ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI (Studi Putusan Nomor: 604/PID.B/2014/PN.TJK)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI

(Studi Putusan Nomor: 604/PID.B/2014/PN.TJK)

Oleh

AGUNG PRIYANTO

Pemanfaatan Internet tidak hanya membawa dampak positif, tapi juga dampak negatif. Salah satu dampak negatif dari pemanfaatan internet adalah penyebaran informasi bermuatan pornografi yang menjadi perhatian serius dari Pemerintah di berbagai Negara termasuk Indonesia. Media sosial telah memberikan andil yang cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya penyebarluasan pornografi di masyarakat. kasus tersebarnya foto tanpa busana seorang polwan Polda Lampung di media sosial facebook yang dilakukan bayu yang merupakan mantan kekasihnya sendiri, akibat pebuatannya bayu dijatuhkan hukuman 3 tahun penjara dan denda 100 juta subsideir 4 bulan kurungan, belum selesai menjalani hukuman bayu kembali menjadi tersangka penyebaran foto bugil Polisi Wanita Mabes Polri melalui media sosial BlackberryMasangger. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Apakah dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara pelaku residivis tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial? dan (2) Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku residivis perkara tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial?

Metode penelitian yang digunakan melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pengumpulan data berdasarkan studi kepustakaan yang mengambil data-data dari buku-buku, undang-undang, karya ilmiah serta literatur dan studi lapangan, sedangkan pengolahan data dilakukan dengan metode editing, sistematisasi, serta interpretasi.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa dalam pertimbangannya hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum terhadap pelaku karena melihat kasus ini terjadinya hampir bersamaan, kemudian hakim melihat sikap terdakwa yang mengakui terus terang perbuatannya, bersikap sopan dan menyesali perbuatannya sehingga tidak mempersulit jalannya persidangan itu menjadi hal-hal yang meringankan putusan. Dan untuk penerapan sanksi pidana terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang


(2)

Informasi dan Transaksi Elektronik karena telah memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif yaitu terdakwa memiliki dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan dan terdakwa “dengan sengaja” mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik dalam hal ini yaitu gambar yang memuat bentuk tubuh manusia tanpa busana yang melanggar kesusilaan sehingga terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsideir 4 (empat) bulan pidana kurungan.

Adapun saran yang diberikan adalah semestinya, Jaksa yang diberikan kewenangan dalam proses penuntutan terhadap terdakwa harus benar-benar teliti agar tidak merugikan pihak yang berperkara dan Hakim dalam memutus suatu perkara yang ditanganinya harus lebih berani untuk menghukum terdakwa jauh lebih ringan atau lebih berat sesuai dengan perbuatan yang dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari atas putusannya tersebut.


(3)

(4)

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI

(Studi Putusan Nomor: 604/Pid.B/2014/PN.TJK) ( Skripsi )

Oleh

AGUNG PRIYANTO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN Halaman

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Sanksi Pidana ... 17

B. Pengertian Pelaku dan Residivis ... 19

C. Ketentuan Tindak Pidana Penyebaran Pornografi Melalui Media Sosial ... 24

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana ... 27

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 34

B. Sumber dan Jenis Data ... 35

C. Penentuan Responden ... 36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36

E. Analisis Data ... 38

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 39


(6)

C. Dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap

Pelaku residivis penyebaran pornografi melalui media sosial……… 44 D. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku residivis perkara

penyebaran pornografi melalui media sosial... 51

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 62 B. Saran ... 63


(7)

(8)

(9)

MOTO

“MindSet Is Doa Perjuangan Adalah Seni” (Ali Zainal Abidin)

“Kesuksesan Adalah Hasil dari Sebuah Proses” (Penulis)

“Seorang pemenang akan terus belajar dan mencoba hingga menjadi seorang JUARA”


(10)

(11)

(12)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayatnya maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih

payahku aku persembahkan sebuah karya ini kepada:

Bapak dan (Almh) ibu yang kuhormati, kusayangi dan kucintai. Terima kasih untuk semua pengorbanan, kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’anya demi

keberhasilan dan kesuksesanku.

Kakak-kakaku Sugeng Sutopo, Supriyadi,S.S.,dan Kartini,A.md yang selalu mendukung dan senantiasa menemaniku dengan kecerian dan kasih sayang.

Almamaterku Tercinta


(13)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Agung Priyanto, dilahirkan di Bandar lampung pada tanggal 6 Januari 1992, yang merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan dari Bapak Yahdi dan Ibu Kamirah (Almh).

Penulis menempuh pendidikan pertama di TK YWKA Tanjung Karang selesai pada tahun 1998, menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 4 Sukajawa Bandarlampung pada tahun 2004, penulis melanjutkan studinya dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Bandarlampung pada tahun 2007, dan selanjutnya penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 9 Bandarlampung pada tahun 2010.

Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pada tahun 2013 penulis mengikuti Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diselenggarakan pada tanggal 17 Januari – 24 Februari 2013 di desa Umpu Kencana, Kecamatan Blambangan Umpu, Kabupaten Waykanan.


(14)

SANWACANA

Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, seluruh alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Lampung dengan judul: ANALISIS PENERAPAN SANKSI

PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA

PENYEBARAN PORNOGRAFI (studi putusan nomor 604/Pid.B/2014/PN.TJK).

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Hj.Firganefi, S.H., M.H., selaku Pembimbing I dan Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama menyelesaikan skripsi ini.


(15)

4. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., selaku Pembahas I dan Bapak Deni Achmad, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi, dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Marlia Eka Putri, S.H., M.H., selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

6. Bapak Tri Wahyu Agus Pratekta, S.H., selaku responden Kejaksaan Negeri Bandar lampung yang telah membantu penulis dalam mengumpulkan data. 7. Bapak Firza Andriyansyah, S.H. selaku responden dari Pengadilan Negeri

Tanjung Karang yang meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H., selaku responden akademisi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan masukan demi penelitian skripsi ini. 9. Seluruh Staf Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan dan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

10.Bapak dan (almh) Ibu Tercinta yang telah merawat dan membesarkan aku sampai sekarang atas motivasi dukungan dan semangat yang diberikan. 11.Kakak-kakakku, mas sugeng, mas supri, mbak tini dan kakak iparku mbak ita

dan mbak echy serta sepupu-sepupuku yang telah memberikan do’anya dan banyak membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

12.Teman-teman seperjuangan di komunitas Bombers, shan, angga, iduy, ari, alex, vika, abi, kanda apri, yayan, bang dales atas kebersamaannya dan juga sahabatku dewi yang sudah banyak membantu.


