30
berbagai identitas kejawaannya, baik dalam laku kehidupan secara sosial maupun dalam berbagai tradisi.
Bagian pertama ingin memberikan gambaran Desa Banyubiru sebagai bumi perdikan. Pemaknaan akan bumi perdikan mengantar pada keyakinan
warga Banyubiru akan identitas kejawaan yang begitu kuat. Selain sejarah, kosmologi Desa Banyubiru juga menjadi hal yang perlu dibicarakan.
Keberadaan rawa, gunung, sawah, dan juga sungai berkaitan dengan laku ritual sebagai manusia Jawa.
Pada bagian kedua memberikan penjelasan berkaitan dengan kondisi sosial dan budaya Desa Banyubiru. Kondisi ini berpengaruh pada pola
masyarakat Jawa yang terbentuk. Ini tergambar dari bagaimana kehidupan sosial ekonomi Mayarakat Desa Banyubiru, tradisi Sedekah Bumi, dan tradisi ziarah
kubur di Desa Banyubiru.
I. Desa Banyubiru sebagai Wilayah Kejawaan
1. Sejarah Banyubiru sebagai Bumi perdikan
Berbagai upaya terus dilakukan manusia untuk menjangkau realitas dirinya, tidak sekedar memahami keberadaan dirinya secara individu tetapi juga
secara komunal. Pencarian identitas secara komunal tidak bisa dilepaskan dari sebuah sejarah, baik tempat maupun pelaku sejarah. Namun, sebelum sampai
pada pencarian identitas secara komunal manusia selalu mencoba mencari identitas akan dirinya.
Pergumulan orang Jawa akan jati dirinya tergambar dalam berbagai permenungan yang cukup mendalam. Orang Jawa selalu mencari asal-usal
31
hidupnya. Asal-usul keberadaan manusia yang sering dikenal dengan sangkan paraning dumadi
, yaitu sebuah pemahaman masyarakat Jawa tentang asal muasal kejadian manusia.
Tentang asal-usuling dumadi ini merupakan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, karena setiap perilaku orang Jawa selalu ingin mengetahui
bibit kawit asal mula, atau wiji biji. Pemahaman ini melahirkan lakon wayang
yang cukup terkenal, yaitu Dewa Ruci. Sebuah lakon wayang yang menggambarkan tercapainya kebahagiaan sejati dengan cara menunggalnya
kawula Bima dengan Gusti Dewaruci. Lebih dalam lagi, Magnis 1988:116-
117 memberi penafsiran, bahwa Dewaruci yang kerdil dan mirip dengan Bima tiada lain adalah “batin Bima sendiri”. Oleh karena itu, sesudah memasuki
batinnya sendiri, Bima teringat bahwa pada hakikatnya ia berasal dari unsur Illahi. Dalam hal itu, ia kembali menghayati kesatuan hakikinya dengan asal-
usulnya itu, kesatuan hamba dan Tuhan kawula Gusti. Melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa disebut kawruh sangkan paraning
dumadi: pengetahuan kawruh tentang asal sangkan dan tujuan paran segala
apa yang diciptakan dumadi. Oleh sebab itu, ritus kejadian desa yang sering dikaitkan dengan sejarah desa atau bersih desa merupakan tindakan introspeksi
akan asal kehidupan manusia, yang didalamnya terkandung rasa syukur dan harapan bagi masa depan. Rasa syukur atas asal mula kehidupan melalui leluhur
atau cikal bakal desa mereka. Hidajat, 2006 Manusia Jawa dalam perilakunya untuk mengetahui asal mula dan akhir
kehidupannya selalu dilakukan dengan berbagai cara. Tidak hanya berhenti pada
32
sebuah tradisi bersih desa saja, namun mencoba mencari lebih mendalam sejarah leluhur mereka. Usaha inilah yang dilakukan oleh masayarakat Desa Banyubiru,
usaha untuk mempertahankan identitas kejawaannya melalui rasa hormat pada leluhur mereka, usaha untuk mengetahui leluhur mereka. Oleh sebab itu,
sebelum sampai pada tradisi bersih desa dan juga tradisi ziarah kubur, penting pula mengetahui sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan, karena dengan
Bumi Perdikan ini ada usaha untuk mempertahankan identitasnya sebagai manusia Jawa.
