1
BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Suatu keniscayaan bahwa dalam penyelesaian suatu konflik sengketa khususnya sengketa hukum diperlukan adanya penyelesaian yang pasti untuk
menentukan kebenaran. Dengan berkembangnya teknologi transportasi maupun telekomunikasi maka seiring pula interaksi transnasional yang terjadi. Artinya,
interaksi dalam konteks perbuatan hukum pun berkembang tidak hanya di dalam atau antara subjek yang berada pada wilayah Negara yang sama tetapi juga
memungkinkan melewati batas teritorial tersebut. Dalam cakupan konflik yang berlangsung antara para pihak yang bersengketa dengan subjek hukum sama-sama
berasal dari suatu tertorial Negara yang sama, seperti yang diketahui telah memiliki payung hukumnya sendiri. Begitu pun sebenarnya ketika para subjek
hukum yang bersengketa berasal dari teritorial Negara yang berbeda. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa interaksi transnasional mulai berkembang. Oleh
karena itu, perlu untuk diperhatikan ketika timbul persoalan hukum. Persoalan hukum berkaitan dengan hukum dari Negara mana yang akan diberlakukan dalam
suatu peristiwa hukum yang melibatkan subjek dari Negara yang berbeda. Mengacu pada sengketa yang memposisikan para pihak pada wilayah yurisdiksi
Negara berbeda, maka solusi yang diterapkan adalah seputar ruang lingkup
2
Conflict of Laws
1
Hukum Perdata Internasional. Itulah alasan hadirnya Hukum Perdata Internasional sebagai jawaban penyelesaian sengketa yang mengandung
unsur asing foreign element
2
. Adapun terdapat tahap-tahap yang harus ditempuh dalam penyelesaian
perkara Hukum Perdata Internasional HPI. Secara umum tahap-tahap tersebut yakni, pertama, penentuan apakah sebuah perkara termasuk perkara HPI atau
bukan berdasarkan hukum tempat perkara diperiksa lex fori dan ada tidaknya kewenangan mengadili; kedua, kualifikasi terhadap perkara HPI tersebut
qualification of facts dengan menggunakan hukum tempat perkara diperiksa lex fori; ketiga, penentuan tentang hukum mana yang harus berlaku bagi perkara
HPI; keempat, setelah hukum yang harus diterapkan lex causae ditentukan, akan dilihat apakah menurut lex causae titik-titik taut yang ada selanjutnya menunjuk
lex fori, lex causae, atau hukum asing lain sebagai hukum yang harus diberlakukan; kelima, setelah ditentukan hukum Negara mana yang harus berlaku
menurut lex causae, barulah masalah diselesaikan dengan putusan in concreto; dan yang terakhir, pelaksanaan eksesusi putusan
3
. Berangkat dari tahap-tahap penyelesaian tersebut, ketika telah ditentukan
bahwa suatu perkara memang benar-benar perkara HPI, maka dilakukanlah kualifikasi. Kualifikasi atau sering juga disebut characterization; classification;
atau interpretation
4
sebenarnya adalah melakukan “translation” atau “penyalinan”
1
“The terms Conflict of Laws describes generally the body of law that aspires to provide solutions to international or interstate legal disputes between persons or entities other than
countries or states as such…”. Peter Hay, Patrick Borchers, Symeon Symeonides. Conflict of Laws, Fifth Edition, h. 1.
2
Sudargo Gautama, Kontrak Dagang Internasional, Alumni, Bandung, 1983, h. 7.
3
Arie Siswanto. Bahan ajar kelas Hukum Perdata Internasional, FH UKSW.
4
Black’s Law Dictionary, Ninth Edition. Lihat: characterization
3
dari fakta-fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum
5
. Pada tahapan kualifikasi ini, ada pula 2 dua jenis kualifikasi yakni kualifikasi hukum qualification of
law dan kualifikasi fakta qualification of facts. Kualifikasi hukum melalui penggolongan berdasarkan kriteria sistematis yang sudah ada, sementara
kualifikasi fakta melalui penggolongan fakta-fakta ke dalam satu atau lebih peristiwa hukum
6
. Berbicara mengenai kualifikasi, maka terdapat 5 lima teori kualifikasi. Di antaranya adalah kualifikasi lex fori, kualifikasi lex causae,
kualifikasi secara otonom analitik, kualifikasi secara bertahap, dan kualifikasi hukum perdata internasional
7
. Problematika yang kemudian muncul jika ternyata tidak ada klausul
pilihan hukum dalam kontrak. Jawabannya pula ada dalam ruang lingkup Conflict of Laws bahwa pada tahap berikutnya setelah kualifikasi terhadap perkara itu
qualification of facts ialah penentuan hukum mana yang harus diberlakukan. Menjadi menarik ialah terkait teori kualifikasi yang mana pada penulisan ini
menitikberatkan pada kualifikasi menurut lex causae. Teori ini beranggapan bahwa proses kualifikasi dijalankan sesuai dengan sistem serta ukuran-ukuran dari
keseluruhan sistem hukum yang berkaitan dengan perkara. Menurut Sunaryati Hartono, dalam hal kualifikasi berdasarkan lex causae, kesulitan mungkin akan
timbul jika sistem asing tertentu ternyata tidak memiliki sistem kualifikasi yang cukup lengkap atau bahkan tidak mengenal klasifikasi lembaga hukum yang
