Keadaan Penduduk Desa Banyubiru sebagai Wilayah Kejawaan

40 Kehidupan warga masyarakat di Desa Banyubiru masih sangat tergantung dengan alam, baik di daerah pegunungan maupun di sekitar rawa. Di daerah pegunungan mereka menanam cengkeh, aren, pohon sengon, dan hasil perkebunan lainnya. Mereka bertahan hidup dari hasil bumi di daerah pegunungan. Sedangkan daerah rawa para warga mencari ikan, enceng gondok untuk kerajinan, atau hasil-hasil rawa lainnya. Kesinambungan hidup yang bergantung dari alam menuntut masyarakat untuk selalu mensyukuri dan memohon kesuburan akan hasil bumi. Sikap tersebut kemudian menimbulkan kebiasaan masyarakat di Desa Banyubiru untuk menyatakan syukur dan terima kasih dengan menyelenggarakan kegiatan bersih desa. Penyatuan diri dengan alam ini dibarengi dengan sikap menghormati leluhur, agar mudah ditolong dalam berbagai kesulitan hidup. Hal demikian, sejalan dengan pendapat Bratasiswara 2000:123 bahwa bersih desa adalah kegiatan bersama masyarakat desa untuk menghormat, mengenang, dan memelihara desanya setahun sekali seusai panen. Bagi masyarakat yang bermata pencaharian bercocok tanam, musim panen menjadi suatu harapan yang didambakan. Oleh karena itu, pada setiap musim panen mereka merasa menerima kebahagiaan tahunan, sehingga menimbulkan gerakan hati untuk mengenang dan menghormat desa yang telah berjasa menjadi tempat hunian dan tumpuan hidup.