Berdasarkan cerita rakyat atau cerita babad, Banyubiru merupakan salah satu daerah yang memiliki sebutan daerah “Bumi Perdikan”. Meskipun saat ini
sebenarnya sebutan tersebut secara resmi dalam pemerintahan sudah tidak dipakai, namun Banyubiru masih mempertahankan identitas tersebut, seperti
yang tertulis di Gapura Desa Banyubiru dengan tulisan Bumi Perdikan Banyubiru. Usaha mempertahankan identitas tersebut sebagai wujud hormat
bakti kepada leluhur di Banyubiru, masyarakat menyadari bahwa Bumi Perdikan merupakan penghargaan atas jasa leluhur mereka.
7
Bumi Perdikan sendiri pada waktu itu merupakan daerah yang dibebaskan atau tidak perlu membayar pajak atau asok gelondong pengareng-
areng kepada kerajaan penguasa sebagai suatu kewajiban. Pembebasan ini
karena beberapa alasan, yang pertama karena Banyubiru sering terkena bencana banjir bandang. Bencana banjir ini terjadi karena di desa Banyubiru pada saat itu
dilalui sungai yang cukup besar dengan sebutan Klegung atau Kali Agung.
7
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro Kepala Desa Banyubiru tanggal 2 Maret 2013
33
Sungai itu saat ini masih ada namun sudah tidak sebesar dahulu. Banjir bandang ini membuat masyarakat menderita, sehingga sudah selayaknya jika tidak
dikenakan wajib pajak. Kedua, warga Desa Banyubiru ikut menjaga tempat- tempat suci. Beberapa tempat suci tersebut diantaranya adalah Candi yang
terletak di sekitar Rawa Pening. Candi ini bernama Candi Dukuh yaitu sesuai dengan nama lokasi candi ini berada. Menurut penduduk sekitar, candi ini adalah
peninggalan Prabu Brawijaya V sehingga kadang candi ini disebut juga dengan Candi Brawijaya. Namun saat ini kondisi candi hanya tinggal reruntuhan saja
dan tidak diketahui bagaimana bentuk dari candi ini sebelumnya.
8
Selain candi, masih banyak tempat suci lainnya yang dilindungi namun keberadaannya sudah tidak bisa dilacak karena tidak ada peninggalan yang pasti.
Namun, berdasarkan nama seperti Dusun Lembu, diyakini masyarakat sekitar dahulu ditemukan candi berupa lembu. Selain itu, Dusun Pundan diyakini
merupakan tempat pepunden atau boleh dikatakan tempat pemujaan. Semua daerah tersebut berada di Banyubiru.
9
Penyebutan atau pemberian status bahwa Banyubiru sebagai Bumi Perdiakan ini berdasarkan penemuan candi yang diperkirakan sejak jaman
Majapahit. Meskipun sulit memastikan, namun ini didasarkan dari keberadaan Candi Gedong Songo yang bercorak Hindu. Banyak peninggalan Sejarah
8
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi sesepuh Desa Banyubiru Pelaku kebatinan Jawa tanggal 14 Februari 2013
9
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi sesepuh Desa Banyubiru Pelaku kebatinan Jawa tanggal 14 Februari 2013
34
Banyubiru yang tidak bisa dilepaskan dari Candi Gedong Songo yaitu situs-situs Hindu.
10
Masyarakat Desa Banyubiru dalam usahanya mempertahankan identitas Bumi Perdikan ternyata muncul sebuah permasalahan. Beberapa Ulama Islam di
Desa Banyubiru tidak sepakat bila Desa Banyubiru masih mempertahankan identitasnya sebagai Bumi Perdikan. Beberapa alasannya adalah, sudah tidak
tepat untuk mengatakan Banyubiru sebagai Bumi perdikan, yang kedua mereka berpendapat bahwa pemberian tanah perdikan merupakan sesuatu gambaran
daerah yang tidak baik, karena dianggap sebagai daerah yang tidak berbakti pada tanah air.
11
Para Ulama Islam menganggap bahwa bukan saatnya lagi berbicara tentang masa lalu, saat ini yang terpenting menjadi manusia beragama. Seperti
apa yang diungkapkan oleh Bapak H. Basuki berikut: “Jangan sebut lagi Banyubiru sebagai Bumi perdikan, karena itu
masa lalu yang tidak baik. Dibebaskan pajak berarti kita tidak setia pada Tanah air kita. Yang terpenting saat ini adalah beribadah dan
menyembah Allah. Sehingga saya tidak sepakat bila Bersih Desa di
Banyubiru menggunakan nama Sedekah Bumi Perdikan”.
