PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS)

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

(Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS)

Oleh Herlia Anissa

Tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak masih terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Gunung Sugih, hal itu dapat dilihat dari Perkara Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS. Dalam kasus tersebut, terdakwa Boby Fernandes Bin Anshori yang masih berusia 12 tahun dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 Ayat (1) KUHP dan dipinda selama 3 (tiga) bulan pidana penjara. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS).

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Jaksa, Hakim, Lembaga Advokasi Anak dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak yakni berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan unsur-unsur yang terpenuhi atas


(2)

(empat) alat bukti yang cukup berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, terdakwa telah memenuhi rumusan Pasal 351 Ayat (1) KUHP dan diberikan sanksi pidana selama selama 3 (tiga) bulan pidana penjara, ketentuan Pasal 79 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa pidana penjara dalam KUHP berlaku terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang. Secara normatif penerapan sanksi pidana tersebut kurang tepat karena melihat keadaan pelaku yang masih anak dibawah umur yakni berusia 12 tahun maka hal ini tentunya mensyaratkan mengenai bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus terhadap terdakwa untuk menghindari pengaruh negatif terhadap anak dalam lingkungan penjara, tetapi secara komperhensif penjatuhan hukuman pidana penjara dinilai Hakim sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan dalam Perkara Nomor 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS adalah dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum, harapan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, motif tindak pidana, sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana, akibat yang ditimbulkan, serta aplikasi teori-teori pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum. Hakim juga sepenuhnya memperhatikan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 182 Ayat (6), Pasal 183, Pasal 184 KUHAP.

Adapun saran penulis yaitu penegak hukum dalam menerapkan sanksi pidana anak agar lebih mempertimbangkan keadaan pelaku yang masih anak dibawah umur maka hal ini tentunya mensyaratkan mengenai bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus terhadap pelaku untuk dapat mengembangkan kontrol diri dan untuk menghindari pengaruh negatif terhadap anak yakni stigma mental dalam lingkungan penjara, mengingat bahwa sanksi pidana yang dapat diterapkan tidak hanya sanksi pidana penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.


(3)

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

(Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS)

Oleh Herlia Anissa

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

(Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS) (Skripsi)

Herlia Anissa

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 9

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dari Beberapa Undang - Undang dari Sudut Hukum Pidana ... 22

B. Hak dan Kewajiban Anak... 25

C. Pengertian Pelaku Tindak Pidana ... 27

D. Pengertian dan Unsur - Unsur Tindak Pidana Penganiayaan Serta Pengaturannya.. ... 28

E. Jenis - jenis Sanksi Pidana dan Tindakan dalam Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.. ... 36

F. Teori tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana ... 40

III.METODE PENELITAN A. Pendekatan Masalah ... 45

B. Sumber dan Jenis Data ... 46

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 48

D. Metode Pengumpulan dan Pengelolaan data ... 49


(6)

B. Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan Yang Dilakukan oleh Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Putusan Nomor:

43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS) ... 53 C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Perkara Anak yang Melakukan Tindak Pidana Penganiayaan (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS) ... 69 V. PENUTUP

A. Simpulan ... 84 B. Saran ... 86


(7)

(8)

(9)

MOTTO

“Pelajar berharga adalah insan bangsa yang mau mengorbankan dan mempersembahkan masa depannya untuk totalitas perjuangan yang dibutuhkan negeri bukan untuk membudayakan

kekerasan”

“Hidup adalah belajar memberi meski tak seberapa, belajar mengasihi meski disakiti,

belajar tenang meski gelisah.

Hidup adalah belajar memahami meski tak sehati, belajar sabar meski terbebani,

belajar setia meski tergoda.

Hidup adalah belajar bersyukur meski tak cukup, belajar ikhlas meski tak rela,

belajar taat meski berat”

(Penulis)

“Anak cikal sebuah perubahan, melangkah dengan tunas harapan dan bertindak atas keilmuan, bukan sebuah tradisi kekerasan yang harus dikembangkan, akan tetapi tumbuhkanlah kemampuan diri dengan ilmu”


(10)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati

serta setiap perjuangan dan jerih payahku, aku persembahkan sebuah karya ini kepada:

Papi dan Mami tercinta yang telah mengorbankan tenaga, dan fikiran, serta hartanya untuk mengasuh, mendidik, memberi

dukungan, dan nasehat. Dan senantiasa berdoa untuk keberhasilanku

Untuk Kakakku Hadha Akbar, S.H.,M.H yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka


(11)

RIWAYAT HIDUP

Herlia Anissa dilahirkan di Bandar Lampung, 2 Januari 1992, yang merupakan anak ke dua dari dua bersaudara pasangan Bapak H. Herman Hazboellah, S.H.,M.M dan Ibu

Hj.Dra.Ellya Saleh, M.M.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak Kartika II-26 Bandar Lampung pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Kartika II-5 Bandar Lampung pada tahun 2003, penulis menyelesaikan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung pada tahun 2006 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2009. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung Jalur PKAB (Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat) pada Tahun 2009.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada Tahun 2012 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 2 Juli sampai 10 Agustus 2012 yang dilaksanakan di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Merbau Mataram, Kabupaten Lampung Selatan.


(12)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamien. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan

Yang Maha Esa, karena dengan pertolonganNya penulis dapat menyelesaiakan skripsi ini. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang penulis alami dalam proses pengerjaannya, namun berhasil menyelesaikannya dengan baik skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : PENERAPAN SANKSI PIDANA

BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (STUDI PUTUSAN NOMOR: 43/PID.B.(A)/2012/PN.GS).

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan selaku Pembimbing


(13)

3. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. selaku Pembimbing Kedua yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu Firganefi, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama dan Ibu Dona Raisa, S.H., M.H. sebagai Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak A.Nurul Fasjri Oesman, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. 6. Bapak Riswanto, S.H. dan Ibu Siti Munawaroh, S.H., M.H. selaku

responden dari Kejaksaan Negeri Gunung Sugih, Bapak Zulkifli Anwar, S.H., M.H. dan Bapak Badaruddin, S.H., M.H. selaku responden dari Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Bapak Lukman, S.H. selaku responden dari LSM LADA Bandar Lampung, serta Bapak Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H. yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

7. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh staf dan karayawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.


(14)

doa di setiap langkah Anis.

10. Ajo ku tersayang beserta istrinya Junjungan Lioni dan keponakanku Kila, doain Mommy cepet kerja terus sukses. Amin..

11. Seseorang yang aku sayangi yang selalu setia menemani dan memotivasi diriku serta mendukung diriku dalam segala hal. Sukses sama-sama yaa. 12. My bestfriend: Richard, Desva, Nco, Ivan, Moch, Niko, Ayu, Angga, Mono.

Sukses utk kita semua!

13. Sepupuku: Ade, Nca, Dian, Desta, Ses Lisa. Beserta seluruh keluarga

besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan. 14. Hukum Menter Resty, Intan, Ana, Melisa, Fina, Ipeh. Keep menter! Hahaha. 15. Temen-temen seperjuangan: Helda, Danar, Maria, Vika, Tri, Icha, Oca, dan teman-teman angkatan 09’ lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

16. Keluarga kecil semasa KKN: Mba Ida, Pak Ruyat, Dana, Tea. Beserta tim yang bertugas Yessica, Diena, Mita, Pretty, Adit, Adi, Yuka, Purba, Dian, Wulan, Eni, Lisa, Rossy.

17. Untuk KD, Mba Eva, Mba Sri, Mba Yanti makasih atas bantuan, arahan dan sarannya. Maaf klo Anis repotin terus. Keep Contact yaa!

18. Sahabat-sahabatku dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan, motivasi dan kekompakannya.

19. Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.


(15)

dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 16 Mei 2013 Penulis


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana yang dilakukan oleh anak atau dikenal dengan juvenil delinguency

dewasa ini semakin meluas dan beragam, baik frekuensi maupun dalam keseriusan kualitas kejahatan. Hal ini terlihat dari banyaknya kasus yang terjadi antara lain perkelahian, pemerasan/penodongan, penganiayaan dan sebagainya. Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, ada 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah sepanjang kuartal pertama tahun 2012. Jumlah itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, penganiayaan dan pelecehan seksual yang dilakukan siswa SD hingga SMA. Angka itu meningkat setiap tahun. Jika 2010 terjadi 2.413 kasus kriminal anak usia sekolah, 2011 yakni sebanyak 2.508 kasus1. Perilaku anak yang menyimpang sering disebut dengan kenakalan anak (juvenel delinguency). Perilaku tersebut tidak sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat sehingga timbul pelanggaran-pelanggaran yang pada akhirnya cenderung ke arah tindak pidana.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mempertegas tentang pengertian anak di dalam Pasal 1 angka (3) disebutkan bahwa:

1

Komisi Perlindungan Anak Indonesia-home page. http://www.kpai.or.id/berita/kriminalitasanak/artikel.php. diakses tanggal 19 Desember 2012 Pkl. 17.00 WIB


(17)

“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Undang-undang tentang Pengadilan Anak melihat sisi anak dari perbuatan yang dilakukannya, apabila anak tersebut melakukan kejahatan sebelum anak tersebut umur 12 (dua belas) tahun tidak dikategorikan anak nakal sehingga dari sisi hukum ia belum dapat dimintai pertanggungjawaban, sebalinya apabila sudah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya, kemudian bila anak tersebut sebelum umur 18 (delapan belas) tahun sudah kawin maka bukan dikategorikan anak dan proses peradilan melalui peradilan umum bukan peradilan anak2”

Perilaku menyimpang yang cenderung mengarah pada tindak kriminal yang dilakukan oleh anak tersebut dalam bentuk tindak pidana digolongkan sebagai kenakalan3. Kenakalan tersebut tampaknya telah mengganggu ketertiban, keamanan, kenyamanan masyarakat baik di kota-kota besar maupun kota-kota kecil. Seperti yang dimukakan oleh Y. Bambang Mulyono, Problema kejahatan anak bukan suatu masalah yang timbul dalam lingkup kecil, tetapi hampir terjadi baik di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil. Sebenarnya hampir tiap negara di dunia ini mengalami atau menghadapi kejahatan yang dilakukan oleh anak4.

Masalah delinguency anak sejauh ini seperti tersebut di atas tidak hanya terjadi di negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Robert Mevercic Iver dalam bukunya “The Prevention

and Control Of Delinguency” menyatakan bahwa berdasarkan data statistik delikuensi anak meningkat setiap tahunnya juga dinyatakan bahwa kenaikan itu

2

Ketentuan Penjelasn Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

3

Singgih D. Gunarsa. Kenakalan remaja. Gultom. Jakarta. 1984. hlm. 27

4

Bambang Mulyono. Kenakalan remaja dalam persfektif pendekatan sosiologi psikologi dan penanggulangannya. Yogyakarta. 1986. hlm. 11


(18)

cukup mencemaskan dan jika delikuensi anak itu dibiarkan maka hal itu akan meningkat menjadi kejahatan anak atau Adult Criminality5.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan6. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, nasionalisme, berakhlak mulia, serta berkemauan keras menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara.

Pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak memerlukan peran serta masyarakat, baik lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa atau lembaga pendidikan. Apabila anak melakukan kesalahan dan tindak pidana, maka anak sudah sepatutnya mendapatkan perlindungan dan perlakuan khusus dalam hal proses peradilannya sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 7.

5

Kartini Kartono. Patologi 2 kenakalan remaja. Rajawali Pers. Jakarta. 1992. hlm 16

6

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

7


(19)

Persoalan hukum tidak hanya menimpa orang-orang dewasa. Anak-anak juga seringkali terbentur dengan persoalan hukum. Seperti halnya orang dewasa, anak-anak juga berhak mendapat perlindungan secara hukum. Perlindungan hukum ini tidak hanya diberikan kepada anak yang menjadi korban dalam suatu masalah hukum, tapi juga kepada anak-anak yang menjadi pelakunya.

Peradilan anak bertujuan memberikan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya suatu keadilan. Tujuan Peradilan Anak tidak berbeda dengan peradilan lainnya, yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak. Dalam hal ini, pelaksanaan pembinaan dan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih baik dan mewadahi8.

Tindak pidana penganiayaan (gequalificeerde diefstal mistreatment) yang dilakukan oleh anak adalah suatu bentuk kenakalan. Seorang anak belum dapat mempertanggungjawabkan semua kesalahannya karena lingkungan sekitarnya juga memberi peluang untuk melakukan pelanggaran hukum. Sehingga proses peradilannya pun mempunyai perbedaan dengan peradilan pada umumnya. dikarenakan demi menghindari tekanan psikologis terhadap anak yang telah melanggar norma atau pun hukum yang berlaku9. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

8Suara Pembaruan, “kejahatan anak”.

http://www.prakarsarakyat.org/artikel/fokus/artikel.php?aid=29687. diakses tanggal 20 November 2012 Pkl. 16.00 WIB

9

Bassar M. Sudrajat. Tindak-tindak pidana tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Remaja Karya. Jakarta. 1986. hlm. 34


(20)

Tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak terjadi di Negara Republik Indonesia. Kasus-kasus yang terjadi demikian perlu mendapat perhatian dari pemerintah lebih khususnya Komisi Perlindungan Anak yang memiliki peran penting dalam menanggapi berbagai kasus yang terjadi.

Dasar yuridis yang mengatur tentang tindak pidana penganiayaan adalah Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara terperinci memaparkan tindak pidana penganiayaan. Ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindak pidana penganiayaan termasuk tindak pidana yang kualifikasiannya tersebut diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Unsur perbuatan delinquat adalah pelanggaran-pelanggaran norma masyarakat10. Unsur tersebut bersifat anti sosial dari berbagai tindakan untuk mengamankan masyarakat maka para pelaku kejahatan diberi hukuman yang sesuai dengan perbuatannya dan perbuatan delinguat adalah perbuatan yang merugikan dalam segala aspeknya. Disamping itu kejahatan yang dilakukan oleh orang dewasa pada umumnya hampir sama dengan yang dilakukan oleh anak-anak pula. Jadi perbuatan tersebut merupakan kejahatan seperti yang dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk memberikan gambaran awal tentang perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 351 KUHP di atas, akan dikutipkan ketentuan dalam Pasal tersebut. Pasal 351 KUHP secara tegas merumuskan11: (1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun

delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah;

10

P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1997. hal. 16

11


(21)

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun;

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya orang, maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun;

(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja; (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dapat dipidana.

Berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 351 KUHP di atas terlihat bahwa rumusan tersebut memberikan kejelasan tentang perbuatan seperti apa yang dimaksudkan. Ketentuan Pasal 351 KUHP di atas telah merumuskan kualifikasi dan pidana yang diancamkan. Menurut Sudarto yang di kutip oleh Tolib Setiady menjelaskan bahwa pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu12.

Berbagai motif kejahatan yang dilakukan anak terjadi karena hal-hal tertentu, sedangkan kualitas setiap motif berbeda-beda, suatu kejahatan yang muncul di permukaan tidak selalu berdiri sendiri, ada suatu gejala yang melatarbelakanginya, seperti berbagai kondisi psikologis maupun sosiologis yang dapat memicu timbulnya kejahatan tersebut dalam segala aspek dan kondisinya. Kejahatan yang dilakukan anak merupakan suatu bentuk penyimpangan dan bertentangan dengan Undang-undang sehingga sebagai akibat perbuatan tersebut seorang anak dapat dipidana. Menurut Sudarto yang di kutip oleh Tolib Setiady menjelaskan bahwa

12


(22)

pemidanaan diartikan sebagi menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten)13.

Berdasarkan pra survey pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih serta contoh kasus pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih dengan Nomor Perkara. 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS, terdakwa Boby Fernandes Bin Anshori yang masih berusia 12 tahun pada waktu dan tempat sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan telah melakukan melakukan penganiayaan yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit, atau luka atau dengan sengaja merusak kesehatan orang lain yaitu saksi korban Mulyawan Yulistiyo Bin Ibrahim. Terdakwa melakukan penganiayaan tersebut karena saksi korban tanpa sengaja menyenggol tas terdakwa Boby Fernandes Bin Anshori yang sedang berjalan kaki beramai-ramai dengan teman-temannya. terdakwa terdakwa Boby Fernandes Bin Anshori juga menganiaya saksi korban dengan menggunakan patahan sebatang kayu di bagian kaki sebelah kiri sebanyak dua kali, di bagian pundak sebelah kiri sebanyak satu kali lalu menendang menggunakan kaki sebelah kanan sebanyak satu kali, dan di bagian muka memukul berkali-kali dengan menggunakan tangan sebelah kanan. Majelis Hakim mejatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 3 (tiga) Bulan.

Ketentuan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin menjelaskan penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, penganiayaan yang biasanya terjadi tidak hanya dilakukan oleh satu orang tetapi secara

13


(23)

sama, oleh karena itu penganiayaan yang dilakukan oleh anak dikenakan Pasal 351 Ayat (1) KUHP dipidana sebagai pembuat delik14.

Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penganiayaan tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya, sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana, yaitu sehat jiwanya, mengetahui bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum serta mampu mengetahui kehendak sesuai kesadarannya, sehingga ia dapat dipidana oleh Hakim. Tujuan pemidanaan ini bukanlah suatu pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah dan agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya15.

Penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan berbeda dengan orang dewasa. Perhitungan pidana penjara yang dijatuhkan kepada anak adalah ½ dari maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa: “Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa 16”.

Penerapan sanksi pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan ini bukanlah suatu pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah. Secara yuridis penjatuhan pidana terhadap pelaku penganiayaan tersebut memang sudah memenuhi ketentuan Pasal 351 Ayat (1) KUHP, namun terkadang putusan hakim tidak pernah mencapai pidana yang

14

Ibid. hlm. 41

15

Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta. 1999. hlm. 27

16


(24)

maksimum seperti yang diancamkan dalam undang-undang. Hal ini tentu saja menimbulkan gejolak di masyarakat yang menginginkan pelaku tindak pidana yang diberikan vonis serendah-rendahnya atau sebaliknya, di sinilah peranan hakim sebagai penengah di antara keduanya17.

Berdasarkan dari contoh kasus yang terjadi di atas, menunjukkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak sudah seperti tindak pidana yang dilakukan orang dewasa, dalam kasus ini majelis hakim menjatuhkan putusan pidana penjara kepada anak tersebut namun penjatuhan vonis tersebut sudah sesuai atau belum berdasarkan tujuan keadilan hukum baik terhadap korban maupun pelakunya menjadi telaah dasar bagi hakim dalam menerapkan sanksi pidana.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul “Penerapan Sanksi Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan Oleh Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS)”.

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

17


(25)

a. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS)?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana anak di Indonesia khususnya hanya terbatas penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan dengan pemberatan (Studi Perkara Nomor 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS). Lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya terbatas pada analisis terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak di Gunung Sugih, Sedangkan ruang lingkup tempat penelitian hanya dibatasi pada Pengadilan Negeri Gunung Sugih, Lembaga Advokasi Anak dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(26)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Perkara Nomor 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS).

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan (Studi Perkara Nomor 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS).

3. Keguanaan penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Perkara Nomor 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS).


(27)

b. Kegunaan Paktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka penegakan hukum pidana anak Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi kerangka acuan dan bertujuan untuk mengidentifikasikan terhadap dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti18.

Penelitian ini akan membahas mengenai analisis terhadap tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak di wilayah Gunung Sugih, untuk mempertajam fakta tersebut sangat penting untuk mengetahui Pasal-Pasal dalam peraturan hukum yang berlaku menyangkut fakta tersebut dan teori-teori serta interprestasi para ahli-ahli hukum.

Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengkibatkan dipidananya seorang terdakwa

18


(28)

adalah mampu bertanggungjawab. Tujuan dipidananya seorang terdakwa bukanlah suatu pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah19.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut20.

Tujuan pemidanaan menurut Sudarto adalah:

a. Mempengaruhi peri kelakuan si pembuat agar tidak melakukan tindak pidana lagi yang biasanya disebut prevensi sosial.

b. Mempengaruhi peri kelakuan anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan tindak pidana seperti yang dilakukan oleh si terhukum.

c. Mendatangkan suasana damai atau penyelesaian konflik.

d. Pembalasan atau pengimbalan dan pembinaan dari kesalahan si pembuat21.

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam sistem pemidanaan menurut Barda Nawawi Arief terdapat beberapa teori tujuan pemidanaan yang mencakup beberapa teori antara lain22:

a. Relative Theory (teori relatif)

Menurut teori relatif suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana.

b. Combinative Theory (teori gabungan)

Menurut teori gabungan, tujuan pemidanaan selain membahas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan

19

Roeslan Saleh. Op. cit. hlm. 42

20

Sudarto. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang. 1990. hlm. 96

21

Ibid. hlm. 98

22


(29)

mewujudkan ketertiban, dengan ketentuan beratnya pidana tidak boleh melampaui batas pembalasan yang adil.

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau menjelaskan Undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak lengkap. Tetapi penfsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Karena itu secara prinsip, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim lainnya23.

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau menjelaskan Undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak lengkap. Tetapi penfsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Karena itu secara prinsip, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim lainnya.

Hakim bebas bertindak untuk menjatuhkan sanksi pidana yang tepat terhadap anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan menurut kebenaran dan keyakinannya. Dalam usaha mewujudkan pembaharuan hukum pidana anak yang berkeadilan di Indonesia maka hakim juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan menerapkan beberapa teori-teori

23


(30)

dasar pertimbangan hakim. Salah satu bentuk pembaharuan hukum pidana anak adalah dengan dirumuskannya model restorative justice (keadilan restoratif) dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ketentuan dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa restorative justice

adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

Penerapan model restorative justice (keadilan restoratif) tersebut memuat pendekatan asas diversi dalam proses peradilan pidana anak. Ketentuan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa “Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana”. Konsep dasar pendekatan asas diversi adalah mewujudkan keadilan yang terpadu, mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem pengadilan anak.

Adapun aplikasi teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan dengan pelaksanaan proses


(31)

peradilan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan antara lain:

a. Teori kepastian hukum (Rechtssicherheit)

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya24. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

b. Teori kemanfaatan (Zweckmassigkeit)

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan25. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi atau pun tidak dijatuhi sanksi maksimum kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya sehingga masih dapat memperbaiki diri.

24

Ahmad Rifai. Op. cit. hlm. 105

25


(32)

c. Teori keadilan (Gerechtigkeit)

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan26. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan27.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti28.

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Penerapan Sanksi Pidana

Penerapan sanksi pidana adalah pemberian sanksi hukum oleh hakim dalam sidang pengadilan, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam

26

Ahmad Rifai. Op. cit. hlm. 108

27

Ibid. hlm. 104

28


(33)

undang-undang, pemberian pemidanaan sebagai akibat suatu reaksi atas delik, dan berwujud suatu nestapa (pidana) yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pembuat delik 29.

Menurut Bambang Gatot Subroto memberikan pendapat mengenai penerapan sanksi pidana dalam hukum pidana materiel (material criminal law) sebagai berikut:

“Penerapan pidana mempunyai dua arti, yakni pertama, dalam arti umum ialah yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi hukum pidana (pemberian pidana in abstracto), kedua dalam arti konkrit, ialah yang menyangkut berbagai badan yang kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana itu. KUHP telah menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu. Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana akan tetapi juga apa yang disebut tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang merugikannya30”.

b. Tindak Pidana/Perbuatan Pidana

Menurut Tolib Setiady menerangkan bahwa strafbaar feit (perbuatan pidana) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut31.

c. Pelaku Tindak Pidana

Pelaku Tindak Pidana adalah setiap orang atau korporasi yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum32. Ketentuan dalam Pasal 55

29

Roeslan Saleh. Op. cit. hlm. 89

30

Barda Nawawi Arif. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana. Jakarta. 2010. hlm. 52

31

Tolib Setiady. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Anak Indonesia. Alfabeta. Bandung. 2010. hlm. 45

32


(34)

KUHP mengkategorikan pelaku sebagai orang yang melakukan sendiri suatu tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-bersama untuk melakukan tindak pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa :

1). Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

Ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjajikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, seengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2). Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya

d. Penganiayaan

Penganiayaan adalah suatu perbuatan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan33.

e. Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan34.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

33

Ibid. hlm. 50

34


(35)

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang latar belakang tindak pidana penganiayaan oleh anak.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang tinjauan mengenai pengertian anak dari beberapa Undang-Undang dari sudut hukum pidana, hak dan kewajiban anak, pengertian pertanggungjawaban pidana dan pelaku tindak pidana, pengertian dan unsur-unsur tindak pidana penganiayaan serta pengaturannya, jenis-jenis sanksi pidana dan tindakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, teori tentang dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhi pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.


(36)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS).

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anak dari Beberapa Undang-Undang dari Sudut Hukum Pidana

Anak dalam pengertian yang umum tidak saja mendapat perhatian dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat juga ditelaah dari sisi pandang sentralis kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologisnya yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Dalam masyarakat, kedudukan anak memiliki makna dari subsistem hukum yang ada dalam lingkungan perundang-undangan dan subsistem sosial kemasyrakatan yang universal1.

Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum sebagai subjek hukum. Kedudukan anak dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pengertian anak dalam hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran kedudukan anak dalam hukum. Menurut Undang-Undang

1


(38)

Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengertian anak meliputi :

1. Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

2. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

3. Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

4. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Ketentuan penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengklarifikasikan pengertian anak yang berkonflik dengan hukum adalah orang yang dalam perkara telah mencapai umur 12 tahun, tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Anak yang berkonflik dengan hukum adalah:


(39)

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dimasyarakat2.

2. Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tentang Pengadilan Anak mempertegas tentang pengertian anak di mana di dalam Pasal 1 angka (2) disebutkan bahwa:

“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Undang-undang tentang Sistem Peradilan Anak melihat sisi anak dari perbuatan yang dilakukannya, apabila anak tersebut melakukan kejahatan sebelum anak tersebut umur 12 (dua belas) tahun tidak dikategorikan anak nakal sehingga dari sisi hukum ia belum dapat dimintai pertanggungjawaban, sebaliknya apabila sudah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukannya, kemudian bila anak tersebut sebelum umur 18 (delapan belas) tahun sudah kawin maka bukan dikategorikan anak dan proses peradilan melalui peradilan umum bukan peradilan anak”.

Pengertian Anak yang Berkonflik dengan Hukum berdasarkan ketentuan penjelasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak disebutkan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum adalah: a. Anak yang melakukan tindak pidana; atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan3.

