Daliken Si Telu Masyarakat Batak Karo: Satu Kajian Sistem Kekerabatan Sebagai Sarana Pengendalian
Daliken Si Telu Masyarakat Batak Karo: Satu Kajian Sistem
Kekerabatan Sebagai Sarana Pengendalian Sosial
Pertampilan Sembiring Brahmana
Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk memahami daliken si telu yang terdapat pada
Masyarakat Batak Karo dalam mengendalikan masalah-masalah sosial yang dihadapi
masyarakat Karo. Teori yang dipergunakan adalah teori pengendalian sosial dan nilai
budaya yang dominan didalam daliken si telu.
Pengendalian sosial adalah suatu proses, baik yang direncanakan atau tidak
direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga
masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Pada prinsipnya
pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok
lain, apabila kelompok mengendalikan prilaku kelompoknya, atau kalau pribadi-pribadi
mempengaruhi tingkah laku pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya
atau tidak. Maka pengendalian sosial adalah suatu sarana yang ada dalam masyarakat
untuk mempengaruhi, untuk mengkontrol semua tingkah laku warganya ketika akan
bersosialisasi. Melalui sosialisasi ini, setiap warga masyarakat akan dituntun kearah sikap
tunduk dan patuh pada norma-norma, nilai-nilai budaya, aturan yang ada atau yang
dikehendaki oleh masyarakat. Tujuan pengendalian sosial terutama untuk mencapai
keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat,
dan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan
keadilan/keseimbangan.
Daliken si telu adalah bagian dari masyarakat Karo yang merupakan landasan
bagi sistem kekerabatan dan semua kegiatan khususnya kegiatan yang bertalian dengan
pelaksanaan adat-istiadat dan interaksi antar pada Masyarakat Karo. Daliken si telu ini
didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak
beru. Hal ini maka setiap individu Karo terikat kepada daliken si telu. Melalui daliken si
telu masyarakat Karo saling berkerabat, baik berkerabat karena hubungan darah
(seketurunan), maupun berkerabat karena hubungan perkawinan. Adapun nilai-nilai yang
dominan yang terdapat didalam daliken si telu adalah nilai gotong royong dan
kekerabatan.
Seperti telah dikemukakan bahwa pengendalian sosial terjadi apabila suatu
kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, kelompok mengendalikan prilaku
anggotanya, atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan
kata lain, pengendalian terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah
laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya
maupun tidak, dan pengendalian sosial juga merupakan suatu kekuatan untuk
mengorganisir tingkah laku sosial budaya, sehingga pengendalian sosial mempunyai
kekuatan yang membimbing manusia. Sedangkan adat istiadat tumbuh dan berkembang
berdasarkan kebutuhan masyarakat yang nyata, yang berisi norma-norma yang telah
berlaku sepanjang masa walau pun sama sekali tidak mempunyai alat memaksa seperti
1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
hukum, norma-norma tetap diwariskan secara turun temurun sehingga merupakan
sesuatu yang harus dipatuhi, ketika menyelenggarakan kepentingan bersama. Adat
istiadat mengandung makna hukum yang memiliki fungsi pengatur, penertib dan
pengaman kehidupan masyarakat, juga sebagai penggerak dan pendorong pembangunan,
dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Dalam hal ini hubungan daliken si telu dengan pengendalian sosial jelas. Didalam
“tubuh” daliken si telu ada dua unsur, pertama adalah sistem sosial yang bersifat terbuka
yaitu kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak beru. Seseorang berkedudukan sebagai
kalimbubu bargantung kepada situasi dan kondisi, demikian sebaliknya. Ini berhubungan
dengan manusia sebagai subjek dan objek. Unsur kedua adalah psiko budaya, ini
berhubungan dengan nilai, nilai ini berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan, untuk
mengikat aktor yang tiga tersebut dalam jaringan kekerabatan. Jadi, memahami hubungan
daliken si telu melalui pendekatan pengendalian sosial adalah memahami bagaimana
caraberpikir dan cara bertindak aktor yang tiga (kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak
beru), baik secara kelompok (kalimbubu, sembuyak/senina, anak beru), maupun secara
pribadi, berdasarkan nilai kekerabatan, kebersamaan dan gotong royong yang dilandasi
nilai kasih sayang, untuk mengajak, mengarahkan, membina, membimbing atu bahkan
memaksa warga masyarakat Karo agar mau mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah adat
istiadat karo.