Perbedaan akan pemaknaan Bumi Perdikan menjadi sebuah perdebatan yang tidak terselesaikan. Namun, dipihak lain identitas Bumi Perdikan tetap
dipertahankan. Sampai saat ini nama Bumi Perdikan tetap digunakan, bahkan dalam acara bersih desa menggunakan sebutan Sedekah Bumi Perdikan
10
idem
11
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak H. Basuki Ulama Desa Banyubiru tanggal 30 Maret 2013
35
Banyubiru. Beberapa faktor yang mempengaruhi tetap digunakannya istilah ini karena Kepala Desa Banyubiru saat ini lebih nasionalis atau bukan dari golongan
ulama dan ingin menunjukan identitasnya sebagai orang Jawa. Wacana kebenaran tentang Sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan
menjadi pertarungan. Meskipun setiap wacana sebenarnya bukanlah kebenaran mutlak, bukan representasi dari realitas sesungguhnya, melainkan reaksi
manusia terhadap apa yang terjadi padanya, sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang mengekangnya. Wacana tentang kebenaran akan sejarah Bumi
Perdikan Banyubiru mampu menjadi kekuatan dalam pembentukan identitas manusia jawa, namun disisi lain juga bisa berakibat sebaliknya yaitu
menghancurkan. Ini sesuai dengan ungkapan Foucault “Wacana menghasilkan kekuatan yang memperkuat, tetapi juga bisa menghancurkan, membuat rapuh
dan memungkinkan unt uk menggagalkan” Foucault, 1978: 101.
Wacana yang hadir melalui cerita akan Bumi Perdikan terkonstruksikan di dalam masyarakat melalui cerita-cerita yang hadir secara turun menurun dari
leluhur mereka dan masih menjadi perdebatan yang panjang untuk mencari kebenarannya. Kekuasaan mempunyai kekuatan untuk menentukan kebenaran
tersebut. Wacana kebenaran tentang Bumi perdikan pada akhirnya tetap dipertahankan hingga saat ini. Berbagai usaha dilakukan, selain pemasangan
tulisan Gapura Bumi Perdikan juga acara Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru. Di lain pihak, beberapa Ulama yang tidak sepakat dengan Bumi Perdikan
hanya berhenti pada tataran ketidaksetujuannya tanpa tindakan yang konkret. Usahanya untuk mempengaruhi masyarakat tidak berhasil. Justru sebaliknya,
36
Kepala Desa Banyubiru dan beberapa tokoh Masyarakat bahkan mencoba untuk mencari cerita tentang leluhur di Banyubiru sebagai Bumi Perdikan. Usaha
pencarian identitas ini tidak lain ingin memperkuat identitas masyarakat Banyubiru sebagai masyarakat Jawa yang dalam sejarahnya pernah tinggal para
tokoh-tokoh besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa. Daerah Bumi Perdikan Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari para leluluhr
atau tokoh-tokoh besar yang berjasa atau pernah singgah di Banyubiru. Tokoh tersebut salah satunya adalah Laksamana Sora Dipoyono. Dia adalah seorang
panglima perang dibawah sultan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor pada waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis. Pada waktu itu jatuhnya
Malaka ke tangan orang Portugis dalam tahun 1511, Demak justru mencapai kejayaannya. Daerah-daerah pesisir di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengakui
kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Pati Unus sangat giat memperkuat dan memperluas kedudukan Kerajaan Demak sebagai Kerajaan
Islam. Tahun 1513 Kerajaan Demak bahkan memberanikan diri mengusir Portugis. Sayang bahwa usaha ini gagal, karena Portugis ternyata lebih unggul
Efendy, 1987; Purwadi, 2005. Laksamana Sora Dipoyono berdasarkan cerita masyarakat diyakini
sebagai salah satu panglima parang penyerangan tersebut. Namun, karena di dalam Kerajaan Demak terjadi pertengkaran dalam tubuh keluarga Keraton
maka Sora Dipoyono mengasingkan diri atau menyepi di daerah Banyubiru. Beberapa Masyarakat meyakini bahwa Sora Dipoyono meninggal di Banyubiru
dan dimakamkan di daerah Banyubiru. Meskipun petilasan makam tersebut
37
sudah tidak ada, namun ada sebuah gumuk dimana masyarakat meyakini di situ dimakamkan Sora Dipoyono yaitu Gumuk Bolodewo.
12
Selain Sora Dipoyono yang hadir pada waktu kerajaan Demak, tokoh lain adalah Kyai Joyoproyo yang keberadaannya saat perang Diponegoro atau perang
Jawa. Kyai Joyoproyo adalah nama sesinglon atau samaran, nama sesungguhnya adalah Pangeran Tejokusumo.
