Latar Belakang Masalah Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB I

6 membicarakan secara khusus mengenai penggunaan asas HPI untuk menentukan Lex Causae sehubungan dengan kasus tersebut.

B. Latar Belakang Masalah

Mengingat betapa pentingnya Hukum Perdata Internasional dalam kerangka penyelesaian sengketa antara para pihak yang berada dalam yurisdiksi berbeda, maka turut menjadi penting hubungannya dengan lex causae. Pada hakekatnya Hukum Perdata Internasional merupakan “penunjukan”. Penunjukan dalam artian kaedah atau norma manakah yang nantinya akan diberlakukan terhadap suatu konflik atau sengketa yang melibatkan entitas hukum dari teritorial Negara yang berbeda. Penunjukkan yang dimaksud ini tentu berdasarkan maupun dilihat dari titik-titik taut primer. Titik-titik taut primer tersebut antara lain 1 Kewarganegaraan pihak yang terkait dalam perkara; 2 Domisili pihak yang terkait dalam perkara; 3 Letak tempat kedudukan situs benda tetap; 4 Bendera kapal asing sebagai petunjuk “kewarganegaraan” kapal; 5 Tempat suatu perbuatan dilakukan locus actus, perkawinan diselenggarakan locus celebrationis, atau kontrak dibuat locus contractus; 6 Tempat di mana akibat perbuatan timbul locus solutionis; 7 Pilihan hukum choice of law; 8 Tempat di mana perbuatan resmi dilakukan, termasuk tempat di mana gugatan perkara diajukan forum 9 . Sehubungan dengan definisi Hukum Perdata Internasional, maka inilah pengertian menurut para ahli. 10 9 S. Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia. Bab II tentang Titik- titik Pertalian, 1987. 10 Hardjowahono, Op.Cit., h. 7-8 7  R. H. Graveson berpendapat bahwa: “Conflict of laws atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta relevan yang menunjukan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek teritorial maupun aspek subjek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain yang biasanya asing, atau masalah pelaksanaan yurisdiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing.”  Sudargo Gautama dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, mendefinisikan HPI sebagai: “… keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan- hubungan atau peristiwa-peristiwa antara warga -warga Negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stetsel-stetsel dan kaidah- kaidah hukum dari dua atau lebih Negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi, dan soal- soal.” Berpijak dari pengertian-pengertian tersebut, maka terdapat beberapa ciri pokok antara lain sistem hukum maupun forum yang bersangkutan. Artinya, terdapat pula hukum lain foreign law dalam hubungannya dengan HPI. Oleh karenanya, melihat pluralitas sistem hukum dalam HPI maka dalam sebuah perkara hakim perlu menentukan lex causae. Penentuan yang dimaksud ini dilakukan dengan memperhatikan titik-titik taut dan juga kaitannya pada teori kualifikasi. Selain seperti yang telah diungkapkan mengenai pluralitas sistem hukum, ada pula pluralitas forum dalam hubungannya dengan HPI. Dalam HPI dikenal dua jenis titik taut. Pertama ialah titik-titik taut primer Primary Points of Contact, yaitu fakta-fakta di dalam sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan peristiwa hukum ini mengandung unsur- 8 unsur asing foreign elements dan karena itu peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa HPI dan bukan peristiwa hukum intern domestik semata. Kedua ialah titik-titik taut sekunder Secondary Points of Contact, yaitu fakta-fakta dalam perkara HPI yang akan membantu penentuan hukum manakah yang harus diberlakukan dalam menyelesaikan persoalan HPI yang sedang dihadapi. Titik taut sekunder seringkali disebut titik taut penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat manakah yang akan digunakan sebagai the applicable law dalam penyelesaian suatu perkara 11 . Adapun teori kualifikasi sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, yakni kualifikasi lex fori, kualifikasi lex causae, kualifikasi secara otonom analitik, kualifikasi secara bertahap, dan kualifikasi hukum perdata internasional. Pada kasus Kartika Tahir terdapat argumen-argumen yang sama-sama saling membantah dan menanggapi sehubungan dengan penggunaan asas hukum perdata internasional. Argumen-argumen tersebut juga yang merupakan poin-poin penting ketika sang hakim membuat pertimbangannya. Dengan