2


(40)

Berdasarkan ketentuan diatas, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menggunakan istilah “Anak yang Berkonflik dengan Hukum” bagi anak yang melakukan tindak pidana maupun perbuatan lainnya yang melanggar peraturan tertulis maupun tidak tertulis (hukum adat). Jadi berdasarkan ketentuan hukum positif yang mengatur

tentang anak, anak yang bermasalah kelakuan disebut dengan “Anak yang

Berkonflik dengan Hukum”. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh anak tidak hanya diatur dalam KUHP akan tetapi juga diatur diluar KUHP, meskipun didalamnya tidak disebutkan istilah tindak pidana yang dilakukan oleh Anak yang Berkonflik dengan Hukum 4.

B. Hak dan Kewajiban Anak

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, hak-hak anak adalah sebagai berikut:

a) Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

c) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 6).

d) Setiap anak berhak untuk mengetahuui orang tuanya, dibesarkan dan di ash oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau anak. Dalam keadaan terlantar maka tersebut berhak di asuh atau diangkat sebagai anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 ayat (1) dan (2).

e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan social sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan social (Pasal 8).

3

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

4


(41)

f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan ingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya. Khsusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 Ayat (1) dan (2).

g) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan ( Pasal 10).

h) Setiap anak berhak untuk instirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaual dengan anaka sebaya, bermain, berekreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya sosial (Pasal 11).

i) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan social, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial ( Pasal 12).

j) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertangung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dan perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan itu di kenaakan pemberatan hukuman (Pasal 13 Ayat (1) dan (2).

k) Setiap anak berhak untuk di asuh orang tuanya sendiri kecuali ada alas an demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).

l) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalah gunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam rangka bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan yang mengandug unsure kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).

m) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak menusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hokum. Penangkapan pernahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hokum yang berlaku dan hanya dapat seilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16 Ayat (1), (2), dam (3).

n) Setiap anak yang di rampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatanya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hokum atau bentuan lainya secara efektif dalam setiap tahapam upaya hokum yang berlaku, dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam siding tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual yang berhadaan dengan hokum berhak di rahasiakan (Pasal 17 Ayat (1) dan (2).

o) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hokum dan bantuan lainya ( Pasal 18).

p) Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali dan guru mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, mencintai tanah air,


(42)

bangsa, dan Negara menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia (Pasal 19).5

C. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

Berdasarkan ketentuan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa :

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

Ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjajikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, seengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Ketentuan Pasal 55 KUHP di atas mengkategorikan pelaku sebagai orang yang melakukan sendiri suatu tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-bersama untuk melakukan tindak pidana.

Ketentuan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa : “ Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. Mereka yang seengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan”. 5


(43)

Ketentuan dalam Pasal 56 KUHP menjelaskan pelaku juga merupakan pembantu yang melakukan suatu kejahatan, yang terdiri dari :

1. Pembantu saat kejahatan

2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan

Pelaku juga dapat dilihat dari rumusan delik yang dilakukan, yaitu6:

1. Delik formil, pelaku adalah barang siapa yang memenuhi perumusan delik, yakni dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang.

2. Delik materiil, pelaku adalah siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang 3. Delik aduan yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari

pihak yang terkena. Delik aduan dibedakan menjadi:

a. Delik aduan absolut, yaitu hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan b. Delik aduan relatif, yaitu delik yang ada hubungan istimewa anatara si

pembuat dan orang yang terkena.

D. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana Penganiayaan Serta Pengaturannya

1. Tindak Pidana Penganiayaan

Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan

6


(44)

yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain7.

Adapula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan”, sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut :

a. Adanya kesengajaan, b. Adanya perbuatan,

c. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yaitu : 1). rasa sakit pada tubuh

2). luka pada tubuh

Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif.

Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehinnga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 351 s/d Pasal 356 KUHP.

Penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 351s/d Pasal 355 KUHP adalah sebagai beriku:

7

W Mulyana Kusuma. Analisa kriminologi tentang kejahatan kekerasan. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1982. hlm. 77


(45)

1) Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP 2) Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP 3) Panganiayaan berencana Pasal 353 KUHP 4) penganiayaan berat Pasal 354 KUHP 5) Penganiayaan berat Pasal 355 KUHP

Penjelasan dari beberapa macam penganiayaan beserta pengaturannya tersebut diatas adalah sebagai berikut:

a. Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP

Pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut : 1. Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan

bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

3. Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan 5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.

Arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Mengenai penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berari bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu. yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak


(46)

semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan8.

Oleh karena mendapatkan perizinan dari pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya. Seperti contoh: seorang guru yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai pasiennya dan menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagainya. Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya diatas perbuatan itu, mengenai orang tua yang memukili anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya.

Oleh sebab dari perbuatan yang telah melampaui batas tertentu yang telah diatur dalam hukum pemerintah yang asalnya pebuatan itu bukan sebuah penganiayaan, karena telah melampaui batas-batas aturan tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang dinamakan dengan “penganiayaan biasa”. Yang bersalah pada perbuatan ini diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya sikorban. Mengenai tentang luka berat lihat Pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang dimaksud disini hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu.

8


(47)

Mengenai tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan Pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi:

1. Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian 2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat

3. Penganiayaan yang mengakibatkan kematian

4. Penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.

b. Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP

Dikategorikan penganiayaan ringan Karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut:

“Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.”

