POTRET PENDIDIKAN ANAK ANAK PENGUNGSI

(1)

POTRET PENDIDIKAN ANAK-ANAK PENGUNGSI

(Sebuah Studi di Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo Jawa Timur)

Oleh: Abd. Gafur, M.Ag

Staf Pengajar & Staf LPM UIN Malang Abstrak

This research aims to describe the forms of children education of Sambas Refugee West Kalimantan and Sampit Refugee Middle Kalimantan in Islamic Boarding House of Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo.

This research employs qualitative method, the data is got by observation, depth interview and documentation. All data is noted as careful as possible and collected to become a field notes. Then its analysed qualitatively so that it produces thick description by concerning on two perspectives emik and etik.

The results of this research are that the children of Sambas Refugee and Sampit Refugee are accomodated in Komplek Zainur Rahmah, Islamic Boarding House of Zainul Hasan Genggong. They are, beside given the adequate facility (living cost, scholarship, clothes, books and others), also educated through model of integrated education that is Islamic education, formal education and spritual education.

I. PENGANTAR

Pondok pesantren adalah salah satu bentuk lembaga pendidikan dan keagamaan yang diperkenalkan di pulau Jawa beberapa abad yang silam. Sejak kemunculannya pesantren telah memainkan peran yang sangat besar terhadap perubahan masyarakat. Dilihat dari perspektif sistem pendidikan Islam (Indonesia), pesantren merupakan lembaga induk untuk mendidik dan memodernisasi masyarakat (khususnya masyarakat pedesaan) sehingga tidak segan-segan para peneliti menyebutnya sebagai agent of social change.

Menurut Ishom Hasdzik1 terdapat tiga peran utama kehadiran pesantren di

tengah-tengah masyarakat yaitu: 1) sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran; 2) sebagai lembaga dakwah dan perjuangan; dan 3) sebagai lembaga pengabdian dan pemberdayaan masyarakat. Hal senada juga dikemukakan oleh Engking Suwarman, ia menyebutnya dengan istilah "Tri Dharma Pondok Pesantren" yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat dan negara.2


(2)

Ketiga fungsi tersebut sampai saat ini masih menjadi pedoman utama belasan ribu Pondok pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia khususnya pesantren-pesantren yang berada di bawah koordinasi Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) dan organisasi Jam'iyah Nahdlatul Ulama' (NU).

Salah satu pondok pesantren yang masih sangat konsist dengan penerapan ketiga fungsi di atas adalah Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo Jawa Timur. Pondok ini dalam keseharianya, selain menyelenggarakan dan mengembangkan pendidikan serta menjalankan dakwah keagamaan (Islam), juga memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat, terbukti dengan adanya pelayanan, penampungan dan pemberian pendidikan secara cuma-cuma kepada sejumlah anak yatim piatu, anak-anak yang ekonominya lemah serta anak-anak pengungsi Sambas Kalimantan Barat dan Sampit Kalimantan Tengah.

Secara historis, gagasan tentang apa yang disebut terakhir di atas yaitu penampungan terhadap anak-anak pengungsi di Pesantren Zainul Hasan Genggong muncul setelah adanya laporan dan permintaan dari masyarakat serta melihat kondisi riil yang sangat memprihatinkan yang menimpa anak-anak pengungsi usia sekolah di kamp-kamp pengungsian. Banyak dari anak-anak pengungsi usia sekolah yang seharusnya sekolah dan belajar dengan konsentrasi, tenang dan menyenangkan ternyata mereka harus bekerja, mencari ikan di laut (mengikuti jejak orang dewasa berlayar ke laut dengan upah Rp. 3.000/hari sampai Rp.4.000/hari), menjadi kuli bangunan, menjadi kernit angkutan pedesaan, menjadi tukang batu dan pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat mempertahankan dan menopang hidupnya serta dapat melanjutkan pendidikannya. Memang, pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat kala itu (Bangkalan dan Sampang Madura dan daerah-daerah lain di wilayah Jawa Timur) memberikan sumbangan sembilan bahan pokok (sembako) kepada keluarga pengungsi dan memberikan kemudahan-kemudahan dalam pendidikan bagi anak-anak usia sekolah, tapi hal itu mendapat respon apriori dari mereka, karena bantuan tersebut khususnya sembako hanya cukup dimakan untuk tujuh sampai sepuluh hari, sedangkan untuk hari-hari berikutnya mereka harus mencari nafkah sendiri. Di sisi lain situasi dan kondisi lingkungan mereka yang penuh sesak dan tidak teratur membuat tempat tersebut tidak layak untuk dijadikan sebagai tempat tinggal. Bagaimana mungkin anak-anak yang masih usia sekolah dapat belajar dan menerima


(3)

pelajaran dengan konsentrasi, sementara perut mereka keroncongan dan kondisi lingkungan yang tidak kondusif? Bagaimana mungkin mereka dapat sekolah dengan tenang, sementara pikiran mereka dipenuhi oleh pikiran-pikiran untuk mencari uang dan bekerja? Sungguh ironis sekali, anak-anak yang masih usia sekolah harus menanggung beban yang sangat berat yaitu disamping dituntut untuk melanjutkan pendidikan, juga dituntut untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana layaknya orang dewasa.3

Melihat kenyataan tersebut sejumlah mahasiswa Yogyakarta khususnya yang berasal dari etnis Madura atas inisiatif bersama mengambil langkah-langkah dengan cara menemui para pimpinan pondok pesantren Zainul Hasan Genggong dan orang tua serta anak-anak pengungsi di kamp-kamp pengungsian. Setelah terjadi kesepakatan dari ketiga unsur/pihak itu, maka beberapa hari kemudian anak-anak pengungsi dikirim ke pesantren tersebut untuk ditampung dan diberikan pendidikan.

Kemudian yang menjadi persoalan adalah bagaimana bentuk pendidikan yang diberikan oleh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo terhadap anak-anak pengungsi Sambas Kalimantan Barat dan Sampit kalimantan Tengah? adalah sebuah pertanyaan yang akan dibahas dalam tulisan ini.

II. METODE PENELITIAN

1. Lokasi Penelitian

Anak-anak pengungsi etnis Madura yang menjadi korban tragedi Sambas dan Sampit dapat dijumpai di beberapa tempat di pulau Jawa dan Madura. Akan tetapi karena beberapa pertimbangan, khususnya masalah dana dan waktu, maka penelitian ini hanya difokuskan pada anak-anak pengungsi yang ditampung di Pesantren Zainul Hasan Genggong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo, Pertimbangan memilih

kabupaten ini, karena pesantren tersebut dekat dengan daerah kelahiran peneliti sehingga diharapkan peneliti mendapat kemudahan dalam segala hal yang terkait dengan penelitian tersebut.

2. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kwalitatif,4dimana kajian ini diupayakan

mendasar, mendalam, berorientasi pada proses, studi di atas kasus tunggal, serta


(4)

kasus.5Sedangkan untuk menjelaskan data yang sudah terkumpul dengan didasarkan pada

teori-teori yang merupakan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, maka digunakan kajian kepustakaan (library research), hal ini digunakan untuk mempermudah dalam menguraikan data yang sudah terkumpul di lapangan.

3. Teknik Pengambilan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah anak-anak pengungsi yang ditampung di Pesantren Zainul Hasan Genggong Kecamatan Pajarakan kabupaten Probolinggo.

