Tradisi Sedekah Bumi di Desa Banyubiru

48 b. Penerima Jamkesma data tahun 2011 : 944 orang c. Penerima Program Keluarga Harapan : 30 orang Memayu hayuning bawana berperilaku selaras demi keselamatan dunia sebagai nilai kearifan lokal membawa warga Desa Banyubiru untuk meciptakan kesejahteraan bagi sesamanya. Saling membantu baik secara sosial maupun ekonomi menjadi kewajiban bagi dirinya. Hukum sosial seperti pengucilan menjadi alat kekuasaan yang produktif, bagi pihak yang merasa diuntungkan, baik itu instansi maupun pribadi.

2. Tradisi Sedekah Bumi di Desa Banyubiru

Desa Banyubiru merupakan daerah agraris, sehingga masih memiliki ketergantungan alam yang cukup besar. Sebagai ungkapan syukur atas alam sekitar yang telah memberikan kesinambungan terhadap kehidupan masyarakat, mereka mengungkapkannya melalui sebuah tradisi bersih desa. Bersih desa biasanya juga disebut merti desa, artinya memelihara desa secara batiniah dan lahiriah. Secara batiniah, menjalankan ritual mistik, baik berupa slametan maupun pertunjukan seni. Secara lahiriah, mereka juga membersihkan makam dan tempat-tempat khusus yang dianggrap sakral. Tempat-tempat tersebut dianggap sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan. Tempat yang sakral itu dianggap memiliki tuah dan daya tertentu, karenanya harus diberi sesaji pada saat bersih desa. Tradisi semacam ini dikatakan sebagai wujud pengorbanan anak cucu kepada para leluhur yang telah sumare meninggal. 32 Kepala Keluarga 49 Banyubiru mengadakan tradisi bersih desa tersebut dengan istilah Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru . Tradisi ini menjadi hajatan besar Desa Banyubiru. Hajatan dilakukan secara kolektif, dengan biaya ditanggung bersama. Kegiatan dilakukan oleh seluruh warga desa, tua-muda, pria-wanita, bersama pamong dan sesepuh desa. Kegiatan bersih desa ini dilakukan dengan sasaran fisik maupun spiritual, secara fisik bersih-bersih desa, secara spiritual slametan, wayangan, dan juga ziarah kubur sebagai ungkapan penghormatan pada leluhur mereka. Tradisi Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru dilakukan masyarakat di Desa Banyubiru belum lama. Namun, sebelumnya setiap Dusun di Desa Banyubiru melakukan tradisi bersih desa tersebut dengan istilah masing-masing, mulai dari nyadaran, merti dusun, ataupun sedekah dusun. Dalam tradisi tersebut masyarakat berkumpul bersama, mereka membersihkan sendang atau mata air dan juga membersihkan lingkungan mereka. Hal ini diharapkan sebagai pralambang bahwa warga masyarakat ingin membersihkan kehidupan fisik dan juga batinnya. Puncaknya adalah Selametan. 33 Dusun Kampung Rapet sebagai bagian dari desa Banyubiru rutin melakukan tradisi tersebut secara turun menurun. Selametan dilakukan dengan menggunakan tumpeng nasi kuning sebagai ungkapan syukur dan juga tumpeng putih sebagai permohonan. Selain kedua sarana tadi ada berbagai sarana lain, seperti ingkung, nasi gudangan, air kopi dan air putih. Semua sarana ini sebagai 33 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono perangkat Desa Banyubiru tanggal 16 Februari 2013 50 simbol, karena manusia membutuhkan perantara untuk mengekspresikan sesuatu yang melampui dirinya. Erwin Goodenough dalam telaah panjang lebar, Jewish Symbols in Graeco-Roman Period , mendefinisikan simbol sebagai barang atau pola yang apapun sebabnya bekerja pada manusia, dan berpengaruh pada manusia, melampui pengakuan