Hasil yang ditemukan menunjukkan bahwa daliken si telu sebagai bagian dari
budaya Karo, tetap berperan penting. Bahkan bila muncul masalah-masalah sosial
didalam keluarga masyarakat Karo, masalah itu baru dikatakan tuntas, selesai, dan sah,
bila daliken si telu pihak bermasalah ikut berpartisipasi menyelesaikannya. Jalan keluar
yang ditawarkan daliken si telu bervariasi, bergantung kepada masalah yang muncul.
Sebagai contoh misalnya masalah penyimpangan dalam perkawinan, bila salah seorang
calon pengantin bukan berasal dari etnis Karo, pihak daliken si telu calon pengantin yang
beretnis Karo, selalu menyarankan agar calon pengantin etnis non Karo tersebut
disyahkan menjadi “orang Karo” yaitu diberikan klen (merga/beru), dan sekaligus
diberikan orang tua adatnya. Peranan orang tua adat dalam bidang-bidang tertentu (diluar
adat istiadat karo) sama dengan orang tua kandungnya, tetapi dalam bidang-bidang
tertentu (didalam adat istiadat karo) jelas jauh melebihi orang tua kandungnya yang
bukan berasal dari etnis karo. Pemberian klen ini bukan bertujuan untuk
mengkaronisasikan etnis non karo yang ingin berjodoh dengan etnis Karo, tetapi
bertujuan agar mekanisme daliken si telu tetap berfungsi semestinya, dengan demikian
hubungan kekerabatan dengan keluarga pihak impal (calon suami atau istri menurut adat
istiadat karo) dari etnis karo yang kebetulan menikah dengan non karo tetap terjalin erat.
Keuntungan lain adalah, bila muncul masalah-masalah sosial dalam keluarga pembauran
ini, dia dapat memilih mau diselesaikan berdasarkan jalur hukum negara yang berlaku
boleh, diselesaikan sesuai dengan hukum adat karo juga boleh. Kepada yang bermasalah
tinggal memilih, jalur mana yang hendak dipergunakan. Keuntungan lain dengan
pemberian klen ini, khususnya bila calon pengantin itu wanita, bila kelak suaminya
meninggal dunia, dia berhak mewarisi tanah adat yang ada dimiliki suaminya.
Keuntungan lain adalah kedudukan orang yang diberi klen (marga/beru) menjadi jelas
dalam struktur adat Karo. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga pembaruan ini,
kedudukannya sama didalam adat dengan keluarga yang kedua orang tuanya sama-sama
satu etnis. Berhak mendapat pelayanan berdasarkan adat istiadat karo. Sedangkan
2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
kerugiannya (a). bagi wanita non karo yang menikah dengan pria karo, si wanita tidak
mempunyai beru, maka keluarganya tidak mempunyai kalimbubu sierkimbang, dan
anaknya tidak mempunyai kalimbubu daerah berdasarkan konsep daliken si telu, karena
anak-anaknya yang dilahirkan tidak mempunyai kalimbubu daerah, dia tidak berhak
mendapatkan harta warisanadat hal ini karena pembagian harta warisan ada melibatkan
pihak daliken si telu. Bila ada acara-acara adat Karo, tidak ada yang mengosei
(meminjamkan dan memakaikan pakaian adat) kepada suaminya. Bila timbul sengketa
didalam keluarga yang mereka bina, tidak dapat diselesaikan menurut adat istiadat
(Karo). Bila ada acara-acara adat, si istri (wanita) menjadi canggung karena tidak
mengetahui dimana posisinya dalam acara adat tersebut, kalaupun tahu posisinya, tetap
tidak sah menurut adat istiadat Karo. Kalau si istri meninggal dunia, dia tidak berhak
dimakamkan dipekuburan keluarga suaminya, demikian pula anak-anak yang
dilahirkannya. Si istri tidak berhak mengelola harta warisan marga suaminya, demikian
pula dengan anak-anak yang dilahirkannya walaupun mereka memiliki anak laki-laki.
