BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Provinsi Bangka Belitung merupakan provinsi yang pada awalnya ditempati oleh dua etnis; etnis Melayu dan etnis Tionghoa. Semenjak pemerintah
mencanangkan program transmigrasi, kini pulau kecil itu ditempati oleh berbagai etnis dari seluruh Indonesia. Latar belakang Bangka Belitung sebagai tempat
tinggal dua etnis yang sejak dahulu berdampingan; etnis Melayu dan etnis Tionghoa, membuat warna kebudayaan masyarakat Bangka Belitung yang
didominasi orang-orang Melayu dan orang-orang Tionghoa tersebut lebih kompleks dan beragam.
Asimilasi terjadi antara suku Melayu dengan suku Tionghoa. Seperti dari segi bahasa, orang keturunan Tionghoa di Bangka pada umumnya menggunakan
bahasa Cina Hakka yang dipengaruhi bahasa Melayu atau sebaliknya, orang- orang Melayu yang menggunakan beberapa kosakata yang berasal dari bahasa
Cina Idi, 2009: 7. Perkawinan campuran antaretnik Tionghoa dan Melayu juga telah banyak
ditemukan di sana Idi, 2009: 7. Kehidupan sosial yang mereka jalani membuat hubungan kekerabatan lebih terjalin intim dan mendalam. Fenomena ini menjadi
hal yang menarik apabila ciri khas warna lokal budaya Melayu dan Tionghoa di Bangka dikaji secara mendalam melalui karya-karya sastra yang mencerminkan
kehidupan mereka.
Sebuah karya sastra tidak pernah terlahir begitu saja di muka bumi. Sebuah karya sastra terlahir melalui konteks sosial dan kultural suatu masyarakat.
Interaksi terlebih dulu terjadi antara pencipta karya sastra dengan realitas sosio- kultural di sekitarnya. Selama ini kita ketahui pula dunia sastra Indonesia diwarnai
bermacam-macam bentuk sastra yang memiliki ciri warna lokal di beberapa daerah. Seperti karya-karya Umar Kayam Sri Sumarah, Para Priyayi, dll yang
kental dengan identitas Jawa, lalu karya-karya Korrie Layun Rampan yang hampir semuanya cerpennovel mengangkat warna lokal budaya Kalimantan. Hal ini
menunjukkan Indonesia dalam dunia sastra khususnya memiliki begitu banyak kekayaan budaya dan warna lokal yang beragam. Berangkat dari hal tersebut,
kehadiran karya-karya Sunlie Thomas Alexander merupakan salah satu
keragaman dalam sastra Indonesia dengan warna lokal suku Melayu dan Tionghoa di Bangka.
Sunlie Thomas Alexander lahir di Belinyu, 07 Juni 1977. Lelaki berdarah Tionghoa ini telah cukup lama mewarnai geliat sastra Indonesia kontemporer,
terbukti dengan banyak karya sastra yang dihasilkannya dan telah tersebar di berbagai surat kabar seperti Kompas, Horison, Jawa Pos, Media Indonesia,
Tempo, Kedaulatan Rakyat, Bangka Pos, Jurnal Cerpen Indonesia, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, GONG, Sinar Harapan, Bali Post, Nova, Lampung
Post, Radar Lampung, Jurnal Nasional, Rakyat Merdeka, Riau Pos, Sijori Pos, Batam Pos, Padang Ekspres, Radar Banjarmasin, Pontianak Pos, Hai, Bernas,
Sumut Pos, dan Surabaya Pos Santosa dan Hasyim, 2014: 383.
Ia telah menerbitkan dua kumpulan cerpennya: Malam Buta Yin dan Istri Muda Dewa Dapur dan satu kumpulan puisi yang berjudul Sisik Ular Tangga.
Karya-karyanya yang lain cerpen, sajak, esai diterbitkan dalam sejumlah antologi bersama, di antaranya BARI I KPPMP, 1996, Anak-anak Gereja
Sinode Keuskupan Pangkalpinang, 1999, Lagu Putih Pulau Lada KPSPB, 2000, Galanggang Dewan Kesenian Padang, 2003, Narasi dari Pesisir Dewan
Kesenian Lampung, 2004, Kelekak Yayasan Nusantara Dewan Kesenian Kota Pangkalpinang, 2005, Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa SSN
Komunitas Ladang, 2006, The Regala 204 B Gapuraja Media, 2006, Antologi Puisi Nusantara: 142 Penyair Menuju Bulan KSSB, 2006, Laut Berkabar
Dinas Kebudayaan, Seni dan Pariwisata Provinsi Riau, 2007, 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 PT Gramedia Pustaka Utama—Anugerah Sastra Pena
Kencana, 2009, Belantara Filsafat dan Diaspora Menuju Tuhan BEM Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, Pembaharuan Tanpa
Apologia?: Esai-esai tentang Ahmad Wahib Universitas Paramadina, 2010, Sound of Asia, Malay As World Heritage on Stage, dan Becoming after Seoul
KAPLF II, Yayasan Sagang, 2011, dan lainnya. Ia beberapa kali diundang dan menghadiri pelbagai pertemuan sastra
seperti Temu Penyair Sumatera “Padang Bagalanggang” di Sumatera Barat 2003, Kongres Cerpen Indonesia IV di Pekanbaru, Riau 2005, Kongres Cerpen
Indonesia V di Banjarmasin, Kalimantan Selatan 2007, Temu Sastrawan Indonesia I di Jambi 2008, Temu Sastra MPU III di Lembang, Jawa Barat
2008, Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang 2010, Temu Sastrawan
Indonesia IV di Ternate, Maluku Utara 2011, Korean-ASEAN Poets Literature Festival II di Pekanbaru, Riau 2011, dan Ubud writers Readers Festival
UWRF di Ubud, Denpasar, Bali 2012, di samping menjadi ketua pelaksana Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang, Bangka Belitung 2009.
Sebagian besar cerita dalam kumpulan cerpen Istri Muda Dewa Dapur menggambarkan realitas sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat Bangka.
Karena itu, akan sangat menarik jika kumpulan cerpen tersebut dikupas untuk menggali dan memahami ciri khas warna lokal etnis Melayu dan Tionghoa di
Bangka. Peneliti sengaja memilih kumpulan cerpen Istri Muda Dewa Dapur karena dibandingkan kumpulan cerpen Sunlie sebelumnya Malam Buta Yin,
kumpulan cerpen Istri Muda Dewa Dapur lebih kompleks dari segi lokalitas, tidak hanya satu suku Melayu atau Tionghoa saja, melainkan keduanya.
B. Fokus Permasalahan