34 Kareben. Sedangkan, gerilyawan dari rakyat termasuk Subardi
menggunakan granat dan bambu runcing. Lima hari pasca pindahnya markas TLRI dari Getasan ke Susukan, Subardi mendapat tugas untuk
menangkap mata-mata Belanda di Desa Jati, Suruh. Setelah menangkap seorang pribumi yang yang bekerja sebagai mata-mata Belanda, Subardi
membawa mata-mata tersebut ke markas TLRI di Desa Timpik untuk diintrogasi mendalam. Subardi bertugas di Susukan selama dua bulan,
selanjutnya Subardi mendapat tugas berjaga di Wonosegoro, Boyolali. Ketika bertugas di Wonosegoro gerilyawan RI sering mendapat serangan
dari Pasukan Belanda terutama di daerah Karangggede. Belanda menyerang dari arah barat yaitu dari arah Suruh. Tujuan Belanda
menyerang Karanggede karena di daerah ini terdapat jalan pintas ke Kota Solo tanpa melewati Tengaran Subardi, wawancara 29 September 2013 .
2. Belanda Menyerbu Tengaran
Setelah Kota Salatiga jatuh ke tangan Belanda, selanjutnya Belanda berencana meluaskan kekuasaanya hingga ke Surakarta. Pasukan
Belanda dari Salatiga yang rencanannya bergerak ke Surakarta mendapat benturan dari pihak Republik di Tingkir, sehingga gerak laju Pasukan
Belanda terhenti di Tengaran. Sebelum Belanda bergerak lebih jauh ke wilayah RI, keluarlah mosi Dewan Keamanan PBB yang memerintahkan
segera diberlakukannya gencatan senjata. Mulai tanggal 1 Agustus 1947 diserukan penghentian tembak-menembak gencatan senjata dengan
menyertakan pihak Komisi Tiga Negara KTN. Komisi Tiga Negara
35 terdiri dari negara Australia, Belgia dan Amerika Serikat Tashadi, dkk.,
1997: 120. Belanda memanfaatkan masa damai untuk memindahkan
pasukannya dari Semarang ke Salatiga. Belanda pertama kali menduduki Desa Tegalwaton. Di sana mereka membangun markas di dekat sumber air
Senjoyo. Setelah menduduki Senjoyo, Belanda menduduki Kebonjeruk, Karangduren. Di Kebonjeruk, Belanda mendirikan markas pertahanan
untuk menjaga Kota Salatiga dari serangan gerilyawan Republik. Di sana, Belanda menempati bekas kantor perusahaan perkebunan jeruk yang sudah
lama ditinggal pemiliknya ketika Jepang menginvasi Indonesia. Meskipun ditinggal pemiliknya, bangunan tersebut masih kokoh berdiri. Markas
Belanda tersebut dikelilingi tembok beton dan tanggul dari tanah sebagai benteng Jarkoni, wawancara 28 September 2013. Markas Kebonjeruk
merupakan titik tengah pertahanan Belanda di Tengaran. Dari markas Kebonjeruk ke markas Senjoyo bisa ditempuh melalui jalan pedesaan ke
arah timur laut. Sedangkan dari markas Kebonjeruk ke pos penjagaan Belanda di Klero tinggal mengikuti jalan raya Solo-Semarang ke arah
Selatan. Dari markas Kebonjeruk ke tangsi Belanda di Setugur dapat melewati Desa Noborejo ke arah Barat.
Pada tanggal 13 Oktober 1947, pasukan infanteri Belanda yang bermarkas di Kebonjeruk, Tengaran bergerak ke Suruh. Total kekuatan
mereka sebanyak dua kompi dibantu sebuah tank dan dilindungi tiga buah pesawat dari udara. Mereka menyerang dua desa, salah satunya di Susukan
36 Barat Karanggede. Di sana mereka menyerang Masjid Petak Susukan.
Dari dua desa yang diserang tentara Belanda, jumlah korban meninggal dunia mencapai 89 orang karena dibantai oleh Belanda, dua diantaranya
masih bayi A.H. Nasution, VI, 1978: 169. Setelah menggempur Masjid Petak, pada tanggal 18 Oktober, markas Belanda di Kebonjeruk mendapat
tambahan personil dari Salatiga. Mereka diangkut dengan truk dan membawa sepucuk kanon A.H. Nasution, VI, 1978: 169. Kemudian pada
tanggal 25 Oktober, Belanda menghujani daerah Ampel dengan tembakan kanon dari Kebonjeruk A.H. Nasution, VI, 1978: 171.