(16)

13.Teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Rian, Agam, Fikram, Antoni, Fadil, Obaw, Aryo, Danji, Andrew, Morison, Bryan, Alhuda, Dico, Yogi, Reydi, Dodi, Boeng, Deswandi, Angga, wahyu, Bang ari serta teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih banyak sudah saling membantu selama kuliah.

14.Teman-teman KKN desa Umpukencana, Dani, Agoey, Ardi, Hamdan, Fendri, Defri, Dian, Dini, Juni, Novri

15.Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini yang tidak disebutkan satu persatu, semoga kebaikan, kasih dan sayang menyertai mereka.

16.Almamaterku tercinta yang sudah memberikan banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, agama, bangsa, dan Negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua, amin.

Bandar Lampung, 24 Desember 2014 Penulis


(17)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan pemanfaatannya dalam berbagai bidang kehidupan menandai perubahan peradaban manusia menuju masyarakat informasi. Internet adalah produk TIK yang memudahkan setiap orang memperoleh dan menyebarkan informasi dengan cepat, murah dan menjangkau wilayah yang sangat luas. Pemanfaatan Internet tidak hanya membawa dampak positif, tapi juga dampak negatif.

Perkembangan teknologi internet yang sangat cepat dan mudahnya cara menggunakannya, memungkinkan siapa saja dapat menggunakan internet. Secara sederhana internet didefinisikan sebagai jaringan global yang mengkoneksikan jutaan computer. Melalui internet jutaan orang dapat saling berhubungan secara sistematis dalam dunia maya, sehingga saat ini dunia maya tidak hanya sebatas menghadirkan informasi, hiburan, dan pendidikan, tetapi sanggup memenuhi sejumlah kebutuhan manusia seperti pertemanan, penghargaan dan cinta. Internet ibarat perpustakaan yang di dalamnya menyimpan berbagai macam informasi berupa teks, grafik, audio, gambar maupun animasi dalam bentuk media elektronik.


(18)

2

Fenomena yang sangat berkembang dalam masyarakat dengan seiringnya kemajuan pengetahuan dan teknologi adalah dengan banyaknya masyarakat yang menggunakan teknologi jaringan internet dengan memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi sosial secara online dengan keluarga, saudara, teman dan lainnya. Bisa dikatakan media sosial saat ini menjadi kebutuhan masyarakat untuk berkomunikasi dengan yang lain tanpa harus saling bertemu sehinggga dianggap cara berkomunikasi yang paling efektif. Adanya media sosial dengan memanfaatkan teknologi internet yang ada merupakan suatu kebutuhan untuk mempermudah dalam berkomunikasi.

Pemanfaatan teknologi informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.1

Meningkatnya kemudahan masyarakat untuk mengakses informasi dan banyaknya kesempatan dalam mendapatkan berbagai peralatan canggih memberi efek yang cukup mengkhawatirkan bagi moral dan etika kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia ini. Salah satu dampak negatif dari pemanfaatan internet adalah

1

Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm.34


(19)

3

penyebaran informasi bermuatan pornografi yang menjadi perhatian serius dari Pemerintah di berbagai Negara termasuk Indonesia.2

Melihat pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang teknologi informasi dan komunikasi, media sosial telah memberikan andil yang cukup besar terhadap tumbuh dan berkembangnya penyebarluasan pornografi di masyarakat. Menjamurnya berbagai media sosial seperti facebook, twitter, BBM, instagram, path, line dan masih banyak lainnya yang berisi gambar, foto, tulisan, ilustrasi dan bentuk pesan lainnya yang secara eksplisit maupun secara terang-terangan memuat kecabulan atau eksploitasi seksual dan melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat adalah sebab kenapa media sosial mempunyai andil yang besar dalam penyebaran pornografi di masyarakat. Secara signifikan, pornografi telah mewabah dan melanda seluruh umat manusia di muka bumi ini.

Kemajuan teknologi ternyata memberikan ruang bagi penyebaran pornografi, sebut saja penggunaan media sosial dengan teknologi internet yang sangat populer dan digunakan oleh begitu banyak kalangan masyarakat yang bertujuan untuk mempermudah dalam berkomunikasi dengan orang lain, ternyata dapat pula dimanfaatkan untuk menyebarluaskan pornografi dalam bentuk informasi elektronik berupa gambar, foto, kartun, gambar bergerak, dan bentuk lainnya. Pembicaraan mengenai pornografi di internet saat ini sedang ramai, dan bahkan akan terus menjadi bahan diskusi yang menarik mengingat masalah pornografi disebut-sebut sama tuanya dengan peradaban manusia di muka bumi. Dari

2

Ridwan Sanjaya, Parenting Untuk Pornografi di Internet, Jakarta, Elex Media Computerindo, 2010, hlm.4


(20)

4

beberapa kasus yang mengemuka terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dalam pornografi, isu ini mempunyai relasi kuat dengan kemudahan proses produksi, manipulasi, penyebaran dan pemanfaatan TI sebagai sarana akses pornografi, serta bagaimana kita menyikapinya.

Pencegahan dan pemberantasan dalam penyebaran pornografi lewat komputer dan internet, Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan yang memuat larangan penyebaran pornografi dalam bentuk informasi elektronik yakni Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Pasal 27 Ayat (1) menyatakan ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang

melanggar kesusilaan”. Sanksi pidana akan dikenakan bagi setiap orang yang

melakukan perbuatan seperti dinyatakan dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Kasus tersebarnya foto tanpa busana seorang wanita cantik yang merupakan anggota polisi di media jejaring sosial pertemanan Facebook beberapa waktu yang lalu sempat mengebohkan masyarakat dan para pengguna media sosial. Diketahui wanita tersebut bernama RS, seorang anggota Polisi Wanita (Polwan) Polda Lampung yang menjadi asisten pribadi istri Kapolda Lampung.

