Kejahatan Kemanusiaan TINJAUAN UMUM TERHADAP PELANGGARAN HAM PADA

7. hak untuk menuntut ilmu dan melakukan penelitian serta pengembangan pengetahuan, biasanya dikenal dengan kebebasan ilmiah 8. hak untuk mengeluarkan keterangan pernyataan, biasanya dikenal dengan kebebasan berpendapat Budiyanto menyimpulkan dan membedakan hak-hak asasi manusia, yaitu sebagai berikut : hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi ; kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, dan sebagainya hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, dan menjual, serta memanfaatkannya hak-hak asasi politik atau political rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum, hak untuk mendirikan partai politik, dan sebagainya hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legal equality hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights, seperti hak untuk memilih pendidikan, hak untuk mengembangkan kebudayaan, dan sebagainya hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights, seperti adanya peraturan dalam hal penggeledahan, penangkapan, penahanan, peradilan, dan sebagainya.

2.2. Kejahatan Kemanusiaan

Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah secara luas Universitas Sumatera Utara menggambarkan kejahatan terhadap umat manusia sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia. Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia HAM di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil. Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan: 16 1. Pembunuhan 2. Pemusnahan 3. Perbudakan 4. Pengusiran atau pemindahan penduduk 5. Perampasan kemerdekaan perampasan kebebasan fisik lain 6. Menganiaya; 16 Ach. Tachir, Op.cit, hal. 290-291. Universitas Sumatera Utara 7. Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ; 8. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin gender sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun dengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional 9. Penghilangan seseorang secara paksa; 10. Kejahatan apartheid; 11. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya. Merujuk pendapat Bissouni: The term of crimes against humanity is existed prior to World War II. It is because the 1868 Saint Petersburg Declaration has mentioned the limitation of the use certain explosive or incendiary projectiles in times of war, since they were declared contrary to the laws of humanity. Meanwhile, the expression of crimes against humanity was used for the first time in the 1915 Declaration by the governments of France, Great Britain and Russia denouncing the massacre of Armenians taking place in Turkey. 17 Bassiouni menambahkan bahwa jenis kejahatan yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, adalah: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau 17 Lihat M C Bassiouni, Crimes Against Humanity in International Criminal Law 1999 http:www.crimesofwar.orgthebookcrimes-against-humanity.html Universitas Sumatera Utara penganiayaan atas dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam kaitannya dengan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan, apakah atau tidak dalam pelanggaran hukum domestik dari negara di mana kejahatan tersebut dilakukan. 18 Murder, extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial, or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of the Tribunal, whether or not in violation of domestic law of the country where perpetrated. Jenis kejahatan yang disebutkan oleh Bassiouni ini sebenarnya diambil dari jenis kejahatan yang telah disebutkan dalam Pasal 6 c dari Piagam Nuremberg Nuremberg Charter. Oleh sebab itu, untuk membahas pengertian kejahatan kemanusiaan ini, maka pembahasan dapat dimulai dari bagaimana pengertian hukum yang berkembang dari pasal ini. Pasal 6 c mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai: 19 David Luban 20 1. Kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara sendiri atau orang asing Crimes against humanity are typically committed against fellow nationals as well as foreigners. Sesuai dengan sejarah Pasal 6c ini, pasal ini dibuat untuk mengisi kekosongan hukum kemanusiaan pada Tahun 1945, yang menyatakan bahwa kategori kejahatan perang terhadap menyatakan bahwa pasal ini memberikan 5 unsur dalam pengertiannya sehingga ia dapat dimengerti dan dipakai dalam ketentuan hukum nasional tertentu: 18 Bassiouni, M. C. Crimes against Humanity, Ibid 19 Lihat Nuremberg Charter, http:www.currentconcerns.chindex.php?id=148, diakses 4 Februari 2014. 