ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DANA TILANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (Studi Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DANA TILANG PENERIMAAN

NEGARA BUKAN PAJAK

(Studi Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK) Oleh

FAHMI REZA INTAMA

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi yang berdampak pada kerugian keuangan negara, sehingga pelakunya harus dihukum maksimal. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK? (2) Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014 /PN.TJK?

Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber penelitian terdiri dari Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data menggunakan analisis kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan dengan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK, karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku telah cakap atau dewasa untuk melakukan perbuatan melawan hukum, tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur kesengajaan. Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rika Aprilia dengan pidana penjara selama 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) subsidair selama 3 bulan kurungan. Selain itu hakim juga menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp. 1.418.479.500 (satu miliar empat ratus delapan belas juta empat ratus tujuh puluh Sembilan ribu lima ratus rupiah). (2) Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah pertimbangan yuridis yaitu terpenuhinya alat-alat bukti dalam persidangan sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Selain


(2)

Fahmi Reza Intama

itu hakim juga memiliki dasar pertimbangan non yuridis (di luar ketentuan KUHAP), baik yang meringankan yaitu terdakwa mengakui perbuatannya, belum pernah dihukum dan memiliki anak yang masih kecil, serta yang memberatkan hukuman bagi terdakwa yaitu merugikan keuangan negara dan tidak mendukung program pemerintah di bidang pemberantasan korupsi.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi hendaknya dioptimalkan melalui pemidanaan yang maksimal sesuai dengan ancaman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. (2) Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa.


(3)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DNA TILANG PENERIMAAN NEGARA

BUKAN PAJAK

(Studi Putusan Nomor: 32/PID.TPK/2014/PN.TJK)

Oleh

FAHMI REZA INTAMA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Fahmi Reza Intama lahir di Tanjung Karang tanggal 6 September 1991, anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Edy sofyan, S.E., dan Dra. Nadiah. Penulis mempunyai satu orang kakak bernama Farhan Wahyudi Intama dan adik bernama Ferdiyansyah Ariesta Intama.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis, yaitu Taman Kanak-Kanak AL-Azhar III, diselesaikan pada tahun 1997. Sekolah Dasar AL-Kautsal, diselesaikan pada tahun 2003. Sekolah Menengah Pertama AL-Kautsar, diselesaikan pada tahun 2006. Dan Sekolah Menengah Atas AL-Kautsar, diselesaikan pada tahun 2009.

Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Tertulis dan pada semester lima penulis mengambil bagian Hukum Pidana. Pada bulan Januari tahun 2015, penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Unila Tahap I yang di laksanakan dalam bentuk Kuliah Kerja Nyata di Kampung Marga Jaya Kecamatan Negara Batin Kabupaten Way Kanan selama 40 hari di laksanakan bersama 9 orang peserta yang berasal dari berbagai Fakultas di Universitas Lampung.


(7)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan Rasa Syukur Kehadirat Allah SWT Atas Rahmat dan Hidayah-Nya Serta Junjungan Tinggi Rasulullah Muhammad SAW

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Abi dan Mamah, sebagai orang tua penulis tercinta yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa yang selalu

memberikan kasih sayang yang tulus dan memberikan do’a yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati

Kakak penulis, Farhan Wahyudi Intama dan Adik penulis, Ferdiyansyah Ariesta Intama

yang selalu Mendukung dan Membantu.

Sahabat-sahabat penulis yang tidak bisa untuk disebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu, menemani dan memberikan dukungan

kepada penulis selama ini.

Terimakasih atas persahabatan yang indah yang telah kalian berikan dan waktu yang telah kalian luangkan


(8)

MOTO

“Kamu sekalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya mengenai orang yang dipimpinnya”

(H.R. Bukhari Muslim)

“Kesuksesan tidak akan bertahan jika dengan jalan pintas” “Learn from the past, live for today and plan for tomorrow”


(9)

i

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT dan shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Rasululla Muhammad SAW beserta sahabatnya. Allhamdulillah atas Kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

yang berjudul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak

Pidana Korupsi Dana Tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Terselesaikannya skripsi ini tak lepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Maya Shafira, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik penulis atas kesediaanya membantu, mengarahkan dan memberi masukan selama penulis menempuh pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(10)

ii

5. Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H., selaku Pembimbing I (satu) yang telah meluangkan waktu dan fikirannya serta memberikan kritik,saran, masukan dan semangat untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Tri Andarisman, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II (dua) yang telah meluangkan waktu dan fikirannya serta memberikan kritik, saran, masukan dan semangat untuk penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H.,M.H., selaku Pembahas I (satu) yang telah memberikan kritik, saran dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini. 8. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H.,M.H., selaku Pembahas II (dua) yang telah memberikan kritik, saran dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini. 9. Seluruh Dosen beserta seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan juga pembelajaran berharga bagi penulis.