semata-mata tentang apa yang disajikan secara harafiah dalam bentuk yang diberikan Dillistone, 2002 : 19. Berbagai sarana dalam ritual tersebut hadir sebagai usaha untuk menggerakan cara berpikir dan juga perilaku warga masyarakat. Selain itu dari ritual yang memuat sesaji yang dilaksanakan bersamaan serentak berarti ada keyakinan akan makna dan fungsi tertentu bagi keselamatan hidupnya. Makna dan fungsi tersebut hadir dengan ungkapan yang berbeda, antara lain kegiatan bersih desa untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, meningkatkan kecintaan masyarakat kepada daerahnya, mempererat persauadaraan antar warga desa, wujud hormat dan terimakasih pada leluhur mereka. Masyarakat Desa Banyubiru merasa takut jika tidak menjalankan tradisi bersih desa, berharap agar mendapat keselamatan. Fenomena gagal panen yang pernah terjadi di Banyubiru membuat masyarakat semakin menghayati perlu tidaknya melakukan bersih desa. Mulai tahun 2000 sampai sekarang, Desa Banyubiru sering gagal panen karena hama tikus, bahkan di tahun 2011 mengalami gagal panen yang luar biasa, hampir 90 sawah di Desa Banyubiru tidak panen. 34 34 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro Kepala Desa Banyubiru tanggal 2 Maret 2013 51 Kegagalan ini dikaitkan oleh masyarakat karena tidak lagi melakukan tradisi bersih desa di tingkat Desa Banyubiru. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Hartanto berikut : “Bersih desa tidak hanya wayangan dan berdoa, tetapi ada unsur bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan, baik itu tanah, udara, maupun air. Maka bagi saya kegagalan panen yang luar biasa yang terjadi di Banyubiru karena di desa sudah tidak lagi ada merti desa, tidak ada rasa syukur yang diwujud nyatakan dan penghormatan pada leluhur kita, jadi ya jangan kaget kalau bumi juga tidak memberikan sesuatu yang baik kepa da kita.” 35 Fenomena ini mengantar masyarakat Desa Banyubiru dibawah kepemimpinan Kepala Desa Bapak Sri Anggoro Siswaji untuk kembali mengadakan tradisi bersih desa. Mereka memiliki harapan selain untuk ungkapan syukur dan keselamatan hidupnya, ada harapan kehidupan sosial masyarakat antar dusun di Desa Banyubiru semakin guyub rukun, sehingga dengan tradisi bersih desa masyarakat semakin menyadari bahwa manusia hidup diantara alam dan sesama manusia. 36 Konflik antar dusun tidak terjadi lagi, seperti yang terjadi pada waktu pemilihan Kepala Desa Banyubiru tahun 1999. Pemicu konflik yang berakibat pada perkelahian tersebut adalah ketidakpuasan warga Dusun Demakan yang tidak menerima kekalahan calon Kepala Desa dari daerahnya. Kegiatan bersih desa dilakukan oleh banyak desa di Jawa, dengan cara dan nama yang tidak selalu sama. Ada yang menyebutnya sedekah desa, karena di dalam acara tersebut diadakan sedekah massal. Ada pula yang menyebut 35 Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 2013 tanggal 27 Februari 2013 36 idem 52 rasulan, karena dalam kendurinya disajikan selamatan rasulan nasi gurih dan lauk ingkung ayam . Ada lagi yang menyebutnya memetri desa, karena dalam kegiatannya dilakukan pembenahan dan pemeliharaan desa, baik mengenai semangat maupun acara kegiatannya. Dari sekian ragam istilah bersih desa, esensinya merupakan fenomena untuk mencari keselamatan hidup. Waktu penyelenggaraan bersih desa pun bisa berbeda-beda. Perbedaan ini didasarkan atas pemaknaan konsep ruang dan waktu. Hal ini dapat dipahami, namun