Setelah dilakukan penyelidikan terungkap bahwa pelaku penyebaran foto syur Polwan tersebut adalah mantan kekasih nya sendiri yang bernama BP. Diketahui,


(21)

5

Bayu Perdana yang merupakan warga Jalan Kopi Utara III No. 107, Bandarlampung yang telah melakukan penyebaran foto syur polwan melaui jejaring pertemanan facebook lantaran merasa sakit hati terhadap korban.3

Pada serangkaian persidangan, terungkap bahwa pada 3 Januari 2010, Briptu RS berkenalan dengan Bayu melalui akun facebook dan mengaku sebagai anggota polisi berpangkat Iptu. Lalu pada 21 Januari 2010, Bayu dan Briptu RS menjalin hubungan asmara (pacaran). Pada kurun waktu 2011-2012, Bayu meminta briptu RS untuk mengirimkan foto tanpa busana dan berjanji tidak akan menyebarluaskannya dan RS mengirimkan 3 fotonya tanpa busana. Belakangan hukuman keduanya putus. Saat putus hubungan itulah pada 2013 Bayu mengancam RS akan menyebarkan foto tersebut ke akun Facebook. Bayu jengkel karena setiap dihubungi melalui telepon tidak pernah diangkat oleh RS. Akibat perbuatannya tersebut dalam persidangan yang digelar di PN Kelas IA Tanjungkarang, Majelis Hakim menyatakan warga Way Halim tersebut dianggap bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 jo Pasal 45 UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Majelis hakim yang diketuai Poltak Sitorus menjatuhkan vonis 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 4 (empat) bulan penjara. Bayu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1, 4 jo Pasal 45 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yaitu 5 (lima) tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 6 (enam) bulan. Atas putusan ini, Bayu menyatakan

menerimanya ’’Putusan ini sudah dua per tiga dari tuntutan JPU, sesuai undang

3


(22)

6

undang yang diterapkan”. Jadi, kami langsung menerimanya. Bayu kan memang sudah mengakui dirinya yang menyebarkan foto tersebut, Diketahui, Bayu didakwa dua pasal. Dalam dakwaan pertama Pasal 4 Ayat 1 jo Pasal 29 UU RI No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Ia pun terancam pidana maksimal 12 tahun dan denda maksimal Rp 6 miliar. Lalu dalam dakwaan kedua, ia didakwa melanggar Pasal 27 Ayat 1, 4 jo Pasal 45 UU RI No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.4

Belum selesai menjalani hukuman pidana penjara selama 3 (tiga) tahun atas kasus penyebaran foto bugil milik Briptu RS (polwan Polda Lampung). Bayu Perdana kembali menjadi terdakwa dalam kasus penyebaran foto syur milik FJ (polwan) yang menjadi Asisten Pribadi istri Kakorlantas Mabes Polri. Bayu harus kembali duduk di kursi pesakitan lantaran menyebarkan foto bugil Bripda FA. JPU menjerat terdakwa dengan Pasal 29 jo Pasal 4 Ayat 1 huruf d UU RI No. 44/2008 tentang Pornografi. Jika lolos, JPU menyiapkan Pasal 45 Ayat 1 jo Pasal 27 Ayat 1 UU RI No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Berbeda dengan Brigpol RS yang ia sebarkan lewat Facebook, foto bugil Bripda FA ini ia jadikan Display Picture BlackBerry Messenger (DP BBM). Foto-foto seronok itu ia pasang periode 3-20 Oktober 2013.

Jaksa penuntut umum (JPU) Tri Wahyu Agus Pratekta menjelaskan, Bayu berkenalan dengan FA lewat Facebook pada Juli 2013. Terdakwa kemudian berhubungan dengan korban melalui telepon, BBM, dan pesan singkat (SMS). Ia juga pernah menemui korban dua kali dengan status saat itu sudah berpacaran. Pertama di Foodcourt Kemang sekitar pukul 20.00 Wib. Kedua di Hotel

4


(23)

7

Maharaja, Jalan Tendean, Jakarta Selatan, pukul 21.00 Wib. Nah, pada pertemuan terakhir terjadi pertengkaran hebat. Korban memutuskan hubungan dengan terdakwa. Hal ini membuat Bayu marah. Ia mengambil paksa handphone korban dan merampas memory card di dalamnya. Tak disangka, dalam memory card berkapasitas 2 gigabyte itu, terdakwa menemukan foto-foto vulgar mantan kekasihnya tersebut. Sakit hati karena diputuskan berubah menjadi dendam. Terdakwa akhirnya menjadikan foto-foto tersebut Display Picture BBM-nya. Pada persidangan untuk yang kedua kalinya dengan kasus serupa, Bayu dijerat sanksi pidana terkait penyebaran foto tanpa busana polwan FJ yang merupakan mantan sekretaris pribadi (Sespri) istri kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Mabes Polri. Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tanjungkarang mengganjar Bayu dengan hukuman yang sama, yakni 3 (tiga) tahun penjara.

Bayu dinyatakan bersalah melanggar Pasal 4 Ayat (1) huruf d UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi subsidair Pasal 45 Ayat (1) jo Pasal 27 Ayat (1) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. "Menyatakan terdakwa Bayu Perdana secara sah dan meyakinkan bersalah. Menjatuhi pidana penjara kepada terdakwa selama 3 (tiga) tahun," kata Ketua Majelis Hakim FX Supriyadi. Selain pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, Bayu juga dijatuhi denda sebanyak Rp 100 juta dengan hukuman pengganti 4 (empat) bulan penjara. Menurut majelis hakim, yang memberatkan putusan terhadap Bayu adalah karena pernah dihukum dengan perkara yang sama. Putusan ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Tri Wahyu Agus Pratekta yang sebelumnya


(24)

8

menuntut terdakwa Bayu Perdana selama 5 (lima) tahun dan 10 bulan penjara serta denda sebesar Rp 250 juta subsideir 6 (enam) bulan penjara.5

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: “Analisis penerapan sanksi pidana terhadap pelaku residivis tindak pidana penyebaran pornografi (studi putusan nomor: 604/Pid.B/2014/PN.TJK).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus perkara pelaku residivis tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial ?

b. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku residivis perkara tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial ?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk menjaga penulisan dari penelitian ini tidak menyimpang dan tetap sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, maka peneliti menganggap perlu adanya pembatasan masalah. Adapun yang menjadi ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini adalah perimbangan hakim dalam memutus perkara pelaku residivis

5

http://lampung.tribunnews.com/2014/08/29/lagi-penyebaran-foto-bugil-polwan-divonis-tiga-tahun-bui


(25)

9

penyebaran pornografi melalui media sosial, dan mengenai sanksi pidana pelaku residivis penyebaran pornografi melalui media sosial dengan ketentuan undang-undang, teori-teori, atau pun pendapat para pakar hukum yang berhubungan dengan masalah terkait, dengan lokasi penelitian dilaksanakan di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah:

a. Untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus perkara pelaku residivis tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial. b. Untuk dapat mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku residivis

perkara tindak pidana penyebaran pornografi melalui media sosial.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penulisan ini adalah: a. Kegunaan Teoritis

Keilmuan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan hukum pidana khususnya tehadap pelaku tindak pidana pornografi melaui media sosial serta dijadiakan acuan para penegak hukum dalam menangani tindak pidana penyebaran pornografi melaui media sosial.


(26)

10

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan pada pihak-pihak terkait dalam rangka mencegah, memberantas, dan menangani tindak pidana pornografi melalui media sosial dan dapat menggugah para mahasiswa khususnya mahasiswa fakultas hukum untuk lebih menyikapi fenomena yang terjadi dalam kehiduapan sehari-hari yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Selain itu sebagai fenomena dan tambahan kepustakaan bagi praktisi maupun akademisi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstrak dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.6

1. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan pidana dalam suatu perkara, yaitu:7 a) Teori keseimbangan

Hakim melihat pada keseimbangan syarat-syarat yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban yang berkaitan dengan perkara.

6

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986. hlm.123

7

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm.106


(27)

11

b) Teori pendekatan seni dan intuisi

Hakim melihat keadaan pidana yang wajar bagi pelaku tindak pidana, pendekatan seni dalam penjatuhan putusan lebih oleh intuisi dari pengetahuan hakim.

c) Teori pendekatan keilmuan

Hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi hakim harus memiliki wawasan keilmuan yang cukup untuk memutuskan suatu perkara.

d) Teori Pendekatan Pengalaman

Hakim menggunakan pengalamannya untuk mengetahui dampak dari putusan yang dijatuhkannya berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e) Teori Ratio Decidendi

Hakim dalam memutus perkara harus mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan hukuman.

2. Residivis dalam ilmu hukum diartikan sebagai pengulangan kejahatan yang atas perbuatan sebelumnya sudah dijatuhi pidana oleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap.8 Sehingga apabila seseorang kembali mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya, maka hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya dapat diperberat dengan ditambahkan sepertiga dari hukuman maksimum yang diterimanya.

8


(28)

12

3. Tindak Pidana penyebaran pornografi melalui media sosial yang dalam hal ini merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal-Pasal yakni: Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 4 Ayat 1 juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Berlaku ketentuan-ketentuan di bawah ini:

a) Pasal 27 (1) juncto Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik atau dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliyar rupiah).

b) Pasal 4 (1) juncto Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menawarkan, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, menyewakan, menyediakan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000 dan paling banyak 6.000.000.000 (enam miliyar rupiah).


(29)

13

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan di teliti.9

Untuk menghindari kesalahan pemahaman tentang pokok permasalahan pembahasan dalam skripsi ini, maka dibawah ini ada beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan istilah-istilah yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami skripsi ini. Konsep-konsep yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.10

b. Penerapan adalah suatu perbuatan mempraktekan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu.11

c. Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusunya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. d. Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan.12

9

Soejono Soekanto. Op. Cit., hlm.32

10

Tim Penyusun Kamus, Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hlm. 32

11

S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, Jakarta, Alumni Ahaem-Peteheam,1996, hlm.245

12


(30)

14

e. Residivis adalah pengulangan tindak pidana berasal bahasa prancis yaitu re

dan cado.Re berarti lagi dan cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya bisa dilakukannya setelah dijatuhi penghukumannya.

f. Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dikenakan hukuman pidana.13

g. Pornografi adalah gambar, sketsa, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar gerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika suatu penulisan skripsi bertujuan untuk memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari hubungan antara satu bagian dengan bagian lain dari seluruh isi tulisan dari sebuah skripsi dan untuk mengetahui serta untuk lebih memudahkan memahami materi yang ada dalam skripsi ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:

13


(31)

15

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bab pendahuluan yang memuat tentang latar belakang penulisan, perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang latar belakang tindak pidana penyeberan pornografi melalui media sosial.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar pemahaman kedalam pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan tentang metode penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu menjelaskan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, data dan sumber data, penentuan responden dan narasumber, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pokok bahasan mengenai hasil penelitian, yang terdiri dari karakteristik responden, dasar pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap pelaku risidivis perkara penyebaran pornografi melalui media sosial dan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku residivis perkara penyebaran pornografi


(32)

16

melalui media sosial pada wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang.

V. PENUTUP

Merupakan bab penutup dari penulisan skripsi yang berisikan secara singkat hasil pembahasan dari penelitian dan beberapa saran dari peneliti sehubungan dengan masalah yang dibahas.


(33)

17

II.TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Sanksi Pidana

Sanksi Pidana adalah suatu hukuman sebab akibat, sebab adalah kasusnya dan akibat adalah hukumnya, orang yang terkena akibat akan memperoleh sanksi baik masuk penjara ataupun terkena hukuman lain dari pihak berwajib. Sanksi Pidana merupakan suatu jenis sanksi yang bersifat nestapa yang diancamkan atau dikenakan terhadap perbuatan atau pelaku perbuatan pidana atau tindak pidana yang dapat menggangu atau membahayakan kepentingan hukum. Sanksi pidana pada dasarnya merupakan suatu penjamin untuk merehabilitasi perilaku dari pelaku kejahatan tersebut, namun tidak jarang bahwa sanksi pidana diciptakan sebagai suatu ancaman dari kebebasan manusia itu sendiri.

Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi unsur syarat-syarat tertentu1, sedangkan Roslan Saleh menegaskan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan Negara kepada pembuat delik.2

1

Tri Andrisman, Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia, BandarLampung, Unila, 2009, hlm.8

2


(34)

18

Jenis-jenis Pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):

Pidana terdiri atas:

A. Pidana Pokok 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda;

5. pidana tutupan.( UU No.20/1946 )

B. Pidana Tambahan

1. pencabutan hak-hak tertentu;

2. perampasan barang-barang tertentu; 3. pengumuman putusan hakim.

Tujuan pemidanaan adalah mencegah dilakukannya kejahatan pada masa yang akan datang, tujuan diadakannya pemidanaan diperlukan untuk mengetahui sifat dasar hukum dari pidana. bahwa Dalam konteks dikatakan Hugo De Groot “malim pasisionis propter malum actionis” yaitu penderitaan jahat menimpa dikarenakan

oleh perbuatan jahat. Berdasarkan pendapat tersebut, tampak adanya pertentangan mengenai tujuan pemidanaan, yakni antara mereka yang berpandangan pidana sebagai sarana pembalasan atau teori absolute dan mereka yang menyatakan


(35)

19

bahwa pidana mempunyai tujuan yang positif atau teori tujuan, serta pandangan yang menggabungkan dua tujuan pemidanaan tersebut.

Muladi mengistilahkan teori tujuan sebagai teleological theories dan teori gabungan disebut sebagai pandangan integratif di dalam tujuan pemidanaan yang beranggapan bahwa pemidanaan mempunyai tujuan yang plural, yang merupakan gabungan dari pandangan utilitarian yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan harus menimbulkan konsekuensi bermanfaat yang dapat dibuktikan, keadilan tidak boleh melalui pembebanan penderitaan yang patut diterima untuk tujuan penderitaan itu sendiri, misalnya bahwa penderitaan pidana tersebut tidak boleh melebihi ganjaran yang selayaknya diberikan pelaku tindak pidana.3

B. Pengertian Pelaku dan Residivis

Ketentuan Pasal 55 Ayat (1) KUHP dapat dirumuskan yang dimaksud dengan pelaku ialah “mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan, dan mereka yang menganjurkan orang lain melakukan perbuatan”. Dapat disimpulkan bahwa pelaku adalah setiap orang yang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam perumusan tindak pidana.

Dalam istilah hukum positif Pengertian pengulangan tindak pidana (residivis) adalah dikerjakannya suatu tindak pidana oleh seseorang sesudah ia melakukan tindak pidana lain yang telah mendapat keputusan akhir.4 Artinya, pemberatan

3

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung, Alumni, 2008, hlm.25

4


(36)

20

pidana terhadap residivis dapat berlaku apabila ia telah mendapatkan keputusan hukum yang tetap atas perbuatan yang sama.

Adapun sebab-sebab terjadinya pemberatan pidana adalah sebagai berikut:

1) Pelakunya adalah orang yang sama.

2) Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim

3) Si pelaku sudah pernah menjalani hukuman atau hukuman penjara yang dijatuhkan terhadapnya.

4) Pengulangan terjadi dalam waktu tertentu.

Pengertian sehari-hari bahwa seorang residivis adalah seorang yang telah melakukan beberapa kali kejahatan karena melakukan berbagai kejahatan. Menurut Satochid Kartanegara residive adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, yang merupakan beberapa delik yang berdiri sendiri, akan tetapi atas salah satu atau lebih perbuatan pidana tersebut telah dijatuhi hukuman. Ada 2 (dua) arti residivis yaitu menurut masyarakat (sosial), dan dalam arti hukum pidana.

Menurut arti yang pertama, masyarakat menganggap bahwa setiap orang yang setelah dipidana, menjalaninya yang kemudian melakukan tindak pidana lagi, disini ada pengulangan, tanpa memperhatikan syarat-syarat lainnya.

Tetapi residivis dalam arti hukum pidana, yang merupakan dasar pemberat pidana ini, tidaklah cukup hanya melihat berulangnya melakukan tindak pidana, tetapi dikaitkan pada syarat-syarat tertentu yang ditetapkan undang-undang. Pada


(37)

21

umumnya masyarakat tidak mengetahui bahwa residive tersebut masih dapat digolongkan dalam beberapa bagian. Oleh karenanya apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh seseorang dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana pengulangan.

Pada dasarnya residive tersebut digolongkan kedalam 2 bagian, yaitu: 1. Residive umum (generale residive);

apabila seseorang melakukan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana telah dijatuhi hukuman, maka apabila ia kemudian melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk kejahatan apapun, ini dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman.

2. Residive khusus (special residive).

apabila seseorang melakukan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu telah dijatuhi hukuman oleh hakim, kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan kejahatan yang pertama, maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian merupakan dasar untuk memperberat hukuman.

Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di samping itu juga adanya perkembangan pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan tujuan pemidanaan yang ideal. Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi beberapa golongan.


(38)

22

Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana dibedakan atas 3 jenis, yaitu:

1. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain:

Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan suatu rangkaian tanpa yang diseiringi suatu penjatuhan pidana/ condemnation.

Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan yang sejenis (homolugus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.

2. Pengulangan tidak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain:

Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya.

Habituele recidive yaitu pengulangan tindak pidana yang dilakukan karena si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya.

3. Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga dibedakan atas:

Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/ tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian melakukan kejahatan/ tindak pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dikenakan pemberatan hukuman.


(39)

23

Recidive khusus, yaitu apabila seseorang melakukan perbuatan kejahatan/ tindak pidana yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/ tindak pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan hukuman.

Persolalan tentang pengertian residivis dalam KUHP Indonesia belum secara jelas tertulis tetapi yang ada hanyalah syarat umum yang mengatakan bahwa seorang itu residivis kalau terhadap perbuatannya ada ancaman hukuman yang diperberat atau ditambah dengan duapertiganya.

Materi yang diatur dalam Pasal 486. Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP tersebut adalah:

a. Pasal 486 KUHP adalah kejahatan-kejahatan ulangan yang menyangkut harta kekayaan dan penipuan.

b. Pasal 487 KUHP adalah kejahatan-kejahatan ulangan terhadap pribadi.

c. Pasal 488 KUHP adalah kejahatan-kejahatan ulangan yang menyangkut penghinaan.

Dari uraian tersebut dapat ditegaskan bahwa seorang dikatakan residive, karena sudah ada putusan hakim terlebih dahulu. Putusan terlebih dahulu itu akan menentukan berat ringannya hukuman yang diberikan dalam putusan baru ini, apakah si penjahat telah menjadi residivis.


(40)

24

C. Ketentuan Tindak Pidana Penyebaran Pornografi Melalui Media Sosial

Istilah tindak pidana sebenarnya berasal dari istilah yang terdapat dalam Hukum

Belanda yaitu “Straafboar Feit” dan dari bahasa latin delicium atau delik. Para

ahli sering menggunakan istilah-istilah yang berbeda yang digunakan baik dalam perundang-undangan dalam berbagai literature hukum sebagai terjemahan dari

Straafboar Feit tadi, istilah-istilah yang sering digunakan tersebut adalah :

1. Tindak pidana 2. Peristiwa hukum 3. Delik

4. Pelanggaran pidana

5. Perbuatan yang boleh dihukum 6. Perbuatan yang dapat dihukum 7. Perbuatan pidana5

Secara etimologis pornografi terbentuk dari dua kata yaitu “pornos” yaitu suatu

perbuatan asusila (dalam arti yang berhubungan dengan seksual) atau perbuatan

yang bersifat tidak senonoh atau cabul, sedangkan “graffiti” atau karya seni

lainnya dapat berupa patung, boneka, gambar, lukisan, puisi, tulisan, dan sebagainya. Pengertian pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi, atau bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi.6

5

Adami Chazawi, Op. Cit., hlm.14

6

Neng Djubaedah, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi : Perspektif Negara Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm.3


(41)

25

Ketentuan Pasal 1 ketentuan UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi adalah gambar, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bntuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat pencabulan atau eksploitas yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat .

Berdasarkan kedua definisi tersebut memberikan sebuah penekanan pada unsur-unsur sebuah pornografi yaitu :

1. Penggambaran tingkah laku (melalui gambar, ilustrasi, foto, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan)

2. Yang memuat kecabulan atau eksploitasi seks

3. Melalui berbagai media komunikasi dan/atau disampaikan dimuka umum 4. Yang dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi

Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Pornografi ini adalah sebagai berikut : Pasal 29 menyatakan :

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjual-belikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 ( enam miliyar rupiah ) .


(42)

26

Media sosial terdiri dari dua kata yaitu media dan sosial, media adalah alat, sarana komunikasi, perantara, atau penghubung sedangkan sosial artinya berkenaan dengan masyarakat atau suka memperhatikan kepentingan umum. Sehingga disimpulkan sebagai alat atau sarana komunikasi masyarakat untuk bergaul. Media Sosial adalah sebuah media online berbasis internet dengan para penggunannya bisa dengan mudah berpartisipasi dan berbagi.

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaiman diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau diluar wilayah hukum indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pasal 27 Ayat (1) menyatakan :

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi Elektronik dan/atau dokumen Eletronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.

Dilanjutkan dalam Pasal 45 Ayat (1) menyatakan :

Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama


(43)

27

6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah)

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan teknologi internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di intenet dan masyarakat pada umumnya agar mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana

Hakim sebagai pejabat yang diberikan wewenang untuk memeriksa serta memutuskan suatu perkara mempunyai kedudukan yang istemewa, karena hakim selain sebagai pegawai negeri, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Hakim sebagai pegawai negeri digaji oleh pemerintah, akan tetapi ia tidak menjalankan perintah dari pemerintah, bahkan hakim dapat menghukum pemerintah apabila pemerintah melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai


(44)

28

kewenangan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.7

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan:

Ketentuan Pasal 4 menyebutkan bahwa:

1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. 2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:

1. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain.

2. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa:

“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”

7


(45)

29

Ketentuan Pasal 8 menjelaskan bahwa:

1. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu:

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.


(46)

30

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.


(47)

31

Pada kenyataannya dalam praktik, walaupun telah bertitik tolak dari sikap-sikap seseorang hakim yang baik, kerangka landasan berfikir atau bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan dalam putusan hakim yaitu : benarkah putusanku ini, jujurkah aku dalam mengambil keputusan, adilkah bagi pihak–pihak yang bersangkutan, bermanfaatkah putusanku ini. Hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurangan hati-hatian, dan kesalahan. Dalam praktik peradilan, ada saja aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap kurang diperhatikan hakim dalam membuat keputusan.

Menurut Al. Wisnubroto, ada beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan, adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mempertimbangkan suatu keputusan adalah:8

1. Faktor Subyektif, yaitu:

a. Sikap Perilaku Apriori

Hakim sering kali dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi

8


(48)

32

karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target penyelesaian yang tidak seimbang.

b. Sikap Perilaku Emosional

Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda dengan perilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.

c. Sikap Arogan (arrogance power)

Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang bersengketa lainnya, sering kali dapat mempengaruhi keputusannya.

d. Moral

Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan, terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.

2. Faktor Obyektif, yaitu:

a. Latar belakang sosial budaya

Latar belakang sosial hakim mempengaruhi sikap perilaku hakim. Hakim dalam beberapa kajian sosiologis menunjukkan bahwa hakim yang berasal dari status sosial tinggi berbeda cara memandang suatu permasalahan yang


(49)

33

ada dalam masyarakat dengan hakim yang berasal dari lingkungan status sosial menengah atau rendah.

b. Profesionalisme

Profesionalisme yang meliputi knowledge (pengetahuan, wawasan) dan skills

(keahlian, keterampilan) yang ditunjang dengan ketekunan dan ketelitian merupakan faktor yang mempengaruhi cara hakim mengambil keputusan masalah profesionalisme ini juga sering dikaitkan dengan kode etik di lingkungan peradilan, oleh sebab itu hakim yang menangani suatu perkara dengan berpegang teguh pada etika profesi tentu akan menghasilkan putusan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakan yurisprudensi. Dokumen ini banyak mengandung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum.