5
S. Gautama. Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, h. 119.
6
Ibid., h. 119-120 – dilihat secara umum.
7
Ibid., h. 124-125.
4
sedang dihadapi dalam perkara
8
. Dengan demikian, menjadi menarik ketika teori kualifikasi lex causae digunakan dalam suatu penyelesaian perkara.
Telah dikatakan sebelumnya bahwa hakekat HPI selain berkaitan dengan penunjukan, juga dengan foreign elements. Ketika berbicara mengenai foreign
elements maka forum yang menghadapi suatu perkara sehubungan dengan HPI tidak dapat mengabaikan kemungkinan-kemungkinan yaitu salah satunya bahwa
lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum yang otomatis harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Alasan mengapa lex fori tidak otomatis harus
diberlakukan ialah karena ada kebutuhan untuk menentukan sistem hukum manakah di antara sistem hukum yang relevan, yang seharusnya atau lebih tepat
untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Apalagi ketika sistem hukum yang ditunjuk dipilih lex causae-nya masih lebih mengakomodir fakta-fakta
hukum suatu perkara. Itulah yang dimaksudkan akan pentingnya lex causae. Dengan demikian, tidak terpaku apakah perkara telah terjadi jauh di waktu yang
lalu sehingga dipertanyakan relevansi lex causae dengan suasana dan atmosfer masa sekarang, lex causae mempunyai peran penting. Berangkat dari lex fori yang
tidak secara otomatis diberlakukan, hakim tidak dapat terikat secara kaku pada konsep lex fori saja sehingga harus memperhatikan pula cakupan peristiwa
hubungan hukum sejenis dari suatu sistem hukum lain. Kemudian, hubungannya dengan kebutuhan dalam menentukan sistem hukum yang seharusnya dan lebih
tepat, maka penentuan lex causae masih berperan penting hingga kini.
8
Bayu Seto Hardjowahono. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional Indonesia, h. 103.
5
Kemudian yang menjadi pertanyaan mengapa lex causae masih dianggap penting padahal dalam kasus ini putusan sudah in concreto. Memang pada
dasarnya ketika putusan sudah in concreto maka secara tersirat lex causae telah ditentukan. Namun, menurut penulis titik fokus terkait lex causae, yang tidak
kalah pentingnya ialah bagaimana proses dan perjalanan hingga pada akhirnya lex causae ditentukan hubungannya dengan penggunaan prinsip dan kaidah hukum
perdata internasional. Adapun kasus yang akan mennjadi acuan ketika membahas mengenai
penggunaan asas hukum perdata internasional HPI untuk menentukan Lex Causae. Kasus yang dimaksud adalah
Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara Pertamina, Suit No: CA 204 1992.
Usaha Penulis untuk melakukan penelitian ini dan menemukan jawaban- jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penggunaan asas Hukum Perdata
Internasional berkaitan dengan kasus tersebut sehingga itu juga yang telah menjadi alasan mengapa Penulis memilih Judul: Penentuan Lex Causae dalam
kasus
Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara Pertamina, Suit No: CA 204 1992.
Sedangkan alasan selanjutnya, Penulis memilih judul sebagaimana telah dikemukakan di atas adalah bahwa “subject matter” asas HPI khususnya dalam
penentuan Lex Causae pada kasus Kartika Ratna Thahir melawan PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara Pertamina belum terlalu kalau
tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali dikaji secara ilmiah dalam skripsi- skripsi di FH UKSW sehingga dapat dikatakan bahwa skripsi yang pertama
6
membicarakan secara khusus mengenai penggunaan asas HPI untuk menentukan Lex Causae sehubungan dengan kasus tersebut.
B. Latar Belakang Masalah