justifikasi yang diberikan oleh para pihak untuk meyakinkan para hakim, maka bisa dilihat dan dicermati apa yang menjadi alasan dibalik pertimbangan hakim sedemikian. Fakta dari kasus tersebut kurang lebih adalah sebagai berikut. Haji Achmad Thahir atau yang lebih dikenal dengan H. Thahir adalah nama yang cukup populer di tahun 1975-an. Di masa kepresidenan Soeharto, H. Thahir menjabat sebagai Asisten Umum Direktur Utama Pertamina yang saat bersamaan Pertamina dipimpin oleh Ibnu Sutowo. Sepeninggal H. Tharir pada tanggal 23 Juli 1976, menimbulkan kontroversial di dunia hukum, sebab ternyata 11 Ibid., h. 84 87 9 H. Tharir memiliki simpanan rekening di Bank Sumitomo Singapura bernilai 153 milyar rupiah. Kartika yang merupakan istri keempat dari H. Thahir mengakui bahwa harta simpanan di Bank Sumitomo tersebut adalah harta bersama dengan H. Thahir joint account. Namun, sebelum Kartika datang, ternyata Ibrahim Thahir bersama empat saudaranya yang merupakan anak H. Thahir dari istri pertamanya sudah lebih dahulu meminta uang tersebut diblokir. Hal ini memang belum cukup menampakkan adanya kepastian, sebab pada 6 Nopember 1975, lebih dari setahun seteleh pembukaan rekening, H. Thahir meminta pihak Bank Sumitomo mentransfer semua rekeningnya ke dalam rekening bersama andor Thahir- Kartika. Dan pada 11 Nopember 1975, Sumitomo meminta rekonfirmasi perihal transfer tersebut, hingga pada 23 Juli 1976 H. Thahir meninggal dunia dan tidak pernah memberikan jawaban atas rekonfirmasi dari Bank Sumitomo. Belakangan, dua saudara tiri Ibrahim Thahir dari istri kedua ayahnya ikut bergabung dengan Ibrahim Thahir. Karena ketidakjelasan siapa yang berhak atas simpanan uang tersebut, Bank Sumitomo melimpahkan permasalahan itu ke Pengadilan Tinggi Singapura untuk menentukan kepada siapa ia akan memberikan uang itu apakah kepada Kartika atau anak tiri dari H. Thahir. Di sisi lain, Pemerintah Indonesia Pertamina tidak tinggal diam menyikapi kasus ini, sebab diduga harta simpanan tersebut adalah hasil korupsi H. Thahir yang berasal dari Komisi perusahaan-perusahaan kontraktor yang tidak disetor ke dalam keuangan Pertamina. Perusahaan-perusahaan tersebut yaitu Siemens, Klockner, dan Ferrosthal. Akhirnya, Indonesia membentuk tim yang 10 diketuai oleh L.B. Moerdani yang beranggotakan Letnan Kolonel Teddy Rusdy, Soehadibroto Kejaksaan Agung, Dicky Turner Pertamina dan Albert Hasibuan pengacara. Tim ini bertugas mengembalikan uang hasil korupsi tersebut kembali ke negara. Kasus ini diselesaikan melalui Pengadilan Tinggi Singapura, meskipun sesungguhnya masing-masing pihak yang bersengketa adalah warga negara Indonesia, namun objek sengketanya berada di Singapura. Dan Singapura tentu paling tidak memliki kepentingan atas kasus ini. Penyelesaian kasus ini berkaitan dengan ada atau tidaknya choice of forum dan choice of law. Selain itu, penyelesaian sengketa ini juga berkaitan dengan choice of law atau pilihan hukum. Choice of law menentukan hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur atau menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang mengandung unsur asing. Pada kasus ini unsur asing tersebut adalah Indonesia dari sisi pihak penyimpan dana Thahir, anak-anak Thahir, dan Pemerintah Indonesia yaitu dalam hal ini Pertamina. Hingga pada akhirnya, setelah 16 tahun perkara ini berlangsung, pada 3 Desember 1992, Hakim Pengadilan Tinggi Singapura Lai Kew Chai memutuskan bahwa Pertamina berhak atas uang deposito H. Thahir yang jumlahnya sekitar 78 juta dollar yang berkembang dari 35 juta dollar di tahun 1976 12 . Fakta hukum terkait putusan ini berangkat dari putusan high court sebelumnya. Tetapi, dalam hal ini Pertamina yang mengajukan gugatan atas beberapa deposit Tahir. Isunya berangkat dari putusan sebelumnya yang 12 http:arsyadshawir.blogspot.com201303penyelesaian-kasus-sengketa-simpanan- h.html 11 menyatakan Pertamina tidak memiliki hak untuk mengklaim deposit yang dimaksud. Para hakim menemukan bahwa pertamina telah gagal untuk membuktikan. Oleh karena itu, timbulah setidaknya 4 empat isu yaitu 1 apakah harus ada klaim kepemilikan; 2 apakah deposito adalah hasil suap; 3 hukum manakah yang mengatur the governing law; dan 4 apakah klaim pertamina merupakan hal terkait kepemilikan. Berangkat dari isu-isu tersebut, maka yang menjadi konsern