Kejawaan dan kekristenan negosiasi identitas orang Kristen Jawa dalam persoalan di sekitar tradisi ziarah kubur

(1)

i

KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :

NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA

DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI

ZIARAH KUBUR

TESIS

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh :

Emmanuel Satyo Yuwono

116322006

Program Pasca Sarjana

Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2014


(2)

ii

TESIS

KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :

NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA

DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI


(3)

iii

TESIS

KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :

NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM

PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR

Oleh :

Emmanuel Satyo Yuwono 116322006

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis dan dinyatakan telah memenuhi syarat


(4)

iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Emmanuel Satyo Yuwono NIM : 116322006

Program : Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Institusi : Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis Judul : KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :

NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR

Pembimbing : 1. Dr. Albertus Bagus Laksana, S.J. 2. Dr. Benedictus Hari Juliawan, S.J. Tanggal diuji : 23 Januari 2014

Adalah karya dan penelitian saya pribadi.

Di dalam tesis ini tidak pernah terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Peminjaman karya sarjana lain adalah semata-mata adalah untuk keperluan ilmiah sebagaimana diacu secara tertulis di dalam catatan kaki maupun daftar pustaka.

Yogyakarta, Februari 2014


(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Nama : Emmanuel Satyo Yuwono

NIM : 116322006

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya berjudul :

KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN :

NEGOSIASI IDENTITAS ORANG KRISTEN JAWA DALAM PERSOALAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan pada Universitas Sanata Dharma untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk perangkat data, mendistribusikannya secara terbatas dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, Februari 2014


(6)

vi

MOTTO

Ngelmu iku kalakone kanthi laku Lekase lawan kas

Tegese kas nyantosani

Setya budya pangkese dur angkara

(Serat Wedhatama, KGPAA Mangkunagoro IV)

Ilmu itu baru bisa terlaksana jika disertai penghayatan Pelaksanaannya juga harus secara sungguh-sungguh

Bersungguh-sungguh berarti akan memberikan kesentosaan Kesadaran diri untuk memusnahkan nafsu jahat


(7)

vii

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada mereka yang hadir dalam perjalanan hidup saya.

Kedua orang tuaku, Bapak FX Hartanto dan ibu Indi Prihatini

Kakaku, Yulis Wicaksono Adi, Astri Mahareni dan juga si kecil Andhira Christy Renadita Serta Rininta Cintya Sari yang hadir dalam perjalanan hidup saya, karya ini kupersembahkan untukmu


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Gagasan penelitian ini berawal dari kegelisahan peneliti. Pada waktu itu, pembicaraan mengenai peristiwa kematian menjadi perdebatan yang tidak terselesaikan. Kematian merupakan sebuah fenomena yang hadir di tengah masyarakat, namun peristiwa kematian akhirnya hanya menjadi wacana yang di setiap agama dan kebudayaan memiliki pandangan masing-masing. Pembicaraan mengenai arwah leluhur setelah persitiwa kematian memiliki dua pemaknaan, yang pertama berkeyakinan bahwa arwah leluhur sudah langsung berada di surga, di lain pihak menganggap bahwa arwah leluhur masih perlu didoakan.

Peneliti cukup terkejut ketika mendengar ucapan dari jemaat Kristen

demikian “berziarah kubur berarti berdoa di depan bangkai”. Pada waktu itu,

peneliti sebagi orang Jawa tidak bisa menerima pernyataan itu dan terjadi perdebatan yang tidak terselesaikan dan bahkan mengarah pada konflik sosial. Kendati demikian, setelah mengikuti perkuliahan di Kajian Ilmu Religi dan Budaya dan mengenal beberapa teori sosial, peneliti bisa sedikit meraba mengapa hal demikian bisa terjadi.

Berawal dari kegelisahan tersebut, lalu peneliti ingin melihat bagaimana kemudian jemaat GKJ sendiri menegosiasikan identitasnya. Dalam penelitian ini bukan mengungkap tentang kebenaran yang terjadi setelah peristiwa kematian, namun bagaimana peristiwa kematian yang tergambar dalam tradisi ziarah kubur ikut membentuk identitas seseorang. Bagaimana mekanisme pembentukan identitas terjadi, sehingga bisa mengarah pada pengetahuan dan pembenaran yang tertanaman kuat dalam dirinya.


(9)

ix

Saya perlu mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan penelitian ini. Ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada Romo Bagus Laksana, S.J sebagai pembimbing utama, kehadirannya dalam memberikan saran dan kritik sangat membantu terselesainya tesis ini. Kesediaannya membaca dan mencorat-coret setiap lembar tesis ini, tanpa adanya campur tangannya saya yakin tesis ini tidak akan terselesaikan seperti ini. Banyak konsep pemikiran Romo Bagus yang tertulis dalam tesis ini. Perspektif penulisan ini juga tidak terlepas dari campur tangan Romo Benny Hari Juliawan, S.J yang menjadi guru teladan saya. Diskusi bersamanya selalu menghidupkan semangat dan mempertajam untuk mendalami setiap permasalahan baik secara teoritis maupun praktis. Cara mengajar dan kesederhanaanya menginspirasi saya untuk selalu menjadi manusia yang sederhana. Tanpa bantuan dan segala perhatian yang dia berikan, saya tidak tahu apa jadinya tesis ini.

Terimakasih yang sebesar-besarnya juga kepada para pengajar di Program Ilmu Religi dan Budaya USD, Romo G. Budi Subanar S.J, Bapak St. Sunardi, Bapak Supratiknya, Romo Budi Susanto S.J, Romo Baskara S.J, Romo Haryatmoko S.J, Ibu Katrin, dan juga Ibu Devi yang semuanya telah menyediakan kesempatan bagi saya untuk mengenal dan mengembangkan pemikiran tentang persoalan religi, budaya, dan juga kemanusiaan. Terimakasih pula saya ucapkan kepada mbak Desy dan juga Pak Mul yang telah ikut membantu dalam bentuk apapun selama kuliah maupun penulisan tesis.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada N. Gogor Seta Dewa yang telah bersedia menyediakan tempat saya untuk singgah dan juga berdiskusi


(10)

x

bersama, dari teori filsafat yang rumit, permasalahan politik, permasalahan di kelas, bahkan gosip selebritis. Saya juga beruntung berada di antara teman-teman yang senantiasa memberikan waktu untuk berdiskusi bersama dan memberikan masukan, terimakasih saya ucapkan kepada: Pak Ismulyadi (kata yang tak terlupakan: sing penting pasedulurane ojo nganti pedot), Pak Daryadi (pejuang yang tangguh, melintasi gunung merbabu dan telomoyo sampai di Banyubiru hanya untuk meminjam buku, mantap pakdhe), Putro (Nggitar karo nglekar2,

seniman sejati tenan), Mbak Kurniasih (Sahabat teladan yang selalu berada di Perpus, lanjutkan mbak..hehe), Alm. Mbak Julia (Banyak sekali pengalaman yang tak terlupakan, ujian tesis di hari yang sama namun sekarang engkau telah bahagia bersamaNya, doakan kami budhe yang masih berziarah di dunia ini), Pak Marsius (Sahabat yang luar biasa, selalu semangat), Imran (sahabat satu perguruan di padepokan romo Bagus, semangat pak ustad), Alut (Intelektual muda ternate kamu bro, salam buat marlon), Mbak Vini (wanita yang “tangguh”..hehe, Arham (ini dia calon profesor IRB), Doni (tetap berkarya bro), Frans (halo pak pendeta, gimana kerbaunya sehat?) Lamzer (mantap bro), Wahmuji (warung kopi lidah ibu) dan juga teman-teman IRB lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Terimakasih juga saya tujukan kepada para responden saya, Bapak Pdt. Setyo Utomo, Bapak Sudarman, Bapak Ratno, Ibu Giyati, Daniel, Valerian, dan juga Bapak Siswantoro dengan keiklasan mau bercerita tentang Kekristenan yang mereka alami dan ketahui. Terimaksih juga saya ucapkan kepada beberapa responden warga Desa Banyubiru, terutama Bapak Ki Adi Samidi sesepuh desa


(11)

xi

Banyubiru, Bapak Sri Anggoro Sisiwaji Kepala Desa Banyubiru, Bapak Supridaryono, dan Bapak Martoyo juru kunci pemakaman di Desa Banyubiru.

Tidak berlebihan pula apabila saya berterimakasih kepada kedua orang tua saya, Bapak FX. Hartanto dan Ibu Indi Prihatini yang memberikan dukungan dalam bentuk apapun, dan juga kepada kakak saya Y. Wicaksono Adi dan Astri Mahareni. Tidak lupa saya juga mengucapkan terimaksih kepada Rininta Cintya Sari yang tidak henti-hentinya memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

Dorongan dan bantuan yang langsung dan tidak langsung dari berbagai pihak sangat berarti untuk proses belajar saya dan terselesainya tesis ini. Akhirnya saya hanya bisa berharap semoga tesis ini berguna secara positif untuk semua pihak.

Emmanuel Satyo Yuwono 2014


(12)

xii

Abstrak

Ziarah kubur merupakan tradisi yang melekat dalam tradisi masyarakat Jawa. Tradisi ini tidak hanya menjadi wujud hormat bagi leluhur mereka, namun memiliki pemaknaan akan peristiwa kematian. Bagi orang Jawa persitiwa kematian tidak berarti kepunahan melainkan kesuburan. Orang-orang melakukan ritual ziarah kubur untuk mendoakan dan menyelipkan harapan atau berkah

pangestu melalui leluhur mereka. Permohonan ini dipanjatkan tidak hanya melalui leluhur mereka secara pribadi, namun juga leluhur mereka secara komunal yang sering disebut dengan pepunden. Sebagai wujud nyata penghormatan leluhur secara komunal, maka dikenal adanya tradisi slametan, merti desa, dan bahkan dihadirkan melalui pertunjukan wayang kulit. Semua tradisi ini menjadi ritual di sekitar ziarah kubur karena terdapat wujud hormat dan permohonan melalui leluhur mereka, yang semuanya mengarah pada penunjukan identitas manusia Jawa.

Tradisi di sekitar ziarah kubur ini tergambar di tengah masyarakat Desa Banyubiru Kabupaten Semarang, sebuah desa yang terletak di lereng gunung Telomoyo dan di dekat Rawa Pening. Kondisi alam semacam ini menyebabkan konsepsi ritual penghormatan leluhur semakin kuat. Namun, di tengah masyarakat Banyubiru muncul usaha purifikasi agama yang hadir melalui ajaran Gereja Kristen Jawa. Ajaran Kristen memandang bahwa setelah kematian tidak ada keterhubungan antara yang masih hidup dengan roh orang meninggal. Orang yang meninggal sudah langsung berada di Surga. Pemahaman ini didasarkan atas teks Alkitab dan tafsiran dari para Pendeta.

Jemaat Gereja Kristen Jawa akhirnya harus menegosiasikan identitasnya antara kejawaan dan kekristenan. Untuk melihat mekanisme negosiasi identitas, kajian ini menggunakan pendekatan Foucault tentang panoptikon. Dari hasil kajian yang telah dilakukan ternyata teori panoptikon Foucault masih terbatas. Foucault melihat adanya pengawasan berasal dari satu titik saja atau bersifat tunggal. Dalam kajian ini ternyata ada dua pengawasan yang mempengaruhi negosiasi identitas. Tuhan yang dihadirkan melalui Alkitab sebagai usaha purifikasi dan aturan komunal dalam masyarakat. Akhirnya penelitian ini menunjukkan bahwa usaha purifikasi tidak berhasil. Kegagalan purifikasi ini disebabkan karena pengetahuan jemaat GKJ yang dipengaruhi oleh kekuasaan di sekitarnya, dalam hal ini kekuatan tradisi lokal. Jemaat GKJ tetap melakukan ziarah kubur namun disisi lain tidak melakukan ritual dan pemaknaan seperti dalam tradisi Jawa.


