“Kenapa kalian menyebutnya Po Tu Fan?” “Karena sebutannya memang Po Tu Fan”
“Jadi kalian anggap pemotong kepala itu Fan Ngin, orang Melayu? Hasan meradang. “Kalau bukan Melayu kenapa disebut Fan?”
Hui Ming bersikeras. “Pengemudi mobil boks juga kebanyakan orang Cina?” Hasan
tidak mau kalah. “Bapakmu juga sopir.”
“Bapakku sopir angkot” kali ini Hasan benar-benar tersinggung, “Bapakmu itu yang Tebok Ati”
“Po Tu Fan” “Tebok Ati” teriak Hasan ayunkan tinju. Keduanya bergulingan di
halaman becek, dikerubungi dan disoraki oleh anak-anak satu sekolah Alexander, 2012: 58.
Tokoh Hasan sebagai anak yang berlatarbelakang etnis Melayu, telah mengerti apa arti Fan Ngin, hal ini menginterpretasikan bahwa orang Melayu di
Bangka sedikit banyak mengerti kosakata dan bahasa orang Tionghoa di Bangka, sebab kedua etnis hidup dalam wilayah sama dan dalam waktu yang cukup lama
pula. Hanya saja belum jelas asal-usulnya, mengapa tokoh antagonis yang berwujud menyeramkan tersebut dinamakan Po Tu Fan, dengan suku kata Fan
yang bermakna sebagai orang Melayu.
c. Pandangan Stereotip Orang-orang Tionghoa Sebagai Penyembah Berhala
Selanjutnya, dalam cerpen “Lok Thung”, pandangan stereotip seorang tokoh yang berlatarbelakang non-Tionghoa terhadap orang Tionghoa ditunjukkan
dalam kutipan berikut.
“Liong, ajaklah istrimu sembahyang dulu,” tukas Hiung Khiu membuatku terkejut. Heni menjadi pucat dan langsung mencengkram
bahuku. “Tapi kami Kristen, Khiu” katanya dengan suara gemetar. Hiung
Khiu tertawa lebar, “Saya tahu, tidak apa-apa kan cuma sekadar pegang dupa saja?”
“Tapi itu sudah menyembah berhala” “Heni” aku kaget mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir
istriku. Namun Hiung Khiu tersenyum bijak Alexander, 2012: 85-86. Latar belakang orang Melayu atau orang non-Tionghoa yang beragama
samawi IslamKristen yang diwakilkan oleh tokoh Heni dalam cerita memberi persepsi atau pandangan stereotip dalam pikiran mereka, bahwa orang Tionghoa
yang beragama Konghucu menyembah patung atau berhala. Orang Tionghoa yang beragama Konghucu menggunakan patung sebagai media visual ketika berdoa.
Dengan demikian, mereka akan merasa lebih khusyuk seakan berhadapan langsung dengan dewa atau Tuhan. Pandangan stereotip mengenai “Tuhan
berhala” orang Tionghoa tersebut tentu secara terang atau tidak diakui, tetap ada dalam benak orang non-Tionghoa, meskipun demikian, hal yang termasuk ranah
privasi tersebut bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan. Demikianlah pembahasan mengenai unsur-unsur kebudayaan etnis Melayu
dan Tionghoa di Bangka, unsur-unsur intrinsik yang merefleksikan warna lokal, dan pandangan stereotip kedua etnis dalam kumpulan cerpen Istri Muda Dewa
Dapur. Unsur-unsur kebudayaan yang ditemukan pada etnis Melayu dan Tionghoa di Bangka dapat dilihat dari unsur-unsur universal kebudayaan, antara
lain bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan sistem religi.
Unsur-unsur intrinsik yang merefleksikan warna lokal dalam kumpulan cerpen Istri Muda Dewa Dapur terdiri dari tema, penokohan, latar tempat, dan
latar waktu. Latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam merefleksikan warna lokal di Bangka. Pembahasan terakhir, mengenai pandangan stereotip
orang Melayu Bangka terhadap orang Tionghoa di Bangka, dan begitu juga sebaliknya, pandangan stereotip orang Tionghoa terhadap orang Melayu di
Bangka.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan dari penelitian yang berjudul “Warna Lokal Melayu dan Tionghoa dalam
Kumpulan Cerpen Istri Muda Dewa Dapur Karya Sunlie Thomas Alexander” adalah sebagai berikut.
Pertama, warna lokal etnis Melayu dan Tionghoa di Bangka dalam kumpulan cerpen Istri Muda Dewa Dapur dapat dilihat dari unsur-unsur
kebudayaan universal yang terdiri dari sistem religi, sistem ekonomi, sistem pengetahuan, organisasi sosial, bahasa, sistem teknologi, dan kesenian.
Sistem religi yang terdapat dalam kumpulan cerpen tersebut antara lain identitas agama di Belinyu, Bangka bagian utara, yang mayoritas orang-orang
Melayu memeluk Islam sebagai agama warisan, dan sebagian lainnya adalah pemeluk agama Konghucu, Kristen, Katolik, dan Budha. Tradisi bakti dan
penghormatan ditemukan dalam tradisi Konghucu yang dinamakan tradisi ziarah Cin Min atau sembahyang kubur sebagai penghormatan kepada leluhur
yang telah mendahului. Selain itu, terdapat beberapa keyakinan yang dianut orang Tionghoa
beragama Konghucu, seperti keyakinan akan adanya manusia pilihan dewa, reinkarnasi sebagai siklus kelahiran dan kematian, keyakinan akan keberadaan