penulis yaitu pada isu ketiga mengenai hukum mana yang seharusnya mengatur. Dengan melihat uraian serta khususnya berkaitan dengan fakta hukum yang ada, ternyata akhirnya hakim memutuskan hukum lex causae yang digunakan ketika tidak adanya pilihan hukum choice of law pada kasus tersebut adalah hukum Singapura. Oleh karenanya, di balik pertimbangan hakim dalam penentuan lex causae inilah yang merupakan latar belakang penelitian penulis. Pada akhirnya akan dikaji penggunaan prinsip atau asas Hukum Perdata Internasional mengenai pertimbangan penentuan tersebut. Sedikit mengulas yang akan menjadi penelitian Penulis, pada putusan tersebut terdapat kaedah yang menjadi pedoman penting dalam menentukan lex causae. Hal yang dimaksud tersebut ialah Rule 201. Hakim secara jelas menggunakan doktrin sebagai sumber HPI yang otoritatif di dalam menentukan lex causae. Rule 201 dalam hal ini sebetulnya bukan merupakan suatu kaedah peraturan jika yang dimaksudkan seperti undang-undang, namun merupakan doktrin yang dimunculkan Dicey Morris on the Conflict of Laws 12 th Ed. 1993. Dalam Rule 201 mengandung unsur titik taut di mana penentuan lex causae bisa dilihat dari berbagai kategori, yaitu, bahwa hukum yang pantas diberlakukan 12 adalah hukum yang tepat dari kontrak ketika kewajiban timbul sehubungan dengan kontrak; berdasarkan objek seperti jika transaksi mengenai sebuah benda tak bergerak misalnya: tanah; kemudian, bahwa kewajiban muncul dalam keadaan lain in any other circumstances, hukum yang tepat adalah hukum negara di mana tindakan memperkaya diri itu terjadi. Nanti bisa dilihat bahwa alasan dibalik mengapa sistem hukum Singapura yang ditunjuk ialah karena Singapura merupakan negara di mana tindakan memperkaya terjadi enrichment occurs. Paling tidak bunyi dari doktrin Rule 201 adalah sebagai berikut. Rule 201 1 The obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at another person’s expense is governed by the proper law of the obligation. 2 The proper law of the obligation is semble determined as follows: a If the obligation arises in connection with a contract, its proper law is the proper law of the contract; b If it arises in connection with a transaction concerning an immovable land, its proper law is the law of the country where the immovable is situated lex situs; c If it arises in any other circumstances, its proper law is the law of the country where the enrichment occurs. Rule 201 poin ketiga secara tegas telah menjelaskan dan memberi petunjuk bahwa hukum mana yang akan diberlakukan ketika dikaitkan dengan putusan ini. Dikatakan bahwa hukum yang tepat ialah hukum negara di mana tindakan memperkaya terjadi atau dilakukan. Indonesia merupakan negara di mana H.Tahir melakukan tindakan memperkaya diri. Dengan demikian secara singkat dikatakan bahwa hukum Indonesia yang menjadi lex causae. Namun, apakah hanya masalah 13 hukum negara di mana tindakan memperkaya dilakukan lantas lex causae langsung ditentukan. Proses dan perjalanan menuju arah itulah yang sebetulnya lebih difokuskan demi ditemukannya tepatnya kesesuaian dengan kaedah dan prinsip hukum perdata internasional.

C. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Kesehatan Kota Salatiga dalam Mewujudkan Hak Anak Memperoleh ASI Eksklusif T1 312012046 BAB I

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap Pengguna Pekerja Anak di Sektor Informal T1 312012027 BAB I

0 3 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengawasan Dinas Ketenagakerjaan Kota Salatiga terhadap Pengguna Pekerja Anak di Sektor Informal T1 312012027 BAB II

0 1 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Pemerintah Kota Salatiga dalam Mewujudkan Kota Layak Anak T1 312009038 BAB I

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB II

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak T1 312009052 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Sosial Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Salatiga dalam Upaya Penanganan Pengamen Anak

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penanganan YLKI Salatiga terhadap Keluhan Atau Sengketa Konsumen di Kota Salatiga T1 312005016 BAB I

0 0 14

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Dinas Kesehatan Kota Salatiga dalam Melakukan Pengawasan terhadap Peredaran Vaksin T1 BAB I

0 0 11