25 menutup segala pintu yang mungkin melahirkan anak di luar perkawinan
yang tidak jelas.
33
C. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan 1. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
Syarat sahnya suatu perkawinan adalah sebagai berikut: 1 Didasarkan atas persetujuan antara calon suami dan calon isteri tidak ada
paksaan di dalam perkawinan.Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: ”Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai”.Syarat perkawinan ini memberikan jaminan agar tidak terjadi lagi.perkawinan paksa. Hal ini disebabkan karena
perkawinan merupakan urusan pribadi seseorang dan merupakan bagian dari hak asasi manusia.
2 Adanya ijin dari kedua orang tuawali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.Walaupun perkawinan dipandang sebagai urusan pribadi,
namun masyarakat Indonesia memiliki rasa kekeluargaan yang sangat besar terutama hubungan antara anak dengan orang tuanya. Oleh karena
itu,perkawinan juga dianggap sebagai urusan keluarga, terutama jika yangakan melangsungkan perkawinan adalah anak yang belum berusia
21tahun. Oleh karena itu, sebelum melangsungkan perkawinan harus ada ijinrestu dari kedua orang tua.
3 Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan usia calon mempelai wanita sudah mencapai usia 16 tahun.Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor
33
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia,
Bandung : Alumni
.
hal
. 38
.
Universitas Sumatera Utara
26 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: ”Perkawinan hanya diijinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16tahun”.Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perkawinan
anak-anak yang masih di bawah umur.Oleh karena itu, perkawinan gantung yang dikenal dalam masyarakat adat tidak diperkenankan lagi. Ketentuan
pembatasan umur juga dimaksudkan agar calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan sudah matang jira raganya.
4 Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darahkeluarga yang tidak boleh kawin.Pada dasarnya, larangan untuk
melangsungkan perkawinan karena hubungan darahkeluarga dekat terdapat juga dalam sistem hukum yang lain, seperti hukum agama Islam atau
peraturan lainnya termasuk hokum adat 5 Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain Pasal 9 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan :”Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang laintidak dapat kawin lagi, kecuali
dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3ayat 2 dan Pasal 4 undang-undang ini”.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan : 1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 2. Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, poligami hanya
diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamnya mengijinkan seorang suami beristeri lebih dari seorang. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 1
Universitas Sumatera Utara
27 Tahun 1974 Tentang Perkawinan angka 4c menyatakan :”Undang-Undang ini
menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dariyang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami
dapat beristerilebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan”.Hukum disini maksudnya adalah
hukum perkawinan positif dari orangyang hendak melakukan poligami. Sedangkan agama harus ditafsirkan dengan agama dan kepercayaan dari calon
suami yang akan melakukan poligami. Penafsiran ini untuk mencegah kekosongan hukum bagimereka yang hingga saat ini belum memeluk suatu
agama tetapi masih menganut suatu kepercayaan.dengan demikian, Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan masih menganut asas
monogami. 3 Bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin untuk ketiga kalinya. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa :”Perkawinan
mempunyai maksud agar suami dan istri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya perkawinan harus benar-
benar dipertimbangkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali sehingga suami dan istri benar-benar saling menghargai”.Menurut Islam, suami
isteri yang telah bercerai dua kali masih diperbolehkan untuk kawin ketiga kalinya. Tetapi jika mereka telah bercerai untuk ketiga kalinya maka mereka
Universitas Sumatera Utara
28 tidak boleh kawin lagi kecualibekas istri yang telah bercerai tiga kali tersebut
kawin dengan lelaki lain kemudian bercerai maka dia boleh kawin dengan bekas suaminya yang pernah bercerai tiga kali tersebut.
4 Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
:”Wanita yang telah putus perkawinannya tidak boleh begitu saja kawin dengan lelaki lain, akan tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis”.
Menurut Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975, waktu tunggu diatur sebagai berikut : 1 Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal11 ayat 2
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ditentukan sebagai berikut: a Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
b Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggubagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi
yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari. 2 Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian
sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
3 Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami Rasio dari peraturan ini adalah untuk menentukan
dengan pasti siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu tunggu tersebut.