Kerugian bagi anak kandungnya, anak kandungnya tidak mempunyai marga/beru dalam
struktur adat Karo, si anak tidak memiliki struktur yang lengkap menurut adat karo,
apakah sebagai kalimbubu, anak beru, senina/sembuyak. (b). bagi pria non karo yang
menikah dengan wanita karo, bila timbul sengketa dalam rumah tangga mereka, tidak
dapat diselesaikan menurut adat istiadat Karo, bila ada acara-acara adat dalam keluarga
istrinya si suami akan menjadi canggung karena tidak mengetahui posisinya dalam acara
adat tersebut, kalaupun tahu posisinya, tetap tidak sah menurut adat istiadat karo, si pria
tidak mempunyai klen (marga), maka keluarga yang mereka bina tidak mempunyai anak
beru berdasarkan daliken si telu. Demikian pula dengan anak-anak yang mereka lahirkan
tidak mempunyai anak beru berdasarkan adat istiadat karo. Bagi anak kandungnya, anak
kandungnya tidak mempunyai anak beru dalam struktur adat Karo, si anak tidak memiliki
struktur yang lengkap dalam adat karo, apakah sebagai kalimbubu, anak beru,
sembuyak/senina. Pemberian klen ini sifatnya seumur hidup untuk wanita, karena begitu
siwanita meninggal dunia, klen yang diterimanya tidak dapat diwariskan kepda anakanak yang dilahirkannya. Berbeda dengan pria selamanya (abadi), hal ini disebabkan
masyarakat Karo berdasarkan sistem patrilineal, pria yang menurunkan garis keturunan.
Bila kepada seorang pria telah diberikan klen, klen yang telah diterimanya, dapat
disandang (diwariskan) sampai ke anak cucunya, dengan tetap bersandarkan sistem
kekerabatan orang yang memberinya klen tersebut.
Pembagian harta warisan didasarkan kepada nilai patrilineal yaitu harta warisan
yang tidak bergerak diwariskan kepada anak laki-laki sebagai penerus generasi keluarga.
Konflik diselesaikan berdasarkan semangat kekerabatan dan persaudaraan. Suka duka
dihadapi dengan nilai atau semangat gotong royong dan persaudaraan.
3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
Kekerabatan Sebagai Sarana Pengendalian Sosial
Pertampilan Sembiring Brahmana
Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana
ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk memahami daliken si telu yang terdapat pada
Masyarakat Batak Karo dalam mengendalikan masalah-masalah sosial yang dihadapi
masyarakat Karo. Teori yang dipergunakan adalah teori pengendalian sosial dan nilai
budaya yang dominan didalam daliken si telu.
Pengendalian sosial adalah suatu proses, baik yang direncanakan atau tidak
direncanakan yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga
masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. Pada prinsipnya
pengendalian sosial terjadi apabila suatu kelompok menentukan tingkah laku kelompok
lain, apabila kelompok mengendalikan prilaku kelompoknya, atau kalau pribadi-pribadi
mempengaruhi tingkah laku pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya
atau tidak. Maka pengendalian sosial adalah suatu sarana yang ada dalam masyarakat
untuk mempengaruhi, untuk mengkontrol semua tingkah laku warganya ketika akan
bersosialisasi. Melalui sosialisasi ini, setiap warga masyarakat akan dituntun kearah sikap
tunduk dan patuh pada norma-norma, nilai-nilai budaya, aturan yang ada atau yang
dikehendaki oleh masyarakat. Tujuan pengendalian sosial terutama untuk mencapai
keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat,
dan untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan
keadilan/keseimbangan.
Daliken si telu adalah bagian dari masyarakat Karo yang merupakan landasan
bagi sistem kekerabatan dan semua kegiatan khususnya kegiatan yang bertalian dengan
pelaksanaan adat-istiadat dan interaksi antar pada Masyarakat Karo. Daliken si telu ini
didukung oleh tiga aktor yang dikenal dengan kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak
beru. Hal ini maka setiap individu Karo terikat kepada daliken si telu. Melalui daliken si
telu masyarakat Karo saling berkerabat, baik berkerabat karena hubungan darah
(seketurunan), maupun berkerabat karena hubungan perkawinan. Adapun nilai-nilai yang
dominan yang terdapat didalam daliken si telu adalah nilai gotong royong dan
kekerabatan.