(13)

xiii

Abstract

Ziarah kubur (tomb visitation) is an established tradition in Javanese society. This tradition is not only a manifestation of respect for their ancestors, but also a discernment of death. For Javanese people, death does not mean extinction but fertility. People do ziarah kubur to pray and gain pangestu (blessing) through their ancestors. This prayer is not only communicated through their blood ancestors, but also through their communal ancestors or pepunden. As a manifestation of communal ancestor veneration and remembrance, there are traditions such as slametan, merti desa, and shadow puppet show. All of these traditions become rituals around ziarah kubur because forms of respect and invocation through their ancestors can be found there, which refer to the identity of Javanese people.

These traditions around ziarah kubur are observable in the village of Banyubiru, located at the slope of mount Telomoyo near Rawa Pening, Semarang Regency. This natural condition helps the flourishing of the practice of ancestor veneration and remembrance rituals. However, there is an effort of religious purification coming from the teachings of Javanese Christian Church (GKJ). Christian teachings believe that there is no connection between the living and the spirits of the dead. The dead is already in heaven. This understanding is based on the Scripture and the ministers’ interpretation.

The Javanese Christian Church’s faithful ultimately have to negotiate their

identities of being Javanese and Christian. This analysis uses Foucault’s approach on panopticon to see the mechanism of identity negotiation. From the analysis that

had been done, it turns out that Foucault’s panopticon theory is still limited.

Foucault thinks that surveillance comes only from a single source. This research shows that there are two kinds of surveillance that affect identity negotiation: God from the Scripture as an effort of purification and communal rules in the society. In the end, this research shows that the purification did’nt succeed completely. The failure of this purification is caused by the knowledge of GKJ faithful that is affected by power around it, which is the power of local tradition. The GKJ faithful still do ziarah kubur but on the other hand do not do the rituals and discernment like in Javanese tradition.


(14)

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……….………... i

HALAMAN PERSETUJUAN………...….. ii

HALAMAN PENGESAHAN………...….. iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN...………...…... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... v

MOTTO... vi

PERSEMBAHAN………...………. vii

KATA PENGANTAR………... viii

ABSTRAK………..……... xii

ABSTRACT………...………... xiii

DAFTAR ISI………..……….... xiv

BAB I: PENDAHULUAN I. Latar Belakang ... 1

II. Tema ... 15

III. Rumusan Masalah ... 15

IV. Tujuan Penelitian ... 15

V. Pentingnya penelitian ... 16

VI. Konsep Penelitian dan Kajian Pustaka ... 17

VII. Metode Penelitian ... 25

VIII. Sistematika penulisan ... 26

BAB II : “IDENTITAS KEJAWAAN” MASYARAKAT DESA BANYUBIRU I. Desa Banyubiru sebagai Wilayah Kejawaan ... 30


(15)

xv

1. Sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan ... 30

2. Kondisi Geografis Desa Banyubiru ... 39

3. Keadaan Penduduk ... 40

II. Kondisi Sosial dan Budaya ... 45

1. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Banyubiru ... 45

2. Tradisi Sedekah Bumi di Banyubiru ... 48

3. Tradisi Ziarah Kubur di Desa Banyubiru ...58

BAB III : KEKRISTENAN DI JAWA: WACANA AJARAN KRISTEN SEBAGAI KEKUATAN AGAMA DALAM MEMBENTUK IDENTITAS I. Munculnya Gereja Kristen di Jawa ... 72

1. Sejarah Kristenisasi di Jawa : Berawal dari Kolonialisme .. 72

1.1. Krisen “Jawa” dan “Landa”... 73

1.2. Usaha Kristenisasi di Jawa Tengah ... 81

2. Muncul dan Berkembangnya GKJ di Banyubiru ... 85

II. Pengaruh dan Proses Pembentukan Identitas Kristen Jawa ... 88

1. Hadirnya Gereja Kristen Jawa di Banyubiru... 88

1.1. Peran Penyebar Ajaran Kristen ... 89

1.2. Cara penyebaran... 93

2. Kekristenan sebagai Cara Pandang... 95

BAB IV: TARIK ULUR IDENTITAS: KEJAWAAN DAN KEKRISTENAN DI SEKITAR TRADISI ZIARAH KUBUR I. Konsepsi ajaran Kristen yang hadir dalam usaha purifikasi ... 100


(16)

xvi

di Sekitar Ziarah Kubur ... 101

1.1 Slametan ... 101

1.2 Penghormatan Leluhur dalam Tradisi Ziarah Kubur ... 109

2. Wacana akan Kematian ... 113

II. Kekristenan dan Kejawaan: Usaha Memberikan Kepatuhan ... 117

1. “Alkitab” Sebagai Panoptik ... 119

2. Aturan komunal masyarakat Jawa ... 122

BAB V : PENUTUP I. Kesimpulan ... 126


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari dua peristiwa, yaitu peristiwa kelahiran dan kematian. Tanpa kelahiran tidak akan ada kehidupan, sedangkan kematian menjadi batas akhir kehidupan manusia di dunia ini. Kematian dihadapi semua orang tanpa terkecuali dan tidak bisa diingkari. Selain itu kematian menjadi sebuah misteri karena berada di luar pengalaman manusia, yang bisa dilihat dan dirasakan adalah peristiwa lain yang hadir saat kematian. Ketakutan dan kepasrahan muncul dalam peristiwa kematian. Perasaan ini muncul karena adanya perpisahan secara fisik dengan orang yang meninggal.

Di satu pihak, kematian membawa kepunahan yang nampak dari tubuh yang berangsur-angsur hancur membusuk dan akhirnya lenyap ditelan tanah. Sedangkan di lain pihak, orang mengangan-angankan cahaya kekal. Agama dan kepercayaan menjanjikan pemeluknya tentang kehidupan yang tidak musnah ditelan kematian.

Peristiwa kematian dalam berbagai tradisi dan agama tentu memiliki praktek ritual masing-masing. Ritual tersebut memiliki makna-makna yang mendalam dan sulit untuk dilepaskan sebagai sebuah tradisi. Ritual tersebut tidak hanya ketika perawatan jenazah, tetapi juga kelanjutan setelah itu. Seperti apa yang dilakukan dalam tradisi Jawa.


(18)

2 Manakala kita membicarakan mengenai Jawa, kata Jawa cenderung diasosiasikan dengan gagasan terhadap usaha-usaha menjaga dan meneruskan tradisi leluhurnya. Di sini dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat Jawa tradisi dipandang berasal dari naluri yang berada di luar pengalaman sehari-hari. Tradisi ini tidak muncul begitu saja, namun rupanya bersumber dari pengetahuan orang mengenai kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung semenjak jaman kuno yang kini tidak secara tepat dipahami dan diurai kembali. Oleh karena itu dalam menjalankan tradisi, orang sering mendengarkan pertimbangan orang tua atau tetangga yang dianggap tahu (Subagyo, 2004 : 63)

Salah satu tradisi Jawa yang berkaitan dengan peristiwa kematian dan usaha untuk menjaga tradisi leluhurnya adalah tradisi ziarah kubur. Peneliti tertarik untuk melihat tradisi ziarah kubur karena begitu melekat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Bagi masyarakat Jawa, ziarah kubur menjadi tradisi yang dilakukan secara turun menurun sebagai wujud penghormatan terhadap leluhurnya. Masyarakat Jawa melakukan ziarah kubur yaitu dengan melakukan bersih-bersih makam dan juga mendoakan baik itu leluhur atau sanak saudaranya yang dimakamkan di situ.

Dalam tradisi Jawa hal semacam itu sudah dikenal sejak jaman dulu, bahkan ada berbagai macam cara untuk mendoakan para leluhur atau saudaranya yang sudah meninggal, yaitu dengan menabur bunga di atas makamnnya, mendoakan, atau dengan ritual lainnya. Salah satu bukti bahwa ziarah kubur merupakan tradisi Jawa adalah, adanya penghormatan terhadap


(19)

3 makam-makam raja-raja Jawa, baik itu berkaitan dengan letak makam yang cenderung lebih tinggi ataupun adanya ritual-ritual lainnya. Bahkan bagi masyarakat Jawa mengenal waktu yang sering dilakukan saat ziarah, yaitu malam Jumat Kliwon ataupun Selasa Kliwon.

Kuburan merupakan salah satu tanda dari identitas orang yang sudah meninggal yang dibangun oleh orang-orang yang masih hidup baik itu keluarga ahli waris atau orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan almarhum. Kuburan juga menjadi tanda kehadiran di dunia yang tersisa dari orang yang dikuburkan di situ. Pendirian nisan atau tanda kubur menunjukkan bahwa ingatan yang mereka miliki tidak ikut terkubur di situ. Untuk memperbaiki kubur atau misalnya pasang nisan tukang batu selalu minta agar dijawabke (dimintakan izin) oleh orang tua dan setelah selesai orang tua itu diminta mbalekake (mengembalikan). Orang Jawa menjadikan tradisi ziarah kubur menegaskan bahwa kematian tidak berarti kepunahan melainkan kesuburan. Orang-orang yang menjalankan ziarah kubur menyelipkan harapan bahwa kesulitan hidupnya sehari-hari dapat terbantu oleh rahmat atau berkah pangestu yang memberi kekuatan dan menjanjikan kesejahteraan serta keselamatan dari segalanya (Subagyo, 2004: 146).

Pangestu mengalir dari status yang lebih tinggi ke status yang lebih rendah dan bukan sebaliknya. Sikap orang berdoa di depan nisan atau memberi bunga memperlihatkan bagaiamana posisi pangestu dipandang. Mereka dalam posisi sungkem, berjongkok di sebelah makam atau duduk bersila dengan tangan mengenadah sambil mengungkapkan seluruh isi hati


(20)

4 atau doa-doa. Posisi semacam ini dapat ditemui juga ketika upacara perkawinan, yaitu saat mempelai bersujud mencium lutut orang tua mereka. Sikap sungkem dan sembah memperlihatkan tanda hormat dari pihak yang melakukannya (Pemberton, 1989:324).

Pangestu dan bentuk bakti hormat kepada leluhur melalui ziarah kubur menjadi gagasan yang terkonstruksikan secara sosial. Masyarakat Jawa meyakini bahwa tidak hanya terjadi relasi antara orang mati dengan orang yang ditinggalkannya. Namun, individu terlibat dalam hubungan dengan individu lain dan pranata sosial komunitasnya. Sebagai wujud nyata adanya ziarah kubur secara bersama-sama, yaitu sering disebut dengan nyadran1atau

mreti desa.

Secara sosio-kultural, implementasi dari ritus nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji sekaligus landasan ritual doa. Nyadran juga menjadi ajang silaturahmi keluarga dan sekaligus menjadi transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tata hubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat, sehingga

1

Mengenai tradisi Nyadran Ward Keeler (1987: 83-84) menguraikan bahwa pola yang mendasari merupakan versi ideal hubungan ayah dengan anak laki-laki yang diasimilasikan hubungan antara seseorang dengan leluhurnya.


(21)

5 akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan tradisi. Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan dan nasionalisme. Orang Jawa memandang diri manusia dengan konsep

sarira satunggal atau sari rasa tunggal dan nagara satunggal atau naga rasa tunggal sebagai makhluk sosial (Astiyanto, 2006:452).

Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran masyarakat akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai. Tradisi kepercayaan nyadran demikian sejalan dengan makna kata bersih desa yang senada dengan mreti desa. Bersih desa, berarti membersihkan desa baik lahir maupun batin. Sedangkan kata merti desa berasal dari kata merti aslinya dari kata mreti, dan bisa juga berasal dari kata dasar preti. Kata preti bisa jadi aslinya dari bahasa Jawa Kuna pitre (metatesis). Pitrekarya dalam karya sastra Jawa Kuna ada kata artinya memiliki hajat memberi pada arwah para leluhur. Orang Jawa jelas memiliki tradisi menghormati arwah leluhur, dengan jalan ritual, seni spiritual, maupun semedi. Seluruh pekerti ini dilaksanakan dengan keyakinan ada kontak batin antara dunia roh dan dunia manusia (Endraswara, 2006).

Menurut Darusuprapta (1988:48) mreti desa kemungkinan besar masih berkaitan dengan tata cara memberikan makanan (pengorbanan) kepada roh leluhur sebagai cikal bakal yang menjaga desa majupat maju lima pancer. Arwah tersebut, memang pantas dimintai berkah agar membantu anak


(22)

6 cucu. Roh leluhur tersebut dianggap yang menjadi penjaga (backing)

sajawining wangon dan salabeting wangon, artinya di luar pekarangan dan di dalam pekarangan. Hal ini berarti orang Jawa masih percaya dan mengaitkan kehidupan di dunia ini dengan roh leluhur mereka.

Orang Jawa menghormati roh leluhur dan berupaya manunggal dengan Tuhan, dilakukan secara mistik. Berbagai ritual mistik selalu dilakukan secara individu maupun kolektif. Namun tingkatan masing-masing pada saat melakukan sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Tolstoy (James, 2003:512) berpendapat bahwa mistik bersifat tak tertandingi, di dalamnya menancap iman. Keimanan menyebabkan seseorang hidup. Ritual mistik dalam menghormati roh leluhur tersebut nampak dalam tradisi ziarah kubur. Berbagai ritual dilakukan dengan penuh keyakinan akan memperoleh pengestu atau sebagai wujud hormat pada leluhur. Berbagai sesaji disiapkan sebagai sarana seperti bunga, kemenyan, air, dan lain-lain yang diyakini memiliki makna dan fungsi tertentu.

Praktek tradisi Jawa tersebut di dalam masyarakat berjalan beriringan dengan agama-agama wahyu terlepas dari gerakan agama yang menentang berlakunya tradisi semacam itu. Secara yuridis-formal orang Jawa mengakui keyakinan agama wahyu tersebut. Hal itu antara lain ditunjukkan dalam berbagai dokumentasi atau biodata pribadi, semacam kartu tanda penduduk (KTP) yang biasanya mencantumkan agama tertentu (Mulyana, 2006).

Hardjowirogo (1989:17) bahkan menilai, orang Jawa yang secara resmi memeluk agama tertentu, Islam, Kristen, atau Katolik, nyatanya tidak


(23)

7 pernah menunjukkan kesungguhan dalam beragama. Orang beragama seharusnya banyak yang religius, dan seharusnya memang demikianlah, paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religious juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Dapat juga orang menganut agama tertentu karena motivasi jaminan material atau karir politik, ingin memperoleh jodoh yang beragama lain atau karena tidak ada pilihan

lain; cukup beragama “statistik” belaka (Mangunwijaya, 1988:13). Dengan kata lain, sama sekali tidak lahir sikap fanatisme beragama. Persoalannya adalah, sejak pertama, cara beragama orang jawa bersifat lentur, tidak fanatik. Mereka tidak berpijak pada satu agama tertentu saja. Sehingga semuanya bersifat heterogen (campuran); baik dalam keyakinan atau opersionalnya.

Kedua, orang Jawa beranggapan bahwa “beragama” tidak harus semata-mata menjalankan hal-hal ritual yang bersifat dogmatis (Mulyana, 2006). Bagi orang Jawa, menjalankan kehidupan sehari-hari sudah merupakan bagian dari beragama Y.B Mangunwijaya (1988:13) dengan jelas menyatakan bahwa semua yang diyakini, dilakukan, dan dibenarkan oleh orang Jawa dalam kehidupan sehari-hari mengandung nilai-nilai yang sarat semangat spiritualisme. Kelenturan dalam beragama inilah yang membuat berbagai tradisi tetap ada, termasuk tradisi ziarah kubur tetap diyakini, dilakukan, dan dibenarkan oleh orang Jawa dan memiliki nilai spiritualitas yang tinggi.

Saat ini muncul permasalahan bagi orang Jawa ketika berkembang atau bangkitnya agama-agama wahyu. Perkembangan agama menjadi polemik atau permasalahan di tengah kehidupan sosial masyarakat, karena


(24)

8 tidak sejalan dengan tradisi-tradisi budaya Jawa. Cara beragama orang Jawa yang semula lentur menjadi sedikit kaku. Ini dipengaruhi oleh usaha purifikasi agama yang hadir melalui ajaran-ajaran agama, mereka ingin menjalankan agama secara utuh dan murni.

Salah satu usaha purifikasi sebagai wujud kebangkitan agama tersebut adalah ajaran agama Kristen yang melarang melakukan praktek ziarah kubur dengan berbagai ritualnya. Pemeluk agama Kristen tidak perlu melakukan ziarah kubur karena memiliki keyakinan bahwa arwah orang meninggal tersebut telah masuk surga, sehingga tidak perlu berdoa di depan makam. Orang Kristen memiliki wacana tersebut didapat dari apa yang diungkapkan oleh para pemuka agama mereka melalui dogma-dogma. Sering kali dogma sebagaimana yang dirumuskan itu dianggap sebagai kekuatan yang paling benar dan sempurna (Hardjana, 2005). Bagi mereka antara orang yang sudah meninggal dengan yang masih hidup sudah tidak memiliki hubungan apapun. Konsep ini berbeda dari tradisi Jawa. Orang Jawa masih memiliki keyakinan adanya hubungan antara dunia roh leluhur dengan dunia mereka, baik dalam wujud pangestu atau wujud hormat pada leluhur.

Kebangkitan dan kekuatan agama ini menjadi tarik ulur akan identitas orang Jawa yang beragama Kristen. Di satu sisi dalam kelompok sosial masyarakat, mereka harus menjalin relasi-relasi sosial2, salah satunya dengan mengikuti tradisi nyadran atau merti dusun karena melalui segala perilaku sosial itulah manusia dapat terpenuhi berbagai kebutuhannya untuk

2


(25)

9 melangsungkan hidupnya (Kusumohamidjojo, 2009 :72). Namun di sisi lain kebangkitan dan kekuatan agama membawa mereka untuk tidak melakukan tradisi ziarah kubur, ajaran kebenaran sebuah agama secara murni.

Agama Kristen di Jawa sendiri atau di Indonesia tidak muncul begitu saja. Berkembangnya agama Kristen di Indonesia tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarahnya. Yaitu sejarah kolonialisme di Indonesia. Dalam perang intern

antara orang-orang Belanda, Portugis, Inggris, dan raja-raja pribumi, pada tahun 1619, Belanda memenangkan perang dan secara definitif mendirikan kekuasaan Belanda di Batavia, tempat kedudukan gubernur jenderal VOC. Melalui kemenangan-kemenangan itu, VOC tidak hanya merebut monopoli perniagaan, tetapi juga agama.

Gereja Kristen Belanda menganggap sebagai tugasnya adalah mendampingi hidup rohani para pedagang dan pelaut Belanda. Sekaligus gereja tersebut menyadari panggilannya untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan perutusannya (zending) di tengah bangsa-bangsa yang mereka hadapi. Sinodhe di Dordrecht menyatakan bahwa umat Kristen Gereformed diutus oleh Allah untuk mewartakan iman kepada semua orang yang belum mendengarnya (Boelaars, 1991).

Kegiatan-kegiatan perutusan atau zending berlangsung sampai saat ini. Orang Kristen mencoba mewartakan imannya, sehingga tidak mengherankan ketika keyakinan akan kematian di peroleh melalui berbagi perutusan atau melalui ajaran-ajaran dalam bahasa yang diberikan oleh para pewarta.


(26)

10 Sehingga pewartaan tentang iman tersebut menjadi wacana sosial, salah satunya wacana akan kematian dalam hal ini kaitannya dengan ziarah kubur.

Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa, dan bahasa lebih dalam kaitannya dengan praksis sosial. Karena praksis sosial memerlukan makna dan makna mempertajam serta mempengaruhi apa yang kita lakukan, maka semua praktik sosial mengandung dimensi wacana (Haryatmoko, 2010:10). Maka ajaran Kristen yang menjadi praktik sosial merupakan sebuah wacana dalam menyikapi tradisi ziarah kubur. Maka dalam penelitian ini yang menjadi permasalahan adalah ketika adanya dua wacana yang bertabrakan. Wacana kebangkitan agama yang berupa larangan ziarah kubur oleh agama Kristen dengan tradisi Jawa yang meyakini dan menjadikan ziarah kubur sebagai bentuk bakti hormat kepada leluhur melalui gagasan yang terkonstruksikan secara sosial.

Fenomena tarik ulur akan identitas ini terjadi di lingkungan sosial masyarakat Desa Banyubiru. Sebuah desa yang terletak di Kabupaten Semarang Provinsi Jawa Tengah ini masih memegang teguh ajaran tradisi Jawa, salah satunya tradisi ziarah kubur.

Desa Banyubiru secara geografis terdiri dari daerah persawahan, pegunungan, dan juga daerah rawa, kebanyakan mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani, nelayan, atau sebagai buruh. Sehingga setiap tahun Desa Banyubiru melaksanakan tradisi nyadran dengan sebutan sedekah bumi, supaya hasil alam sebagai sumber kehidupannya tumbuh subur. Dalam


(27)

11 kegiatan sedekah bumi tersebut dilaksanakan ziarah kubur bersama-sama untuk mendoakan dan mohon pangestu leluhur mereka.

Warga masyarakat di Desa Banyubiru melaksanakan tradisi tersebut secara turun temurun dan sudah terkonstruksikan secara sosial. Dalam tradisi sedekah bumi ini, tidak hanya melakukan ziarah kubur saja. Tetapi mereka juga melakukan selamatan bersama di makam pepunden3 dan juga menutup acara tersebut dengan menggelar pertunjukkan wayang kulit sebagai ungkapan syukur.

Tradisi tersebut dilaksanakan oleh semua warga di Desa Banyubiru tanpa memandang golongan atau agama tertentu. Meskipun ketika selamatan doa yang digunakan adalah secara Islam sebagai agama mayoritas, namun semua waraga berkumpul bersama. Mereka berdoa bersama untuk leluhur mereka dan juga mohon pangestu untuk kelangsungan hidup mereka.

Selain berziarah kubur secara kolektif seperti pada tradisi sedekah

bumi tersebut, masyarakat di Desa Banyubiru setiap malam Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon secara pribadi atau dalam kelompok keluarga mereka melakukan tradisi ziarah kubur. Mereka biasanya datang ke makam leluhur mereka dengan membawa sesaji seperti bunga, air, dll. Mereka memanjatkan doa dan membersihkan makam.