10. Ibu Nursiah Sianipar, S.H.,M.H., selaku Hakim Tipikor Pengadilan Negri Kelas 1 A yang telah bersedia memberi masukan dan pendapat.

11. Kepada Orang tuaku Papa Mama tercinta yang tak pernah berhenti berdoa dan tak pernah letih berusaha untuk keberhasilanku, serta seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. 12. Kepada kekasih tersayang Rizkifa Marfinda Sinungan yang telah membantu,

memberikan semangat dan mendoakanku.

13. Kepada teman seperjuanganku selama perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Lampung, Mute, Dea, Almira, Shintya Sardi, Deswandi, Darvi, mamet, Gery, Himawan, Hilman, Abdul, Abah, indah, Ferdiyan, Danan, Mia, Gracelda, Dopdon, Fitry, Fima Agatha, Tyo, Putra dan semua teman-teman


(11)

iii

Angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang selalu membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Sahabat-sahabatku CDT, M. Fariz Banuwa, S.H., M.Kn., Reveni Softiani, S.IP., Revina Softiana, S.E., Arief Merianto, S.H., Ridza Ananda Lubis, S.H., Riga Limba, S.T., Bambang Seprianto, S.H., Dafson Rafsanjani, S.H., Raditya Satwika, S.H., M.H., Susan Dercelina, S.IP., M.IP., Boller dan Adi Permana.

15. Teman-teman KKN-ku (Muklis, Eko, Fanny, Ical, Asoly, Lena, Dona, Puspita) yang memberikan kenangan selama menjalankan KKN selama 40 hari di Desa Margajaya Kecamatan Negara Batin Kabupaten Way Kanan. 16. Teman-temanku yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu, yang selalu

menjadi bagian dalam ingatan dan hidupku.

17. Almamaterku tercinta Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Akhirnya, harapan penulis semoga skripsi yang sangat sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Dalam penulisan ini tentunya masih banyak terdapat kekurangan, kekurangan yang ada semata-mata karena ketidakmampuan penulis dalam meluangkan ide-ide, dan semoga akan banyak penulis-penulis lain yang menyempurnakannya.

Bandar Lampung, 27 April 2015 Penulis,


(12)

DAFTAR ISI

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 15

II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Pertanggungjawaban Pidana ... 17

B. Pengertian Tindak Pidana ... 23

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... 25

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana... 29

III METODE PENELITIAN ... 32

A. Pendekatan Masalah ... 32

B. Sumber dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Narasumber... 34

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

E. Analisis Data ... 36

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 37

A. Karakteristik Narasumber ... 37

B. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor 32/Pid. TPK/2014/PN.TJK ... 38


(13)

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dana Tilang Penerimaan Negara

Bukan Pajak dalam Putusan Nomor 32/Pid. TPK/2014/PN.TJK ... 57

V PENUTUP ... 66

A. Simpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak pada kerugian keuangan negara.

Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, maka diketahui bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.


(15)

2

Secara ideal setiap pelaku tindak pidana korupsi harus dipidana secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Tindak pidana korupsi berdampak pada kerugian keuangan negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar


(16)

3

biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang komprehensif.

Pemerintah Indonesia dalam upaya mewujudkan supremasi hukum, telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.1

Upaya untuk menjamin penegakan hukum harus dilaksanakan secara benar, adil, tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus (fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan kekerasan dalam proses peradilan. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum terdiri dari beberapa badan yaitu

1

Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, Yograkarta: Ghalia Indonesia, 2009, hlm. 3.


