis. Disebut bertentangan dengan demokrasi populis karena partai politik yang dibiayai pihak luar akan membuat kebijakan publik tidak berdasarkan kehendak sebagian terbesar warga negara, melainkan sesuai dengan kepentingan sumber utama dana partai tersebut. Partai politik yang lebih mewakili lapisan ekonomi atas akan lebih unggul dalam mendapatkan dana daripada partai pesaingnya. Hal ini akan mengakibatkan kepentingan lapisan ekonomi atas akan lebih terwakili secara tidak proporsional dalam pembuatan keputusan. Kesenjangan ekonomi yang ditandai oleh konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil orang menciptakan suatu situasi di mana kelompok kecil ini, bahkan individu kaya-raya, dapat membeli kebijakan publik dengan cara menawarkan dana kampanye dalam jumlah besar kepada partaicalon tertentu. Kesenjangan ekonomi secara langsung menyebabkan kesenjangan politik karena dengan cara seperti ini mayoritas warga negara yang tidak kaya tidak akan dapat menerjemahkan preferensinya menjadi kebijakan publik. Strategi pembiayaan seperti ini bagaikan transaksi tipe pasar karena mencari uang dengan cara “menjual” kewenangan demi kepentingan pribadi. Keadaan seperti ini jelas bertentangan dengan prinsip “preferensi warga negara harus dinilai setara”. Strategi pembiayaan partai sepenuhnya dari elite partai the Self-Financed Elite 19 Richard Katz, Democracy and Elections, Oxford: Oxford University Press, 1997. 34 Pengendalian Keuangan Partai Politik Party tidak hanya tidak sesuai dengan prinsip demokrasi populis tersebut, tetapi juga berimplikasi sama dengan strategi pembiayaan partai dari sumber eksternal, yaitu kebijakan publik lebih mencerminkan preferensi sekelompok kecil elite partai daripada preferensi sebagian terbesar warga negara. Sebagaimana dikemukakan di atas, para anggota dari partai massa telah kehilangan insentif menggunakan partai sebagai saluran partisipasi dan saluran aspirasi karena mereka ternyata tidak mampu mempengaruhi proses pembuatan keputusan partai. Akibatnya, hanya para kader yang memiliki ambisi akan kekuasaan dalam partai dan pemerintahan legislatif dan eksekutif saja yang bersedia mengeluarkan dana untuk kegiatan partai. Karena mereka mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk partai agar mendapatkan jabatan dalam partai dan pemerintahan, begitu mendapatkan jabatan, yang menjadi prioritas pertama mereka bukan memperhatikan aspirasi dan kepentingan konstituen, melainkan bagaimana mereka bisa mengembalikan dana tersebut. Kalau dana yang diberikan kepada partai berasal dari diri sendiri atau pinjaman, dia akan berupaya menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk mendapatkan uang dengan berbagai cara seperti yang disebutkan di atas. Apabila dana itu berasal dari pengusaha, dia akan menggunakan kewenangan yang dimiliki untuk mengalokasikan proyek, memberikan izin pengusahaan sumberdaya alam, izin impor atau ekspor barang dan jasa, atau bentuk perlakuan khusus dan kolusi tertentu kepada pengusaha tersebut. Singkat kata, strategi pembiayaan partai yang sepenuhnya berasal dari elite partai dapat disimpulkan sebagai tidak demokratis karena para elite partai tidak memiliki komitmen atau rasa “berutang” untuk memperjuangkan kebijakan publik sesuai dengan kehendak sebagian besar warga masyarakat. Mereka tidak memiliki komitmen atau rasa “berutang” kepada konstituen: tidak saja karena para anggota partai pemilih pada umumnya tidak memberikan sumbangan dana kampanye, tetapi juga karena mereka pengurus dan kader partai harus mengembalikan dana yang begitu besar yang telah dikeluarkan untuk kegiatan kampanye termasuk membeli suara pemilih. Strategi pembiayaan partai yang bersifat klientelistik, terutama sebagaimana praktik yang dilaksanakan di Indonesia, dipandang tidak demokratis karena para kader partai politik menggunakan kewenangan publik yang dimilikinya untuk mengalokasikan anggaran melalui berbagai program kepada para 35 anggota dan pemilih pada umumnya untuk mendapatkan dukungan suara pada pemilu berikutnya. Praktik klientelistik atau pertukaran alokasi anggaran dengan dukungan suara pemilu seperti ini tidak hanya tidak demokratis karena kebijakan yang dibuat tidak mencerminkan kehendak sebagian besar warga negara, tetapi juga tidak adil karena menggunakan dana publik untuk kepentingan pribadi atau golongan. Dan akhirnya, strategi pembiayaan partai kartel juga tidak demokratis. Tidak saja karena partai politik lebih tergantung kepada negara APBN dan APBD daripada kepada para anggota partai dan konstituen sehingga partai tidak memiliki komitmen memperjuangkan kebijakan publik sesuai dengan kehendak sebagian besar warga negara tetapi juga karena semua partai politik, baik yang memerintah maupun oposisi, bersepakat berbagi anggaran negara tidak demi sebagian besar warga negara, melainkan untuk kepentingan elite partai. Kalau begitu, apakah tersedia sarana dan mekanisme yang dapat mengendalikan pengaruh berlebihan dari kelompok yang jumlahnya kecil tetapi kepentingan yang diperjuangkan berdimensi sempit hanya demi kepentingan sekelompok kecil orang? Sarana dan mekanisme yang tersedia adalah proses pemilu electoral process, yaitu mayoritas pemilih yang tidak kaya dapat menghukum elite partai yang tergantung kepada segelintir penyumbang dana dengan cara memberikan suara kepada partai lain yang bersedia membuat kebijakan publik sesuai dengan preferensi sebagian besar warga negara. Akan tetapi mayoritas pemilih tidak selalu mampu mematahkan dominasi sekelompok penyandang dana kampanye tersebut karena beberapa kemungkinan sebab. Pertama, partai politik atau kandidat yang bersaing dalam pemilu tidak selalu memiliki sumberdaya yang setara. Partai politik yang memiliki dana yang lebih dari cukup karena didukung oleh sekelompok kecil penyumbang dana kampanye lebih memiliki kemampuan menarik dukungan pemilih daripada partai politik yang tidak memiliki dana yang memadai. Kedua, ketika tidak ada alternatif yang tersedia bagi elite partai, para pemilih terpaksa memberikan suara kepada partai atau kandidat yang kemampuannya mewakili mereka sudah dibeli oleh sekelompok kecil orang kaya yang berkepentingan sempit. Dan ketiga, mayoritas pemilih tersebut tidak memiliki informasi yang memadai untuk mengetahui implikasi kebijakan dari partai politik yang memperoleh dana dari sekelompok kecil pengusaha atau orang kaya.