Pemakaman yang ada di Banyubiru merupakan pemakaman umum yang tidak hanya satu keyakinan agama saja, sehingga yang datang di situ adalah semua warga masyarakat, tanpa memandang golongan atau keyakinan

3


(28)

12 agama tertentu. Ini terjadi karena mereka meyakini bahwa tradisi ziarah kubur adalah tradisi Jawa bukan tradisi agama tertentu. Keragaman tersebut tampak dari bentuk makam yang ada. Simbol-simbol makam yang ada menunjukkan tidak hanya satu keyakinan agama saja yang ada di situ.

Desa Banyubiru dipilih sebagai lokasi penelitian karena desa ini bisa menggambarkan permasalahan dalam penelitian ini. Selain adanya tradisi ziarah kubur tersebut, saat ini di Desa Banyubiru juga berkembang Gereja Kristen Jawa (GKJ) yang memiliki keyakinan untuk tidak perlu berziarah

kubur. Meskipun ada identitas “Jawa”, namun di satu sisi dia tetap memegang

teguh ajaran Kristen yang meyakinkan pengikutnya bahwa tidak perlu mendoakan leluhur yang telah meninggal atau bahkan mohon pangestu.

GKJ sendiri lahir di awal abad ke-20, melintasi zaman kolonial, penjajahan Jepang dan perjuangan kemerdekaan. GKJ tumbuh untuk pertama sekali di Banyumas dengan dibaptiskannya menjadi Kristen dari beberapa orang Jawa yang berprofesi sebagai pembatik dari Ny.van Oostrom Phillips. Mereka dibaptis oleh misionaris utusan NZV, W.Hoezoo, pada 10 Oktober 1958. Pada awalnya sejarah Krsitenisasi di Jawa sebenarnya cukup panjang, karena begitu banyak tokoh yang berkarya sebagai penyebar ajaran Kristen.

Salah satu tokoh yang berpengaruh adalah Bruckner, seorang misionaris dari London. Dialah yang menerjemahkan Perjanjian Baru (Injil) ke dalam bahasa Jawa (Guillot, 1985: 5). Dari terjemahan Injil inilah nantinya orang Jawa bisa memahami ajaran Kristen, dan juga digunakan misionaris selanjutnya untuk melakukan zending.


(29)

13 Di Banyubiru GKJ berdiri sekitar tahun 1983. Sebagai Gereja kecil di sebuah desa, GKJ Banyubiru cukup berkembang baik dari segi kuantitas ataupun kulaitas. Perkembangan sebagai wacana kebangkitan ini tampak dari jumlah pengikut yang semakin bertambah dan juga berbagai kegiatan yang sering dilakukan. Setiap minggu melakukan ibadah bersama di Gereja, mulai dari anak-anak, remaja hingga orang tua berkumpul bersama untuk berdoa atau melakukan kegiatan rohani lainnya. Kebangkitan di sini tidak hanya dari segi kuantitas tetapi juga ajaran melalui zending atau perutusan. Kebangkitan ini membuat jemaat semakin taat untuk beribadah dengan menjalankan segala ajaran gereja.

Gereja Kristen Jawa di Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari jaringan penyebaran Agama Kristen Salatiga. Kota Salatiga yang letaknya tidak jauh dari Banyubiru merupakan daerah misi ajaran Kristen. Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga menjadi salah satu tonggak atau kekuatan penyebaran ajaran Kristen tersebut. Pengaruh ajaran tersebut berkembang di wilayah sekitar Salatiga. Salah satunya adalah daerah Banyubiru, sebagai wujud nyatanya adalah banyak kegiatan yang dilakukan di Banyubiru oleh jemaat Salatiga.

Perkembangan dan kekuatan ajaran agama inilah yang memunculkan permasalahan bagi jemaat yang tinggal di Banyubiru. Ketika mereka harus mengikuti tradisi nyadran atau sedekah bumi yang sudah terkonstruksikan sebagai tradisi Jawa. Ada tarik ulur akan identitasnya, disatu sisi menjalankan


(30)

14 Kekristenanya dan di sisi lain identitas kejawaanya. Kedua kekuatan politis inilah menjadi permasalahan bagi dirinya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melihat bagaimana negosiasi atau posisi orang Jawa yang beragama Kristen Jawa dalam menyikapi tradisi ziarah kubur. Ketika mereka hidup di tengah masyarakat yang memiliki nilai sosial masyarakat cukup tinggi dan juga masyarakat tersebut meyakini bahwa ziarah kubur sebagai wujud hormat bakti, mohon pangestu pada orang yang telah meninggal atau leluhur, dan juga memiliki nilai spiritual yang tinggi, namun di sisi lain ada wacana yang berbeda dalam menyikapi ziarah kubur yakni wacana pemurnian agama dengan usaha untuk menjalankan ajaran agama secara murni dan seutuh mungkin, sehingga melarang melakukan tradisi ziarah kubur.

Banyak penelitian yang telah meneliti tentang fenomena kematian dan ziarah kubur dalam tradisi jawa dan juga identitas etnis dan agama dari berbagai sudut pandang. Baik dari aspek psikologis, antropologi, dan teologis. Penelitian ini lebih fokus pada kajian budaya, di mana ada pertarungan kekuasaan antara pemaknaan terhadap wacana.

Posisi penelitian ini lebih ingin melihat bagaimana kekuatan agama yang muncul mempengaruhi identitas orang di dalam suatu masyarakat. Perkembangan dan kekuatan agama ini muncul dalam tradisi di sekitar ziarah kubur dan menjadi pertarungan yang memunculkan negosiasi dalam diri seseorang untuk memilih identitasnya.


(31)

15

II. Tema

Negosiasi Identitas orang Jawa yang beragama Kristen dalam menyikapi Tradisi Ziarah Kubur.

III. Rumusan Masalah

a. Bagaimana masyarakat memahami tradisi Jawa?

b. Bagaimana perkembangan dan kekuatan agama yang bertabrakan dengan tradisi ikut membentuk identitas seseorang?

c. Bagaimanakah orang Jawa yang beragama Kristen dan hidup di lingkungan sosial tradisi Jawa yang tinggi melakukan negosiasi terhadap identitasnya dalam menyikapi tradisi di sekitar ziarah kubur?

IV. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini yang hendak dicapai adalah melihat bagaimana tradisi di sekitar ziarah kubur membentuk pengalaman langsung pada orang Jawa yang beragama Kristen. Ketika tradisi Jawa berkaitan dengan ziarah kubur menjadi sesuatu yang diyakini oleh suatu masyarakat sebagai sebuah bentuk bakti kepada leluhur bersinggungan dengan adanya larangan ziarah kubur karena adanya pemurnian ajaran Kristen, sehingga dalam penelitian ini ingin melihat sejauhmana dan bagaimana negosiasi atau strategi orang Jawa yang beragama kristen muncul dalam kehidupan sosial masyarakat ketika menghadapi tradisi ziarah kubur. Cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut yaitu dengan menganalisis “dari luar” perbedaan wacana tersebut membentuk identitas dan perilaku orang Jawa yang beragama Kristen, menganalisis dari dalam bahwa peneliti juga dibentuk oleh wacana tentang


(32)

16 ziarah kubur, peneliti dan yang diteliti melakukan refleksi kritis berkaitan dengan wacana yang membentuk mereka.

Selain itu, nantinya dalam penelitian ini tidak hanya sekedar akan melihat negosiasi orang dalam menyikapi ziarah kubur, tetapi lebih pada identitas yang terbentuk karena keterbangkitan agama di tengah sebuah tradisi. Melihat bahwa perkembangan dan kebangkitan agama ikut membentuk identitas ketika bertabrakan dengan tradisi.

V. Pentingnya Penelitian

Pentingnya penelitian ini dilakukan tidak bisa dilepaskan dari latar belakang penelitian ini. Dalam latar belakang dijelaskan bagaimana tradisi ziarah kubur bagi orang Jawa menjadi sesuatu yang begitu penting karena sebagai wujud hormat, kirim doa, dan mohon pangestu pada leluhur dan sudah berlangsung sejak lama secara turun temurun. Tetapi, ketika larangan ziarah kubur sebagai akibat dari usaha purifikasi agama muncul, maka terjadi pertarungan sebuah wacana yang berbeda. Dalam penelitian ini ingin melihat negosiasi identitas yang terbentuk oleh orang Jawa yang beragama Kristen ditengah masyarakat.

Pentingnya penelitian ini bagi masyarakat yaitu supaya masyarakat melihat adanya perbedaan bukan menjadi suatu kehancuran, atau tidak berpikir akan kebenaran mutlak. Di luar kebenaran yang diyakininya masih ada kebenaran-kebenaran lain yang perlu dilihat. Dalam hal ini berkaitan dengan kebenaran pemakanaan wacana ziarah kubur. Menyadari adanya pihak lain yang berbeda dengan pikirannya sendiri merupakan sesuatu yang


(33)

17 wajar dalam hidup ini. Kesadaran terhadap yang lain ini diharapkan akan melahirkan kesadaran tentang keragaman manusia yang saling menghargai (Takwin, 2003)

Selain itu penelitian ini juga penting dalam ilmu sosial kemanusiaan, ketika orang harus tarik ulur karena kekuatan kekuasaan dapat melihat dan menentukan strategi yang nyaman dalam kehidupan sosial masyarakat. Orang tidak merasa terasing karena identitasnya, identitas yang mungkin dibentuk oleh kekuasaan-kekuasaan tertentu.

VI. Konsep Penelitian dan kajian pustaka

Untuk melihat bagaimana posisi atau negosiasi (identitas) orang, maka politik identitas relevan tepat. Politik identitas merupakan topik strategis untuk membicarakan masyarakat. Berbicara tentang masyarakat tentu akan muncul berbagai macam perbedaan. Dari perbedaan tersebut orang menentukan pilihan akan identitasnya. Bicara identitas berarti bicara tentang interaksi, bicara tentang tarik ulur, bicara tentang komunikasi, bicara tentang representasi.

Karakteristik individu yang berakar pada identitas dasar semenjak lahir seperti adanya merupakan suatu anugerah yang tidak bisa dihindari.

Identitas dasar itulah yang kemudian membentuk “keakuan” dan

membedakan dengan yang lain (kamu, mereka, dan dia). Hakikat dasar individu maupun kelompok tercermin dan terbentuk dari beberapa unsur yang melekat atau sengaja dilekatkan pada tubuh menjadi objek dan subjek politik. Akar-akar politik identitas dapat ditemukan asalnya dari pemikiran filsafat


(34)

18 Foucouldian (Michel Foucault) tentang politik tubuh, dari sejarah seksualitas dan relasi-relasi kekuasaan yang mengelilinginya (Abdilah, 2002: 12).

Foucault dikenal sebagai filsuf Perancis yang menjadi salah satu tokoh pelopor posmodernisme. Michel Foucault lahir di Poitiers, Perancis, pada tahun 1926. Selain mendapatkan gelar kesarjanaan dalam bidang filsafat, Foucault juga mendapatkan pendidikan dalam bidang psikologi. Dia pernah bekerja sebagai dosen di Uppsala, Swedia (1954), di Warsawa, Polandia (1958), di Hamburg, Jerman (1959), dan di Tunis, Tunisia (1966-1968). Foucault meninggal pada tahun 1984 akibat penyakit yang terkait dengan gejala AIDS (Lechte, 2001:177).

Foucault memandang bahwa ideologi merupakan hasil hubungan kekuasaan di mana saja. Menurut Eagleton hubungan kuasa bukan hanya muncul pada tataran negara saja, namun juga dalam kehidupan sehari-hari. Setiap hubungan selalu merupakan usaha saling menguasai, usaha saling menekan. Hubungan kekuasaan ini menghasilkan cerita yang oleh Foucault disebut discourse (sering dipandang sebagai “diskursus” atau “wacana”)

(Takwin, 2003: 109).