3. Keadaan Penduduk

Keadaan penduduk sangat berpengaruh pada pemaknaan akan Kejawaan. Mulai dari usia, mata pencaharian, tingkat pendidikan, dan juga agama. Keadaan 41 penduduk di Desa Banyubiru berdasarkan usia di masing-masing kelompok umur hampir merata. Berkaitan dengan identitas Kejawaan, masa remaja sering merupakan suatu titik pencarian akan identitasnya, meskipun ini klise karena pencarian identitas tidak akan pernah berhenti. Berdasarkan data di atas, usia remaja di Desa Banyubiru usia 16-20 th yaitu 9,84 dan juga usia peralihan usia 21-25th yaitu 9,93 pada usia inilah pencrian identitas akan entiitas pertama kali terjadi. Walaupun anak-anak sadar akan beberapa perbedaan etnis dan kebudayaan, kebanyakan secara sadar menghadapi etnisitas untuk pertama kalinya pada usia remaja. Berbeda dengan anak-anak, remaja memiliki kemampuan untuk meginterpretasikan informasi etnis dan kebudayaan, untuk merefleksikan masa lalu, dan berspekulasi tentang masa depan Harter, 1990 dalam Santrock , 2002:60. Dalam penelitian ini, masa Dewasa dan usia lanjut 26 tahun ke atas menjadi subyek penelitian. Hal ini dikarenakan, pada usia tersebuut manusia sudah bisa memaknai akan realitas kehidupannya. Beradasarkan data di atas, masyarakat di Desa Banyubiru yang berusia di atas 26 tahun berjumlah sekitar 50,96 dari seluruh jumlah penduduk. 17 Identitas Kejawaan selain dipengaruhi oleh usia, juga dipengaruhi oleh mata pencaharian. Seperti telah disinggung di bagian sebelumnya, mata pencaharian menjadi suatu bagian dari sebuah pola hidup dalam masyarakat, salah satunnya seperti pertanian yang membuat masyarakat menghayatinya melalui tradisi bersih desa. 17 Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ Desa Banyubiru Tahun 2011 42 Desa Banyubiru secara geografis sebagian besar berupa daerah pertanian dan juga daerah rawa, namun berdasarkan data di atas mata pencaharian yang bergantung pada alam dan berprofesi sebagai petani berjumlah 4,9, Peternak berjumlah 0,43, Buruh tani berjumlah 4,13, Nelayan berjumlah 1,31 lebih kecil dibanding dengan buruh Pegawai Swasta yang berjumlah 19,06 dan juga Buruh Industri berjumlah 25, 13. 18 Banyak faktor yang mempengaruhi jenis pekerjaan ini, salah satunya usia dan juga jenjang pendidikan. Seperti yang diungkapkan Bapak Supri Daryono sebagai berikut “Saat ini, hanya sedikit yang mau mengoleh lahan pertanian. Sekian banyak petani hanya beberapa orang yang anak muda, mereka yang berpendidikan minimal SMA jarang atau bahkan tidak ada yang mau turun ke sawah, meskipun sebenarnya tanah di Banyubiru ini adalah tanah pertanian yang sangat subur. Namun tidak hanya itu saja, faktor lain adalah tanah pertanian di Banyubiru bukan semua milik warga tetapi juga milik TNI AD. ” 19 Tingkat Pendidikan sangat mempengaruhi jenis pekerjaan di Desa Banyubiru, sehingga secara tidak langsung berpengaruh pada pemaknaan akan tradisi bersih desa atau pemaknaan hidup mereka sebagai orang Jawa. Masyarakat Desa Banyubiru masih banyak yang tidak pernah berada di bangku sekolah yaitu berjumlah 12,9 sedangkan yang menyelesaikan pendidikan pada tingkat SLTA berjumlah 10,69, tamat AkademiDiploma berjumlah 9,06, 18 Idem. 19 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Supri Daryono tanggal 9 April 2013 Kadus dan Ketua Kelompok Tani Dusun Kampung Rapet Desa Banyubiru 43 Sarjana ke atas berjumlah 8,61. Dari prosentase tersebut terlihat bahwa di Desa Banyubiru masih banyak warga yang tidak mengenyam pendidikan. 20 Faktor lain yang sangat mempengaruhi identitas Kejawaan adalah agama. Bila mendengar agama, banyak pemikiran yang muncul dengan gambaran yang berbeda-beda. Ada yang menganggap agama sebagai jalan dan cara hidup, agama adalah kepercayaan pada hal atau realitas yang lebih luhur dari pada manusia, agama adalah rangkaian tindakan khas seperti doa, ibadat, dan upacara. Agama juga dianggap sebagai perasaan tergantung secara mutlak pada suatu realitas yang mengatasi dirinya. Hardjana 2005:50 Orang Jawa sendiri dalam memandang agamanya menurut Mulyana 2006 terdiri dari tiga aspek, yang pada gilirannya telah melahirkan paling tidak tiga kelompok besar: beragama secara murni, beragama campuran atau hibrid, dan beragama kejawen asli. Kelompok pertama selalu mencoba menghayati agamanya secara murni yaitu mengamalkan sesuai dengan ajaran agamanya, biasanya tidak memberi ruang bagi amalan yang berbau takhayul atau sejenisnya. Kelompok kedua, mereka yang melaksanakan agamanya atau bercampur dengan keyakinan-keyakinan Jawa atau agama lain. Kelompok ketiga, yaitu orang-orang Jawa yang benar-benar meyakini agama Jawa semdiri. Inilah agama Jawa asli yang disebut agama Kebatinan atau Kejawen. Meskipun demikian, secara yuridis-formal orang Jawa memiliki dan mengakui keyakinan agama tertentu. Masyarakat Desa Banyubiru sebagian besar 20 Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ Desa Banyubiru Tahun 2011 44 memeluk agama Islam yakni sebesar 88,06. 21 Pemeluk Islam di Desa Banyubiru juga “terpecah” menjadi dua, yakni Nahdhatul Ulama NU yang disebut-sebut sebagai kelompok Islam yang bisa mengakomodasi agama dengan tradisi Jawa. Sementara Muhammadiyah berjuang demi tegaknya kemurnian Islam. Meskipun demikan, secara kuantitatif di Desa Banyubiru lebih banyak Islam “campuran” yang masih memberikan ruang pada tradisi Jawa, bahkan menjadikan sesuatu yang cukup penting, terlihat adanya tradisi slametan, bersih desa, dan tradisi-tradisi Jawa lainnya. 22 Penduduk Desa Banyubiru yang memeluk agama Katholik 8,36 23 cenderung lebih bisa mengakomodasi tradisi Jawa. Keterbukaan tersebut terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan berkaitan dengan tradisi Jawa, yaitu adanya ibadah dalam upacara pernikahan baik prosesi sebelum pernikahan ataupun saat pernikahan. Seperti pada malam midodareni 24 , biasanya diadakan sembahyangan atau doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama atau prodiakon . Agama Kristen di Desa Banyubiru sebesar 3,46 25 terbagi kedalam dua kelompok, yaitu Gereja Kristen Jawa dan Gereja Betel. Desa Banyubiru yang 21 Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ Desa Banyubiru Tahun 2011 22 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Yusup soleh Modin Dusun Kmapung Rapet Desa Banyubiru tanggal 5 April 2013 23 Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ Desa Banyubiru Tahun 2011 24 Midodareni adalah malam hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan keluarga pihak mempelai perempuan mengadakan tirakatan semalam suntuk. 25 Sumber berdasarkan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban LKPJ Desa Banyubiru Tahun 2011 45 terletak tidak jauh dari Salatiga mempengaruhi perkembangan umat atau jemaat. Salatiga merepukan salah satu tanah misi Kristenisasi yang sering disebut dengan Salatiga zending. Menjadi persoalan, munculnya titik perbedaan antara ajaran Kristen dengan tradisi Jawa. Pemaknaan yang berbeda akan peristiwa kematian. Bagi orang Jawa peristiwa kematian dimaknai tidak hilang begitu saja, namun ada ritual dan tradisi-tradisi yang menyertaunya, salah satunya ziarah kubur. Bagi Jemaat Kristen, berbagai ritual tentang kematian seperti ziarah kubur tidak perlu, karena orang meninggal tidak butuh doa. Sehingga di sini terlihat jemaat Kristen memiliki titik keberatan akan tradisi Jawa dalam soal ziarah kubur dan menjadi menarik untuk diteliti bagaimana negosiasi identitas mereka.

II. Kondisi Sosial dan Budaya