Pada hakekatnya dengan adanya pertimbangan–pertimbangan tersebut diharapkan nantinya dihindari sedikit mungkin putusan hakim menjadi batal demi hukum (van rechtswege nietig atau null and void) karena kurang pertimbangan hukum. Selanjutnya setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap unsur-unsur dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum.


(50)

34

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematis, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisannya.1 Pendekatan masalah yang digunakan untuk memberikan petunjuk pada permasalahan yang akan dibahas dan dapat dipertanggungjawabkan, maka penulis melakukan dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

a. Pendekatan yuridis normatif adalah dilakukan dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

b. Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan mengadakan penelitian di lapangan terhadap pihak-pihak yang dianggap mengetahui permasalahan yang berhubungan dengan penelitian.

1


(51)

35

B. Sumber dan Jenis Data

Sesuai dengan pendekatan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka dapat ditentukan jenis dan sumber data pada penelitian ini adalah:

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. 1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari objek penelitian

lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini yang dilakukan di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang.

2. Data sekunder merupakan data yang diambil dari studi perpustakaan, yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, meliputi Peraturan-Peraturan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Putusan Hakim.

b. Bahan Hukum Sekunder, erat hubungannya dengan bahan hukum primer untuk membantu memahami dan menganalisis seperti buku, literatur, jurnal, hasil penelitian orang yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. c. Bahan Hukum Tersier, meliputi bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum sekunder yang terdiri dari Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Wikipedia, Ensiklopedia dan hal-hal yang berkaitan dengan pokok penelitian.


(52)

36

C. Penentuan Responden

Responden dalam penelitian ini adalah orang-orang yang berhubungan langsung dengan masalah dalam penulisan skripsi ini. Penentuan responden pada penulisan ini menggunakan metode pengambilan sampel secara purposive sampling yang berarti bahwa dalam penentuannya disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai dan dianggap telah mewakili terhadap masalah yang akan diteliti.2 Sesuai dengan metode penentuan responden yang akan diteliti secara hirarki sebagaimana tersebut diatas maka narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1A Tanjung Karang : 1 orang 2. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang 3. Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur pengumpulan data

Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini, maka dalam prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara:

2

Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 2000, hlm. 152


(53)

37

a. Studi Kepustakaan digunakan untuk memperoleh data sekunder, dilakukan melalui serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip literatur-literatur, perundang-undangan, dokument, dan pendapat sarjana dan ahli hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

b. Studi Lapangan berguna untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan cara wawancara dengan narasumber yang telah direncanakan sebelumnya.3

2. Pengolahan data

Selanjutnya data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun studi lapangan dilakukan pengelompokan. Data yang terkumpul yang telah dilakukan pengelompokan tersebut menurut jenisnya selanjutnya dilakukan analisis data pengolahan data meliputi:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian deperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapannya, kejelasannya, dan kebenarannya sehingga terhindar dari kekurangan data dan kesalahan.

b. Interpretasi data, yaitu menghubungkan, membandingkan, dan menguraikan data serta mendeskripsikan dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan.

c. Sistematisasi data, yaitu penyusunan data secara sistematis sesaui dengan pokok permasalahan sehingga memudahkan dalam analisis data.

3

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004 hlm. 171


(54)

38

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, artinya menguraikan data yang diolah secara rinci kedalam bentuk kalimat-kalimat (deskriptif). Analisis kualitatif yang dilakukan bertitik tolak dari analisis yuridis empiris, yang pendalamannya dilengkapi dengan analisis normatif dan analisis komparatif dengan mengunakan bahan-bahan hukum primer. Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum sehingga kesimpulan tersebut dapat memberikan saran.


(55)

62

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara penyebaran pornografi. Dalam pertimbangannya hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum terhadap terdakwa karena melihat kasus ini terjadinya hampir bersamaan dan sikap terdakwa dipersidangan yang sopan dan mengakui perbuatannya, seharusnya majelis hakim melihat perkara ini sebagai pengulangan kejahatan yang dilakukan terdakwa dimana atas perbuatan sebelumnya sudah pernah dijatuhi putusan pengadilan sehingga hal itu bisa dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk memberatkan hukuman terhadap terdakwa karena sudah dikatakan sebagai residivis.

2. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku penyebaran ponografi.

Dalam penerapan pidana Majelis Hakim menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai dasar hukum dalam memutus perkara ini. Terdakwa terbukti secara


(56)

63

sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 27 Ayat (1) juncto

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena telah memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif yaitu terdakwa memiliki dokumen elektronik yang melanggar kesusilaan dan terdakwa “dengan sengaja” mendistribusikan, mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik dalam hal ini yaitu gambar yang memuat bentuk tubuh manusia tanpa busana yang melanggar kesusilaan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan permasalahan penerapan sanksi pidana pelaku residivis tindak pidana penyebaran pornografi sebagai berikut:

1. Jaksa yang diberikan kewenangan dalam proses penuntutan harus benar-benar teliti agar tidak merugikan pihak yang berperkara dan Hakim dalam memutus suatu perkara yang ditanganinya harus lebih berani untuk menghukum terdakwa jauh lebih ringan atau lebih berat sesuai dengan perbuatan yang dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari atas putusannya tersebut.

2. Masyarakat harus lebih bijak dalam menyikapi perkembangan teknologi internet dengan tidak memanfaatkan media sosial sebagai sarana melakukan kejahatan dan perbuatan melawan hukum karena sudah ada perundang-undangan yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik .


(57)

DAFTAR PUSTAKA

a. Literatur

Andrisman, Tri. 2009. Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia. Penerbit Universitas Lampung. BandarLampung.

Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran Hukum Pidana I. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Djubaedah, Neng. 2011. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi :Perspektif Negara Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.

K, Dani. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Putra Harsa. Surabaya.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Muladi. 2008. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Prodjodijoro, Wirjono. 1989. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia. Eresco. Bandung.

Raharjo, Agus. 2002. Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta.

Sanjaya, Ridwan. 2010. Parenting Untuk Pornografi di Internet. ElexMedia Computerindo. Jakarta.