Setiap wacana bukanlah kebenaran mutlak, bukan representasi dari realitas sesungguhnya, melainkan reaksi manusia terhadap apa yang terjadi padanya, sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang mengekangnya (Foucault, 1981; Hawkes, 1996). Foucault tidak berambisi untuk melakukan pembebasan masyarakat dari pengaruh wacana. Ia Justru melihat wacana muncul sebagai hasil hubungan kuasa dan pengetahuan yang bergabung


(35)

19 bersama (Foucault 1978: 100). Setiap wacana mengasumsikan pengetahuan akan kebenaran masing-masing yang tidak dapat diklaim sebagai yang paling benar. Dalam penelitian ini berdiri dua kebenaran yang menjadi wacana, meskipun bukanlah kebenaran mutlak. Kebenaran akan tradisi ziarah kubur maupun kebenaran dalam pemurnian agama dalam wujud larangan berziarah kubur.

Identitas politik tidak bisa terlepas dari kekuasaan. Manusia dalam perkembangannya dipenuhi dengan agenda-agenda politik, yang membentuk identitasnya. Foucault menjelaskan kekuasaan bukanlah sesuatu yang nyata, yang harus dimiliki oleh seorang individu atau lembaga . Sebaliknya, kekuasaan merupakan sistem yang kompleks dari hubungan kekuatan yang berlaku di tengah masyarakat pada suatu titik waktu tertentu. Sejauh masyarakat terus-menerus terjebak dalam hubungan kekuatan politik, pengaruh kekuasaan tidak mungkin terhindarkan, karena kekuasaan dihasilkan dari satu waktu ke waktu berikutnya, di setiap titik, atau lebih tepatnya dalam setiap hubungan dari satu titik ke titik lain. Kekuasaan berasal dari manapun, bukan karena kekuasaan mencakup segala sesuatu, tetapi karena kekuasaan berasal dari manapun (Foucault, 1978: 93). Dalam penelitian ini ada dua kekuasaan yang menimbulkan perbedaan pandangan dalam menyikapi wacana ziarah kubur, yaitu antara tradisi jawa sebagai kekuatan lokal dengan ajaran Kristen sebagai Agama. Persinggungan perbedaan ini yang kadang menentukan pilihan akan identitas seseorang.


(36)

20 Realitas keragaman penciptaan manusia hadir dengan membawa identitas dasar yang bermacam-macam, dengan bentukan karakter dan fungsi-fungsi fisiologis tubuh yang berbeda pula. Pada tataran praksis, pembacaan dan penerimaan terhadap pluralitas memunculkan beberapa pandangan, pemakluman, kalau tidak penolakan dan pengingkaran. Dalam hal ini, pandangan terhadap keragaman etnis dipengaruhi oleh berbagai macam faktor dan paradigma. Ketika timbul kesadaran individu akan dunianya dan kesadaran kolektif akan identitasnya, terbentuk identitas kelompok dasar dari anugerah dan pengenalan diri setiap individu itu, bersama-sama orang lain yang diperolehnya sejak lahir, di dalam keluarga tempat dilahirkan pada saat

itu dan tempat itu juga. Muncul “kesadaran lain”, dalam bahasa Harold Isaac sebagai “pemujaan” terhadap identitas-identitas tersebut. Pemujaan ini menumbuhkan suatu kekuatan, pemicu pembangunan suatu komunitas, meneguhkan atau sebaliknya, mencerai beraikan (Abdilah, 2002: 9-10).

Dalam hal ini, hadirnya wacana dalam tradisi Jawa berkaitan dengan ziarah kubur tidak muncul dengan sendirinya begitu saja. Ada kesadaran kolektif akan identitasnya. Ziarah kubur sebagai perilaku sosial dalam masyarakat menunjukan identitas kolektifnya sebagai orang Jawa. Kesadaran ini muncul dari pengenalan dirinya dengan lingkungan dan orang-orang sebelumnya. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang mengantar terciptanya tradisi dalam masyarakat dan menumbuhkan suatu kekuatan. Maka di sini bisa terlihat, muncul permasalahan ketika orang tidak sesuai dengan tradisi yang telah diyakininya atau telah menjadi kesadaran kolektifnya. Begitupula


(37)

21 wacana kematian dalam ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme, juga menjadi kekuatan dalam membentuk identitas seseorang.

Foucault memandang agama tersebut sebagai bagian dari mekanisme untuk mengontrol fungsi kehidupan manusia. Gagasan-gagasan ini, belakangan akan berkembang dalam konseptualisme Foucault terhadap agama sebagai kekuasaan politis. Ini menunjukkan bagaimana Foucault lebih tertarik pada agama sebagai praktik atau fungsi agama, ketimbang agama sebagai keyakinan (Carrette, 1999: 50). Dari sini dapat dilihat, bahwa Foucault tidak ingin melihat sebuah kebenaran agama tetapi agama sebagai kekuasaan yang mengontrol pengikutnya.

Teori Foucault dirasa tepat untuk membidik permasalahan berkaitan dengan pertarungan kekuasaan tersebut. Kuasa sering kali dianggap subyek4 yang berkuasa dan subyek itu dianggap menindas. Namun, menurut Foucault kuasa tidak bersifat subyektif. Kuasa juga tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas, kuasa memproduksi lingkup obyek, dan ritus-ritus kebenaran (Bertens, 2006). Dari kekuasaan ini obyek merasa tidak dikuasai, justru semakin mengamini kekuasaan itu tanpa disadari. Salah satunya kekuasaan itu hadir melalui agama.

Lembaga produksi kekuasaan pengetahuan yang dahsyat adalah agama. Agama tidak bisa dipisahkan dari mekanisme dan teknik kekuasaan

4

Subyek dalam arti sesustu yang berkuasa seperti raja, pemerintah,ayah, laki-laki, dan kehendak umum.


(38)

22 normatif dan disipliner. Agama mengatur individu dan masyarakat melalui teknik penyeragaman baik perilaku, bahasa, pakaian, maupun ritus. Dengan teknik itu akan dihasilkan identitas, yang akan memudahkan untuk mendapatkan kepatuhan dari pemeluknya (Haryatmoko, 2010:99).

Dari konsep penelitian ini dapat dilihat bagaimana etnis dalam hal ini tradisi jawa yang memberikan sebuah kesadaran kolektif dalam masyarakat yang menjadi kekuatan yang meneguhkan dalam membangun komunitas berhadapan dengan agama yang menuntut kepatuhan pengikutnya. Orang Jawa yang beragama Kristen akhirnya harus menentukan identitasnya. Secara sadar atau tidak, ada pertarungan kekuasaan dengan membawa wacana yang bertabrakan yang mengarah pada pembentukan identitas subjek. Ini sejalan dengan apa yang menjadi pemikiran Foucault dengan mengeksplorasi praktik-praktik wacana serta wujud-wujud kekuasaan yang membentuk subjek. Bukan kebenaran akan wacana tersebut, tetapi justru menggagas teori tentang hubungan antara kebenaran dan kekuasaan (Beilharz, 2005). Penelitian ini bukan melihat kebenaran akan tradisi ziarah kubur baik dari sudut pandang teologi kristen atau kebenaran yang diyakini orang Jawa. Tetapi lebih melihat Identitas yang terbentuk ketika ditempati dua kebenaran yang bertabrakan.

Dalam menentukan identitasnya berkaitan dengan kekuasaan politik, untuk menciptakan kepatuhan ada konsep yang perlu diperhatikan yaitu


(39)

23 panoptikon5 yang dikembangkan oleh Foucault. Panoptik bisa berfungsi sebagai usaha menciptakan penyeragaman dalam hubungan dengan orang di tengah kehidupan sehari-hari (Foucault, 1995: 205). Panoptik dalam hal ini adalah agama yang dihadirkan melalui ajaran alkitab, orang takut melanggar larangan agama karena takut akan dosa. Jemaat Kristen dalam menyikapi wacana ziarah kubur takut untuk melanggar ajaran agama. Begitu pula sebaliknya, pengucilan diri dari lingkungan masyarakat juga menjadi panoptikon, ketika tidak melakukan ziarah kubur secara kolektif ataupun individu takut dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap melanggar tradisi yang sudah ada.

Konsep ini mempengaruhi seseorang dalam menentukan identitasnya, meskipun hukumannya belum nyata (dosa dan anggapan akan dikucilkan) menjadi pertimbangan dalam menentukan negosiasi dalam dirinya. Terjadi negosiasi akan identitasnya, baik itu tetap teguh dalam tradisi jawa, yakin dengan agamanya, atau mungkin ada identitas baru yang muncul.

Ada beberapa penelitian berkaitan denagan identitas politik dalam kebangkitan Agama dan wacana ziarah kubur. Yang pertama adalah penelitian dari Titi Mumfangati (2007) yang meneliti tentang Tradisi Ziarah

5

Panotik adalah sistem penjara yang ditemukan oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Panoptik pada intinya adalah upaya pendisiplinan berbasis (tanpa) pengawasan. Panoptik dilakukan dengan mengancamkan pengawasan yang disertai hukuman bagi perilaku tertentu; kemudian menciptakan keyakinan bahwa seseorang sedang diawasi setiap saat, meskipun sebenarnya tidak.


(40)

24 Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa.6 Penelitian ini melihat bagaimana motivasi orang jawa mengunjungi atau berziarah kemakam leluhurnya. Hasil penelitian ini memperlihatkan bagaimana ziarah makam dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, misalnya mencari ketenangan, mencari rejeki, keberuntungan. Penelitian ini lebih melihat bagaimana aspek psikologis orang yang berziarah kubur. Sementara itu Y. Tri Subagyo (2005) juga melihat bagaimana peristiwa kematian dan juga setelah kematian yaitu seperti ziarah kubur menjadi pengalaman bagi orang yang berada disekitarnya. Penelitian etnografis ini melihat bagaimana realita yang ada berkaitan dengan misteri kematian. Ziarah kubur dalam penelitian Asep

Ma’mun (2007) dilihat secara teologis yaitu melihat persepsi masyarakat

terhadap ziarah kubur: sebuah studi kasus atas masyarakat Aeng Panas. Dalam penelitian ini melihat bagaiamana tradisi ziarah kubur dalam ajaran islam menjadi sumber keselamatan atau untuk mengingatkan akan kematian.

Martin Lukito Sinaga (2004) meneliti Identitas poskolonial gereja suku, penelitian ini melihat Identitas seseorang yang terbentuk melalui representasi diri berhadapan dengan resistensi terhadap representasi pihak yang kuat atas diri suatu komunitas. Dalam penelitian ini terkandung proses perjumpaan dan negoisasi sebagai hasil proses kolonialisme yang panjang, menemukan identitas sama dengan mengajukan ikhtiar perubahan sosial atau perluasan kebebasan dalam ruang publik. Selain itu Yendri A.H. (2007) juga

6

Mumfangati, Titi. Tradisi Ziarah Makam Leluhur Pada Masyarakat Jawa. Dalam Jantra Vol. II No 03, Juni 2007


(41)

25 melihat bagaimana identitas seseorang ketika berhadapan dengan agama. Yakni, Identitas penganut Merapu berhadapan dengan Gereja dan Pemerintah. Kedua penelitian tersebut melihat bagaimana identitas seseorang berkaitan dengan wacana tentang agama ketika mengalami perjumpaan dengan wacana lain.