(17)

4

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. 2

Tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang pada umumnya memiliki posisi penting dalam pemerintahan, termasuk oleh para Pegawai Negeri Sipil di dalam lingkungan pemerintahan daerah. Beberapa modus operandi korupsi sebagai berikut:

1) Penggelapan; tindak pidana korupsi penggelapan antara lain ditandai dengan adanya para pelaku, seperti menggelapkan aset-aset harta kekayaan negara atau keuangan negara untuk memperkaya dirinya sendiri atau orang lain.

2) Pemerasan; bentuk tindak pidana korupsi pemerasan antara lain dengan ditandainya adanya pelaku seperti memaksa seorang secara melaan hukum yang berlaku agar memberikan sesuatu barang atau uang kepada yang bersangkutan.

3) Penyuapan; bentuk tindak pidana korupsi penyuapan antara lain ditandai adanya para pelakunya, seperti memberikan suap kepada oknum-oknum pegawai negeri agar si penerima suap memberikan kemudahan dalam pemberian izin, kredit Bank dll. yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Manipulasi; antara lain ditandai dengan adanya para pelakunya yang melakukan mark-up proyek pembangunan, SPJ, pembiayaan gedung/ kantor, pengeluaran anggaran fiktif.

5) Pungutan Liar; bentuk korupsi pungutan liar antara lain ditandai dengan adanya para pelakunya yang malakukan pungutan liar di luar ketentuan peraturan. Umumnya pungutan liar ini dilakukan terhadap seseorang/koorporasi jika ada kepentingan atau berurusan dengan instansi pemerintah.

6) Kolusi dan Nepotisme; yaitu pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau kelompok politiknya pada jabatan dalam kedinasan aparat pemerintah tanpa memandang keahlian dan kemampuan.3

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana.

2

Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001, hlm. 22.

3


(18)

5

Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan ketentuan undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.

Salah satu perkara tindak pidana korupsi di wilayah hukum Kota Bandar Lampung adalah korupsi dana tilang yang dilakukan oleh Rika Aprilia (34) Mantan Bendahara Kejaksaan Negeri Bandar Lampung diduga melakukan korupsi

penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tahun 2012-2013 senilai Rp 1.418.479.500. Rika bertugas menerima, menyimpan, menyetorkan, dan

mempertanggungjawabkan uang PNBP di kantor dan satuan kerja kementerian negara. Ia diangkat sebagai bendahara khusus penerimaan berdasar Surat Keputusan Kepala Kejari Bandarlampung Nomor: KEP-03/N.8.10/Cu.1/01/2012 tertanggal 2 Januari 2012 dan Nomor: KEP-05/N.8.10/Cu.1/02/2013 pada 14 Februari 2013. Sebagai bendahara, seharusnya terdakwa menyetorkan seluruh PNBP ke kas negara dalam waktu 1 x 24 jam. Ini sesuai UU Nomor 20/1997 tentang PNBP, namun, terdakwa tidak menyetorkan uang itu ke kas negara. Ia menggunakan uang yang telah disetorkan dari Kasipidum maupun Kasipidsus Kejari Bandar Lampung sebagai PNBP untuk kepentingan pribadi. Untuk memuluskan aksinya, terdakwa memalsukan bukti surat tanda setoran (STS) serta surat setor bukan pajak (SSPB) dengan tanda tangan pihak bank sebagai PNPB.


(19)

6

Dengan begitu, ia seolah-olah sudah menyetorkan dana tersebut. Akibat perbuatan terdakwa, negara dirugikan sebesar Rp 1.418.479.500. 4

Jaksa Penuntut Umum menjerat terdakwa dengan pasal berlapis. Pada dakwaan primer yaitu Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian dakwaan subsider melanggar Pasal 3 ayat 1 juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dakwaan primair perbuatan terdakwa telah diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo-Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

Dakwaan subsider, terdakwa diancam Pasal 3 Ayat (1) juncto Pasal 18 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 Ayat (1) KUHP. Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang menenjatuhkan vonis terhadap terdakwa Rika Aprilia selama lima tahun penjara dan pidana uang pengganti sebesar Rp 1.418.479.500.5

4

http://lampung.tribunnews.com/2014/08/26/breaking-news-rika-aprilia-divonis-lima-tahun-penjara. Diakses. 6 September 2014

5 Ibid.


(20)

7

Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang melalui Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Rika Aprilia dengan pidana penjara selama 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) subsidair selama 3 bulan kurungan. Selain itu hakim juga menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp. 1.418.479.500 (satu miliar empat ratus delapan belas juta empat ratus tujuh puluh Sembilan ribu lima ratus rupiah). Pidana yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Terdakwa tersebut merupakan bentuk pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK” (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

B. Permasalaham dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK?

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK?