Sianturi, S.R. 1996. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya.

Alumni Ahaem-Peteheam. Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 2000. Metode Penelitian Surve. LP3ES. Jakarta.


(58)

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Suerodibroto R. Soenarto. 2004. KUHP dan KUHAP. Raja Grafindo. Jakarta. Wisnubroto, Al. 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.

b. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

c. Sumber lain

http://www.radarlampung.co.id http://lampung.tribunnews.com


(1)

37

a. Studi Kepustakaan digunakan untuk memperoleh data sekunder, dilakukan melalui serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip literatur-literatur, perundang-undangan, dokument, dan pendapat sarjana dan ahli hukum yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.

b. Studi Lapangan berguna untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan cara wawancara dengan narasumber yang telah direncanakan sebelumnya.3

2. Pengolahan data

Selanjutnya data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun studi lapangan dilakukan pengelompokan. Data yang terkumpul yang telah dilakukan pengelompokan tersebut menurut jenisnya selanjutnya dilakukan analisis data pengolahan data meliputi:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh dari penelitian deperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapannya, kejelasannya, dan kebenarannya sehingga terhindar dari kekurangan data dan kesalahan.

b. Interpretasi data, yaitu menghubungkan, membandingkan, dan menguraikan data serta mendeskripsikan dalam bentuk uraian untuk kemudian ditarik kesimpulan.

c. Sistematisasi data, yaitu penyusunan data secara sistematis sesaui dengan pokok permasalahan sehingga memudahkan dalam analisis data.

3

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004 hlm. 171


(2)

38

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, artinya menguraikan data yang diolah secara rinci kedalam bentuk kalimat-kalimat (deskriptif). Analisis kualitatif yang dilakukan bertitik tolak dari analisis yuridis empiris, yang pendalamannya dilengkapi dengan analisis normatif dan analisis komparatif dengan mengunakan bahan-bahan hukum primer. Berdasarkan hasil analisis ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat khusus untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum sehingga kesimpulan tersebut dapat memberikan saran.


(3)

62

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara penyebaran pornografi. Dalam pertimbangannya hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum terhadap terdakwa karena melihat kasus ini terjadinya hampir bersamaan dan sikap terdakwa dipersidangan yang sopan dan mengakui perbuatannya, seharusnya majelis hakim melihat perkara ini sebagai pengulangan kejahatan yang dilakukan terdakwa dimana atas perbuatan sebelumnya sudah pernah dijatuhi putusan pengadilan sehingga hal itu bisa dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk memberatkan hukuman terhadap terdakwa karena sudah dikatakan sebagai residivis.

2. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku penyebaran ponografi.

Dalam penerapan pidana Majelis Hakim menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai dasar hukum dalam memutus perkara ini. Terdakwa terbukti secara


(4)

63

sah dan meyakinkan bersalah melanggar ketentuan Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik karena telah memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif yaitu terdakwa memiliki dokumen elektronik yang melanggar

kesusilaan dan terdakwa “dengan sengaja” mendistribusikan,

mentransmisikan, dan membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik dalam hal ini yaitu gambar yang memuat bentuk tubuh manusia tanpa busana yang melanggar kesusilaan.

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan penulis berkaitan dengan permasalahan penerapan sanksi pidana pelaku residivis tindak pidana penyebaran pornografi sebagai berikut:

1. Jaksa yang diberikan kewenangan dalam proses penuntutan harus benar-benar teliti agar tidak merugikan pihak yang berperkara dan Hakim dalam memutus suatu perkara yang ditanganinya harus lebih berani untuk menghukum terdakwa jauh lebih ringan atau lebih berat sesuai dengan perbuatan yang dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari atas putusannya tersebut.

2. Masyarakat harus lebih bijak dalam menyikapi perkembangan teknologi internet dengan tidak memanfaatkan media sosial sebagai sarana melakukan kejahatan dan perbuatan melawan hukum karena sudah ada perundang-undangan yang mengatur tentang Informasi dan Transaksi Elektronik .


(5)

DAFTAR PUSTAKA

a. Literatur

Andrisman, Tri. 2009. Asas-Asas dan Dasar Aturan Hukum Pidana Indonesia. Penerbit Universitas Lampung. BandarLampung.

Chazawi, Adami. 2011. Pelajaran Hukum Pidana I. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Djubaedah, Neng. 2011. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi :Perspektif Negara Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.

K, Dani. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Putra Harsa. Surabaya.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Muladi. 2008. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung.

Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Prodjodijoro, Wirjono. 1989. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia. Eresco. Bandung.

Raharjo, Agus. 2002. Cyber Crime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Jakarta.

Sanjaya, Ridwan. 2010. Parenting Untuk Pornografi di Internet. ElexMedia Computerindo. Jakarta.

Sianturi, S.R. 1996. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya. Alumni Ahaem-Peteheam. Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 2000. Metode Penelitian Surve. LP3ES. Jakarta.


(6)

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Suerodibroto R. Soenarto. 2004. KUHP dan KUHAP. Raja Grafindo. Jakarta. Wisnubroto, Al. 1997. Hakim dan Peradilan di Indonesia. Djambatan. Jakarta.

b. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

c. Sumber lain

http://www.radarlampung.co.id http://lampung.tribunnews.com


Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI MELALUI SITUS JEJARING SOSIAL FACEBOOK

0 12 17

ANALISIS YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI MELALUI SITUS JEJARING SOSIAL FACEBOOK

0 10 17

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Nomor: 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT. PST.)

0 9 69

ANALISIS YURIDIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN HUKUM POSITIF INDONESIA

2 19 21

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS)

1 6 70

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI (Studi Putusan Nomor: 604/PID.B/2014/PN.TJK)

1 10 58

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PERBANKAN (Studi Putusan Nomor: 483/Pid.Sus./2013/PN.TK)

4 44 70

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DANA TILANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (Studi Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK)

0 9 53

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENJATUHAN PIDANA MINIMUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (Studi Putusan Nomor: 1218PID.SUS2016PN.TJK) (Jurnal)

0 1 13

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI (Studi Putusan Nomor: 604/Pid.B/2014/PN.TJK)

0 0 11