Dalam penelitian ini, akan lebih melihat bagaimana wacana kebangkitan agama mempengaruhi identitas seseorang. Hal ini berkaitan bagaiman negosiasi identitas orang Jawa yang beragama Kristen ketika berdiri dalam dua wacana yang berbeda. Jadi bukan pada pemaknaan ziarah kubur dari aspek teologis, psikologis, ataupun antropologi, tetapi lebih pada pengalaman terhadap ziarah kubur yang akhirnya menentukan identitas saat berada dalam dua kekuatan.

VII. Metode Penelitian (Sumber data dan pengumpulannya)

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah Lived Experience,

yaitu, pengalaman hidup secara langsung orang Jawa yang beragama Kristen dalam menyikapi wacana tentang ziarah kubur. Seperti yang disampaikan Paula Saukko, penelitian dalam kajian budaya meliputi pengalaman hidup, wacana, dan juga konteks sosial (Saukko, 2003:33). Wacana di sini lebih berkaitan dengan kebangkitan agama, yaitu kebangkitan agama Kristen dalam menyebarkan ajarannya tentang larangan melakukan ziarah kubur atau usaha purifikasi. Pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara dan observasi.


(42)

26 Subjek dalam penelitian ini adalah orang Jawa yang beragama Kristen. Sedangkan lokasi penelitian adalah Desa Banyubiru, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang Jawa tengah. Lokasi ini dipilih karena yang pertama berdekatan langsung dengan kehidupan peneliti, kedua masyarakat Desa Banyubiru masih menjunjung tinggi tradisi ziarah kubur, bahkan setahun sekali diadakan ziarah kubur masal atau tradisi nyadaran. Selain itu saat ini berkembang juga Gereja Kristen Jawa di daerah Banyubiru.

VIII. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan tesis tentang Kejawaan dan Kekristenan yang berjudul Negosisasi identitas orang Kristen Jawa dalam persoalan di sekitar ziarah kubur, akan terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang permasalahan, tema, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, konsep penelitian dan juga kajian pustaka.

Pemilihan judul di sekitar ziarah kubur ingin menggambarkan bahwa ada tradisi atau ritual lain di sekitar ziarah kubur yang sangat mempengaruhi tradisi ziarah kubur itu sendiri. Tradisi lain tersebut antara lain slametan atau

genduren, merti desa, dan juga ritual penghormatan leluhur serta pemaknaan kematian itu sendiri. Sebelum membahas tentang negosiasi identitas orang Kristen Jawa perlu dikaji dulu bagaimana orang Jawa sendiri menyikapi tradisi-tradisi Jawa yang sangat mempengaruhi identitas Kejawaan. Desa Banyubiru sebagai wilayah perjumpaan identitas Kejawaan dan Kekristenan digambarkan dalam bagian kedua (Bab II). Di bagian kedua ini yang pertama


(43)

27 melihat bagaimana sejarah Banyubiru sendiri berkaitan dengan bumi perdikan. Pemaknaan bumi perdikan menjadi persoalan yang perlu dibahas karena konsepsi ini mengarah pada penghormatan leluhur, baik secara individu maupun komunal. Pemahaman ini juga mengantar pada tradisi sedekah bumi perdikan Banyubiru yang di dalamnya ada ritual slametan, pertunjukan wayang kulit, dan ziarah kubur yang semuanya mengarah pada permohonan pangestu leluhur mereka. Di bagian kedua, juga digambarkan kondisi gegografis dan juga keadaan penduduk, hal ini sangat mempengaruhi pola pembentukan identitas Kejawaan. Ketergantungan hidup masyarakat terhadap alam turut mendorong masyarakat untuk melakukan ritual permohonan kesuburan dan juga keselamatan hidup melalui leluhur mereka.

Usaha purifikasi agama Kristen yang hadir di tengah masyarakat Desa Banyubiru akan dikaji di bagian ketiaga (Bab III). Bagian pertama akan terlebih dahulu menjelaskan sejarah Kristenisasi di Jawa, bagaimana proses muncul dan berkembangnya ajaran Kristen yang tidak bisa dilepaskan dari kolonialisme. Muncul dinamika pertarungan wacana yang mengantar pada pembentukan identitas biner, antara Kristen “Jawa” dan Kristen “landa”.

Sejarah menjadi hal yang penting untuk melihat dinamika Kekristenan di Desa Banyubiru. Bagian kedua dalam bab ini lebih menjelaskan tentang proses dan pengaruh pembentukan identitas Kristen Jawa di Banyubiru. Pembentukan identitas ini mulai dari peran penyebar ajaran, cara penyebaran, dan keadaan umat yang ada. Konsepsi atau ajaran Kristen yang diajarkan merupakan usaha purifikasi untuk meyakini bahwa arwah roh leluhur sudah


(44)

28 berada di Surga, sehingga tidak perlu adanya ritual ziarah kubur, slametan,

dan juga ritual penghormatan leluhur lainnya. Ajaran ini diajarkan tanpa ada unsur pemaksaan dan kekerasan, namun bersifat produktif.

Perbedaan konsepsi atau ajaran tentang kematian ini mengarah pada proses negosiasi identitas Jemaat GKJ (Bab IV). Bagian pertama memberikan gambaran tentang konsepsi ajaran Kristen yang hadir dalam usaha purifikasi (berkaitan dengan tradisi Jawa seperti slametan,dan ziarah kubur), konsepsi akan kematian. Mekanisme yang mempengaruhi negosiasi identitas adalah adanya usaha memberi kepatuhan disetiap ajaran, sehingga bagian kedua lebih menjelaskan bagaimana Kekristenan dan Kejawaan dalam usaha memberikan kepatuhan, bagaimana Alkitab dan juga “aturan” komunal masyarakat memberikan kepatuhan pada masyarakat.

Bagian terakhir (Bab V) adalah kesimpulan. Pada bagian kesimpulan penelitian ini, ingin melihat apakah purifikasi agama Kristen berhasil secara total, atau jemaat GKJ masih tetap melakukan tradisi di sekitar ziarah kubur dengan pemaknaan yang berbeda. Apakah mereka merasa dirinya adalah orang Jawa namun juga sebagai orang Kristen, sehingga terbentuk identitas yang kreatif, sehingga tradisi Jawa digunakan bentuknya saja untuk menjaga identitasnya sebagai manusia Jawa.


(45)

29

BAB II

“IDENTITAS KEJAWAAN” MASYARAKAT DESA BANYUBIRU

Dari ritual yang memuat sesaji, mitos, dan seni yang dilaksanakan bersamaan (serentak) berarti orang Jawa masih meyakini bahwa ada makna dan fungsi tertentu bagi keselamatan hidupnya (Endraswara, 2006)

Pergumulan orang Jawa dengan agamanya yang serba lentur, serba baik, dan terbuka, mengarah pada sejumlah tata hidup yang dianggap bermuatan spiritualitas. Hal ini dapat terlihat dari berbagai ritual hidup perjalanan manusia, dalam peristiwa kelahiran hingga peristiwa kematian. Berbagai ritual dan sesaji merupakan simbol semangat spiritualisme yang intinya mempercayai bahwa ada kekuatan lain yang lebih tinggi atas kekuatan manusia, tidak lain adalah ingin menyandarkan pada kekuatan Tuhan yang maha kuasa.

Sosok manusia utama dalam konsep manusia Jawa berdimensi pada dua wilayah, kepada Tuhan (vertikal) dan kepada sesama manusia (horisontal) (Mulyana, 2006). Tuhan sebagai sandaran manusia yang dihadirkan melalui berbagai ritual dan sesaji ini menjadi dimensi vertikal manusia sedangkan pada taraf horisontal tergambar dalam simbol bahasa bisa ajur ajer (mampu beradaptasi dan menyeleksi). Konsep ini menganjurkan kepada orang Jawa agar selalu dapat menempatkan dirinya secara adaptif di manapun berada.

Dua dimensi ini membawa manusia Jawa untuk bisa menempatkan dirinya baik secara komunal maupun secara vertikal. Maka pada bagian ini akan di jelaskan bagaimana Desa Banyubiru sebagai masyarakat Jawa menunjukkan


(46)

30 berbagai identitas kejawaannya, baik dalam laku kehidupan secara sosial maupun dalam berbagai tradisi.

Bagian pertama ingin memberikan gambaran Desa Banyubiru sebagai bumi perdikan. Pemaknaan akan bumi perdikan mengantar pada keyakinan warga Banyubiru akan identitas kejawaan yang begitu kuat. Selain sejarah, kosmologi Desa Banyubiru juga menjadi hal yang perlu dibicarakan. Keberadaan rawa, gunung, sawah, dan juga sungai berkaitan dengan laku ritual sebagai manusia Jawa.

Pada bagian kedua memberikan penjelasan berkaitan dengan kondisi sosial dan budaya Desa Banyubiru. Kondisi ini berpengaruh pada pola masyarakat Jawa yang terbentuk. Ini tergambar dari bagaimana kehidupan sosial ekonomi Mayarakat Desa Banyubiru, tradisi Sedekah Bumi, dan tradisi ziarah kubur di Desa Banyubiru.

I. Desa Banyubiru sebagai Wilayah Kejawaan

1. Sejarah Banyubiru sebagai Bumi perdikan

Berbagai upaya terus dilakukan manusia untuk menjangkau realitas dirinya, tidak sekedar memahami keberadaan dirinya secara individu tetapi juga secara komunal. Pencarian identitas secara komunal tidak bisa dilepaskan dari sebuah sejarah, baik tempat maupun pelaku sejarah. Namun, sebelum sampai pada pencarian identitas secara komunal manusia selalu mencoba mencari identitas akan dirinya.

Pergumulan orang Jawa akan jati dirinya tergambar dalam berbagai permenungan yang cukup mendalam. Orang Jawa selalu mencari asal-usal


(47)

31 hidupnya. Asal-usul keberadaan manusia yang sering dikenal dengan sangkan paraning dumadi, yaitu sebuah pemahaman masyarakat Jawa tentang asal muasal kejadian manusia.

Tentang asal-usuling dumadi ini merupakan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar, karena setiap perilaku orang Jawa selalu ingin mengetahui

bibit kawit (asal mula), atau wiji (biji). Pemahaman ini melahirkan lakon wayang yang cukup terkenal, yaitu Dewa Ruci. Sebuah lakon wayang yang menggambarkan tercapainya kebahagiaan sejati dengan cara menunggalnya

kawula (Bima) dengan Gusti (Dewaruci). Lebih dalam lagi, Magnis (1988:116-117) memberi penafsiran, bahwa Dewaruci yang kerdil dan mirip dengan Bima

tiada lain adalah “batin Bima sendiri”. Oleh karena itu, sesudah memasuki

batinnya sendiri, Bima teringat bahwa pada hakikatnya ia berasal dari unsur Illahi. Dalam hal itu, ia kembali menghayati kesatuan hakikinya dengan asal-usulnya itu, kesatuan hamba dan Tuhan (kawula Gusti). Melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa disebut kawruh sangkan paraning dumadi: pengetahuan (kawruh) tentang asal (sangkan) dan tujuan (paran) segala apa yang diciptakan (dumadi). Oleh sebab itu, ritus kejadian desa yang sering dikaitkan dengan sejarah desa atau bersih desa merupakan tindakan introspeksi akan asal kehidupan manusia, yang didalamnya terkandung rasa syukur dan harapan bagi masa depan. Rasa syukur atas asal mula kehidupan melalui leluhur atau cikal bakal desa mereka. (Hidajat, 2006)

Manusia Jawa dalam perilakunya untuk mengetahui asal mula dan akhir kehidupannya selalu dilakukan dengan berbagai cara. Tidak hanya berhenti pada


(48)

32 sebuah tradisi bersih desasaja, namun mencoba mencari lebih mendalam sejarah leluhur mereka. Usaha inilah yang dilakukan oleh masayarakat Desa Banyubiru, usaha untuk mempertahankan identitas kejawaannya melalui rasa hormat pada leluhur mereka, usaha untuk mengetahui leluhur mereka. Oleh sebab itu, sebelum sampai pada tradisi bersih desa dan juga tradisi ziarah kubur, penting pula mengetahui sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan, karena dengan Bumi Perdikan ini ada usaha untuk mempertahankan identitasnya sebagai manusia Jawa.