20 Luban, David, 2004, A Theory of Crimes Against Humanity, 29 Yale Journal International Law, 85, HeinOnline. Universitas Sumatera Utara penduduk sipil adalah pelanggaran hukum bilamana kejahatan itu dilakukan hanya terhadap orang asing. Sementara Nazi, dianggap melakukan kejahatan terhadap warga negara mereka yang beragama Yahudi serta orang asing di wilayah Austria. Oleh sebab itu, pemikiran bahwa suatu negara dianggap bisa melakukan kejahatan untuk membunuh rakyatnya sendiri dapat dilihat dari contoh tersebut di atas sehingga pengertian crime against humanity ini perlu mengatur hal itu. Ini disebabkan karena pengertian kejahatan sebelumnya yang dipakai mengenai kejahatan kemanusiaan ini adalah aturan hukum perang, yang berorientasi pada masyarakat negara sendiri di satu pihak, dan lawan sebagai pihak lain. Dengan demikian, dengan pengertian ini, maka sebuah kejahatan kemanusiaan itu dapat saja terjadi baik bagi masyarakat sendiri maupun orang asing, serta yang terjadi di dalam maupun di luar perang. Selain itu, pengertian ini juga berarti bahwa kejahatan kemanusiaan dapat saja dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri maupun oleh musuh kepada rakyat. 21 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional Crimes against humanity are international crimes. Pengertian dari Pasal 6 c Piagam Nuremberg ini memberikan makna luas bahwa suatu kejahatan kemanusiaan dianggap sebagai kejahatan internasional meskipun tindakan ini bukan dalam kategori tersebut pada ketentuan hukum suatu negara dimana 21 Untuk kejahatan ini, ada sedikit perbedaan mengenai kejahatan yang hanya dapat berlaku sebagai kejahatan perang saja. Namun bila kejahatan itu adalah pembunuhan, perbudakan, penyiksaan dan lain-lain, yang dapat dilakukan meski di luar perang, maka pengertian juga dipakai. Lihat Luban, Ibid, h.94. Universitas Sumatera Utara kejahatan atau tindakan itu dilakukan. Dalam Pasal 7 dan 8 dari Piagam Nuremberg memperlihatkan bahwa seorang kepala negara tidak akan dapat berlindung dibalik kekebalan otoritasnya atau seseorang tidak boleh berlindung di belakang alasan perintah atasan untuk bebas dari tuduhan kejahatan ini. Pasal 7 dan 8 menyatakan: Article 7: The official position of defendants, whether as Heads of State or responsible officials in Government Departments, shall not be considered as freeing them from responsibility or mitigating punishment. Menurut Luban dari pengertian ini, kejahatan yang dilakukan sebelum dan selama masa perang juga dapat dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan, dan hal itu berarti bahwa tindakan kekejaman Nazi terhadap bangsa Yahudi Jerman sebelum tahun 1939, meskipun pada saat itu dalam keadaan damai merupakan kejahatan kemanusiaan. 22 3. Kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh politik terorganisir kelompok bertindak dengan dasar kebijakan Crimes against humanity are committed by politically organized groups acting under color of policy Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 c mensyaratkan bahwa kejahatan Meski tindakan ini adalah retrospektif karena dikategorikan sebagai tindakan masa lalu yang belum diatur oleh hukum, berdasarkan pengertian ini, kejahatan Nazi tersebut dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. 22 Luban, D, ibid, 95. Universitas Sumatera Utara terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan. 4. Kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang paling berat dan tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan Crimes against humanity consist of the most severe and abominable acts of violence and persecution. Pasal 6 c Piagam Nuremberg membedakan antara dua jenis kejahatan terhadap kemanusiaan. Yang pertama adalah kejahatan yang terdiri dari pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan ‘tidak manusiawi lainnya’. Kejahatan jenis pembunuhan adalah kejahatan yang mengandung nilai atau dimensi ‘kekejaman dan kebiadaban. 23 5. Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter individu Crimes against humanity are inflicted on victims based on their membership in a population rather than their individual characteristics. Menurut Luban, suatu ketentuan atau undang-undang mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan memasukkan populasi sebagai salah satu Dalam Pasal 6 c ini, kejahatan ini juga biasa ditambahkan dengan kejahatan penjara yang mempunyai unsur ‘melanggar aturan dasar hukum internasional’ atau kejahatan lainnya yang dianggap ‘tindakan yang tidak manusiawi lainnya, sesuai Statuta Roma. 23 Lihat kasus Regina v. Finta, [1994] S.c.R. 701, 818. Universitas Sumatera Utara persyaratan persyaratan dari unsur kejahatan pembunuhan, serta persyaratan niat diskriminatif sebagai unsur kejahatan penganiayaan. Kedua persyaratan ini menentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk individualitas dari kelompok. Untuk menjawab pertanyaan tentang seberapa besar jumlah orang dalam kelompok sebagai korban yang dimaksud sehingga ia dapat dikatakan sebagai suatu penduduk. Luban menyatakan: “… how large a group must be to constitute a population. Does the population requirement mean that the crimes are committed on a large population-size scale-in other words, that to qualify as crimes against humanity, they must be not just atrocities but mass atrocities? To support this reading of the population requirement, it might be argued that nothing less than mass horror justifies internationalizing the crimes and making them matters of worldwide rather than domestic concern. Dari rumusan kategori tindakan crime against humanity yang di berikan oleh Luban di atas, ada implikasinya terhadap kasus-kasus kejahatan berat yang terjadi: 1. Bila dilihat dari point pertama yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan biasanya dilakukan terhadap warga negara sendiri atau orang asing, memperlihatkan indikasi ada kecenderungan pelaksanaan persidangan kejahatan kemanusiaan dalam yurisdiksi non-internasional menjadi tinggi. Hal ini berarti kecenderungan untuk menggunakan hukum nasional juga besar. Berdasarkan gambaran ini maka ketika ada suatu kejahatan yang dilakukan oleh warga negara tertentu, maka pendefinisian atau pencitraan kejahatan ini akan menjadi wewenang hukum nasional, yang pada akhirnya Universitas Sumatera Utara akan membawa pengertian kejahatan sebagai kejahatan dalam pengertian hukum nasional pula. Dengan kata lain, institusi yang ada dalam hukum nasional mempunyai wewenang untuk mengartikan kejahatan mana dapat dianggap sebagai suatu kejahatan kemanusiaan berdasarkan penafsiran nasional, bukan berdasarkan penafsiran hukum internasional. 2. Pada persyaratan kedua dari Luban menyatakan bahwa Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan internasional ternyata memberi implikasi yang luas dari pengertian Pasal 6 c Piagam Nuremberg ini, karena dengan adanya ketentuan ini, maka suatu kejahatan dapat dianggap sebagai kejahatan internasional meskipun tindakan kejahatan ini dalam hukum nasional bukan dalam kategori sebagai kejahatan kemanusiaan. Pertanyaan yang timbul dari sini adalah siap yang berhak memberi ‘status’ suatu tindakan kejahatan menjadi ‘terhadap kemanusiaan’? Dalam kasus di tanah air, perdebatan mengenai hal ini sudah sering terjadi. Di satu pihak mengizinkan agar status kejahatan kemanusiaan diterapkan sesuai dengan pengadilan ICC, namun fakta memperlihatkan bahwa Indonesia belum meratifikasi ICC Statuta Roma ini, sehingga penggunaannya tidak dimungkinkan. Di pihak lain, pemberian status tidak memerlukan hukum internasional, namun dapat dilakukan sesuai hukum nasional sebab hukum nasional juga telah menerapkan persyaratan sesuai kebiasaan internasional. Namun demikian, hal ini masih juga menjadi permasalahan mendasar sebab seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa faktor politik dalam negeri banyak berperan sehingga pemberian status ini berjalan dengan keputusan yang ‘rancu’. Begitupun dengan Pasal 7 dan 8 dari Universitas Sumatera Utara Piagam Nuremberg yang belum banyak dipakai sebagai pertimbangan dalam mendapatkan pengertian ini. 3. Pada persyaratan ketiga yang mengatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh kelompok terorganisir secara politik yang bertindak berdasarkan perintah, menjadi perdebatan penting dalam pengadilan HAM di Indonesia. Piagam Nuremberg mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan oleh agen negara. Pasal 6 c ini juga mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bagian dari ‘eksekusi dari perintah atau ada hubungannya dengan kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan perang’, yang mana keduanya dapat dilakukan oleh aparat negara, atau warga yang menempati posisi tinggi sesuai jabatan. Dalam Pasal 42 UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, tanggungjawab komando telah diatur dimana pasal ini menentukan bahwa komandan bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan di lapangan, baik dengan sepengetahuan komandan militer saat itu, dengan bentuk pembiaran atas adanya suatu dugaan pelanggaran oleh anak buah. Ketentuan ini sesuai juga sesuai dengan Pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 yang menegaskan tentang yurisdiksi pengertian tanggungjawab komando dalam angkatan bersenjata pemberontak dissident armed forces atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya. 4. Pada point keempat kejahatan kemanusiaan yang diungkapkan oleh Luban menyatakan, kejahatan terhadap kemanusiaan terdiri dari kejahatan yang paling berat dan tindakan kekerasan dan penganiayaan yang mengerikan. Universitas Sumatera Utara Jenis kejahatan ini juga masih menjadi perdebatan, sebab syarat yang ditentukan dalam kejahatan dari bentuk kejahatan itu, tidak jelas diungkapkan dalam perundang-undangan. Pasal 6 c Piagam Nuremberg memang membedakan dua jenis kejahatan utama terhadap kemanusiaan yakni kejahatan pembunuhan serta tindakan yang ‘tidak manusiawi. Meski pengertian ini masih harus dijabarkan lagi ke dalam pengertian yang nyata, ketentuan dalam Piagam Nuremberg ini juga dilengkapi dengan ketentuan dalam Statuta Roma mengenai gambaran tindakan yang dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan. 5. Selanjutnya dalam point kelima pengertian kejahatan kemanusiaan menurut Luban menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang diderita oleh korban berdasarkan keanggotaan mereka dalam populasi dan bukan sebagai karakter individu adalah ketentuan untuk memasukkan persyaratan adanya unsur populasi, unsur pembunuhan, dan unsur penganiayaan yang dilakukan dengan niat dan diskriminatif sebagai elemen dari pengertian kejahatan kemanusiaan. penganiayaan. Kedua persyaratan ini menentukan bahwa pada dasarnya, bahwa kelakuan buruk dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan hanya jika kejahatan ini merupakan bagian dari serangan terhadap sebuah kelompok atau populasi, tanpa termasuk individualitas dari kelompok. Untuk itu, Luban dalam pernyataan ketika mengatakan: “…it might be argued that nothing less than mass horror justifies internationalizing the crimes and making them matters of worldwide rather than domestic concern.” Memberi konotasi bahwa penentuan poulasi Universitas Sumatera Utara masih tidak jelas, dan dapat berakibat pada penentuannya pengertian yang disesuaikan sesuai keadaan politik, atau ditentukan oleh pihak-pihak yang menguasai proses pengadilan dimana kejahatan ini disidangkan. Salah satu contoh sidang kejahatan kemanusiaan yang membebaskan terdakwa dapat dilihat pada persidangan kasus HAM Abepur yang mengajukan terdakwa Brigjen Pol. Drs Johny Wainal Usman mantan Dansat Brimobda Papua dan Kombes. Daud Sihombing SH mantan Kapolres Jayapura yang diputuskan tidak bersalah. Dalam dissenting opinion, Hakim Kabul Supriyadhie menyatakan bahwa, apakah terdakwa adalah perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau bukan dapat dilihat dari kenyataan bahwa adanya pasukan yang digerakkan di bawah perintah atasan untuk melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor Abepura dan dilengkapi dengan senjata dan amunisi, tidak dapat disangkal sebagai perbuatan yang memperlihatkan ‘perintah di bawah komando’, meski pada tindakan ini tidak ditemukan adanya surat penangkapan dan penahanan atau laporan pelaksanaan. Selain itu, kenyataan bahwa secara de facto Terdakwa berada di tempat kejadian pada saat bawahan melakukan pengejaran dan penangkapan, dan tidak melakukan pencegahan yang mengakibatkan kematian menjadi dasar yang kuat untuk menghukum Terdakwa atas pertanggungjawaban komandan. 