satu-satunya kesamaan dalam bersih desa adalah waktu pelaksanaanya satu tahun sekali, biasanya sesudah musim panen. Sedangkan bulan, hari tanggal, dan cara pelaksanaannya tidak selalu sama antara satu desa dengan desa lainnya. Setiap desa tentu memiliki waktu pilihan, kegiatan pilihan, sesuai dengan kegiatan setempat, misalnya bersih desa dijatuhkan pada hari dimulainya pemukiman di desa tersebut, atau dilaksanakan pada hari lahir atau meninggalnya cikal bakal desa. Masyarakat Banyubiru sendiri melakukan sedekah bumi setahun sekali. Pemilihan istilah sedekah bumi perdikan Banyubiru memiliki harapan bahwa masyarakat lebih mudah memaknai rasa syukur atas bumi tempat mereka tinggal. Sedekah bumi juga sebagai wujud hormat dan penghargaan bagi leluhur di Banyubiru seperti mbah Joyoproyo maupun Suro Dipoyono. 37 Tradisi sedekah bumi perdikan Banyubiru ini, di samping memiliki makna spiritualitas bagi kesejahteraan masyarakat, sebenarnya secara sosial menjadi sarana solidaritas. Sebelum puncak acara wayang kulit ada berbagai 37 Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro Kepala Desa Banyubiru tanggal 2 Maret 2013 53 macam kegiatan, mulai dari gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal masing-masing hingga jalan sehat massal. Rangkaian Sedekah Bumi diawali dengan kegiatan gropyokan tikus, dimana warga bersama-sama berburu tikus di sawah, karena telah menjadi hama. Banyaknya tikus membuat para petani di Banyubiru merugi, sehingga dengan berbagai cara warga menangkap tikus bersama-sama pada hari dan jam yang ditentukan. Kegiatan berikutnya adalah ziarah kubur massal. Seluruh warga, tanpa memandang keyakinan agama tertentu bersama-sama berziarah kubur di makam leluhur mereka masing-masing. Pemakaman yang biasa menjadi tempat berziarah adalah pemakaman silanceng yang berada di Desa Banyubiru. Setelah berziarah pada leluhur mereka masing-masing, warga masyarakat berkumpul di makam pepunden Kyai Joyoproyo. Di tempat itu mereka mengadakan selamatan, yaitu berdoa bersama. Ziarah kubur merupakan cara pandang beberapa masyarakat di Desa Banyubiru sebagai wujud bakti dan hormat pada leluhur mereka, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Martoyo berikut: “Nyekar ziarah kubur itu menandakan kalau yang dimakamkan ada yang ngopeni merawat, karena orang tua saya sudah meninggal saya mendoakan didepan makam tersebut, njaloke ngapuro tinebihno seko siksa neraka dicaketke karo Gusti Allah memintakan maaf atas dosa dan dijauhkan dari neraka, didekatkan pada Gusti Allah. Dan pasti nanti leluhur kita akan juga mendoakan dan melindungi kita yang masih hidup” 38 38 Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Martoyo Juru Kunci Makam Kyai Joyoproyo tanggal 15 Februari 2014 54 Ziarah kubur menjadi cara pandang yang kuat bagi masyarakat Jawa seperti di Desa Banyubiru. Dengan ziarah kubur ini masyarakat memiliki keyakinan, arwah tersebut memang pantas dimintai berkah agar membantu anak cucu. Roh leluhur dianggap yang menjadi penjaga bagi kehidupannya. Kegiatan lain selain ziarah kubur adalah, jalan sehat. Sasaran kegiatan tersebut adalah seluruh warga yang menggunakan bumi Banyubiru. Berbagai tujuan diharapkan dari kegiatan tersebut, yaitu selain menjadi hiburan bagi masyarakat juga menjadi sarana pemersatu. Puncak Sedekah Bumi ini adalah pertunjukan wayang kulit. Sebagai bentuk simbolis, kehadiran wayang kulit dalam tradisi Sedekah