Klero merupakan ladang pertempuran antara Belanda dan TNI. Berbeda dengan Belanda, sejak awal Agresi Militer I, TNI sudah terlebih
dahulu membuat pos pertahanan di Klero Selatan. Di sana TNI menempati rumah Kasah Rejo sebagai markas kompi Rustam dan pos
darurat PMI. Hampir setiap hari Belanda melakukan teror di Klero. Setiap kali meletus pertempuran di daerah ini, pejuang yang terluka dipikul ke
rumah Kasah Rejo. Salah satu korban pertempuran Klero pada akhir tahun 1947 adalah Sartimin. Di rumah Kasah Rejo, Sartimin hanya diberi
pertolongan pertama, setelah itu dia dibawa pergi ke daerah Republik yang lebih aman Jarkoni, wawancara 28 September 2013.
Untuk meneror kedudukan Belanda di Klero, Lettu Sumitro memimpin pertempuran langsung di sana. Lettu Sumitro tidak hanya
memimpin anggota TNI melainkan juga memimpin laskar-laskar non TNI di Tengaran. Selain menebar teror terhadap Pasukan Belanda di Klero, dia
37 juga mengadakan aksi teror terhadap Pasukan Belanda di Kebonjeruk
Jarkoni, wawancara 28 September 2013 dan Kusdi, wawancara 29 September 2013.
Akhir 1947, TNI menyerang markas Belanda di Kebonjeruk dengan menggunakan mortir dan brengun. Tetapi, tidak satupun Belanda
yang berani keluar dari markas tersebut. Sebelum subuh TNI sudah meninggalkan Kebonjeruk dan kembali ke markas Tegalrejo, namun
sebagian dari mereka mampir ke Dampit Klero. Selang beberapa hari pasca serangan ke Kebonjeruk, TNI yang sedang berkumpul di Klero
mendapat balasan dari Belanda. Belanda menembaki rumah Kasah Rejo yang dicurigai sebagai markas TNI. Melihat rumah Kasah Rejo kosong,
Belanda menghentikan tembakan. Lalu Belanda mengarahkan mulut pelontar mortirnya ke Dusun Dampit. Mortir-mortir yang dilontarkan dari
Utara Masjid Klero jatuh di sekitar dapur umum. Anggota TNI yang sedang makan siang dengan kolak gori buah nangka mentah berlari
cerai-berai tidak beraturan ke segala arah untuk menyelamatkan diri. Saat peristiwa itu berlangsung, dari pihak TNI tidak ada yang menjadi korban
Jarkoni, wawancara 28 September 2013. Masjid Klero yang hanya berjarak 5 meter dari rumah Kasah Rejo
tidak luput dari amukan Belanda. Masjid itu diberondong habis-habisan tetapi tidak sampai dirubuhkan oleh Belanda. Pohon pisang yang tumbuh
di sekitar masjid banyak yang tumbang dihajar peluru-peluru Belanda. Jarkoni yang kebetulan berlindung di dalamnnya selamat. Dia tiarap di
38 dalam masjid saat Belanda menyerbu. Peristiwa penyerangan Rumah
Kasah Rejo tidak berlangsung lama. Warga yang mendengar suara tembakan segera berlindung ke bawah kolong amben. Lantai di bawah
amben sudah mereka gali sebelum perang berlangsung untuk lubang persembunyian. Amben adalah meja berukuran besar yang difungsikan
sebagai tempat tidur. Selain menggali tanah di bawah amben, warga setempat juga membuat lubang persembunyian di depan rumah mereka.
Lubang dengan kedalaman rata-rata 2-3 meter tersebut, dibuat cekungan di salah satu dindingnya. Cekungan itulah yang berfungsi sebagai pelindung
ketika terjadi serangan kanon.
3. Periode Renville Masa Damai