24 24 Lihat ‘Pendapat Hukum Dissenting Opinion,’ http:www.kontras.orgdatajony_wainal_usman.pdf. Diakses 3 Februari 2014. Universitas Sumatera Utara 2.3. Sejarah Singkat Konvensi Jenewa 1949 Dan Hubungannya Terhadap Konflik Bersenjata Non Internasional Sejarah Konvensi Jenewa dimulai pada tahun 1862, Henry Dunant menerbitkan bukunya, Memoir of Solferino Kenangan Solferino, mengenai ketidakmanusiawaian kekejaman perang. Pengalaman Dunant menyaksikan perang mengilhaminya untuk mengusulkan: 1. Dibentuknya perhimpunan bantuan yang permanen untuk memberikan bantuan kemanusiaan pada masa perang, dan 2. Dibentuknya perjanjian antar pemerintah yang mengakui kenetralan perhimpunan tersebut dan memperbolehkannya memberikan bantuan di kawasan perang. Usulan yang pertama berujung pada dibentuknya Palang Merah Red Cross sedangkan usulan yang kedua berujung pada dibentuknya Konvensi Jenewa Pertama. Atas kedua pencapaian ini, Henry Dunant pada tahun 1901 menjadi salah seorang penerima Penghargaan Nobel Perdamaian yang untuk pertama kalinya dianugerahkan. Kesepuluh pasal Konvensi Jenewa Pertama diadopsi untuk pertama kalinya pada tanggal 22 Agustus 1864 oleh dua belas negara. Clara Barton memainkan peran penting dalam mengkampanyekan peratifikasian Konvensi Jenewa Pertama oleh Amerika Serikat, yang akhirnya meratifikasi konvensi tersebut pada tahun 1882. Pada 1906 Konvensi Jenewa Pertama diperbaiki untuk memberi perlindungan yang lebih besar terhadap korban perang di darat, dan pada tahun berikutnya seluruh ketentuan tersebut diperluas dengan pertempuran di laut Konvensi Jenewa Kedua. Penghormatan terhadap Konvensi Jenewa dan operasi Universitas Sumatera Utara yang dipimpin oleh Komite Palang Merah Internasional memainkan peranan penting dalam menyelamatkan nyawa dan mencegah penderitaan yang tidak seharusnya dalam Perang Dunia I 1914-1918. Namun, besarnya penderitaan manusia akibat perang menambah keyakinan masyarakat internasional agar Konvensi Jenewa itu diperkuat. Dalam kurun waktu sekitar 50 tahun semenjak diadopsinya Konvensi-konvensi Jenewa 1949, umat manusia mengalami konflik bersenjata dalam jumlah yang mencemaskan. Konflik-konflik bersenjata ini terjadi di hampir semua benua. Dalam kurun waktu tersebut, keempat Konvensi Jenewa 1949 beserta kedua Protokol Tambahan 1977 menyediakan perlindungan hukum bagi orang-orang yang tidak, ataupun yang tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan yaitu korban luka, korban sakit, korban karam, orang yang ditahan sehubungan dengan konflik bersenjata, dan orang sipil. Meskipun demikian, dalam kurun waktu yang sama juga telah terjadi banyak sekali pelanggaran terhadap perjanjian-perjanjian internasional tersebut, sehingga timbul penderitaan dan korban tewas yang mungkin dapat dihindari seandainya Hukum Humaniter Internasional HHI dihormati dengan lebih baik. Pandangan umum yang ada ialah bahwa pelanggaran-pelanggaran terhadap HHI bukan disebabkan oleh kurang memadainya aturan-aturan yang termaksud dalam hukum tersebut, tetapi lebih disebabkan oleh ketidakmauan untuk menghormatinya, oleh kurang memadainya sarana yang tersedia untuk menegakkannya, oleh ketidakpastian mengenai penerapan hukum tersebut dalam situasi-situasi tertentu, dan oleh kurangnya pengetahuan para pemimpin politik, komandan, kombatan, dan masyarakat umum tentang hukum tersebut. Universitas Sumatera Utara Konvensi Jenewa Pertama ini tercakup dalam 9 Bab dan ditambah Bab Ketentuan Penutup, dan berisi 64 pasal. Ditambah dengan dua lampiran berisi konsep perjanjian yang berhubungan dengan zona rumah sakit dan kartu identitas model dan agama tenaga medis. Konvensi Jenewa pertama tentang Perbaikan Keadaan Anggota Perang yang Luka Dan Sakit di Medan Pertempuran Darat. Konvensi Jenewa 1949 ini merupakan versi update keempat Konvensi Jenewa pada orang yang terluka dan sakit berikut yang digunakan dalam 1864, 1906 dan 1929. Konvensi ini memberikan perlindungan bagi yang terluka dan sakit, tetapi juga untuk tenaga medis dan keagamaan, unit medis, bangunan dan transportasi medis serta konvensi ini juga mengakui lambang khas yang harus dilindungi. Ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini dalam konteks skala, memberikan perlindungan dalam konflik internasional maupun non-internasional, tetapi dasar perlindungan non-internasional tidak terlalu spesifik diterangkan dalam konvensi ini, karena di Konvensi Jenewa Pertama ini konflik non-internasional hanya dimasukkan ke dalam Bab Ketentuan Umum, dan akan lebih diperjelas dalam Protokol II. Lingkup Non-Internasional ini dijelaskan menurut Konvensi Jenewa Pertama Bab I - Ketentuan Umum Pasal 3tentang sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional non-internasional yang berlangsung dalam wilayah salah satu dari Pihak Peserta Agung agar tiap Pihak dalam sengketa itu diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dan dilihat dalam konteks tempat terjadinya, ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama ini hanya terhadap perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan Universitas Sumatera Utara pertempuran darat yang secara umum dapat sebutkan untuk memberikan perlindungan bagi: 1 yang terluka dan sakit; 2 tetapi juga untuk tenaga medis dan keagamaan; 3 unit medis; 4 bangunan dan 5 transportasi medis serta konvensi ini juga mengakui 6 lambang khas yang harus dilindungi.Yang menjadi objek perbaikannya tersebut mencakup perbaikan keadaan terhadap anggota angkatan perang yang luka dan sakit di darat. Memberikan penghormatan dan lindungan dalam segala keadaan terhadap yang luka dan sakit, perlakuan secara prikemanusiaan tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan atas kelamin, suku, kebangsaan, agama, atau kriteria lainnya serupa itu, dan memberikan kewajiban-kewajiban apa yg harus dilakukan dalam memperlakukan para angkata perang, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab II - Yang Luka dan Sakit Pasal 12-18. Perbaikan terhadapgedung-gedung, kesatuan-kesatuan unit kesehatan medis, Memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap kesatuan kesehatan bergerak dari dinas kesehatan dalam keadaan apapun harus dilindungi, tidak boleh diserang oleh pihak para sengketa, dan memberikan kewajiban terhadap penguasa untuk bertanggung jawab terhadap jaminan bangunan-dan kesatuan-kesatuan sehingga penyerangan atas sasaran-sasaran militer tidak membahayakan keselamatan mereka, yang dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab III-Kesatuan dan Bangunan Kesehatan Pasal 19-23. Perbaikan terhadap anggota dinas kesehatan angkatan perang, Memberikan perlindungan khusus terhadap Anggota dinas kesehatan yang dipekerjakan khusus untuk mencari atau mengumpulkan, mengangkut atau merawat yang luka dan sakit, atau Universitas Sumatera Utara untuk mencegah penyakit, dan staf yang dipekerjakan khusus dalam administrasi kesatuan-kesatuan dan bangunan-bangunan kesehatan, demikian juga rohaniwan yang bertugas dalam angkatan perang yang di jelaskan dalam secara lengkap dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab IV-Anggota Dinas Kesehatan Pasal 24-32. Perbaikan terhadap perlengkapan-perlengkapan, kesatuan-kesauan kesehatan bergerak angkatan perang yang jatuh dalam tangan musuh, harus disediakan untuk perawatan yang dipaparkan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab V - Gedung dan Perlengkapan Pasal 33-34. Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap pengangkutan yang luka dan sakit atau alat-alat kedokteran harus dihormati dan dilindungi sama halnya dengan kesatuan kesehatan yang bergerak. Seperti halnya pengangkutan dengan pesawat terbang kesehatan maupun dengan kendaraan kesehatan lainnya. Semua itu dijelaskan dan diatur dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VI - Pengangkutan Kesehatan Pasal 35-37. Perbaikan dalam konteks perlindungan terhadap lambang-lambang yang diistimewakan, seperti halnya lambang International Red Cross Committee PMI, Bulan Sabit Merah, Singa dan Matahari Merah dan sebagainya. lambang istimewa ini harus jelas, dalam artian tampak pada bendera-bendera flags, ban lengan handband, dan semua alat perlengkapan yang dipakai dalam dinas kesehatan, selain itu juga memakai tanda pengenal yang seragam, agar setiap orang yang termasuk dalam organisasi-organisasi himpunan-himpunan yang bersifat netral maupun berkepentingan dapat jaminan perlindungan yang semuanya itu diatur dan dijelaskan dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VII - Lambang Istimewa 38-44. Universitas Sumatera Utara Konvensi Jenewa Pertama ini akan berlaku pada masa perang dan konflik bersenjata, yaitu bagi pemerintah yang telah meratifikasi ketentuan-ketentuan konvensi tersebut Pasal 56 Bab Penutup Konvensi Jenewa Pertama. Ketentuan rinci mengenai aplikabilitas Konvensi Jenewa diuraikan dalam Pasal 2 dan 3 Ketentuan yang Sama. Masalah aplikabilitas ini telah menimbulkan sejumlah kontroversi. Ketika Konvensi-konvensi Jenewa berlaku, maka pemerintah harus merelakan sebagian tertentu dari kedaulatan nasionalnya national sovereignty untuk dapat mematuhi hukum internasional. Konvensi-konvensi Jenewa bisa saja tidak sepenuhnya selaras dengan konstitusi atau nilai-nilai budaya sebuah negara tertentu. Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa menyediakan keuntungan bagi individu, tekanan politik bisa membuat pemerintah menjadi enggan untuk menerima tanggung jawab yang ditimbulkan oleh konvensi-konvensi tersebut. Dan pengaplikasian konvensi ini ketika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam konvensi Jenewa Pertama yaitu keadaan anggota angkatan perang yang ruang lingkup-nya masuk ke dalam ruang lingkup Konvensi Jenewa Pertama, dan subjek-subjek yang terkait, serta objek-objek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi ini dilanggar, baik untuk perlindungan terhadap yang terluka dan sakit, untuk penghormatan dan perlindungan tenaga medis dan keagamaan, penjagaan dan perlindungan unit medis, bangunan dan transportasi medis serta perlindungan khusus untuk lambang-lambang khas yang harus dilindungi, maka ketentuan aturan dari konvensi ini harus diterapkan. Universitas Sumatera Utara Pelaksanaan konvensi yang memberikan ketentuan terhadap siapa yang menjamin pelaksanaan terhadap tindakan-tindakan pembalasan terhadap objek- objek yang di lindungi dalam ketentuan konvensi yang menjamin pelaksanaan pasal-pasal dalam konvensi dan menetapkan ketentuan-ketentuan untuk mengatur hal-hal yang tak terduga maka yang menjamin adalah komandan-komandan tertinggi di setiap pihak-pihak dalam sengketa. Yang itu pun dipertegas dalam Konvensi Jenewa Pertama Bab VIII - Pelaksanaan Konvensi Pasal 45, serta ditambah dengan kesesuaian asas-asas umum konvensi ini. Konvensi-konvensi Jenewa merupakan hasil dari sebuah proses yang berkembang melalui sejumlah tahap dalam kurun waktu 1864-1949, yaitu proses yang berfokus melindungi orang sipil dan orang-orang yang tidak dapat bertempur lagi dalam konflik bersenjata. Sebagai akibat Perang Dunia II, keempat konvensi tersebut semuanya direvisi berdasarkan revisi yang pernah dilakukan sebelumnya dan juga berdasarkan sejumlah ketentuan dari Konvensi-konvensi Den Haag 1907, dan kemudian diadopsi ulang oleh masyarakat internasional pada tahun 1949. Konferensi-konferensi berikutnya menambahkan sejumlah ketentuan yang melarang metode berperang tertentu dan ketentuan yang berkenaan dengan masalah perang saudara. Keempat Konvensi Jenewa adalah: 1. Konvensi Jenewa Pertama, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka dan Sakit di Darat” diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1864 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949 Universitas Sumatera Utara 2. Konvensi Jenewa Kedua, “mengenai Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Bersenjata yang Terluka, Sakit, dan Karam di Laut” diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, sebagai pengganti Konvensi Den Haag X 1907 3. Konvensi Jenewa Ketiga, “mengenai Perlakuan Tawanan Perang” [diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1929 dan direvisi terakhir kali pada tahun 1949] 4. Konvensi Jenewa Keempat, “mengenai Perlindungan Orang Sipil di Masa Perang” diadopsi untuk pertama kali pada tahun 1949, berdasarkan bagian- bagian tertentu dari Konvensi Den Haag IV 1907 Selain itu, ada tiga protokol amandemen tambahan untuk Konvensi- konvensi Jenewa: 1. Protokol Tambahan I 1977: Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 167 negara. 2. Protokol Tambahan II 1977: Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Perlindungan Korban Konflik Bersenjata Non-internasional. Hingga 12 Januari 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 163 negara. 3. Protokol Tambahan III 2005: Protokol Tambahan untuk Konvensi-konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, mengenai Adopsi Lambang Pembeda Tambahan. Hingga Juni 2007, Protokol ini telah diratifikasi oleh 17 negara dan telah ditandatangani tetapi masih belum diratifikasi oleh 68 negara lagi. Universitas Sumatera Utara Meskipun Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dapat dilihat sebagai hasil dari proses yang dimulai pada tahun 1864, dewasa ini konvensi-konvensi tersebut telah “mencapai partisipasi universal dari 194 negara peserta.” Ini berarti bahwa konvensi-konvensi tersebut berlaku pada hampir setiap konflik bersenjata internasional. Universitas Sumatera Utara

BAB III DIMENSI PELANGGARAN HAM BERDASARKAN KONVENSI