Bumi mengandung suatu maksud di balik bentuk atau wujudnya, yaitu ekspresi penghormatan kepada Tuhan maupun leluhurnya. Wayang Kulit sebagai simbol kehidupan mengandung nilai-nilai yang berharga bagi masyarakat. Dalam hal ini, sikap dan tindakan pada dasarnya mencermikan perilaku bijaksana. Kebijaksanaan hidup manusia yang dimaksud merupakan cara ataupun sarana untuk menciptakan kehidupan yang selaras dan harmonis, sehingga tercipta kesejahteraan hidup. Dalam hal ini wayang kulit secara simbolis memberi konstribusi pada pembentukan sikap hidup manusia dalam upaya mencapai kehidupan yang selaras dengan lingkungannya. Wayang kulit menjadi berarti dan memiliki makna yang lebih ketika menjadi satu kesatuan yaitu di dalam suatu pertunjukan atau pementasan. Pertunjukan di sini ketika wayang diberi suara, iringan gamelan, cerita, dan faktor lainnya seperti rasa, peristiwa, dan juga karakter yang dipertunjukan oleh 55 dalang Mrázek, 2005:16. Penikmat wayang selalu terhanyut ke dalam sebuah rangkaian kesatuan pertunjukan wayang kulit. Bagi mereka, wayang kulit membawa hiburan yang memiliki nilai seni tinggi. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Agung berikut: 39 “Saya itu kalau melihat wayang, tidak tahu kenapa bisa merasa nyaman, ayem tentrem, ning ati iso adem dihati merasa dingin. Bagi saya menonton wayang tidak hanya sekedar nonton seperti nonton dangdut, tetapi lebih dari itu dibutuhkan hati dan pikiran untuk merasakan dan memahami pertunjukan wayang tersebut” Hal tersebut senada dengan Amir 1991:77 yang mengatakan bahwa wayang sebagai teater memberikan santapan-santapan yang bersifat psikologis, intelektual, religius, filosofis, estetis, dan etis. Suatu pertunjukan wayang adalah suatu package deal yang lengkap dari seluruh aspek-aspek itu. Wayang memberikan hiburan yang sehat bagi para penonton. Unsur-unsur tragedi, komedi, dan tragikomedi ada dalam wayang. Meskipun asal usul wayang sendiri, belum dapat ditentukan dengan pasti, namun penulis-penulis Indonesia cenderung mengikuti teori Hazeau yang mengatakan wayang berasal dari suatu upacara keagamaan untuk memuja arwah nenek moyang yang disebut Hyang. Selain itu, Kats 1923:37-38 dalam Amir 1991:28 juga mempunyai teori yang menyerupai teori Hazeu, Kats mengatakan bahwa wayang merupakan suatu kebudayaan yang amat tua, wayang memiliki hubungan erat dengan praktik keagamaan, wayang juga digunakan dalam upacara-upacara tertentu yang erat hubungannya dengan 39 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Agung penikmat wayang kulit tanggal 10 April 2013 56 penyembahan terhadap nenek moyang. Pemahaman ini mengantar pada sebuah pertunjukan wayang kulit sebagai tradisi bersih desa diberbagai tempat. Pertunjukan wayang kulit dalam puncak sedekah bumi perdikan di Desa Banyubiru merupakan representasi simbolik dari kesadaran atau ketaksadaran warga. Berbagai harapan dan mimpi tentang keselamatan dan juga kesejahteraan hidup dalam kaitannya hasil panen, mereka lukiskan melalui pertunjukan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak Hartanto berikut: “Bagi saya kalau merti desa tapi tidak wayangan belum sempurna, karena tidak ada puncak harapan akan doa-doa selama ini. Wayang kulit tidak hanya sekedar tontonan tetapi juga tuntunan. Dengan wayangan bisa merubah cara pandang atau cara pikir, merubah rasa, dan juga bagaimana menghargai leluhur kita. Menghargai wayang kulit berarti juga