(21)

8

2. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana, khususnya yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang. Ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan waktu penelitian adalah pada tahun 2014.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK

b. Untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak.


(22)

9

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak-pihak lain yang akan melakukan penelitian mengenai pertanggungjawaban pidana di masa-masa yang akan dating.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian hukum6. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis dalam penelitian ini adalah:

a. Teori Pertanggungjawaban Pidana

Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1) Kesengajaan (opzet)

Kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut: a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

6


(23)

10

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.

2) Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana.7

Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:

a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat.

b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yang disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai

c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf dapat yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat8

Pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuataannya, dengan dasar kemampuan bertanggung jawab, ada perbuatan melawan hukum dan tidak ada alasan pemaaf atau pembenar atas tindak pidana yang dilakukannya.

b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan

7

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1993, hlm. 46.

8


(24)

11

demikian, putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum.9

Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga

9

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika.2010, hlm.101.


(25)

12

ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.10

Secara kontekstual ada tiga esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim;

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.11

Kebebasan hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara merupakan mahkota bagi hakim dan harus tetap dikawal dan dihormati oleh semua pihak tanpa kecuali, sehingga tidak ada satu pihak yang dapat menginterpensi hakim dalam menjalankan tugasnya tertentu. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, kepentingan pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat12

Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

a. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.

10

Ibid. hlm.102. 11

Ibid, hlm.103. 12


(26)

13

b. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim

c. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

f. Teori kebijaksanaan

Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bagi bangsnya.13

13


(27)

14

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:

a. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 14

b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku15

c. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum16

d. Tindak pidana korupsi adalah menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) adalah setiap orang yang

14

Moeljatno, op cit, hlm. 49. 15

Ibid, hlm. 53. 16

Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. 1998, hlm. 25.


(28)

15

secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

e. Tilang menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, merupakan kependekan dari istilah Bukti Pelanggaran, yaitu alat bukti pelanggaran tertentu di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan format tertentu yang ditetapkan disebutkan f. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menurut Pasal 1 angka 1

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika yang disajikan agar mempermudah dalam penulisan skripsi secara keseluruhan diuraikan sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.


(29)

16

II TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan dengan penyusunan skripsi yaitu pengertian Pertanggungjawaban Pidana, Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana, Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi.

III METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Penentuan Populasi dan Sampel, Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Putusan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK

V PENUTUP

Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.


(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya1

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

1

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 23.


(31)

18

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut2

Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting) dalam melaksanakannya3

2

Moeljatno, Op Cit. hlm. 41. 3


(32)

19

Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.

b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya4

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga

culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik

culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. 5

Sesuai dengan uraian di atas maka diketahui bahwa terdapat dua unsur kesalahan sehingga seseorang patut mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, yaitu kesengajaan dan kelalaian.

4

Ibid, hlm. 46. 5


(33)

20

Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:

1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum, adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar. Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan. Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya

2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan, kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam caranya melakukan perbuatan. 6

Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak

6


(34)

21

normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 7

Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP yang mengatur: “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat psikologis.

Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman8

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan

7

Ibid hlm. 49. 8


(35)

22

perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.

Hal yang mendasari pertangungjawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain


(36)

23

untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

B. Pengertian Tindak Pidana Menurut P.A.F. Lamintang:

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah. 9

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. 10

Menurut Andi Hamzah:

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan11

9

P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 7.

10

Ibid. hlm. 9. 11


(37)

24

Jenis-jenis tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:

a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan secara keseluruhan.

b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil (formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362 KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.

c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan matinya seseorang, contoh lainnya seperti yang diatur dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.

d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga anak tersebut meninggal12

12


(38)

25

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan pasif.

C. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Menurut Syed Husein Alatas:

Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism).13

Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:

a) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan b) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban c) Penyembunyian pelanggaran. 14

Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya hukum pidana militer

13

Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES, 1983, hlm. 12.

14

Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 56.


(39)

26

(golongan orang orang khusus) dan hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan khusus) dan hukum pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah

(aanvullend rech).

Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan umum inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala adanya pidana delik-delik khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi dalam hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan adanya unifikasi dan ketentuan-ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan fungsi sendiri, akan tetapi asas-asas hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa kesalahan" harus tetap dihormati.

Selain pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikodifikasikan dengan hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ada pembagian lain ialah hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale). Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini tidak boleh diartikan dengan bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum, sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak pidana.


(40)

27

Semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu bahan hukum yang lengkap, akan tetapi kita mengatahui bahwa terbentuknya peraturan perundang-undangan pidana diluar kodifikasi tidak dapat dihindarkan mengingat pertumbuhan masyarakat terutama dibidang sosial dan ekonomi (di KUHP) dalam buku keduanya memuat sebagian besar dari delik-delik berupa kejahatan, sedang di buku ketiga dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa pelanggaran. Undang-Undang Pidana Khusus adalah undang-undang pidana selain kitab undang-undang hukum pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana.

Pengertian korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian korupsi secara tegas. Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, dapat disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3 menyebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena


(41)

28

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut.

Pelaku tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut: a) Setiap orang yang berarti perseorangan

b) Koorporasi dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik berupa badan hukum maupun tidak. Badan Hukum di Indonesia terdiri dari Perseroan Terbatas (PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesische Maatchapij op Andelen (IMA), sementara perkumpulan orang dapat berupa firma, Commanditaire Vennootschap (CV) dan sebagainya. c) Pegawai negeri yang dimaksud dengan Pegawai Negeri (Pejabat)

dalam pasal I Ayat (2) Undang - Undang No. 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 tahun 2001 meliputi Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil Pusat; Pegawai Negeri Sipil Daerah dan pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan aturan Pemerintah. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; Angkatan Darat; Angkatan Laut;Angkatan Udara; Angkatan Kepolisian. 15

Masalah korupsi di Indonesia sangat kompleks. Korupsi sudah merambat ke mana-mana dalam lapisan masyarakat pelaku tindak pidana korupsi tidak saja dari kalangan pegawai negeri pada pejabat rendah tetapi sudah merambat pada pengusaha, menteri, duta besar, dan lain-lain dalam semua tingkatan baik dari kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka tidak heran kalau golongan pesimis mengatakan korupsi di Indonesia adalah suatu bagian budaya (sub cultural) korupsi mulai dari pusat sampai ke daerah.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana dan suatu perbuatan melawan hukum bertujuan untuk

15


(42)

29

menguntungkan diri sendiri, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan dan perekonomian negara serta berdampak pada kerugian seluruh masyarakat Indonesia.

D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana

Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)

Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Pasal 185Ayat (3) dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185Ayat (3) KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana. 16

Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:

16


(43)

30

(1) Kesalahan pelaku tindak pidana

Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.

(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana

Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum (3) Cara melakukan tindak pidana

Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.

(4) Sikap batin pelaku tindak pidana

Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.

(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).

(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana

Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan.

(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku

Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.

(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku

Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat


(44)

31

merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.17

Aspek secara kontekstual yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah tiga esensi:

a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan

b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim

c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.18

17

Barda Nawawi Arief, op cit, hlm. 77. 18


(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.

Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam kerangka penemuan ilmiah.

1


(46)

33

2. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum.

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari narasumber dan yang diperoleh dari bahan pustaka2:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan wawancara kepada narasumber untuk memperoleh informasi dan data yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan studi pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a. Bahan Hukum Primer, berupa perundang-undangan yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

2


(47)

34

4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang berhubungan dengan bahan hukum primer, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983

jo Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

c. Bahan Hukum Tersier, bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan, seperti literatur, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.

C. Penentuan Narasumber

Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk memberikan penjelasan terkait dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber penelitian ini adalah sebagai berikut:

1). Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang 2). Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri

Tanjung Karang = 1 orang

3). Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Unila = 1 orang+


(48)

35

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan:

1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah, mengutip bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan

2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan. Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada narasumber penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan.

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.


(49)

36

c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca, dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakuan secara induktif, yaitu menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan secara umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(50)

V. P E N U T U P A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan dengan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK, karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku telah cakap atau dewasa untuk melakukan perbuatan melawan hukum, tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur kesengajaan. Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rika Aprilia dengan pidana penjara selama 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) subsidair selama 3 bulan kurungan. Selain itu hakim juga menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp. 1.418.479.500 (satu miliar empat ratus delapan belas juta empat ratus tujuh puluh Sembilan ribu lima ratus rupiah).