Seperti telah dikemukakan bahwa pengendalian sosial terjadi apabila suatu
kelompok menentukan tingkah laku kelompok lain, kelompok mengendalikan prilaku
anggotanya, atau kalau pribadi-pribadi mempengaruhi tingkah laku pihak lain. Dengan
kata lain, pengendalian terjadi apabila seseorang diajak atau dipaksa untuk bertingkah
laku sesuai dengan keinginan pihak lain, baik apabila hal itu sesuai dengan kehendaknya
maupun tidak, dan pengendalian sosial juga merupakan suatu kekuatan untuk
mengorganisir tingkah laku sosial budaya, sehingga pengendalian sosial mempunyai
kekuatan yang membimbing manusia. Sedangkan adat istiadat tumbuh dan berkembang
berdasarkan kebutuhan masyarakat yang nyata, yang berisi norma-norma yang telah
berlaku sepanjang masa walau pun sama sekali tidak mempunyai alat memaksa seperti
1
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
hukum, norma-norma tetap diwariskan secara turun temurun sehingga merupakan
sesuatu yang harus dipatuhi, ketika menyelenggarakan kepentingan bersama. Adat
istiadat mengandung makna hukum yang memiliki fungsi pengatur, penertib dan
pengaman kehidupan masyarakat, juga sebagai penggerak dan pendorong pembangunan,
dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Dalam hal ini hubungan daliken si telu dengan pengendalian sosial jelas. Didalam
“tubuh” daliken si telu ada dua unsur, pertama adalah sistem sosial yang bersifat terbuka
yaitu kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak beru. Seseorang berkedudukan sebagai
kalimbubu bargantung kepada situasi dan kondisi, demikian sebaliknya. Ini berhubungan
dengan manusia sebagai subjek dan objek. Unsur kedua adalah psiko budaya, ini
berhubungan dengan nilai, nilai ini berfungsi sebagai alat untuk mengendalikan, untuk
mengikat aktor yang tiga tersebut dalam jaringan kekerabatan. Jadi, memahami hubungan
daliken si telu melalui pendekatan pengendalian sosial adalah memahami bagaimana
caraberpikir dan cara bertindak aktor yang tiga (kalimbubu, sembuyak/senina, dan anak
beru), baik secara kelompok (kalimbubu, sembuyak/senina, anak beru), maupun secara
pribadi, berdasarkan nilai kekerabatan, kebersamaan dan gotong royong yang dilandasi
nilai kasih sayang, untuk mengajak, mengarahkan, membina, membimbing atu bahkan
memaksa warga masyarakat Karo agar mau mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah adat
istiadat karo.
Hasil yang ditemukan menunjukkan bahwa daliken si telu sebagai bagian dari
budaya Karo, tetap berperan penting. Bahkan bila muncul masalah-masalah sosial
didalam keluarga masyarakat Karo, masalah itu baru dikatakan tuntas, selesai, dan sah,
bila daliken si telu pihak bermasalah ikut berpartisipasi menyelesaikannya. Jalan keluar
yang ditawarkan daliken si telu bervariasi, bergantung kepada masalah yang muncul.
Sebagai contoh misalnya masalah penyimpangan dalam perkawinan, bila salah seorang
calon pengantin bukan berasal dari etnis Karo, pihak daliken si telu calon pengantin yang
beretnis Karo, selalu menyarankan agar calon pengantin etnis non Karo tersebut
disyahkan menjadi “orang Karo” yaitu diberikan klen (merga/beru), dan sekaligus
diberikan orang tua adatnya. Peranan orang tua adat dalam bidang-bidang tertentu (diluar
adat istiadat karo) sama dengan orang tua kandungnya, tetapi dalam bidang-bidang
tertentu (didalam adat istiadat karo) jelas jauh melebihi orang tua kandungnya yang
bukan berasal dari etnis karo. Pemberian klen ini bukan bertujuan untuk
mengkaronisasikan etnis non karo yang ingin berjodoh dengan etnis Karo, tetapi
bertujuan agar mekanisme daliken si telu tetap berfungsi semestinya, dengan demikian
hubungan kekerabatan dengan keluarga pihak impal (calon suami atau istri menurut adat
istiadat karo) dari etnis karo yang kebetulan menikah dengan non karo tetap terjalin erat.
Keuntungan lain adalah, bila muncul masalah-masalah sosial dalam keluarga pembauran
ini, dia dapat memilih mau diselesaikan berdasarkan jalur hukum negara yang berlaku
boleh, diselesaikan sesuai dengan hukum adat karo juga boleh. Kepada yang bermasalah
tinggal memilih, jalur mana yang hendak dipergunakan. Keuntungan lain dengan
pemberian klen ini, khususnya bila calon pengantin itu wanita, bila kelak suaminya
meninggal dunia, dia berhak mewarisi tanah adat yang ada dimiliki suaminya.
