Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan, Palembang 14-15 Januari 2015 | 61
keanekaragaman hayati ke dalam kurikulum sekolah SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi, maupun kebijakan pembinaan penyuluhan terhadap masyarakat di sekitar
kawasan merupakan pendekatan-pendekatan yang perlu diprioritaskan.
Adanya peluang, juga tidak terlepas dari kemungkinan hambatan yang menghadang upaya konservasi keanekaragaman hayati. Kemungkinan hambatan yang dimaksud
dapat berupa kekurangan dana, peralatan, sinergitas, sumber daya manusia, kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait keanekargaman hayati, efektifitas program, pasokan
bibit, pengelolaan lahan, keterbatasan luasan lahan, dukungan para pihaklemahnya koordinasi para pihak pemerhati konservasi, faktor antropogenik perambahan,
pembalakan liar dan perburuan satwa, biaya yang besar, pertambahan jumlah penduduk yang pesat, dan daya dukung kawasan yang rendah, terutama kawasan bekas HPH.
6.1.6. Pelibatan para pihak
Dukungan para pihak dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan faktor penting dalam pencapaian visi dan misi pelestarian keanekaragaman hayati. Para pihak tersebut
merupakan keterwakilan dari semua pemangku kepentingan, seperti, pemerintah pusat dan daerah seperti Dinas KehutananBKSDA maupun Satuan Kerja Perangkat
DaerahSKPD terkait isu konservasi, akademisi, LSM, lembaga donor, media massa, perusahaan swasta, masyarakat, aparat desa, pemangku adat, instansi sekolah maupun
perguruan tinggi, kepolisian dan setiap orang yang peduli konservasi keanekaragaman hayati.
Selain itu, pelibatan para pihak dalam konservasi keanekaragaman hayati perlu dibuat dalam skema dan mekanisme kesepakatan bersama. Bentuk pelibatan para pihak dan
pelaku konservasi meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan berbasis nilai konservasi keanekaragaman hayati, pembentukkan badan konservasi di daerah,
penekanan terhadap implementasi tugas dan fungsi dari tiap pihak, sosialisasi dan kegiatan langsung dalam masyarakat, pendanaan maupun program bersama dan
komitmen terhadap praktik keanekaragaman hayati, dukungan pendanaan, pembentukkan kelompok-kelompok produksi, rehabilitasi, monitoring keanekaragaman
hayati, penghitungan daya dukung supervisi, asistensi, bantuan para pakar, narasumber pelatihan, kegiatan pemberdayaan masyarakat, kegiatan penanaman dan patroli
bersama.
Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan, Palembang 14-15 Januari 2015 | 62
6.2.
Monitoring keanekaragaman hayati di Provinsi Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan
Lampung
Status keanekaragaman hayati dapat dimonitor melalui 4 empat tingkatan, yaitu 1 monitoring habitat pada skala lanskap, 2 monitoring populasispesies, 3 monitoring
genetik, dan 4 monitoring penyebab dan tekanan driver and pressure.
6.2.1. Monitoring habitat pada skala lanskap
Kondisi suatu habitat dalam skala bentang alam tertentu dan dalam periode tertentu perlu diketahui oleh para pelaku konservasi keanekaragaman hayati. Informasi tersebut dapat
diperoleh melalui kegiatan pemantauanmonitoring habitat. Namun demikian, upaya monitoring habitat dalam skala lanskap masih belum dilakukan oleh semua pihak, kecuali
oleh para pemangku kepentingan di area konservasi yang berada dalam konsesi IUPHHK, baik di hutan alam maupun di hutan tanaman HPH HTI.
Pendekatan atau metode monitoring habitat yang digunakan sangat bervariasi. Beberapa metode yang telah dilakukan antara lain monitoring secara sederhana pendataan
perburuan satwa, pembalakan liar, perambahan hutan, mewawancarai pemburu, metode garis berpetak, metode line transect, pengumpulan data terkait sumber air tawar, tutupan
lahananalisa tutupan lahan analisis citra satelit, pakan satwa, pengamatan melalui jejak kaki harimau dan satwa lainnya, identifikasi dan pengamatan di lapangan, camera trap,
fenologi, serta melalui kerjasama dengan pihak lain maupun kunjungan ke areal konservasi di HPH HTI.
Indikator yang digunakan untuk mengukur perubahan habitat juga sangat bervariasi. Keragaman indikator meliputi perubahan penggunaan dan tutupan lahan, keberhasilan
mendapat hasil buruan, jumlah yang diburu, volume aktifitas perburuan, tutupan vegetasi, perkembangan buah-bunga, identifikasi sarang, jumlah dan jenis spesies di habitat yang
terpulihkan, kerusakan habitat, kerapatan tegakan hutan, jumlah dan keberadaan satwa pada perjumpaan langsung, dan perubahan iklim.
Pelaksanaan monitoring habitat dapat dilakukan secara reguler maupun berkala. Alokasi waktu yang dibutuhkan untuk melakukan monitoring dapat dikelompokkan menjadi
sebulan sekali, 3 bulan sekali, 6 bulan sekali atau maksimal 2 tahun sekali. Namun kesuksesan monitoring juga bergantung pada ketersediaan dana kegiatan misalnya
dana APBD atau dana mandiri lainnya.
Seminar Nasional Konservasi Biodiversitas di Sub-Regional Sumatera Bagian Selatan, Palembang 14-15 Januari 2015 | 63
6.2.2. Monitoring populasispesies