Melihat Pasal 352 Ayat (2) KUHP bahwa “percobaan melakukan kejahatan itu

(penganiyaan ringan) tidak dapat di pidana” meskipun dalam pengertiannya

menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah


(48)

diatur dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP. Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain.

c. Penganiyaan berencana Pasal 353 KUHP

Ketentuan Pasal 353 KUHP mengenai penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut :

1. Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

2. Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun

3. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Arti di rencanakan lebih dahulu adalah: “bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang9”.

Apabila kita pahami tentang arti dari di rencanakan diatas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

9


(49)

Perkataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia masih berfikir dengan batin yang tenang apakah resiko/akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya.

Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan diatas dan telah diatur dalam Pasal 353 KUHP apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa faktor/alasan pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan (Ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (Ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).

d. Penganiayaan berat Pasal 354 KUHP

Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP yang rumusannya adalah sebgai berikut:

1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.


(50)

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam Undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwa dan ia harus menyebutkan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam Undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana.

Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yaitu luka berat. Mengenai luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada Pasal 90 KUHP sebagai berikut:

Luka berat berarti : Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut seperti;

a. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian

b. Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra c. Mendapat cacat besar

d. Lumpuh (kelumpuhan)

e. Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu f. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.


(51)

Ketentuan Pasal 90 KUHP di atas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.

e. Penganiayaan berat berencana Pasal 355 KUHP

Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut :

1. Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun

2. Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Bila kita lihat penjelasan yang telah ada diatas tentang kejahatan yang berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dengan penganiyaan berencana (Pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

E. Jenis-Jenis Sanksi Pidana dan Tindakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (selanjutnya disingkat UU Pengadilan Anak) antara lain telah


(52)

menetapkan apa yang dimaksud anak yang berkonflik dengan hukum. Undang-Undang ini berlaku lexspecialis terhadap KUHP, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak, dengan adanya UU Pengadilan Anak, menjadi acuan pula dalam perumusan Konsep KUHP Tahun 2012 berhubungan dengan pidana dan tindak pidana bagi anak. Dengan demikian, tidak akan ada tumpang tindih atau saling bertentangan10.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana, yang dimaksud anak yang berkonflik dengan hukum adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Sehubungan dengan hal tersebut, jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan maka status anak nakal tersebut berdasarkan putusan pengadilan dapat sebagai anak pidana atau anak negara. Disebut anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. Kemudian sebagai anak negara yaitu anak yang

10

Bassar M. Sudrajat. Tindak-tindak pidana tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Remaja Karya. Jakarta. 1986. hlm. 43


(53)

berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di LP anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Ketentuan dalam Pasal 71 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur tentang pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak anak yang berkonflik dengan hukum antara lain :

1. Pidana Pokok

Pidana pokok yang dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum ialah :

a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat:

1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; 3) pengawasan.

c. pelatihan kerja;

d. pembinaan dalam lembaga; e. penjara

2. Pidana Tambahan

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa :

a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. b. pemenuhan kewajiban adat.


(54)

Berdasarkan ketentuan Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum ialah:

a. pengembalian kepada orang tua/Wali; b. penyerahan kepada seseorang;

c. perawatan di rumah sakit jiwa; d. perawatan di LPKS.

e. kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;

f. pencabutan surat izin mengemudi; g. perbaikan akibat tindak pidana.

Selain tindakan di atas, Hakim dapat memberikan teguran dan menetapkan syarat tambahan. Teguran adalah peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak yang dijatuhi tindakan maupun secara tidak langsung melalui orang tua, wali atau orang tua asuhnya agar anak tersebut tidak mengulangi perbuatannya. Syarat tambahan itu misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada pembimbing kemasyarakatan didasarkan pada penjelasan Pasal 73 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Penjatuhan tindakan yang dilakukan oleh hakim dilakukan kepada anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak menurut peraturan perundang-undangan. Namun, terhadap anak yang melakukan tindak pidana, hakim menjatuhkan pidana pokok dan atau pidana tambahan atau tindakan. Pada segi usia, pengenaan tindakan terutama bagi anak yang masih berusia 12 (dua belas) tahun. Terhadap anak yang telah melampaui umur diatas 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dijatuhkan pidana. Hal ini dilakukan mengingat pertumbuhan dan perkembanagn fisik, mental dan sosial anak11.

11

Bambang Mulyono. Kenakalan remaja dalam persfektif pendekatan sosiologi psikologi dan penanggulangannya. Yogyakarta. 1986. hlm. 25


(55)

Jenis tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan Pasal 82 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ternyata sedikit lebih luas dibandingkan dengan rumusan Konsep KUHP Tahun 2012. Rumusan pengenaan tindakan terhadap anak (Pasal 132 Konsep KUHP Tahun 2012) adalah:

a. Pengembalian kepada orang tua, wali atau pengasuhnya, b. Pengembalian kepada pemerintah atau seseorang,

c. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta,

d. Pencabutan surat izin mengemudi, e. Rehabilitasi

F. Teori tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana

Berkaitan dengan hal tersebut, selain mencakup teori tujuan pemidanaan dan teori pedoman pemidanaan, dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan menerapkan beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim. Adapun teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain:

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya12. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap

12


(56)

tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

b. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan13. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan14. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum

13

Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim. Sinar grafika. Jakarta. 2011. hlm. 98

14


(57)

dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.15

Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, menjelaskan bahwa:

1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak mebeda-bedakan orang 2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa:

1. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.

2. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, pembuktian yang sah menurut undang seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa :

“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

15


(1)

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data. c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data

pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah mengolahan data selesai maka dilakukan analisis data. Data yang diperoleh secara analisis kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan dengan didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian disimpulkan secara umum, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(2)

84

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak yakni berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan unsur-unsur yang terpenuhi atas perbuatan yang dilakukan serta melihat dari keadaan pribadi terdakwa sehingga berdasarkan hal tersebut sebagaimana azas “tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen Straf Zonder Schuld) dihubungkan dengan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dalam hal ini terdapat 4 (empat) alat bukti yang cukup berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih yang memeriksa dan mengadili perkara ini berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang cukup, terdakwa telah memenuhi rumusan Pasal 351 Ayat (1) KUHP dan diberikan sanksi pidana selama selama 3 (tiga) bulan pidana penjara, dalam hal ini pidana penjara tersebut diterapkan kepada anak dengan dikurangi masa tahanan selama anak ditahan oleh Penyidik dan Penuntut Umum. Ketentuan Pasal 79 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menegaskan bahwa


(3)

“Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang”. Bahwa sebagai kesimpulan, secara normatif penerapan sanksi pidana tersebut kurang tepat karena melihat keadaan pelaku yang masih anak dibawah umur yakni berusia 12 tahun maka hal ini tentunya mensyaratkan mengenai bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus terhadap terdakwa untuk menghindari pengaruh negatif terhadap anak dalam lingkungan penjara, tetapi secara komperhensif penjatuhan hukuman pidana penjara dinilai Hakim sudah sesuai dengan tujuan pemidanaan.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana penganiayaan dalam Perkara Nomor 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS adalah dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum, harapan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, motif tindak pidana, sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana penganiayaan, akibat yang ditimbulkan, serta aplikasi teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum. Hakim juga sepenuhnya memperhatikan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 182 Ayat (6), Pasal 183, Pasal 184 KUHAP.


(4)

86

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan penerapan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS) berikut:

1. Penegak hukum dalam menerapkan sanksi pidana anak agar lebih mempertimbangkan keadaan pelaku yang masih anak dibawah umur maka hal ini tentunya mensyaratkan mengenai bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus terhadap pelaku untuk dapat mengembangkan kontrol diri dan untuk menghindari pengaruh negatif terhadap anak yakni stigma mental dan perilaku yang tertekan dalam lingkungan penjara. Mengingat bahwa sanksi pidana yang dapat diterapkan kepada anak tidak hanya sanksi pidana penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Pertimbangan Hakim dalam memberikan vonis terhadap pelaku agar lebih melihat aspek kepada hal-hal yang meringankan, terdakwa masih berusia anak-anak, terdakwa masih memiliki masa depan yang cerah maka pidana penjara selama 3 (tiga) bulan pidana penjara adalah kurang tepat. Hakim dapat memberikan kebijakan hukum dengan subjektifitasnya terhadap terdakwa.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiah. 1978. Problema remaja di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Dirjosisworo, Soedjono. 1984. Amalan ilmu jiwa dalam studi kejahatan.

Bandung: Karya Nusantara.

Gunarsa, Singgih D. 1984. Kenakalan remaja. Gultom. Jakarta.

Kartosapoetra, Rein. 1988. Pengantar Ilmu Hukum Lengkap. Bina Aksara. Jakarta.

Kartono, Kartini. 1992. Patologi 2 kenakalan remaja. Jakarta: Rajawali Pers. Kusuma, W Mulyana. 1982. Analisa kriminologi tentang kejahatan kekerasan.

Jakarta: Ghalia Indonesia

M. Sudrajat, Bassar. 1986. Tindak-tindak pidana tertentu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Remaja Karya.

Mulyono, Bambang. 1986. Kenakalan remaja dalam persfektif pendekatan sosiologi psikologi dan penanggulangannya. Yogyakarta.

Projodikoro, Wirjono. 1981. Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. P.A.F. Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Aditya

Bakti. Bandung.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya. Bandung.

Nawawi Arif, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

_________________. 2010. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana. Jakarta.

Purnomo, Bambang. 1996. Teori Pertanggungjawaban Pidana. Sinar Grafika. Jakarta.


(6)

Saleh, Roeslan. 1999. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Setiady, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Anak Indonesia. Alfabeta. Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Putusan Pengadilan Negeeri Gunung Sugih Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS


Dokumen yang terkait

PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (Studi Putusan Nomor: 43/Pid.B.(A)/2012/PN.GS)

1 6 70

PERSPEKTIF PENERAPAN DIVERSI PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN BERDASARKAN PRINSIP-PRINSIP UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 13 65

ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 8 49

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Nomor: 791/Pid.A/2012/PN.TK)

2 26 62

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI (Studi Putusan Nomor: 604/PID.B/2014/PN.TJK)

1 10 58

ANALISIS PERBANDINGAN PENYIDIKAN ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 7 42

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU PENGANCAMAN TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan PN Nomor: 701/Pid.B/2014/PN.Tjk)

0 10 59

PRAKTIK PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR (CURANMOR)OLEH ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 0 12

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU RESIDIVIS TINDAK PIDANA PENYEBARAN PORNOGRAFI (Studi Putusan Nomor: 604/Pid.B/2014/PN.TJK)

0 0 11

ANALISIS YURIDIS UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DAN UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM PEMBERIAN BANTUAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA

0 0 10