13
Dia adalah salah satu pengikut setia pangeran Diponegoro. Ketika pangeran Diponegoro ditangkap, para pengikutnya
melarikan diri, salah satunya Pangeran Tejokusumo yang mengasingkan diri Ke Banyubiru. Masyarakat meyakini bahwa Kyai Joyoproyo ikut membangun
Banyubiru dan wafat di Banyubiru. Sebagai wujud penghormatan, di Desa Banyubiru terdapat makam Kyai Joyoproyo. Pemakaman tersebut tidak seperti
pemakaman yang lainnya karena pemakaman tersebut berada di suatu pemukiman penduduk dan dibangun cungkup
14
. Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai Perang Jawa 1825-
1830 menjadi salah satu peristiwa yang menentukan sejarah Pulau Jawa. Perang Diponegoro dianggap Belanda sebagai perang yang mengesahkan kedudukan
mereka di Jawa. Sebaliknya orang Indonesia memandang perang ini sebagai perlawanan besar yang terakhir seorang pangeran terhadap kekuasaan Belanda.
12
Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi sesepuh Desa Banyubiru Pelaku kebatinan Jawa tanggal 14 Februari 2013
13
Sejarah ini diketahui dari wawancara dengan Ki Adi Samidi yang menceritakan berdasarkan buku tentang sejarah Banyubiru yang menggunakan tulisan jawa gagrak alas jadi bukan tulisan
jawa kuno yang bisa membaca hanya beberapa orang. Dalam buku tersebut diceritakan tentang Pepunden Banyubiru yaitu Mbah Joyoproyo dahulu trah Ngayogyokatro yang bernama Pangeran
Tejokusumo pengikut Pangeran Diponegoro.
14
Cungkup merupakan sebuah bangunan diatas makam bisa berupa rumah.
38
Baru kelak dalam abad ke-20, dengan munculnya pergerakan-pergerakan yang disebut nasionalisme, kekuasaan Belanda sekali lagi ditentang dalam skala
nasional Carey, 1986:7. Desa Banyubiru merupakan daerah yang sangat strategis yang digunakan
Belanda untuk Benteng pertahanan di mana di Banyubiru dibangun Asrama Kaveleri Belanda dan masyarakat Banyubiru juga andil pada perjuangan
melawan penjajah Belanda, setelah perang kemerdekaan Desa Banyubiru seperti desa
– desa di sekitarnya yang diakui secara yuridis.
15
Sehingga mulai pada saat itu telah melakukan penataan dan pembangunan di segala bidang sampai saat ini,
dan perlu diketahui bahwa di Desa Banyubiru pernah dipimpin Kepala Desa atau sebutan lain seperti Demang atau Lurah atau sebutan lainnya.
Banyubiru sebagai Bumi Perdikan selalu dimaknai berbeda di setiap periode kepemimpinan. Setelah Masa Kemerdekaan ketika Banyubiru dipimpin
oleh Dasono Soemaryadi tradisi bersih desa sudah dilakukan dengan menggelar wayang kulit. Begitu pula pada waktu kepemimpinan Sunyoto tradisi tersebut
tetap dilakukan. Namun, tradisi bersih desa tahun 2000-2007 berhenti, yaitu pada waktu kepemimpinan Suwandi. Baru tahun 2008 masa kepemimpinan Sri
Anggoro mencoba mengembalikan tradisi yang sudah ada sebelumnya.
16
Bahkan usaha menghargai leluhur sebagai Sejarah akan Desa Banyubiru mencoba untuk
15
Dibawah Pemerintahan Republik Indonesia yang secara umum termuat dalam Undang –
undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah – daerah Kabupaten dalam lingkup
Propinsi Jawa Tengah dan Undang – undang Nomor 67 tahun 1958 tentang Pembentukan
Wilayah Kotapraja Salatiga Dan Daerah Swatantra Tingkat II semarang.
16
Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro Kepala Desa Banyubiru tanggal 2 Maret 2013
39
di angkat sebegai identitas kejawaannya melalui Sedekah Bumi Perdikan yang dalam kegiatan tersebut muncul slametan, ziarah kubur masal, dan juga
wayangan. Bapak Sri Anggoro mencoba mengangkat kembali tradisi dan ritual-
ritual ini dengan harapan kembalinya jati diri manusia Jawa, yang saat ini mulai tergerus kehidupan yang modern. Selain itu juga ada harapan desanya akan
selalu mendapat berkah dan kemakmuran dengan menjalankan tradisi-tradisi leluhurnya.
2. Kondisi Geografis Desa Banyubiru