POTRET PENDIDIKAN ANAK-ANAK PENGUNGSI
Sebuah Studi di Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo Jawa Timur
Oleh: Abd. Gafur, M.Ag
Staf Pengajar Staf LPM UIN Malang
Abstrak
This research aims to describe the forms of children education of Sambas Refugee West Kalimantan and Sampit Refugee Middle Kalimantan in Islamic Boarding House of
Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo. This research employs qualitative method, the data is got by observation, depth
interview and documentation. All data is noted as careful as possible and collected to become a field notes. Then its analysed qualitatively so that it produces thick description
by concerning on two perspectives emik and etik.
The results of this research are that the children of Sambas Refugee and Sampit Refugee are accomodated in Komplek Zainur Rahmah, Islamic Boarding House of Zainul
Hasan Genggong. They are, beside given the adequate facility living cost, scholarship, clothes, books and others, also educated through model of integrated education that is
Islamic education, formal education and spritual education.
I. PENGANTAR
Pondok pesantren adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan dan keagamaan yang diperkenalkan di pulau Jawa beberapa abad yang silam. Sejak kemunculannya
pesantren telah memainkan peran yang sangat besar terhadap perubahan masyarakat. Dilihat dari perspektif sistem pendidikan Islam Indonesia, pesantren merupakan
lembaga induk untuk mendidik dan memodernisasi masyarakat khususnya masyarakat pedesaan sehingga tidak segan-segan para peneliti menyebutnya sebagai agent of social
change. Menurut Ishom Hasdzik
1
terdapat tiga peran utama kehadiran pesantren di tengah- tengah masyarakat yaitu: 1 sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran; 2 sebagai
lembaga dakwah dan perjuangan; dan 3 sebagai lembaga pengabdian dan pemberdayaan masyarakat. Hal senada juga dikemukakan oleh Engking Suwarman, ia menyebutnya
dengan istilah Tri Dharma Pondok Pesantren yaitu: 1 Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt; 2 Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3 Pengabdian
kepada agama, masyarakat dan negara.
2
Ketiga fungsi tersebut sampai saat ini masih menjadi pedoman utama belasan ribu Pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia khususnya pesantren-pesantren
yang berada di bawah koordinasi Rabithah Maahid Islamiyah RMI dan organisasi Jamiyah Nahdlatul Ulama NU.
Salah satu pondok pesantren yang masih sangat konsist dengan penerapan ketiga fungsi di atas adalah Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo
Jawa Timur. Pondok ini dalam keseharianya, selain menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan serta menjalankan dakwah keagamaan Islam, juga
memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat, terbukti dengan adanya pelayanan, penampungan dan pemberian pendidikan secara cuma-cuma kepada sejumlah
anak yatim piatu, anak-anak yang ekonominya lemah serta anak-anak pengungsi Sambas Kalimantan Barat dan Sampit Kalimantan Tengah.
Secara historis, gagasan tentang apa yang disebut terakhir di atas yaitu penampungan terhadap anak-anak pengungsi di Pesantren Zainul Hasan Genggong
muncul setelah adanya laporan dan permintaan dari masyarakat serta melihat kondisi riil yang sangat memprihatinkan yang menimpa anak-anak pengungsi usia sekolah di kamp-
kamp pengungsian. Banyak dari anak-anak pengungsi usia sekolah yang seharusnya sekolah dan belajar dengan konsentrasi, tenang dan menyenangkan ternyata mereka harus
bekerja, mencari ikan di laut mengikuti jejak orang dewasa berlayar ke laut dengan upah Rp. 3.000hari sampai Rp.4.000hari, menjadi kuli bangunan, menjadi kernit angkutan
pedesaan, menjadi tukang batu dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat mempertahankan dan menopang hidupnya serta dapat melanjutkan pendidikannya. Memang, pemerintah
pusat dan pemerintah daerah setempat kala itu Bangkalan dan Sampang Madura dan daerah-daerah lain di wilayah Jawa Timur memberikan sumbangan sembilan bahan
pokok sembako kepada keluarga pengungsi dan memberikan kemudahan-kemudahan dalam pendidikan bagi anak-anak usia sekolah, tapi hal itu mendapat respon apriori dari
mereka, karena bantuan tersebut khususnya sembako hanya cukup dimakan untuk tujuh sampai sepuluh hari, sedangkan untuk hari-hari berikutnya mereka harus mencari nafkah
sendiri. Di sisi lain situasi dan kondisi lingkungan mereka yang penuh sesak dan tidak teratur membuat tempat tersebut tidak layak untuk dijadikan sebagai tempat tinggal.
Bagaimana mungkin anak-anak yang masih usia sekolah dapat belajar dan menerima
2
pelajaran dengan konsentrasi, sementara perut mereka keroncongan dan kondisi lingkungan yang tidak kondusif? Bagaimana mungkin mereka dapat sekolah dengan
tenang, sementara pikiran mereka dipenuhi oleh pikiran-pikiran untuk mencari uang dan bekerja? Sungguh ironis sekali, anak-anak yang masih usia sekolah harus menanggung
beban yang sangat berat yaitu disamping dituntut untuk melanjutkan pendidikan, juga dituntut untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya orang
dewasa.
3
Melihat kenyataan tersebut sejumlah mahasiswa Yogyakarta khususnya yang berasal dari etnis Madura atas inisiatif bersama mengambil langkah-langkah dengan cara
menemui para pimpinan pondok pesantren Zainul Hasan Genggong dan orang tua serta anak-anak pengungsi di kamp-kamp pengungsian. Setelah terjadi kesepakatan dari ketiga
unsurpihak itu, maka beberapa hari kemudian anak-anak pengungsi dikirim ke pesantren tersebut untuk ditampung dan diberikan pendidikan.
Kemudian yang menjadi persoalan adalah bagaimana bentuk pendidikan yang diberikan oleh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo
terhadap anak-anak pengungsi Sambas Kalimantan Barat dan Sampit kalimantan Tengah? adalah sebuah pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan ini.
II. METODE PENELITIAN