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan pada metode purposif sampling, yaitu sampel yang dipilih dengan cermat dan relevan dengan desain penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data a. Metode Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang diteliti.6 Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang

sistem atau pola pendidikan, baik di lingkungan formal maupun non-formal. b. Metode Interview

Metode Interview adalah metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak dan dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada tujuan penelitian.7 Metode interview di sini dilakukan dengan cara mendatangi para

informan yang berada di komplek pengungsi, tegasnya di pesantren Zainul Hasan Genggong kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo. Informasi-informasi dari informan tersebut kemudian dikembangkan untuk menggali informan-informan lain sehingga informasi tentang pendidikan anak-anak pengungsi bergulir semakin lengkap (snow ball).

c. Metode Dokumentasi

Metode ini digunakan untuk mendapatkan data komplementer tentang profil komplek atau tempat anak-anak pengungsi, jumlah anak-anak pengungsi usia sekolah dan segala hal yang berhubungan dengan anak-anak pengungsi Sambas dan Sampit yang terdokumentasikan.

5. Teknik Analisa Data

Maksud dari analisa adalah proses pemisah-misahan materi (data) penelitian yang telah terkumpul ke dalam satuan-satuan, elemen-elemen atau unit-unit. Data


(5)

yang diperoleh disusun dalam satuan-satuan yang teratur dengan cara meringkas dan memilih, mencari sesuai tipe, kelas , urutan, pola atau nilai yang ada.

Seluruh data dari informan, baik melaui observasi, interview, maupun dokumentasi dicatat secermat mungkin dan dikumpulkan menjadi suatu catatan lapangan atau field notes. Selama informan tidak keberatan, maka dalam pelaksanaan wawancara, semua pembicaraan direkam dengan menggunakan alat perekam atau tape recorder. Semua data itu kemudian dianalisis secara kualitatif sehingga menghasilkan suatu thickdescription, dengan memperhatikan dua perspektif emik dan etik.

III. KONSEP PENDIDIKAN ANAK PENGUNGSI a. Konsep Pendidikan Secara Umum

Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia.8

Semua anak bangsa termasuk anak-anak pengungsi mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan dilindungi oleh undang-undang baik undang-undang negara maupun undang-undang agama.

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” dan “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.”9

Berdasarkan undang-undang di atas, maka kebijakan tersebut mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Pembangunan bangsa dan watak negara dimulai dengan menbangun subyek manusia Indonesia seutuhnya sebagai perwujudan manusia pancasila. Tipe kepribadian ini menjadi cita-cita pembangunan bangsa dan watak bangsa yang menjadi tanggung jawab semua warga negara untuk mewujudkannya.

2. Pembagunan manusia Indonesia seutuhnya secara khusus merupakan tanggung jawab lambaga dan usaha pendidikan nasional untuk mewujudkan melalui lembaga-lembaga pendidikan, karena itu konsepsi manusia seutuhnya merupakan konsepsi dasar tujuan pendidikan nasional Indonesia.10


(6)

Prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam diktum ini cukup mendasar dan luas yakni meliputi:

1. Asas pendidikan seumur hidup berlangsung seumur hidup sehingga peranan subyek manusia untuk mendidik dan mengembangkan diri sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia.

2. Lembaga pelaksana dan wahana pendidikan meliputi:

a. Dalam lingkungan rumah tangga (keluarga) sebagai unit masyarakat pertama dan utama

b. Dalam lingkungan sekolah sebagai pendidikan formal; dan

c. Dalam lingkungan masyarakat sebagai lembaga dan lingkungan pendidikan non-formal sebagai wujud kehidupan yang wajar

Lembaga penanggung jawab pendidikan mencakup kewajiban dan kerjasama ketiga lembaga yang wajar dalam kehidupam yaitu; lembaga keluarga, lembaga sekolah dan lembaga masyarakat.11

Ini berarti bahwa setiap manusia Indonesia diharapkan untuk selalu berkembang sepanjang hidupnya dan di lain pihak masyarakat dan pemerintah diharapkan untuk dapat menciptakan situasi yang menantang untuk belajar. Prinsip ini berarti bahwa masa sekolah bukanlah satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar, melainkan hanya sebagian dari waktu belajar yang akan berlangsung seumur hidup.12

Sebenarnya konsep pendidikan seumur hidup (life long education) telah lama muncul dalam sejarah pendidikan yaitu sejak Rasulullah menggulirkan hadits “carilah ilmu itu sejak dari buaian (ibu) sampai meninggal dunia”,13akan tapi baru populer pada

tahun 1970-an yaitu sejak terbitnya buku Paul Lengrend “An Introduction to Life long Education’.14

Jadi konsep pendidikan seumur hidup dimaksudkan adalah terjadinya proses pendidikan (pembelajaran) secara terus-menerus dari bayi sampai mati yang dilaksanakan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

2. Konsep Pendidikan Pesantren

Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat Muslim di Indonesia.15


(7)

Istilah pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Kata santri menurut Prof. Johns adalah berasal dari bahasa tamil yang berarti “guru mengaji’ sementara menurut CC. Berg istilah santri berasal dari bahasa India “shastri” yang berati orang yangb tahu kitab-kitab suci agama-agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama-agama Hindu.16

Perbedaan pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya adalah para santri atau murid tinggal bersama dengan kyai atau guru mereka dalam satu komplek tertentu yang mandiri sehingga dapat menimbulkan kekhasan pesantren seperti adanya hubungan yang akrab antara santri dan kyai, santri taat dan patuh pada kyainya, para santri hidup mandiri dan sederhana, adanya semangat gotong royong dalam suasana penuh persaudaraan dan para santri terlatih hidup disiplin dan terikat.17

Secara umum, pesantren biasanya dicirikan oleh lima elemen dasar yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dan berada dalam komplek tersendiri yaitu pondok (asrama), masjid (tempat ibadah/belajar), kitab kuning (materi yang diajarkan), santri (peserta didik) dan kyai (pendidik).

c. Konsep Pendidikan Bagi Anak Pengungsi

Pendidikan bagi anak-anak pengungsi dimanapun berada, tidak bisa dibatasi pada konteks formalitas belaka, tetapi melalui pemahaman yang komprehensif terhadap kultur yang dimiliki, agama yang dianut, bahasa yang dipakai dan kebutuhan serta tuntutan pengungsi yang bersangkutan, sehingga diperoleh suatu platform atau konsep pendidikan yang sesuai dengan keadaan mereka dan bisa diimplementasikan secara tepat.

Salah satu kasus yang patut dijadikan sample dalam implementasi konsep pendidikan yang berdasarkan pada kultur dan tuntutan masyarakat pengungsi adalah pelaksanaan pendidikan pengungsi Afghanistan di Pashawar Pakistan. Mereka ini (penduduk Afghanistan) secara historis merupakan korban dari konflik yang berkepanjangan baik konflik antar suku maupun konflik dengan bangsa lain (seperti Uni Soviet). Realitas menyatakan bahwa mereka selama 22 sampai 23 tahun tidak dapat mengenyam pendidikan sebagaimana layaknya, oleh karena itu, mereka harus mengungsi ke negara tetangga yaitu Pakistan, dengan tujuan untuk menghindari peperangan dan memperolah pendidikan yang lebih sesuai dengan harapannya.


(8)

Dalam mendidik pengungsi Afghanistan ini, pemerintah setempat (Pakistan) selain memberikan pendidikan formal, juga memberikan keleluasaan kepada lembaga-lembaga swasta lintas negara seperti IRC, ACBAR, BEFAR, REACH dan lain lain untuk memberikan pendidikan pada para pengungsi menurut caranya masing-masing sesuai dengan konsep yang ingin diimplementasikan oleh lembaga tersebut, IRC misalnya, membentuk FEP (Female Education Programe) yang berorientasi pada pendidikan khusus kaum hawa dan School Adolescent yaitu pendidikan yang dikhususkan bagi para pemuda atau pengungsi yang sudah dewasa. REACH (Radio Education For Afghan Children) memberikan pendidikan dalam bentuk pemberian informasi lewat radio. Pendidikan ini dilakukan setiap seminggu sekali dengan materi antara lain: Afghanistan's diverse traditions, its culture and history, as well as covering present day concerns such as mine awareness and education.18

IV. HASIL PENELITIAN

A. Penampungan Anak-anak Pengungsi

Anak-anak pengungsi Sambas Kalimantan Barat dan Sampit kalimantan Tengah ditampung di sebuah komplek (asrama santri) yang bernama komplek Zainur Rahmah. Dalam komplek tersebut mereka tinggal dalam beberapa kamar. Para santri putra dikumpulkan sesama santri putra dan santri putri dikumpulkan dengan sesama santri putri. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari para santri hanya boleh bergaul dengan sesama jenisnya, tidak boleh bergaul dengan lain jenis, hal ini karena bergaul atau berhubungan dengan lain jenis (santri putra dan santri putri) dilarang oleh agama Islam. Banyaknya penghuni pada tiap-tiap kamar bervariasi tergantung pada kebijakan pengurus dan selera santri sendiri, paling sedikit tujuh sampai delapan orang dan paling banyak sepuluh sampai lima belas orang.

Para santri yang belajar dan ditampung di komplek tersebut berasal dari tiga unsur yaitu: 1) anak yang tidak punya orang tua (yatim piatu), 2) anak yang (orang tuanya) tidak mampu secara ekonomi, dan 3) anak yang menjadi korban kerusuhan konflik horisontal (sosial) yaitu konflik Sambas Kalimantan Barat dan Sampit Kalimantan Tengah. Mereka juga berasal dari tingkat pendidikan yang berbeda-beda. Hal ini dimaksudkan, bila para santri tersebut digabung-gabungkan dalam satu kamar tanpa memandang latar belakang masing-masing santri, maka hal ini akan banyak manfaatnya


(9)

bagi para santri tersebut dalam rangka meningkatkan rasa solidaritas dan mengembangkan wawasan sosial dan budaya mereka

B. Bentuk-Bentuk Pendidikan Anak-Anak Pengungsi

Pendidikan anak-anak pengungsi di Pesantren Zainul Hasan adalah pendidikan terpadu, pendidikan ini bukan hanya pendidikan yang berorientasi pada kognitif atau mengisi otak anak dengan ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum semata, melainkan juga pendidikan hati yang dilakukan melalui praktik/pengamalan ilmu (yang kemudian dikenal dengan istilah riyadlah). Dalam pendidikan yang berorientasi pada kognitif dilaksanakan dalam bentuk pengajian-pengajian, pendidikan diniyah klasikal dan pendidikan sekolah melalui beberapa metodenya yang terkenal yaitu: metode weton, metode bandongan, metode ceramah, metode hafalan dan sebagainya, sedangkan dalam pendidikan hati (rohani) dilaksanakan dalam bentuk pemberian bacaan-bacaan Al qur’an, wirid dan pengamalan ilmu-ilmu syari’ah dalam kehidupan sehari-hari. Dari praktek keseharian (ilmu syariah dan thariqat) inilah, maka anak-anak pengungsi yang merupakan sub dari masyarakat Pesantren Zainul Hasan terbentuk model kehidupan masyarakat tersendiri yang berbeda dengan masyarakat di luar pesantren.

Berangkat dari sekilas uraian di atas, maka pendidikan anak-anak pengungsi di Pesantren Zainul Hasan dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu: Pendidikan pesantren, pendidikan sekolah, dan pendidikan hati.

1. Pendidikan Pesantren Bagi Anak-Anak Pengungsi

Pendidikan pesantren yang dimaksud adalah suatu bentuk pendidikan tradisional yang melibatkan kiai atau ustadz (sebagai pendidik) dan anak-anak pengungsi (sebagai santri/peserta didik) dalam suatu interaksi edukatif di musholla/masjid dengan materi dan metode klasik (tradisional).

Pendidikan ini sebagaimana pendidikan pesantren lainnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa unsur utama yaitu: santri, kiai atau ustadz, pengajaran kitab kuning dan Al qur'an, masjid atau musholla sebagai tempat berlangsungnya pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal anak-anak pengungsi/santri. Untuk lebih lengkapnya berikut ini akan diuraikan secara spesifik beberapa elemen pesantren di atas.


(10)

Pada mulanya anak-anak yang menjadi korban konflik Sambas dan Sampit ini berstatus sebagai anak-anak pengungsi, tapi setelah mereka ditampung di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong status mereka secara otomatis berubah menjadi santri (dalam bahasa Madura disebut santre'h) sebagaimana layaknya predikat yang disandang oleh anak-anak lain yang belajar di tempat tersebut.

Kata "santri" di dalam berbagai referensi diartikan sebagai orang yang mencari ilmu agama Islam di pesantren, baik yang menetap maupun tinggal di rumahnya masing-masing.19 sedangkan di pesantren ini, kata "santri" tidak sesederhana itu, melainkan

sebuah singkatan yang mempunyai makna khusus yang harus dipegang teguh dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

S = Sopan Santun artinya para santri harus mempunyai prilaku atau akhlak yang baik A = Ajeg atau Istiqamah artinya setiap santri harus memiliki sikap yang teguh pendirian,

tetap beramal shalih dan disiplin dalam menjalankan ritual keagamaan seperti shalat pada waktunya dengan berjama’ah.

N = Nasihat artinya semua santri harus mendengarkan dan melaksanakan segala nasihat yang terkandung dan diajarkan dalam agama Islam.

T = Taqwallah artinya setiap santri harus menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah

R = Ridlallah artinya setiap santri Pesantren Zainul Hasan di dalam melakukan aktivitas kesehariannya khususnya yang bersifat ritual, harus selalu diiringi dengan (niat atau tujuan) mencari keridlaan Allah.

I = Ikhlash lillahi ta’ala artinya bahwa segala perbuatan santri Pesantren Zainul Hasan Genggong (khususnya yang bersifat ritual) harus selalu didasari oleh jiwa yang ikhlas-karena Allah ta’ala semata-bukan karena orang lain atau lainnya.

b. Kurikulum

Telah dijelaskan di muka bahwa Pesantren Zainul Hasan menyelenggarakan tiga jenis pendidikan yaitu: pendidikan pesantren (tradisional) dan pendidikan formal (modern) dan pendidikan hati. Jenis pendidikan pesantren yang bersifat non formal, hanya mempelajari ilmu agama (Islam) yang bersumber pada kitab-kitab salaf (kitab gundul) dan tulis baca Al-qur'an, pendidikan formal menggunakan kurikulum campuran yaitu kurikulum pesantren, kurikulum Depag dan kurikulum Depdiknas sedangkan


(11)

pendidikan hati tidak ada kurikulum yang baku tapi pada prakteknya mengacu pada pengamalan Al qur’an, Al Hadits dan Kitab Klasik melalui ijazah dari seseorang yang dianggap dekat dengan Allah swt.

Terkait dengan kurikulum pendidikan pesantren dapat dikemukakan bahwa pendidikan tersebut berdasarkan pada tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab yaitu: tingkat rendah, tingkat menengah dan tingkat lanjut. Untuk tingkat rendah kebanyakan diikuti oleh santri yang sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum, untuk tingkat menengah diikuti oleh santri yang sekolah Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, sedangkan untuk tingkat tinggi kebanyakan diikuti oleh santri yang belajar di Madrasah Aliyah dan Perguruan Tinggi, tapi semua itu tergantung pada kemampuan dan kemauan santri yang bersangkutan, hal itu karena yang mengetahui kemampuan dan memiliki kemauan adalah masing-masing santri yang dimaksud.

Sedangkan di komplek Zainur Rahmah sebagai sub atau bagian dari Pesantren Zainul Hasan secara umum mengikuti program atau kurikulum yang ada di pesantren induk (Pesantren Zainul Hasan), namun demikian, pengurus komplek secara khusus membuat program dan jadwal kegiatan/pengajian tersendiri, hal itu dapat dilihat pada kolom sebagai berikut:

TABEL I

Kurikulum Pendidikan Pesantren Bagi Anak-Anak Pengungsi

MALAM SANTRI PUTRA SANTRIPUTRI

BA’DA BA’DA

MAGHRIB

MAGHRIB ISYA’ SUBUH

Senin Al Qur’an Diba’iyah Istighasah Hadits

Selasa Al Qur’an Tahlil Kuliah

Shubuh

Kaligrafi

Rabu Al Qur’an Bhs. Arab Istighasah Tajwid

Kamis Al Qur’an Kitab Ta’lim Istighasah Bhs. Arab

Jum’at Jama’ah

di Masjid* Tajwid KhatmilQur’an Jurmiyah

Sabtu Al Qur’an Dekorasi Istighasah Kitab Ta’lim

Ahad Al Qur’an Khitobah Kuliah

Shubuh Fathul Qarib

Keterangan:


(12)

* Masjid yang dimaksud adalah Masjid Al Barakah (masjid yang berada di tengah-tengah Pesantren Zainul Hasan Genggong

Kurikulum di atas, dibuat dan diberlakukan bagi anak-anak pengungsi yang pendidikannya pada tingkat dasar, sedangkan bagi anak-anak pengungsi yang pendidikannya menengah (setingkat MTs) dan tinggi (setingkat MA), maka diberi kebebasan untuk belajar atau mengaji di pondok induk (Masjid Barokah) bersama santri-santri lain yang bukan pengungsi.20

c. Metode Pengajaran

Salah satu elemen penting dalam pendidikan pesantren adalah adanya metode/cara penyajian materi pelajaran yang khas dan masih tradisional, yaitu metode bandongan. Metode ini adalah sebuah metode dimana seorang kiai atau ustadz (sebagai badal kiai) membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab dengan dikerumuni olah sejumlah santri, masing-masing santri memegang kitabnya sendiri, mendengar dan mencatat makna yang disampaikan kiai di bawah setiap lafadz atau kalimat dengan tulisan miring, sedangkan keterangannya ditulis di pinggir kitab itu atau pada lembaran lain. Jumlah santri tidak dapat ditentukan dengan pasti, namun merupakan suatu kalompok dihadapan atau di sekeliling penyaji materi. Sedangkan metode sorogan adalah santri menyodorkan sebuah kitab kepada kiai, kemudian kiai atau ustadz memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, dan apabila telah meningkat, juga tentang makna dan tafsirnya lebih mendalam. Metodik ini diakui paling intensif karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab secara langsung.

Demikian halnya dengan pendidikan pesantren bagi anak-anak pengungsi di komplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan Genggong, metode yang dipakai dalam penyajian kitab kuning adalah metode bandongan, selain itu juga digunakan metode hafalan, metode demonstrasi dan metode halaqah dan metode-metode lain sesuai dengan materi palajaran yang telah ditentukan.

TABEL.II

Spesifikasi Materi Dan Metode Pengajaran

Di Komplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan

Materi Metode

Al qur'an Diba'iyah

Halaqah Demonstrasi


(13)

Tahlil Bhs. Arab

Ta'lim al muta'allim Fathul Qarib Al Jurumiyah Hadits Tajwid Kaligrafi Dekorasi Khatmil Qur'an Istighatsah Khitabah Kuliah Subuh Hafalan

Hafalan dan Demonstrasi Bandongan Bandongan Bandongan Bandongan Bandongan Drill Drill

Demonstrasi dan Halaqah Demonstrasi

Ceramah Ceramah

Melihat tabel di atas, maka dapat dijelaskan di sini bahwa metode atau cara penyampaian materi kepada santri di komplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan Genggong bermacam-macam sesuai dengan materi yang akan disampaikan, yaitu:

1. Metode Bandongan, metode ini adalah metode mengajar dengan sistem ceramah, kiai membacakan kitab, menerjemahkan dan menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab, sedangkan santri menyimak dan membuat catatan di pinggir kitab

2. Metode Halaqah maksudnya para santri membuat suatu lingkaran kecil 5-10 orang, kemudian satu di antara mereka membacakan materi (biasanya membaca Al qur'an dan sholawat) sementara yang lain menyimaknya dengan seksama, sesekali para santri yang menyimak memberikan teguran jika ada kesalahan dari pembaca, demikian cara ini dilakukan secara bergiliran.

3. Metode Hafalan adalah suatu metode yang digunakan untuk melatih daya ingat. Metode ini biasanya digunakan untuk materi yang bernadzam/syi'iran, surat-surat pendek dalam Al qur'an, bacaan-bacaan Arab pendek seperti kalimat istighfar, tahlil, tahmid, istighasah dan lain-lain.

4. Metode Ceramah adalah suatu cara penyampaian materi kepada santri dengan cara seorang ustadz (atau santri yang menjadi penceramah) memberikan penjelasan atau uraian materi secara lisan di depan para santri dengan panjang lebar, sedangkan para santri mendengarkan dan menulis apa yang dijelaskan oleh penceramah

5. Metode Demontrasi adalah suatu penyampaian materi dengan mempraktekkan di depan santri atau cara pengajaran yang memerlukan alat bantu tertentu agar ilmu yang disampaikan dapat segera difahami oleh santri. Santri tidak hanya mendengar, tetapi


(14)

juga melihat mutu proses yang diperagakan seperti demo membaca Al qur'an, membaca diba'iyah yang benar dan lain-lain.

2. Pendidikan Formal Bagi Anak-Anak Pengungsi

Pendidikan formal yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Zainul Hasan dibagi menjadi dua yaitu madrasah dan sekolah umum. Pendidikan madrasah yang telah diselenggarakan meliputi: TK, MI, MTs, MA dan MA Model. Sedangkan pendidikan umum meliputi: SD, SMP, SMA dan SMU Unggulan. Di samping itu, juga

diselenggarakan pendidikan tinggi yang meliputi: Akper, STAI, STIH, PGTK dan PGSD. Sama halnya dengan para santri lain yang belajar di Pesantren Zainul Hasan Genggong, anak-anak pengungsi yang ditampung di tempat ini juga diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan formal (sekolah atau madrasah), malah pendidikan yang satu ini diwajibkan oleh pimpinan pondok dengan alasan demi masa depan mereka.

Pendidikan yang disediakan bagi anak-anak pengungsi disesuaikan dengan usia anak dan jenjang pendidikan mereka sebelum ditampung di pesantren ini atau atas dasar keinginan anak sendiri. Namun demikian, kenyataanya lain bahwa usia mereka lebih tua dari tingkat pendidikan yang semestinya, bahkan ada anak yang seharusnya belajar di tingkat SMU kelas akhir atau usia kuliah (umur 19 tahun), sementara ia masih duduk/belajar di tingkat MTs. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yaitu: 1) kurikulum pendidikan formal (seperti MI, MTs dan Aliyah) di pesantren Zainul Hasan termasuk ketegori tingkat tinggi, bila dibandingkan dengan pendidikan agama yang setingkat; dan 2) Anak-anak pengungsi memasuki pendidikan formal yang tidak sejurusan dengan pendidikan sebelumnya; 3) Pendidikan anak-anak pengungsi sebelumnya, tingkat prosentase pelajaran agamanya lebih rendah dari pendidikan sekarang yang akan/sedang ditempuh.

Beasiswa Bagi Anak Pengungsi

Anak-anak pengungsi yang menempuh studi di pendidikan formal Pesantren Zainul Hasan Genggong adalah tergolong anak-anak yang secara ekonomi kurang/tidak mampu dan pendidikannya terancam putus sehingga karenanya mereka diberi pendidikan gratis dan beasiswa. Kedua program ini khususnya program beasiswa, pada hakekatnya merupakan salah satu bentuk program yang ditempuh oleh beberapa pihak yang ingin


(15)

menyelamatkan pendidikan anak usia sekolah, pada tahun 2002-2004 mereka mendapat bantuan/beasiswa dari pemerintah pusat, pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur (dan Pemerintah Daerah Tingkat II Probolinggo) dan bantuan dari Jepang. Pemerintah pusat melaksanakan programnya melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Program Konpensasi Pengurangan Subsidi-Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) atau yang lebih dikenal dengan istilah BKM (Bantuan Khusus Murid), sedangkan Pemerintah Dati I Jawa Timur dan Pemerintah Dati II Probolinggo melalui program Dana Bantuan Minimal untuk pembebasan SPP bagi anak usia sekolah dan bantuan Jepang malalui Program Hibah Jepang untuk maksud yang sama seperti di atas. Ketiga program ini intinya adalah agar siswa pada tingkat dasar dan menengah, yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu dapat mambiayai keperluan sekolahnya sehingga:

1. Siswa tidak putus sekolah akibat kasulitan ekonomi;

2. Siswa mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk terus sekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya;

3. Siswa khususnya perempuan dapat menyelesaikan pendidikan sekurang-kurangnya sampai dengan jenjang sekolah lanjutan pertama.21

Jumlah dana yang diberikan kepada siswa bervariasi berdasarkan jenjang pendidikan anak. Untuk MI (dan yang sederajat) adalah sebagai berikut: a) Pemerintah Pusat sebesar Rp. 10.000/bulan/anak, Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Pemda Probolinggo sebesar Rp.15.000/bulan/anak, dan c) Pemerintah Jepang sebesar Rp. 10.000/bulan/anak. Sedangkan untuk tingkat MTs dan MA dan yang sederajat adalah sebesar Rp.20.000/bulan/anak untuk tingkat MTs dan Rp.25.000/bulan/anak untuk tingkat MA.

Selain itu, demi kelangsungan kehidupan anak-anak pengungsi, pengasuh/pengurus pesantren menyediakan sarana dan pra-sarana yaitu segala bentuk fasilitas, baik fasilitas yang terkait dengan kebutuhan sehari hari seperti biaya makan, biaya pondok, biaya sekolah, seragam sekolah dan lain lain, maupun yang terkait dengan fasilitas fisik seperti kamar tidur, masjid, aula dan lain-lain.

Menurut keterangan salah seorang santri (anak pengungsi Sampit), setiap santri yang ada di komplek ini diberi makan tiga kali sehari (yang dimasakkan oleh juru masak), uang saku sebesar Rp. 10.000 per bulan, seragam sekolah tiga stel, buku, kitab


(16)

dan alat-alat sekolah lainnya, kopiyah putih satu buah, sarung, baju untuk sholat, biaya untuk pondok atau kamar gratis, sekolah gratis dan biaya-biaya lain ditiadakan.

Sedangkan sarana fisik terdiri dari: 1 buah musholla yang diberi nama Mushalla Zainur Rahmah dengan ukuran 10x10 m2 dan dapat menampung sekitar 100 santri, 1

ruang kantor, 1 ruang auditorium, 1 gedung memanjang dengan ukuran 7x 20 m2 untuk

tempat tinggal santri yang terdiri dari 8 kamar, masing-masing memiliki kapasitas 7-15 orang, 6 kamar mandi, 3 kamar toilet, 1 gedung dapur untuk tempat memasak (semua santri dimasakkan oleh beberapa juru masak), satu gedung garasi, dan satu gedung CV.

Untuk memenuhi kebutuhan keseharian di atas, pesantren bekerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti Departemen Sosial, Darmais (yayasan milik keluarga mantan presiden Soeharto) dan pihak-pihak lain yang memberikan sumbangan secara sukarela dan tidak mengikat. Sedangkan untuk pemenuhan sarana fisik, pesantren juga mengadakan usaha-usaha yang sah dan halal seperti mendirikan perseroan atau CV, menerima bantuan dari para alumni pesantren Zainul Hasan, simpatisan pesantren dan lain-lain.

3. Pendidikan Hati (Ruhani)

Pendidikan ruhani maksudnya adalah bentuk pendidikan (amaliah batin) yang mengajarkan bagaimana anak didik atau santri melatih dan memperbaiki hatinya. Hal ini berbeda dengan kedua pendidikan sebelumnya yang lebih berorientasi pada pengetahuan atau kognitif anak dan amal lahir, sedangkan pendidikan ini lebih berorientasi pada aspek batin.

Bagi anak-anak pengungsi yang mondok di pesantren ini, selain harus mengamalkan ilmu-ilmu lahir/syari’at (seperti shalat dan puasa) yang didapat, juga diajarkan ilmu batin ini melalui pengamalan dzikir atau bacaan-bacaan tertentu dengan jumlah bacaan tertentu pula, tujuannya secara umum adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, sedangkan tujuan secara khusus adalah tergantung pada faedah atau fungsi dari masing-masing bacaan atau dzikiran.

Berdasarkan penelitian penulis melalui observasi dan wawancara dengan sejumlah pengurus dan anak-anak pengungsi, bacaan-bacaan dzikir yang diamalkan santri adalah: a.Istighfar (Astaghfirullah al adzim alladzi la ilaha illa huwa…..) 3 x


(17)

c.Al Ikhlas (Qul huwa Allahu ahad ……) 3 x d.Al Falaq (Qul A'udzu birabbil falaq … ) 1 x e.Al Naas (Qul A'udzu birabbi al naas …) 1 x

f.Ayat Kursi (Wa ilahukum ilahun wahidun la ilaha illa huwa al rahmaanu rahim…….

Wasi'a kursiyyuhu al samawati …..) 1 x g.Tasbih (Subhanallah) 33 x

h.Tahmid (Al hamdulillah) 33 x i.Takbir (Allahu Akbar) 33 x j.Tahlil (La Ilaha Illallah) 100 x k.Do'a

Bacaan-bacaan dan jumlah hitungannya di atas diambilkan dari sumber-sumber naqli yang rajih (kuat), dan dibaca bersama-sama (dengan mengeraskan dan kadangkala tanpa suara) pada setiap selesai shalat fardlu yaitu Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh. Menurut Syekh Muhyiddin dalam kitab "Al Adzkar" sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa berdzikir dengan mengeraskan suara merupakan tradisi yang terjadi sejak pada masa Rasulullah saw. Adapun maksud dari pengerasan suara tersebut adalah untuk mengajarkan kepada para makmum, dan apabila para makmum sudah faham, maka suaranya direndahkan.22

Setiap bacaan diyakini mempunyai fungsi dan faedah yang sangat besar , baik yang dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung, Allah swt. secara tegas di dalam al Qur'an menyatakan bahwa dengan berdzikir (ingat) kepada Allah swt. akan membuat hati si pembaca menjadi tenang sebagaimana firman Allah swt:

Artinya: "Ketahuilah bahwa dengan berdzikir (ingat atau menyebut-nyebut) Allah swt akan menenangkan hati…"

Oleh sebab itu, pemberian amalan dzikir (ingat kepada Allah) adalah sangat relevan dan sangat membantu terhadap kesembuhan anak-anak pengungsi yang sedang mengalami goncangan jiwa, kehampaan, keputus-asaan, tidak percaya diri, selalu berfikir pesimis, trauma dan gangguan-gangguan jiwa lain akibat perang antar etnis dan akibat pengungsian besar-besaran pasca konflik, sehingga mereka secara perlahan dan bertahap dapat berfikir secara positif, optimis dan menemukan jati dirinya seperti semula.


(18)

Memang, pendidikan hati bagi anak-anak pengungsi sangat diperlukan sebab hati atau dalam istilah nabi disebut mudghah adalah merupakan kunci dan cermin dari kondisi seseorang, nabi bersabda:

Artinya: "Ketahuilah bahwa di dalam jasad seseorang terdapat segumpal daging, jika daging itu baik, maka baiklah seluruh jasadnya dan apabila daging itu jelek atau rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah itulah hati."

Ditinjau dari perspektif tasawwuf pada dasarnya pengamalan bacaan-bacaan sebagaimana disebutkan di atas merupakan cikal bakal dari tahapan seseorang memasuki alam thariqat yakni tingkat kedua setelah tingkat syari'at, namun secara formal dalam arti melalui proses bai'at dan tata aturan lainnya (dalam thariqat) belum dilaksanakan sebab mereka masih dalam tahap belajar (ilmu syari'at).

Pondok Pesantren Zainul Hasan sendiri sebagai instansi keagamaan (Islam) dan sebagai salah satu lembaga yang menjaga dan melestarikan tradisi Islam, menganut faham thariqat Al Qadairiyyah wa al Naqsyabandiyah. Thariqat ini, menurut keterangan KH. Sufyan (Mursyid thariqat) telah dianut sejak kepemimpinan pesantren generasi kedua yaitu KH. Muhammad Hasan dan masih dipertahankan sampai sekarang.

V. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan yang diberikan Pesantren Zainul Hasan Genggong kepada anak-anak pengungsi Sambas Dan Sampit adalah pendidikan totalitas (integrated education) yang meliputi: (a) pendidikan pesantren yaitu suatu bentuk pendidikan yang mengedapankan pengajaran ilmu-ilmu agama (Islam) dengan menggunakan kitab kuning sebagai materi pelajaran dan metode klasik (seperti bandongan dan halaqah) sebagai cara penyampaian materi; (b) Pendidikan formal adalh suatu bentuk pendidikan yang berorientasi pada penggabuangan dua ilmu pengetahuan yaitu ilmu agama dan ilmu umum; dan (c) pendidikan hati (rohani) yaitu suatau bentuk pendidikan yang lebih menekankan pada pembinaan dan perbaikan hati, melalui pengamalan bacaan-bacaan tertentu secara teratur (istiqamah) dengan cara

riyadlah.

Selain itu, implikasi dari penerapan sistem pendidikan (integrated education) yang diberikan kepada anak-anak pengungsi adalah sangat positif terutama dalam


(19)

menormalisir keadaan-keadaan jiwa sebagai akibat dari kontak sosial seperti trauma, shock culture dan lain-lain, hal ini berbeda sama sekali dengan keadaan anak-anak pengungsi yang pada awal-awal kedatangan mereka di pesantren tersebut sangat memprihatinkan.


(20)

1 Ishom Hasdzik, Visi dan Aksi Sumber Daya Manusia Pesantren dalam Meningkatkan Perannya Pada Indonesia

Modern, Jombang: 1995. p. 3

2 Engking Suwarman Hasan, Keterpaduan Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah dengan Pendidikan Luar Sekolah

di Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat, tp, tt. P. 2

3 Survey (penelitian pendahuluan) penulis lakukan pada bulan Agustus 2003 di kamp Pengungsian Desa Ketapang Daya Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang Madura Jawa Timur

4 Lexi J Moleong, Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000) PP. 29-63 5 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996) PP 38-39 6 Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, (Yogyakarta: Andi OffSet, 2000) P. 136.

7 Ibid. p. 193.

8 Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Bandung: Angkasa,1981), P. 9 9 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, (Surabaya: Appolo, tt) p.16

10 M. Noor Syam, “Konsep Pendidikan Seumur Hidup”, dalam Tim Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar

Dasar-dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional 1988), p. 126 11 Ibid. p. 127

12 Ibid.

13 Mencari ilmu didalam Islam bukan hanya sebagai kebutuhan (keilmuan) saja, tapi merupakan hal yang wajib (bila dilaksanakan akan mendapat pahala dan bila tidak dilaksanakan akan mendapat dosa), hal ini dapat dilihat pada beberpa hadits nabi yang menggunakan lafadz-lafadz berbentuk amar (perintah) dan faridlah. Lihat Al Zarnuji, Ta’lim al Muta’allim Thuruqi al-Ta’allumi (Surabaya: al Hidayah, tt) pp. 4-10, dan al Ghazali, Ihya’ Ulum al Din, (Semarang: Thoha Putra, tt) p.9.

14 St. Vembriarto, Kapita Selekta Pendidikan (Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita,1981) p.100. 15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Van Houve, 1994) P. 99 16 Zamakhsyari Dhafir, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES,1994) P. 18

17 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op-cit, P. 99 18 Http//:www.irinnews.org/

19 Mastuhu, et. al. Op-cit, PP.6-7

20 Pondok Induk menyelenggarakan pengajaran Kitab Kuning tersendiri, Kitab-kitab yang dikaji melputi semua disiplin ilmu agama Islam seperti tauhid dan ilmu tauhid, fiqh dan ushul fiqh, tafsir dan ilmu tafsir, ilmu alat (nahwu dan sharraf dan lain-lain.

21 Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama dan Departemen Luar Negeri, Petunjuk Pelaksanaan

Beasiswa dan DBO, Jakarta. P. 1 dan Departemen Agama RI, Buku Petunjuk Pelaksanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak, (Jakarta: Depag RI, 2003) P. 4

22 Muhyiddin Abi Zakariya, Al Adzkar al Nawawiyyah, (Indonesia: Darul Ihya' al Kutub al Arabiyah, tt). PP. 57-58

BIBLIOGRAPHY

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta) Rineka Cipta, 2001) Al Ghazali, Ihya’ Ulum al Din, (Semarang, Thoha Putra, tt)

Al Zarnuji, Ta’lim al Muta’allim Thuruqi al-Ta’allumi (Surabaya, al Hidayah, Tuhan Yang Maha Esa) Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama dan Departemen Luar Negeri, Petunjuk


(21)

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ikhtiar Van Houve, 1994)

Engking Suwarman Hasan, Keterpaduan Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah dengan Pendidikan Luar Sekolah di Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat, tp,tt.

Http//:www.sekitarkita.com.2002 Http//:www.irinnews.org/

Ishom Hasdzik, Visi dan Aksi Sumber Daya Manusia Pesantren dalam Meningkatkan Perannya Pada Indonesia Modern, (Jombang: 1995)

Lexi J Moleong, Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000) Mastuhu et.al, Profil Pesantren (Jakarta; LP3ES, 1984

Mahdini, Pendidikan Seumur Hidup dalam Konsep Islam, (Yogyakarta: Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1990)

Muhyiddin Abi Zakariya, Al Adzkar al Nawawiyyah, (Indonesia: Darul Ihya' al Kutub al Arabiyah, Tuhan Yang Maha Esa)

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996) Nasution, Metode Research (Peneltian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, (Yogyakarta: Andi OffSet, 2000)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, (Surabaya, Appolo, tt)

M. Noor Syam, “Konsep Pendidikan Seumur Hidup”, dalam Tim Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional 1988).

St. Vembriarto, Kapita Selekta Pendidikan (Yogyakarta, Yayasan Pendidikan Paramita,1981) Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis (Bandung: Bandar Maju, 1992)

Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Bandung: Angkasa,1981) Zamakhsyari Dhafir, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES,1994)


(1)

dan alat-alat sekolah lainnya, kopiyah putih satu buah, sarung, baju untuk sholat, biaya untuk pondok atau kamar gratis, sekolah gratis dan biaya-biaya lain ditiadakan.

Sedangkan sarana fisik terdiri dari: 1 buah musholla yang diberi nama Mushalla Zainur Rahmah dengan ukuran 10x10 m2 dan dapat menampung sekitar 100 santri, 1

ruang kantor, 1 ruang auditorium, 1 gedung memanjang dengan ukuran 7x 20 m2 untuk

tempat tinggal santri yang terdiri dari 8 kamar, masing-masing memiliki kapasitas 7-15 orang, 6 kamar mandi, 3 kamar toilet, 1 gedung dapur untuk tempat memasak (semua santri dimasakkan oleh beberapa juru masak), satu gedung garasi, dan satu gedung CV.

Untuk memenuhi kebutuhan keseharian di atas, pesantren bekerja sama dengan pihak-pihak terkait seperti Departemen Sosial, Darmais (yayasan milik keluarga mantan presiden Soeharto) dan pihak-pihak lain yang memberikan sumbangan secara sukarela dan tidak mengikat. Sedangkan untuk pemenuhan sarana fisik, pesantren juga mengadakan usaha-usaha yang sah dan halal seperti mendirikan perseroan atau CV, menerima bantuan dari para alumni pesantren Zainul Hasan, simpatisan pesantren dan lain-lain.

3. Pendidikan Hati (Ruhani)

Pendidikan ruhani maksudnya adalah bentuk pendidikan (amaliah batin) yang mengajarkan bagaimana anak didik atau santri melatih dan memperbaiki hatinya. Hal ini berbeda dengan kedua pendidikan sebelumnya yang lebih berorientasi pada pengetahuan atau kognitif anak dan amal lahir, sedangkan pendidikan ini lebih berorientasi pada aspek batin.

Bagi anak-anak pengungsi yang mondok di pesantren ini, selain harus mengamalkan ilmu-ilmu lahir/syari’at (seperti shalat dan puasa) yang didapat, juga diajarkan ilmu batin ini melalui pengamalan dzikir atau bacaan-bacaan tertentu dengan jumlah bacaan tertentu pula, tujuannya secara umum adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, sedangkan tujuan secara khusus adalah tergantung pada faedah atau fungsi dari masing-masing bacaan atau dzikiran.

Berdasarkan penelitian penulis melalui observasi dan wawancara dengan sejumlah pengurus dan anak-anak pengungsi, bacaan-bacaan dzikir yang diamalkan santri adalah: a.Istighfar (Astaghfirullah al adzim alladzi la ilaha illa huwa…..) 3 x


(2)

c.Al Ikhlas (Qul huwa Allahu ahad ……) 3 x d.Al Falaq (Qul A'udzu birabbil falaq … ) 1 x e.Al Naas (Qul A'udzu birabbi al naas …) 1 x

f.Ayat Kursi (Wa ilahukum ilahun wahidun la ilaha illa huwa al rahmaanu rahim…….

Wasi'a kursiyyuhu al samawati …..) 1 x g.Tasbih (Subhanallah) 33 x

h.Tahmid (Al hamdulillah) 33 x i.Takbir (Allahu Akbar) 33 x j.Tahlil (La Ilaha Illallah) 100 x k.Do'a

Bacaan-bacaan dan jumlah hitungannya di atas diambilkan dari sumber-sumber naqli yang rajih (kuat), dan dibaca bersama-sama (dengan mengeraskan dan kadangkala tanpa suara) pada setiap selesai shalat fardlu yaitu Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh. Menurut Syekh Muhyiddin dalam kitab "Al Adzkar" sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa berdzikir dengan mengeraskan suara merupakan tradisi yang terjadi sejak pada masa Rasulullah saw. Adapun maksud dari pengerasan suara tersebut adalah untuk mengajarkan kepada para makmum, dan apabila para makmum sudah faham, maka suaranya direndahkan.22

Setiap bacaan diyakini mempunyai fungsi dan faedah yang sangat besar , baik yang dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung, Allah swt. secara tegas di dalam al Qur'an menyatakan bahwa dengan berdzikir (ingat) kepada Allah swt. akan membuat hati si pembaca menjadi tenang sebagaimana firman Allah swt:

Artinya: "Ketahuilah bahwa dengan berdzikir (ingat atau menyebut-nyebut) Allah swt akan menenangkan hati…"

Oleh sebab itu, pemberian amalan dzikir (ingat kepada Allah) adalah sangat relevan dan sangat membantu terhadap kesembuhan anak-anak pengungsi yang sedang mengalami goncangan jiwa, kehampaan, keputus-asaan, tidak percaya diri, selalu berfikir pesimis, trauma dan gangguan-gangguan jiwa lain akibat perang antar etnis dan akibat pengungsian besar-besaran pasca konflik, sehingga mereka secara perlahan dan bertahap dapat berfikir secara positif, optimis dan menemukan jati dirinya seperti semula.


(3)

Memang, pendidikan hati bagi anak-anak pengungsi sangat diperlukan sebab hati atau dalam istilah nabi disebut mudghah adalah merupakan kunci dan cermin dari kondisi seseorang, nabi bersabda:

Artinya: "Ketahuilah bahwa di dalam jasad seseorang terdapat segumpal daging, jika daging itu baik, maka baiklah seluruh jasadnya dan apabila daging itu jelek atau rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah itulah hati."

Ditinjau dari perspektif tasawwuf pada dasarnya pengamalan bacaan-bacaan sebagaimana disebutkan di atas merupakan cikal bakal dari tahapan seseorang memasuki alam thariqat yakni tingkat kedua setelah tingkat syari'at, namun secara formal dalam arti melalui proses bai'at dan tata aturan lainnya (dalam thariqat) belum dilaksanakan sebab mereka masih dalam tahap belajar (ilmu syari'at).

Pondok Pesantren Zainul Hasan sendiri sebagai instansi keagamaan (Islam) dan sebagai salah satu lembaga yang menjaga dan melestarikan tradisi Islam, menganut faham thariqat Al Qadairiyyah wa al Naqsyabandiyah. Thariqat ini, menurut keterangan KH. Sufyan (Mursyid thariqat) telah dianut sejak kepemimpinan pesantren generasi kedua yaitu KH. Muhammad Hasan dan masih dipertahankan sampai sekarang.

V. PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pendidikan yang diberikan Pesantren Zainul Hasan Genggong kepada anak-anak pengungsi Sambas Dan Sampit adalah pendidikan totalitas (integrated education) yang meliputi: (a) pendidikan pesantren yaitu suatu bentuk pendidikan yang mengedapankan pengajaran ilmu-ilmu agama (Islam) dengan menggunakan kitab kuning sebagai materi pelajaran dan metode klasik (seperti bandongan dan halaqah) sebagai cara penyampaian materi; (b) Pendidikan formal adalh suatu bentuk pendidikan yang berorientasi pada penggabuangan dua ilmu pengetahuan yaitu ilmu agama dan ilmu umum; dan (c) pendidikan hati (rohani) yaitu suatau bentuk pendidikan yang lebih menekankan pada pembinaan dan perbaikan hati, melalui pengamalan bacaan-bacaan tertentu secara teratur (istiqamah) dengan cara


(4)

menormalisir keadaan-keadaan jiwa sebagai akibat dari kontak sosial seperti trauma, shock culture dan lain-lain, hal ini berbeda sama sekali dengan keadaan anak-anak pengungsi yang pada awal-awal kedatangan mereka di pesantren tersebut sangat memprihatinkan.

Endnotes


(5)

1 Ishom Hasdzik, Visi dan Aksi Sumber Daya Manusia Pesantren dalam Meningkatkan Perannya Pada Indonesia

Modern, Jombang: 1995. p. 3

2 Engking Suwarman Hasan, Keterpaduan Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah dengan Pendidikan Luar Sekolah

di Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat, tp, tt. P. 2

3 Survey (penelitian pendahuluan) penulis lakukan pada bulan Agustus 2003 di kamp Pengungsian Desa Ketapang

Daya Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang Madura Jawa Timur

4 Lexi J Moleong, Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000) PP. 29-63 5 Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996) PP 38-39 6 Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, (Yogyakarta: Andi OffSet, 2000) P. 136.

7 Ibid. p. 193.

8 Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Bandung: Angkasa,1981), P. 9 9 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, (Surabaya: Appolo, tt) p.16

10 M. Noor Syam, “Konsep Pendidikan Seumur Hidup”, dalam Tim Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar

Dasar-dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional 1988), p. 126

11 Ibid. p. 127

12 Ibid.

13 Mencari ilmu didalam Islam bukan hanya sebagai kebutuhan (keilmuan) saja, tapi merupakan hal yang wajib (bila

dilaksanakan akan mendapat pahala dan bila tidak dilaksanakan akan mendapat dosa), hal ini dapat dilihat pada beberpa hadits nabi yang menggunakan lafadz-lafadz berbentuk amar (perintah) dan faridlah. Lihat Al Zarnuji, Ta’lim al Muta’allim Thuruqi al-Ta’allumi (Surabaya: al Hidayah, tt) pp. 4-10, dan al Ghazali, Ihya’ Ulum al Din, (Semarang: Thoha Putra, tt) p.9.

14 St. Vembriarto, Kapita Selekta Pendidikan (Yogyakarta: Yayasan Pendidikan Paramita,1981) p.100. 15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Van Houve, 1994) P. 99 16 Zamakhsyari Dhafir, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES,1994) P. 18

17 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Op-cit, P. 99

18 Http//:www.irinnews.org/

19 Mastuhu, et. al. Op-cit, PP.6-7

20 Pondok Induk menyelenggarakan pengajaran Kitab Kuning tersendiri, Kitab-kitab yang dikaji melputi semua

disiplin ilmu agama Islam seperti tauhid dan ilmu tauhid, fiqh dan ushul fiqh, tafsir dan ilmu tafsir, ilmu alat (nahwu dan sharraf dan lain-lain.

21 Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama dan Departemen Luar Negeri, Petunjuk Pelaksanaan

Beasiswa dan DBO, Jakarta. P. 1 dan Departemen Agama RI, Buku Petunjuk Pelaksanaan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak, (Jakarta: Depag RI, 2003) P. 4

22 Muhyiddin Abi Zakariya, Al Adzkar al Nawawiyyah, (Indonesia: Darul Ihya' al Kutub al Arabiyah, tt). PP. 57-58

BIBLIOGRAPHY

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta) Rineka Cipta, 2001) Al Ghazali, Ihya’ Ulum al Din, (Semarang, Thoha Putra, tt)


(6)

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT Ikhtiar Van Houve, 1994)

Engking Suwarman Hasan, Keterpaduan Penyelenggaraan Pendidikan Sekolah dengan Pendidikan Luar Sekolah di Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat, tp,tt.

Http//:www.sekitarkita.com.2002 Http//:www.irinnews.org/

Ishom Hasdzik, Visi dan Aksi Sumber Daya Manusia Pesantren dalam Meningkatkan Perannya Pada Indonesia Modern, (Jombang: 1995)

Lexi J Moleong, Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000) Mastuhu et.al, Profil Pesantren (Jakarta; LP3ES, 1984

Mahdini, Pendidikan Seumur Hidup dalam Konsep Islam, (Yogyakarta: Thesis Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1990)

Muhyiddin Abi Zakariya, Al Adzkar al Nawawiyyah, (Indonesia: Darul Ihya' al Kutub al Arabiyah, Tuhan Yang Maha Esa)

Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996) Nasution, Metode Research (Peneltian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 1996) Sutrisno Hadi, Metodologi Research II, (Yogyakarta: Andi OffSet, 2000)

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, (Surabaya, Appolo, tt)

M. Noor Syam, “Konsep Pendidikan Seumur Hidup”, dalam Tim Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan (Surabaya: Usaha Nasional 1988).

St. Vembriarto, Kapita Selekta Pendidikan (Yogyakarta, Yayasan Pendidikan Paramita,1981) Kartini Kartono, Pengantar Ilmu Mendidik Teoritis (Bandung: Bandar Maju, 1992)

Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, (Bandung: Angkasa,1981) Zamakhsyari Dhafir, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES,1994)