Keuntungan lain adalah kedudukan orang yang diberi klen (marga/beru) menjadi jelas
dalam struktur adat Karo. Anak-anak yang dilahirkan dari keluarga pembaruan ini,
kedudukannya sama didalam adat dengan keluarga yang kedua orang tuanya sama-sama
satu etnis. Berhak mendapat pelayanan berdasarkan adat istiadat karo. Sedangkan
2
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara
kerugiannya (a). bagi wanita non karo yang menikah dengan pria karo, si wanita tidak
mempunyai beru, maka keluarganya tidak mempunyai kalimbubu sierkimbang, dan
anaknya tidak mempunyai kalimbubu daerah berdasarkan konsep daliken si telu, karena
anak-anaknya yang dilahirkan tidak mempunyai kalimbubu daerah, dia tidak berhak
mendapatkan harta warisanadat hal ini karena pembagian harta warisan ada melibatkan
pihak daliken si telu. Bila ada acara-acara adat Karo, tidak ada yang mengosei
(meminjamkan dan memakaikan pakaian adat) kepada suaminya. Bila timbul sengketa
didalam keluarga yang mereka bina, tidak dapat diselesaikan menurut adat istiadat
(Karo). Bila ada acara-acara adat, si istri (wanita) menjadi canggung karena tidak
mengetahui dimana posisinya dalam acara adat tersebut, kalaupun tahu posisinya, tetap
tidak sah menurut adat istiadat Karo. Kalau si istri meninggal dunia, dia tidak berhak
dimakamkan dipekuburan keluarga suaminya, demikian pula anak-anak yang
dilahirkannya. Si istri tidak berhak mengelola harta warisan marga suaminya, demikian
pula dengan anak-anak yang dilahirkannya walaupun mereka memiliki anak laki-laki.
Kerugian bagi anak kandungnya, anak kandungnya tidak mempunyai marga/beru dalam
struktur adat Karo, si anak tidak memiliki struktur yang lengkap menurut adat karo,
apakah sebagai kalimbubu, anak beru, senina/sembuyak. (b). bagi pria non karo yang
menikah dengan wanita karo, bila timbul sengketa dalam rumah tangga mereka, tidak
dapat diselesaikan menurut adat istiadat Karo, bila ada acara-acara adat dalam keluarga
istrinya si suami akan menjadi canggung karena tidak mengetahui posisinya dalam acara
adat tersebut, kalaupun tahu posisinya, tetap tidak sah menurut adat istiadat karo, si pria
tidak mempunyai klen (marga), maka keluarga yang mereka bina tidak mempunyai anak
beru berdasarkan daliken si telu. Demikian pula dengan anak-anak yang mereka lahirkan
tidak mempunyai anak beru berdasarkan adat istiadat karo. Bagi anak kandungnya, anak
kandungnya tidak mempunyai anak beru dalam struktur adat Karo, si anak tidak memiliki
struktur yang lengkap dalam adat karo, apakah sebagai kalimbubu, anak beru,
sembuyak/senina. Pemberian klen ini sifatnya seumur hidup untuk wanita, karena begitu
siwanita meninggal dunia, klen yang diterimanya tidak dapat diwariskan kepda anakanak yang dilahirkannya. Berbeda dengan pria selamanya (abadi), hal ini disebabkan
masyarakat Karo berdasarkan sistem patrilineal, pria yang menurunkan garis keturunan.
Bila kepada seorang pria telah diberikan klen, klen yang telah diterimanya, dapat
disandang (diwariskan) sampai ke anak cucunya, dengan tetap bersandarkan sistem
kekerabatan orang yang memberinya klen tersebut.
Pembagian harta warisan didasarkan kepada nilai patrilineal yaitu harta warisan
yang tidak bergerak diwariskan kepada anak laki-laki sebagai penerus generasi keluarga.
Konflik diselesaikan berdasarkan semangat kekerabatan dan persaudaraan. Suka duka
dihadapi dengan nilai atau semangat gotong royong dan persaudaraan.
3
e-USU Repository ©2004 Universitas Sumatera Utara