34
34
Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.34
Universitas Sumatera Utara
29 Undang-undang No 1 Tahun 1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut
KUH Perdata, jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan perkawinan menurut Undang-undang No 1
Tahun 1974 adalah sebagai berikut : Syarat perkawinan ini diatur secara jelas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974
Pasal 6 ayat 1 yang menyatakan bahwa : “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.
Syarat perkawinan ini diatur secara tegas dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 6 ayat 2,3,4,5 dan 6 yaitu :
1 Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
2 Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat 2 Pasal
ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
3 Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya. 4 Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut ayat 2,3,
dan 4 Pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
Universitas Sumatera Utara
30
35
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
36
2. Adanya izin kedua orang tuawali bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun.
37
1. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun.
Ketentuan tersebut ayat 1 sampai ayat 5 pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain. Syarat perkawinan tersebut diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 Pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa : “Perkawinan hanya diizinkan
jika pihak pria sudah mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 enam belas tahun”. Hubungan darahkeluarga yang tidak boleh
kawin menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada Pasal 8 adalah sebagai berikut:
38
2.
Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan darahkeluarga yang tidak boleh kawin.
39
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek. c.
Berhubungan samenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri. d.
Berhubungan susunan yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara susunan, dan bibipaman susunan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
35
F. X Suhardana,SH, Hukum Perdata I, PT Prenhallindo, 1990, Jakarta, hlm.91-92
36
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT Alumni, 2004, Bandung,
37
Ibid, hlm.65-66 Universitas Sumatera Utara
38
Ibid, hlm.67
39
Ibid, hlm.69
Universitas Sumatera Utara
31 f.
Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
3. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.
40
40
Ibid, hlm.70-71
Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Pasal 9 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : “Seorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat 2 dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 3 ayat 2 Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : “Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Syarat perkawinan yang keenam ini disebutkan dalam Undang-undang No 1 Tahun
1974 Pasal 10 yang menyatakan bahwa : “Apabila suami dan isteri yang telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya,
maka diantra mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain”. Dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa :
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali,
sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain”.
Universitas Sumatera Utara
32 6. Bagi suami isteri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak melarang mereka kawin kembali untuk ketiga kalinya.
41
7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.
42
41
Ibid, hlm.74
42
Ibid, hlm.75
Dalam Pasal 11 Undang-undang No 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa wanita yang putus perkawinannya, tidak boleh bagitu saja kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi
harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis. Sejak berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama di Indonesia sangat menentukan. Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing
berarti perkawinan tersebut tidak sah.Perkawinan yang dilakukan di Kantor Catatan Sipil atau di Pengadilan apabila tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum
agama tertentu berarti tidak sah. Menurut hukum Islam, suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah memenuhi
syarat dan rukun perkawinan, yaitu : Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
1. Calon suami, syarat-syaratnya : a. Beragama Islam b. Laki-laki c. Jelas orangnya d. Dapat memberikan persetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan
2. Calon isteri, syarat-syaratnya : a. Beragama Islam b. Perempuan c. Jelas orangnya d. Dapat dimintai pesetujuan e. Tidak terdapat halangan perkawinan
3. Wali nikah, syarat-syaratnya : a. Laki-laki b. Dewasa c. Mempunyai hak perwalian d. Tidak terdapat halangan perwalian
Universitas Sumatera Utara
33 4. Saksi nikah, syarat-syaratnya : a. Minimal dua orang laki-laki b. Hadir dalam ijab
qabul c. Dapat mengerti maksud akad d. Islam e. Dewasa 5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya : a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali b.
Adanya pernyataan permintaan dari calon mempelai c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut d. Antara ijab dan qabul
bersambungan e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya f. Orang yang terkaid dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah Universitas Sumatera Utara g.
Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal oleh empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
43
Di dalam QS An-Nisa’: 4, Allah SWT berfiman, yang berbunyi : Di samping rukun dan syarat tersebut diatas, menurut para ulama, mahar itu
hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya dalam perkawinan berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini berdasarkan QS An-Nisa’ ayat 4 dan 24.
44
Pada QS An-Nisa’: 24, Allah SWT berfirman, yang berbunyi : “Berikanlah mas kawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah ambillah
pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya”.
45
“Diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki Allah telah menetapkan hukum itu sebagai ketetapan-Nya atas
kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, yaitu mencari istri-istri yang telah kamu nikmati campuri diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya
dengan sempurna sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu
43
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit.,hlm.62-63
44
Al-Jumanatul Ali, Op.Cit., hlm.77
45
Ibid, hlm.82
Universitas Sumatera Utara
34 terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar
itu”. Sementara berkaitan dengan masalah wali, menurut Imam Hanafi wali bukanlah
syarat dalam perkawinan, oleh karena itu wanita yang sudah dewasa dan berakal sehat boleh mengawinkan dirinya asalkan perkawinannya dihadiri oleh dua orang
saksi.Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. Selanjutnya syarat-syarat bagi dua orang saksi
dalam akad nikah adalah harus orang yang beragama Islam, dewasa baligh, berakal sehat, dapat melihat, mendengar, dan memahami tentang akad nikah. Tidak ada
ketentuan yang menjadi saksi apakah orang yang masih mempunyai hubungan darah atau tidak dengan kedua mempelai.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai rukun dan syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 KHI yaitu untuk melaksanakan perkawinan
harus ada : Mengenai Calon Mempelai baik calon suami dan calon isteri diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam, sebagai berikut :
46
Pasal 16 KHI yaitu : Pasal 15 KHI yaitu :
47
3 Wali nikah
2.Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
1 “Calon suami 2 Calon isteri
46
Hilman Hadikusuma SH, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, 1990, Bandung, hlm.28-30
47
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Op.Cit.,hlm.5
Universitas Sumatera Utara
35 4 Dua orang saksi, dan
5 Ijab dan Kabul”
48
48
Ibid, hlm.5-9
1 Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur
16 tahun 2 Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat 2,3,4 dan 5
Undang-undang No 1 Tahun 1974 1 Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai
2 Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama
tidak ada penolakan yang tegas Pasal 17 KHI yaitu : Pasal 18 KHI yaitu :
“Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI”.
Mengenai Wali Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut : Pasal 19 KHI yaitu :
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”.
Pasal 20 KHI yaitu : Pasal 21 KHI yaitu :
Pertama : kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya
Universitas Sumatera Utara
36 Kedua : kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka 1 Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua
saksi nikah 2 Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan 3 Bila calon mempelai
yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti 1 Yang bertindak sebagai wali nikah ialah
seseorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh 2 Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab b. Wali hakim 1 Wali nasab terdiri dari
empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita. Ketiga : kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka Keempat : kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan
keturunan laki-laki mereka Pasal 22 KHI yaitu :
“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau
sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya”.
Pasal 23 KHI yaitu : Mengenai Saksi Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 24 KHI yaitu : Pasal 25 KHI yaitu :
Universitas Sumatera Utara
37 “Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim,
adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”. Pasal 26 KHI yaitu : 2 Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa
orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lenih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita 3
Apabila dalam satu kelompok, sama derajat kekerabatannya yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama barhak menjadi
wali nikah, dengan mengutamakan yang lenih tua dan memenuhi syarat-syarat wali 1 Wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah apabila wali nasab tidak ada
atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan 2 Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan pengadilan Agama tentang wali tersebut 1 Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad
nikah 2 Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. “Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akad
Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan”. Mengenai Ijab Kabul diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
Pasal 27 KHI yaitu : “Ijab Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntut dan tidak
berselang waktu”. Pasal 28 KHI yaitu :
“Akad Nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan atau wali nikah mewakilkan kepada orang lain”.
Pasal 29 KHI yaitu :
Universitas Sumatera Utara
38
A. Tujuan perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang