60 Pasukan Clurut bukan termasuk TNI sehingga mereka tidak
mendapat jatah makan dari dapur umum. Meskipun begitu, mereka tidak mati kelaparan. Mereka berjuang dengan modal sendiri yaitu dengan
membawa makanan dari rumah mereka masing-masing. Memang, kadang-kadang mereka diberi nasi nuk nasi jatah dari dapur umum,
tetapi tidak rutin seperti halnya anggota TNI. Selama di Tegalrejo, Pasukan Clurut hidup penuh kebersamaan. Mereka tidak mementingkan
ego pribadi melainkan nasib kelompok. Suatu ketika menjelang Belanda melakukan doorstoot ke Tengaran, mereka bersama-sama merebus tempe
pemberian warga. Meskipun hanya sedikit, tempe yang direbus tadi tidak dimakan perseorangan tetapi dibagi rata hingga semua yang pada saat itu
berkumpul di rumah Dullah Sadjadi mendapat bagian sama rata Mujiyem, wawancara 12 Januari 2014.
3. Jaringan Komunikasi
Tengaran bagian Selatan bukan sebagai daerah penampungan pengungsi karena daerah ini adalah konsentrasi pertahanan RI untuk
membendung gerak maju Pasukan Belanda yang ingin menduduki Kota Solo. Masyarakat Tengaran yang dahulunya hidup di satu daerah harus
tersekat semenjak diberlakukannya pembagian wilayah karena perbedaan haluan politik pemerintahnya. Meskipun begitu, ikatan antara masyarakat
bagian utara Pendudukan dan bagian selatan Republik tidak terputus. Masyarakat yang tinggal di daerah pendudukan banyak yang mengunjungi
saudara-saudaranya di pengungsian maupun sebaliknya. Karena TNI
61 terikat dengan perjanjian, mereka tidak dapat melewati garis status quo.
Oleh karena itu kunjungan dari masyarakat yang berasal dari daerah pendudukan dimanfaatkan TNI untuk menggali informasi mengenai
kekuatan Belanda di daerah pendudukan Jarkoni, wawancara 28 September 2013.
Tengaran bagian Selatan merupakan target tembakan kanon Belanda dari Kebonjeruk. Oleh Sebab itu, keamanan pengungsi menjadi
prioritas RI. Agar para pengungsi terhindar dari pecahan peluru kanon, mereka ditempatkan di daerah aman yaitu di Desa Patemon daerah SQ
dan Kembang, Ampel. Desa Kembang dianggap lebih aman karena terletak di lereng Gunung Merbabu dan letaknya jauh dari jalan raya Solo-
Semarang. Tempat itu memiliki persediaan air yang melimpah sehingga pengungsi tidak kekurangan air Suratman Murbowijoyo, wawancara 22
September 2013. Saat terjadi eksodus penduduk secara besar-besaran dari daerah
pendudukan ke daerah pedalaman, gejala yang muncul di daerah pedalaman adalah pasar tiban atau pasar dadakan. Awalmulannya pasar
resmi berada di Tengaran, karena di Tengaran sering diganggu oleh Belanda, maka pasar pindah ke Gatak. Di Gatak juga diganggu oleh
Belanda lalu pindah ke pasar Sri Badak, Kembang Kusdi, wawancara 29 September 2013. Selama pasar resmi pindah di Kembang Ampel terjadi
kelangkaan barang pokok yang dibutuhkan seperti pakaian dan garam.
Kelangkaan barang tersebut terjadi karena adanya penumpukan pengungsi
62 di Kembang dan sedikitnya pasokan barang dari daerah Republik. Untuk
mengatasi kelangkaan barang itu peran pedagang pelintas batas menjadi sangat penting. Pedagang pelintas batas, selain berdagang dengan
menyelundupkan barang dari daerah pendudukan juga berperan sebagai mata-mata RI. Tak jarang dari mereka juga menyelundupkan peluru dan
obat-obatan Jarkoni, wawancara 28 September 2013. Untuk menyelundupkan barang dari daerah pendudukan ke daerah
Republik, prosesnya sangat sulit. Mereka harus berhati-hati ketika melewati pos penjagaan Belanda yang tersebar di sepanjang jalan
Noborejo sampai Kali Tanggi. Meskipun secara de facto daerah Republik terus dipersempit, para pedagang bisa keluar masuk di wilayah
pendudukan. Daerah status quo merupakan daerah yang paling sulit untuk ditembus. Mereka harus melewati jalan setapak jalan tikus untuk
menghindari patroli Pasukan Belanda. Sesampainya di daerah Republik, mereka juga belum aman. Patroli pasukan RI selalu mengintai mereka.
Apabila mereka dicurigai sebagai mata-mata Belanda, mereka akan dibunuh Jarkoni, wawancara 28 September 2013.
Pada bulan Juli 1948, Belanda berencana membatasi masuknya orang-orang Republik ke daerah Pendudukan. Kebijakan ini berlaku bagi
pedagang pelintas batas. Mereka diharuskan memiliki “surat pas jalan”
agar bisa melintasi garis demarkasi. Surat pas jalan adalah surat ijin bagi masyarakat Pendudukan untuk melintasi batas demarkasi dari daerah
Pendudukan ke daerah Republik maupun sebaliknya. Selain itu mereka
63 juga diwajibkan memiliki surat tanda penduduk untuk memudahkan
petugas membedakan orang Republik dan orang Pendudukan Sin Po, 5 Juli 1948 kol.4.
Kelompok gerilya yang berperan dalam kegiatan komunikasi adalah Barisan Clurut atau Pasukan Clurut. Dalam bahasa Jawa clurut
adalah nama binatang sejenis tikus. Mobilitas yang tinggi diperlukan untuk bergerak cepat membawa informasi dari satu tempat ke tempat lain.
Pasukan Clurut berasal dari kelaskaran Islam yaitu Hizbullah-Sabilillah pimpinan Kapten Kyai Mawardi. Selain sebagai kurir surat, mereka juga
dilatih untuk menyusup di pos musuh. Sebagai halnya Barisan Maling, mereka menguasai ilmu sirep dan ilmu kebal. Dengan ilmunya itu mereka
mudah menyusup ke markas musuh Chusnul Hajati: 1997: 136. Di daerah Ngaglik Sektor II, Pasukan Batu sangat aktif memantau
pergerakan Belanda. Komunikasi antara Pemimpin Batu dan markas Polisi Keamanan di Kadang berupa lembaran-lebaran surat. Biasanya isi surat
tersebut adalah laporan mengenai penerobosan yang dilakukan oleh Pasukan Belanda di daerah SQ.
Untuk mengantisipasi salah sasaran, setiap hari penjaga di daerah SQ selalu diberi sandi kata ketika berhadapan dengan penjaga yang sama-
sama memihak RI. Sandi kata ini bertujuan untuk membedakan antara kawan dan lawan. Sandi kata sudah disepakati bersama dalam sebuah
kelompok dan sifatnya rahasia. Hanya anggota kelompok saja yang tahu. Suatu ketika pada tahun 1948 Pasukan Clurut sedang berjaga di Dusun
64 Ngesrep, Tegalrejo. Mereka bertemu dengan TNI dari Tengaran yang
sedang berganti jaga. Agar tidak terjadi tembak-menembak, Jarkoni anggota Pasukan Clurut yang berjaga di Ngesrep berteriak kepada
rombongan TNI itu “telo” ketela rambat dijawab anggota TNI itu dengan “boleng” setengah cacat dan rasanya pahit. Karena jawabannya benar,
mereka diperbolehkan berjalan ke daerah Selatan Jarkoni, wawancara 28
September 2013. 4.
Situasi di Tengaran Daerah Pendudukan
Jatuhnya Kota Salatiga berdampak pada banyaknya pengungsi yang mencari tempat aman di luar Kota Salatiga. Biasanya pengungsi
dipimpin oleh pamong desa yang berkuasa sebelumnya. Karena pamong praja juga pindah ke wilayah Republik otomatis terjadi kekosongan
kekuasaan di wilayah pendudukan Belanda. Untuk mengisi kekosongan, Belanda membentuk pemerintah Recomba Regerings Comisie voor
Bestuurs Angelegenheden atau pangreh praja. Belanda memanfaatkan pegawai-pegawai Indonesia yang tidak ikut mengungsi ke wilayah
Republik untuk dijadikan aparatur pemerintah Pendudukan Chusnul Hajati, dkk., 1997: 127.
Di daerah yang diduduki Belanda, mata uang Jepang dan mata uang Republik Indonesia ORI diganti dengan mata uang NICA sebagai
alat pembayaran yang sah. Pemerintah Belanda mendirikan Algemene Distributis Dienst ADD yang berfungsi untuk mengurusi kesejahteraan
pegawai dan pekerja. ADD memberi bantuan berupa susu, keju, roti,
65 metega dan hampir semua kebutuhan sehari-hari dengan harga jual yang
murah. ADD dijadikan alat propaganda bagi Belanda untuk menarik simpati orang-orang Republik agar mau pindah ke wilayah Belanda.
Jawatan Penerangan Regerings Voorlichting Dienst RVD bertugas menyiarkan propaganda Belanda untuk menanamkan kepercayaan kepada
masyarakat agar mau berpihak kepada Belanda. Sedangkan Dienst der Leger Contacten DLC bertugas memberikan doktrin-doktrin kepada
tentara Belanda Koninklijk Leger KL dan Koninklijk Nedherlands Indische Leger KNIL tentang tugas suci Belanda di Indonesia Chusnul
Hajati, dkk., 1997: 127. Secara bertahap, masyarakat yang tadinya mengungsi kemudian
kembali ke Kota Salatiga karena mereka tidak tahan dengan penderitaan selama berada di daerah pengungsian. Roda ekonomi berjalan kembali
dengan dibukanya pasar-pasar. Bahasa Belanda ditetapkan sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah
pendudukan, posisi mereka terjepit dan banyak yang menderita. Mereka dicurigai kedua belah pihak karena dianggap sebagai mata-mata.
Meskipun berada di wilayah pendudukan Belanda, banyak diantara mereka jiwanya tetap Indonesia. Masyarakat yang jiwanya tetap Indonesia,
dimanfaatkan oleh TNI sebagai mata-mata Republik. Mereka memberi informasi, menyediakan tepat berlindung dan mengkoordinirmensuplai
logistik ketika pejuang Republik menyusup ke dalam kota Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129.
66 Banyaknya penduduk yang keluar masuk wilayah pendudukan,
membuat Belanda kuatir akan adanya penyusupan oleh pejuang Republik. Pada bulan Juli 1948, Belanda berencana mengatasi banyaknya penduduk
ilegal yang berasal dari wilayah Republik. Orang-orang Republik yang tadinya bebas melewati daerah pendudukan, setelah diberlakukannya
passenstelsel atau larangan untuk memasuki daerah pendudukan, mereka harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk dapat masuk ke wilayah
pendudukan misalnya mereka adalah anggota Palang Merah atau keluarga tawanan Sin Po, 5 Juli 1948 kol. 4.
Untuk menjaring informasi, Belanda menyebar mata-mata dibawah Intelichtingen Veiligheids Grouep IVG. Kekejaman mereka tidak kalah
dengan Kenpetai di jaman Jepang. Susunan staf IVG Salatiga sebagai berikut Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129:
Komandan : Lettu Draaisma
Wakil Komandan : De Liezer
Anggota Tim : Van Beeks, Hiks, Sutayo, Saban Purnomo,
Screening Temu, Sunaryo, Holan Sumodilogo, Sunawan, Parwoto dan Tan Soen Am.
Kepala Staf : Sersan Michael alias Djajusman digantikan Tommy Suryadi
Penyelidik : Sersan Swart Kepala, Sastra Suratman Wakil Kepala
Diaenur, Rasmal Slamet dan Gito anggota
Setelah wilayah Tengaran dibagi menjadi dua yaitu daerah Republik dan daerah pendudukan, Belanda dibuat kewalahan dengan
munculnya aksi-aksi gerilya seperti penyergapan patroli, serangan gelap, sabotase dan penyusupan ke dalam daerah pendudukan. Terhadap orang-
67 orang seperti itu, Belanda dengan rutin melakukan screening atau
pembersihan. Pejuang yang tertangkap oleh IVG Salatiga mengalami siksaan yang berat. Mereka yang terbukti bersalah karena melawan
Belanda akan dieksekusi di Kedayon. Untuk mengeksekusi pejuang, Belanda telah menyiapkan satu peleton algojo dari Brigade Tijger Brigade
T. Sedangkan apabila melakukan kesalahan sedang mereka akan dimasukan ke penjara Nusa Kambangan dan Ambarawa Chusnul Hajati,
dkk., 1997: 129. Belanda juga dibantu oleh pasukan bersenjata yang direkrut dari
etnis Cina yang diberi nama Po An Tui. Masalah rasial digunakan oleh Belanda untuk memojokan RI di pecaturan politik dunia. Sejumlah harian
Cina seperti Kenapo, Sin Mi-in dan Sin Po yang terbit di daerah pendudukan, mendukung Belanda dalam mengabarkan berita mengenai
masalah diskriminasi ras yang diterima etnis Cina selama berada di pengungsian Chusnul Hajati, dkk., 1997: 129.
Meskipun dalam tekanan, banyak orang yang hidup di daerah pendudukan namun jiwanya tetap Republik. Sebagai contoh adalah Mantri
kesehatan Binoso, secara diam-diam dia mengirim obat-obatan secara ilegal ke daerah Republik dan mengadakan kontak rahasia dengan Lurah
Noborejo. Selanjutnya obat-obatan yang diperoleh dari Binoso oleh Lurah Noborejo dikirim melalui pedagang lintas batas bernama Maryam ke
wilayah Republik. Di Klero, juga terdapat seorang Republik bernama Jayus yang menjadi Lurah Klero. Ia mengabdian dirinya kepada RI dengan
68 membantu memberi informasi kepada pejuang RI tentang aktifitas Belanda
di Klero Chusnul Hajati, dkk., 1997: 128.
D. Agresi Militer Belanda II