mengahargai dan menghormati leluhur atau nenek moyang kita” 40 Ketika pertunjukan wayang kulit dijadikan sebuah harapan dan panutan dalam kehidupan manusia, maka setiap lakon juga sangat memiliki peran penting. Tema-tema pokok dalam lakon wayang itu menggariskan masalah- masalah utama yang dihadapi manusia. Tema bahwa manusia dilahirkan dengan kodrat kebinatangan dan kemalaikatan menggariskan masalah utama manusia sebagai makhluk pribadi. Sebagai pribadi masalah yang paling utama adalah bagaiamana menyempurnakan hidup pribadinya, sehingga dengan demikian bisa menguasai fitrah kebinatangannya dan mengembangkan kodrat kemalaikatannya. Sedangkan secara sosial manusia memiliki tugas “mempercantik” negara, bangsa, dan kemanusiaan pada umumnya, yang 40 Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 2013 tanggal 27 Februari 2013 57 menurut wayang digariskan dalam ajaran memayu hayuning praja, memayu hayuning bangsa, dan memayu hayuning bawana. Paling utama dalam ajaran pewayangan adalah memberantas kejahatan dengan ajaran sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti. Amir, 1991: 67 Setiap lakon memiliki harapan masing-masing yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Hal ini sejalan dengan gagasan Redfield Coote dan Shelton, 1992:15-16, bahwa seni sebagai sebuah pengalaman yang diperluas. Dengan kata lain seni memiliki makna yang tidak terbatas. Di dalamnya ada pemaknaan yang begitu luas. Seperti dalam pertunjukan wayang kulit, untuk bersih desa berbeda dengan untuk pertunjukan biasa. Seni pertunjukan wayang kulit dalam bersih desa biasanya melukiskan tema spiritual yang mengarah pada keselamatan dan anugerah rejeki. Keselarasan manusia dengan lingkungan dirasakan oleh masyarakat Banyubiru. Setelah pertunjukan wayang kulit dalam puncak Sedekah Bumi, tikus yang jumlahnya begitu banyak dan menjadi hama di Sawah hilang seketika. 41 Fenomena ini menjadi cara pandang tersendiri bagi masyarakat di Banyubiru. Tradisi Sedekah Bumi ternyata menjadi sesuatu yang penting sebagai ungkapan syukur dan permohonan akan hasil panen dan juga kehidupan mereka. Pertunjukan Wayang Kulit ternyata secara sosial diyakini sebagai sarana mempererat persaudaraan warga desa tetangga. Oleh karena tidak sedikit warga desa lain yang berbondong-bondong, menonton, berjualan, dan bahkan ada yang 41 Berdasarkan hasil wawancara Bapak FX. Hartanto ketua Panitia Sedekah Bumi 2012 2013 tanggal 27 Februari 2013 58 hadir untuk “berjudi Klutuhuk”, di sekitar arena pertunjukan. Tidak ada sekat perbedaan di antara warga masyarakat, yang ada hanyalah adanya sebuah pertunjukan bagi dirinya. 42 Sesuai dengan teori Turner 1988:74-75 sebenarnya pertunjukan ritual memiliki fungsi hiburan bagi audiensnya. Hiburan bisa hadir dalam bentuk apapun, tidak hanya dalam pentas wayang itu saja, namun juga hiburan lain yang hadir di situ. Bahkan ada kebutuhan interaktif antarwarga masyarakat sebagai kebutuhan sosial dapat terpenuhi. Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru menjadi sebuah tradisi yang mencoba untuk terus dipertahankan, tidak hanya berhenti sebagai hiburan dalam kebutuhan sosial, namun juga seni spiritual sebagai manusia Jawa. Ziarah kubur ke makam pepunden atau leluhur mereka, serta pertunjukan wayang kulit merupakan usaha warga Desa Banyubiru untuk menunjukan atau mempertahankan identitasnya sebagai manusia Jawa.

3. Tradisi Ziarah kubur di Desa Banyubiru