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum, dan terpenuhinya alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi,


(51)

2

keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, sehingga terdakwa dalam persidangan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu hakim juga memiliki dasar pertimbangan non yuridis (di luar ketentuan KUHAP), baik yang meringankan maupun yang memberatkan hukuman bagi terdakwa.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi hendaknya dioptimalkan melalui pemidanaan yang maksimal sesuai dengan ancaman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini penting untuk dilaksanakan dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi. 2. Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi

disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Hal ini penting dilaksanakan agar pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa benar-benar memenuhi rasa keadilan.


(52)

DAFTAR PUSTAKA LITERATUR

Alatas, Syed Husein. 1983. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES.

Andriyanto, W.A. 1998. Penilaian Tingkat Kinerja BUMD. Jakarta, Rineka Cipta, Gosita, Arief. 2001. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Pressindo

Halim, Abdul. 2004. Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Rajawali Press.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adityta Bakti.

Moeljatno. 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Surabaya: Bina Ilmu.

_______, 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti. Nawawi Arief, Barda dan Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:

Alumni.

_______. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif HukumProgresif, Jakarta: Sinar Grafika.


(53)

Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009. Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Bogor: Fakutas Hukum Universitas Pakuan.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

LAIN-LAIN

http://lampung.tribunnews.com/2014/08/26/breaking-news-rika-aprilia-divonis-lima-tahun-penjara. Diakses. 6 September 2014


(1)

35

D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan:

1) Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah, mengutip bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan

2) Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang dibutuhkan. Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview), yaitu mengajukan tanya jawab kepada narasumber penelitian dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan.

2. Pengolahan Data

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan akurat untuk kepentingan penelitian.


(2)

36

c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.

E. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca, dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan. Penarikan kesimpulan dilakuan secara induktif, yaitu menarik kesimpulan berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan secara umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(3)

V. P E N U T U P

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak dilakukan dengan pemidanaan sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor: 32/Pid.TPK/2014/PN.TJK, karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku telah cakap atau dewasa untuk melakukan perbuatan melawan hukum, tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa, sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur kesengajaan. Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Rika Aprilia dengan pidana penjara selama 5 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) subsidair selama 3 bulan kurungan. Selain itu hakim juga menjatuhkan pidana uang pengganti sebesar Rp. 1.418.479.500 (satu miliar empat ratus delapan belas juta empat ratus tujuh puluh Sembilan ribu lima ratus rupiah).

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana tilang Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut Umum, dan terpenuhinya alat-alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi,


(4)

2

keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, sehingga terdakwa dalam persidangan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu hakim juga memiliki dasar pertimbangan non yuridis (di luar ketentuan KUHAP), baik yang meringankan maupun yang memberatkan hukuman bagi terdakwa.

B. Saran

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi hendaknya dioptimalkan melalui pemidanaan yang maksimal sesuai dengan ancaman yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini penting untuk dilaksanakan dalam rangka memberikan efek jera kepada pelaku dan sebagai pembelajaran bagi pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2. Hakim dalam menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi

disarankan untuk mempertimbangkan berbagai aspek yang menyebabkan terjadinya tindak pidana, kepentingan masyarakat terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi dan besarnya kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan terdakwa. Hal ini penting dilaksanakan agar pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa benar-benar memenuhi rasa keadilan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

LITERATUR

Alatas, Syed Husein. 1983. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta: LP3ES.

Andriyanto, W.A. 1998. Penilaian Tingkat Kinerja BUMD. Jakarta, Rineka Cipta, Gosita, Arief. 2001. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: Pressindo

Halim, Abdul. 2004. Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Rajawali Press.

Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Adityta Bakti.

Moeljatno. 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara.

Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Surabaya: Bina Ilmu.

_______, 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti. Nawawi Arief, Barda dan Muladi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:

Alumni.

_______. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif HukumProgresif, Jakarta: Sinar Grafika.


(6)

Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009. Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Bogor: Fakutas Hukum Universitas Pakuan.

Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

LAIN-LAIN

http://lampung.tribunnews.com/2014/08/26/breaking-news-rika-aprilia-divonis-lima-tahun-penjara. Diakses. 6 September 2014