Berdasarkan cerita rakyat atau cerita babad, Banyubiru merupakan salah

satu daerah yang memiliki sebutan daerah “Bumi Perdikan”. Meskipun saat ini

sebenarnya sebutan tersebut secara resmi dalam pemerintahan sudah tidak dipakai, namun Banyubiru masih mempertahankan identitas tersebut, seperti yang tertulis di Gapura Desa Banyubiru dengan tulisan Bumi Perdikan Banyubiru. Usaha mempertahankan identitas tersebut sebagai wujud hormat bakti kepada leluhur di Banyubiru, masyarakat menyadari bahwa Bumi Perdikan merupakan penghargaan atas jasa leluhur mereka.7

Bumi Perdikan sendiri pada waktu itu merupakan daerah yang dibebaskan atau tidak perlu membayar pajak atau asok gelondong pengareng-areng kepada kerajaan penguasa sebagai suatu kewajiban. Pembebasan ini karena beberapa alasan, yang pertama karena Banyubiru sering terkena bencana banjir bandang. Bencana banjir ini terjadi karena di desa Banyubiru pada saat itu dilalui sungai yang cukup besar dengan sebutan Klegung atau Kali Agung.

7

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret 2013


(49)

33 Sungai itu saat ini masih ada namun sudah tidak sebesar dahulu. Banjir bandang ini membuat masyarakat menderita, sehingga sudah selayaknya jika tidak dikenakan wajib pajak. Kedua, warga Desa Banyubiru ikut menjaga tempat-tempat suci. Beberapa tempat-tempat suci tersebut diantaranya adalah Candi yang terletak di sekitar Rawa Pening. Candi ini bernama Candi Dukuh yaitu sesuai dengan nama lokasi candi ini berada. Menurut penduduk sekitar, candi ini adalah peninggalan Prabu Brawijaya V sehingga kadang candi ini disebut juga dengan Candi Brawijaya. Namun saat ini kondisi candi hanya tinggal reruntuhan saja dan tidak diketahui bagaimana bentuk dari candi ini sebelumnya.8

Selain candi, masih banyak tempat suci lainnya yang dilindungi namun keberadaannya sudah tidak bisa dilacak karena tidak ada peninggalan yang pasti. Namun, berdasarkan nama seperti Dusun Lembu, diyakini masyarakat sekitar dahulu ditemukan candi berupa lembu. Selain itu, Dusun Pundan diyakini merupakan tempat pepunden atau boleh dikatakan tempat pemujaan. Semua daerah tersebut berada di Banyubiru.9

Penyebutan atau pemberian status bahwa Banyubiru sebagai Bumi Perdiakan ini berdasarkan penemuan candi yang diperkirakan sejak jaman Majapahit. Meskipun sulit memastikan, namun ini didasarkan dari keberadaan Candi Gedong Songo yang bercorak Hindu. Banyak peninggalan Sejarah

8

Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013

9

Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013


(50)

34 Banyubiru yang tidak bisa dilepaskan dari Candi Gedong Songo yaitu situs-situs Hindu.10

Masyarakat Desa Banyubiru dalam usahanya mempertahankan identitas Bumi Perdikan ternyata muncul sebuah permasalahan. Beberapa Ulama Islam di Desa Banyubiru tidak sepakat bila Desa Banyubiru masih mempertahankan identitasnya sebagai Bumi Perdikan. Beberapa alasannya adalah, sudah tidak tepat untuk mengatakan Banyubiru sebagai Bumi perdikan, yang kedua mereka berpendapat bahwa pemberian tanah perdikan merupakan sesuatu gambaran daerah yang tidak baik, karena dianggap sebagai daerah yang tidak berbakti pada tanah air.11

Para Ulama Islam menganggap bahwa bukan saatnya lagi berbicara tentang masa lalu, saat ini yang terpenting menjadi manusia beragama. Seperti apa yang diungkapkan oleh Bapak H. Basuki berikut:

“Jangan sebut lagi Banyubiru sebagai Bumi perdikan, karena itu

masa lalu yang tidak baik. Dibebaskan pajak berarti kita tidak setia pada Tanah air kita. Yang terpenting saat ini adalah beribadah dan menyembah Allah. Sehingga saya tidak sepakat bila Bersih Desa di

Banyubiru menggunakan nama Sedekah Bumi Perdikan”.

Perbedaan akan pemaknaan Bumi Perdikan menjadi sebuah perdebatan yang tidak terselesaikan. Namun, dipihak lain identitas Bumi Perdikan tetap dipertahankan. Sampai saat ini nama Bumi Perdikan tetap digunakan, bahkan dalam acara bersih desa menggunakan sebutan Sedekah Bumi Perdikan

10

idem

11

Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak H. Basuki (Ulama Desa Banyubiru) tanggal 30 Maret 2013


(51)

35 Banyubiru. Beberapa faktor yang mempengaruhi tetap digunakannya istilah ini karena Kepala Desa Banyubiru saat ini lebih nasionalis atau bukan dari golongan ulama dan ingin menunjukan identitasnya sebagai orang Jawa.

Wacana kebenaran tentang Sejarah Banyubiru sebagai Bumi Perdikan menjadi pertarungan. Meskipun setiap wacana sebenarnya bukanlah kebenaran mutlak, bukan representasi dari realitas sesungguhnya, melainkan reaksi manusia terhadap apa yang terjadi padanya, sebagai reaksi manusia terhadap kekuasaan yang mengekangnya. Wacana tentang kebenaran akan sejarah Bumi Perdikan Banyubiru mampu menjadi kekuatan dalam pembentukan identitas manusia jawa, namun disisi lain juga bisa berakibat sebaliknya yaitu

menghancurkan. Ini sesuai dengan ungkapan Foucault “Wacana menghasilkan kekuatan yang memperkuat, tetapi juga bisa menghancurkan, membuat rapuh dan memungkinkan untuk menggagalkan” (Foucault, 1978: 101).

Wacana yang hadir melalui cerita akan Bumi Perdikan terkonstruksikan di dalam masyarakat melalui cerita-cerita yang hadir secara turun menurun dari leluhur mereka dan masih menjadi perdebatan yang panjang untuk mencari kebenarannya. Kekuasaan mempunyai kekuatan untuk menentukan kebenaran tersebut. Wacana kebenaran tentang Bumi perdikan pada akhirnya tetap dipertahankan hingga saat ini. Berbagai usaha dilakukan, selain pemasangan tulisan Gapura Bumi Perdikan juga acara Sedekah Bumi Perdikan Banyubiru.

Di lain pihak, beberapa Ulama yang tidak sepakat dengan Bumi Perdikan hanya berhenti pada tataran ketidaksetujuannya tanpa tindakan yang konkret. Usahanya untuk mempengaruhi masyarakat tidak berhasil. Justru sebaliknya,


(52)

36 Kepala Desa Banyubiru dan beberapa tokoh Masyarakat bahkan mencoba untuk mencari cerita tentang leluhur di Banyubiru sebagai Bumi Perdikan. Usaha pencarian identitas ini tidak lain ingin memperkuat identitas masyarakat Banyubiru sebagai masyarakat Jawa yang dalam sejarahnya pernah tinggal para tokoh-tokoh besar dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa.

Daerah Bumi Perdikan Banyubiru tidak bisa dilepaskan dari para leluluhr atau tokoh-tokoh besar yang berjasa atau pernah singgah di Banyubiru. Tokoh tersebut salah satunya adalah Laksamana Sora Dipoyono. Dia adalah seorang panglima perang dibawah sultan Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor pada waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis. Pada waktu itu jatuhnya Malaka ke tangan orang Portugis dalam tahun 1511, Demak justru mencapai kejayaannya. Daerah-daerah pesisir di Jawa Tengah dan Jawa Timur mengakui kedaulatan Demak dan mengibarkan panji-panjinya. Pati Unus sangat giat memperkuat dan memperluas kedudukan Kerajaan Demak sebagai Kerajaan Islam. Tahun 1513 Kerajaan Demak bahkan memberanikan diri mengusir Portugis. Sayang bahwa usaha ini gagal, karena Portugis ternyata lebih unggul (Efendy, 1987; Purwadi, 2005).

Laksamana Sora Dipoyono berdasarkan cerita masyarakat diyakini sebagai salah satu panglima parang penyerangan tersebut. Namun, karena di dalam Kerajaan Demak terjadi pertengkaran dalam tubuh keluarga Keraton maka Sora Dipoyono mengasingkan diri atau menyepi di daerah Banyubiru. Beberapa Masyarakat meyakini bahwa Sora Dipoyono meninggal di Banyubiru dan dimakamkan di daerah Banyubiru. Meskipun petilasan makam tersebut


(53)

37 sudah tidak ada, namun ada sebuah gumuk dimana masyarakat meyakini di situ dimakamkan Sora Dipoyono yaitu Gumuk Bolodewo.12

Selain Sora Dipoyono yang hadir pada waktu kerajaan Demak, tokoh lain adalah Kyai Joyoproyo yang keberadaannya saat perang Diponegoro atau perang Jawa. Kyai Joyoproyo adalah nama sesinglon atau samaran, nama sesungguhnya adalah Pangeran Tejokusumo.13 Dia adalah salah satu pengikut setia pangeran Diponegoro. Ketika pangeran Diponegoro ditangkap, para pengikutnya melarikan diri, salah satunya Pangeran Tejokusumo yang mengasingkan diri Ke Banyubiru. Masyarakat meyakini bahwa Kyai Joyoproyo ikut membangun Banyubiru dan wafat di Banyubiru. Sebagai wujud penghormatan, di Desa Banyubiru terdapat makam Kyai Joyoproyo. Pemakaman tersebut tidak seperti pemakaman yang lainnya karena pemakaman tersebut berada di suatu pemukiman penduduk dan dibangun cungkup14.

Perang Diponegoro, yang disebut Belanda sebagai Perang Jawa (1825-1830) menjadi salah satu peristiwa yang menentukan sejarah Pulau Jawa. Perang Diponegoro dianggap Belanda sebagai perang yang mengesahkan kedudukan mereka di Jawa. Sebaliknya orang Indonesia memandang perang ini sebagai perlawanan besar yang terakhir seorang pangeran terhadap kekuasaan Belanda.

12

Berdasarkan hasil Wawancara dengan Bapak Ki Adi Samidi (sesepuh Desa Banyubiru & Pelaku kebatinan Jawa) tanggal 14 Februari 2013

13

Sejarah ini diketahui dari wawancara dengan Ki Adi Samidi yang menceritakan berdasarkan buku tentang sejarah Banyubiru yang menggunakan tulisan jawa gagrak alas jadi bukan tulisan jawa kuno yang bisa membaca hanya beberapa orang. Dalam buku tersebut diceritakan tentang Pepunden Banyubiru yaitu Mbah Joyoproyo dahulu trah Ngayogyokatro yang bernama Pangeran Tejokusumo pengikut Pangeran Diponegoro.

14


(54)

38 Baru kelak dalam abad ke-20, dengan munculnya pergerakan-pergerakan yang disebut nasionalisme, kekuasaan Belanda sekali lagi ditentang dalam skala nasional (Carey, 1986:7).

Desa Banyubiru merupakan daerah yang sangat strategis yang digunakan Belanda untuk Benteng pertahanan di mana di Banyubiru dibangun Asrama Kaveleri Belanda dan masyarakat Banyubiru juga andil pada perjuangan melawan penjajah Belanda, setelah perang kemerdekaan Desa Banyubiru seperti desa – desa di sekitarnya yang diakui secara yuridis.15 Sehingga mulai pada saat itu telah melakukan penataan dan pembangunan di segala bidang sampai saat ini, dan perlu diketahui bahwa di Desa Banyubiru pernah dipimpin Kepala Desa atau sebutan lain seperti Demang atau Lurah atau sebutan lainnya.

Banyubiru sebagai Bumi Perdikan selalu dimaknai berbeda di setiap periode kepemimpinan. Setelah Masa Kemerdekaan ketika Banyubiru dipimpin oleh Dasono Soemaryadi tradisi bersih desasudah dilakukan dengan menggelar wayang kulit. Begitu pula pada waktu kepemimpinan Sunyoto tradisi tersebut tetap dilakukan. Namun, tradisi bersih desa tahun 2000-2007 berhenti, yaitu pada waktu kepemimpinan Suwandi. Baru tahun 2008 masa kepemimpinan Sri Anggoro mencoba mengembalikan tradisi yang sudah ada sebelumnya.16 Bahkan usaha menghargai leluhur sebagai Sejarah akan Desa Banyubiru mencoba untuk

15

Dibawah Pemerintahan Republik Indonesia yang secara umum termuat dalam Undang – undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah – daerah Kabupaten dalam lingkup Propinsi Jawa Tengah dan Undang – undang Nomor 67 tahun 1958 tentang Pembentukan Wilayah Kotapraja Salatiga Dan Daerah Swatantra Tingkat II semarang.

16

Berdasarkan wawancara dengan Bapak Sri Anggoro (Kepala Desa Banyubiru) tanggal 2 Maret 2013


(1)

134 tidak berpikir akan kebenaran mutlak. Di luar kebenaran yang diyakininya

masih ada kebenaran-kebenaran lain yang perlu dilihat.

Kebenaran tidak muncul begitu saja. Kebenaran dibentuk melalui

kekuasaan yang ada di sekitarnya. Bahkan ada usaha untuk tetap menjaga

kebenaran itu melalui sistem panoptik. Dalam kasus negosiasi ini, sistem

panoptik ternyata tidak hanya bersifat tunggal. Pengawasan tidak hanya hadir

dalam satu titik saja, namun ada pengawasan lain yang ikut mempengaruhi

pembentukan identitas atau menjadikan subjek merasa terawasi.

Teori Foucault tentang panoptikon perlu diperluas. Dalam kajian ini

terlihat, ternyata pengawasan dalam menciptakan kepatuhan tidak hanya

datang dari satu titik saja, begitupula yang terjadi dalam proses pendisiplinan,

baik di penjara, rumah sakit, institusi militer, maupun sekolah tidak hanya

satu subjek atau satu titik saja yang mengawasi seperti yang digambarkan

dalam sistem panopticon. Ada faktor lain yang turut mengawasi dan ikut

menciptakan pola hidup seseorang dalam sistem pendisiplinan tersebut.

Pentingnya penelitian ini juga mengungkapkan bahwa ternyata

masyarakat bisa kreatif dalam menegosiasikan identitasnya. Ketika harus

tarik ulur karena kekuatan kekuasaan, seseorang dapat menentukan strategi

yang nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Seseorang tidak harus menjadi

terasing karena identitasnya.

Di Indonesia saat ini, kita sangat mudah menemukan usaha purifiksai

yang mengantar pada pemilihan identitas. Salah satu contoh adalah fenomena


(2)

135 daerah Aceh. Pada kenyataannya purifikasi ini menuai pro dan juga kontra,

tidak bisa berjalan dengan lancar. Pada akhirnya masyarakat harus memilih,

menjadi Islam sesuai aturan atau muncul usaha lainnya.

Dalam penelitian ini melihat bahwa kebenaran yang diciptakan tidak

bisa dilepaskan dari kekuasaan yang menciptakan wacana tersebut. Menutup

tulisan ini, ada kisah semacam ini:

“Seorang kepala suku mempunyai kebiasaan membawa seekor kera saat rapat. Kera itu diikat di bawah meja rapat. Setelah kepala suku itu meninggal, kera itu tetap diikat di bawah meja saat rapat berlangsung, sebagai usaha mengenang kepala suku tersebut. Setelah kera itu mati, kebiasaan itu digantikan kera lain. Setelah beberapa generasi, kera menjadi syarat adanya rapat. Bahkan pada generasi berikutnya, kera itu yang menentukan hasil rapat.”

Sebagai manusia kita sering mengagungkan sebuah tradisi atau

kebiasaan-kebiasaan sebagai kebenaran mutlak, meskipun tidak tahu sejarah

dan makna dibalik ritus tersebut. Harapan penelitian ini, semoga dalam

menjalankan tradisi atau beribadah tidak merasa diri paling benar, yang

terpenting menemukan makna dalam ritus tersebut, bukan hanya melengkapi


(3)

Sumber Pustaka

Abdilah, S. 2002. Politik Identitas Etnis; pergulatan Tanda Tanpa Identitas.

Magelang: Indonesiatera

Amir, Hazim. 1991. Nilai-nilai Etis dalam Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Amrih, Pitoyo. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta: Pinus Book Publisher

Astiyanto, Heniy. 2006. Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal. Yogyakarta: Warta Pustaka

Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi,

(terj). Achmad Fedyani Saefuddin, dari judul Asli, Varieties of Javanese Religion, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada

Beilharz, P. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyarkata: Pustaka Pelajar

Bertens, K. 2006. Filsafat Barat Kontemporer Perancis. Jakarta: Gramedia

Bratasiswara, Harmanta, R. 2000. Bauwana Adat Tatacara Jawa. Jakarta: Yayasan Sumirat

Boelaars, H. 2005. Indonesianisasi: dari Gereja Katolik di Indonesia menjadi Gereja Katolik Indonesia . Yogyakarta: Kanisius

Carrette, Jeremy R. 1999. Agama, Seksualitas, Kebudayaan, Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra

Carey, Peter. 1986. Asal-usul Perang Jawa. Jakarta: Putaka Azet

Coote, Jermy dan Anthony Shelton. 1992. Anthropology Art and Aesthetic.

Oxford: Clarendon Press

Darusuprapta. 1988. Sarasehan Kebudayaan Jawi dalam Yatmana, Tuntutan Kagem Pranatacara Tuwin Pamedhar Sabda. Semarang: Aneka Ilmu


(4)

Dillistone, F.W. 2002. The Power Of Symbol. Yogyakarta: Kanisius

Endraswara, Suwardi. Mistisme dalam Seni Spiritual Bersih Desa di Kalangan Penghayat Kepercayaan. Yogyakarta: Jurnal Kebudayaan Jawa Kejawen,

Vol. 1, No. 2., Agustus 2006. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fak. Bahasa Seni UNY & Narasi Yogyakarta

Foucault, Michel. 1978. The history of Sexulity: Volume I An Introduction, New York: Pantheon Books

Foucault, Michel . 1995. Discipline & Punish: The Birth of the Prison (New York: Vintage Books) translated from the French by Alan Sheridan

Foucault, Michel. 1984. The Foucault reader, edited by Paul Rabinow. New York;Pantheon Books

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi, dalam Masyarakat Jawa (terj), Aswab Mahasin, dari judul asli, The Religion of Java. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya

Guillot, C. 1985. Kiai Sadrach; Riwayat Kristenisasi di Jawa. Jakarta: Temprint

Hardjana, Agus M. 2005. Religiositas, Agama, dan Spiritualitas. Yogyakarta: Kanisius

Hardjowirogo, Marbangun. 1989. Orang Jawa. Jakarta: Haji Masagung

Harsapandi. 2005 Suran: Antara Kuasa Tradisi dan Ekspresi Seni. Yogyakarta: Pustaka Marwa

Haryatmoko. 2010. Dominasi Penuh Muslihat akar kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta : Gramedia

James, William. 2003. The Verieties of Religious Experience. Alih bahasa Luthfi Anshari. Yogyakarta: Jendela


(5)

Keane, Webb. 2007. Christian Moderns: Freedom and Fetish in the mission encounter. Los Angels: University of California Press

Kusumohaimdjojo. 2009. Filsafat Kebudayaan Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra

Lechte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Postmodernitas. Yogyakarta: Kanisius

Lukito, Lucas. 2009. 500 Tahun Yohanes Calvin: Pengetahuan Tentang Allah adalah Testing Ground untuk Mengenal Manusia. Veritas-Jurnal Teologi dan Pelayanan, SAAT Malang

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas. Yogyakarta: Kanisius

McNeill, John T. 1954. The History and Character of Calvinism. United States of America: Oxford University Press

Mrázek, Jan. 2005. Phenomenology of A Puppet Theatre. Leiden: KITLV Press

Mulyana. Spiritualisme Jawa: Meraba Dimensi dan Religiusitas Orang Jawa. Yogyakarta: Jurnal Kebudayaan Jawa Kejawen, Vol. 1, No. 2., Agustus 2006. Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fak. Bahasa Seni UNY & Narasi Yogyakarta

Pemberton, J. 1989. The Appearance of Order: A Politics of Cultural in Colonial and Postcolonial Java. Ithaca: Cornell University

Pokok-Pokok ajaran Gereja Kristen Jawa edisi 2005. Salatiga: Sinode GKJ

Prasetya, F. Mardi. 1993. Psikologi Hidup Rohani 1. Yogyakarta: Kanisius

Radcliffe-Brown, A.R. 1979. Structure and Function in Primitive Society: Essays and Adresses. London dan Henley: Routledge & Kegan Paul


(6)

Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Culturas Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London: Sage Publications

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development (terj. Juda Damanik). Jakarta: Erlangga

Sinaga, M. 2004. Identitas Poskolonial “Gereja Suku” dalam Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LkiS

Soekotjo, S.H. 2009. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) Jilid 1: Di Bawah Bayang-Bayang Zending (1868-1948). Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen

Soekotjo, S.H. 2010. Sejarah Gereja-Gereja Kristen Jawa (GKJ) Jilid 2:

Merajut Usaha Kemandirian (1950-1985) Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen

Subagya, T.L. 2004. Menemui Ajal; Etnografi Jawa tentang Kematian. Yogyakarta: KEPEL Press

Suseno, Franz Magnis.1988. Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup Jawa. Jakarta: Gramedia

Takwin, Bagus. 2003. Akar-akar Kajian Konsep Ideologi dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra

Turner, Victor. 1988. The Anthropology of Performance. New York: PAJ Publications

Wisnumurti, Rangkai. 2012. Sangkan Paraning Dumadi: Konsep Kelahiran dan Kematian Orang Jawa. Yogyakarta: Diva Press

Woodward, Mark R. 2006. Islam Jawa: Kesalehan normatif Versus Kebatinan,

(terj), Hairus Salim. Dari judul asli, Islam in Java; Normative Pietu and Misticism. Yogyakarta: LkiS