Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian: Keaslian Penulisan Tinjauan Kepustakaan

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan? 2. Bagaimana dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM berdasarkan Konvensi Jenewa 1949? 3. Bagaimana upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik bersenjata non internasional di Suriah?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:: 1. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM pada kejahatan kemanusiaan. 2. Untuk mengetahui dimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia HAM berdasarkan Konvensi Jenewa 1949. 3. Untuk mengetahui upaya hukum internasional dalam penyelesaian konflik bersenjata non internasional di Suriah.

1.4. Manfaat Penelitian:

1. Mengetahui tinjauan Hukum Internasional terhadap pelanggaran HAM berat dalam konflik di Suriah dari perspektif Konvensi Jenewa. 2. Mengetahui mekanisme hukum yang berlaku terhadap para Pelaku Pelanggaran HAM dalam konflik Suriah. 3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian serupa di kemudian hari. Universitas Sumatera Utara

1.4. Keaslian Penulisan

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis, baik dari internet maupun kepustakaan dapat diketahui bahwa belum ada penelitian mengenai kajian yang sedang penulis kaji, oleh sebab itu penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan bukan plagiat sehingga apabila di kemudian hari diketemukan judul yang sama maka itu akan menjadi tanggungjawab penuh penulis.

1.5. Tinjauan Kepustakaan

Hak Asasi Manusia HAM berkaitan dengan konsep dasar tentang manusia dan hak. Konsep tentang manusia, dalam Bahasa Inggris disebut human being. Pada umumnya ketika kita mendengar kata manusia, maka secara otomatis kita berpikir tentang sosok makhluk yang memiliki cita rasa, akal budi, naluri, emosi, dan seterusnya. Wujud konkret ini adalah orang. 1 HAM adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. HAM dapat dirumuskan sebagai hak yang ada dan melekat pada diri manusia yang apabila hak tersebut tidak ada, maka mustahillah seseorang itu hidup sebagai manusia. Meskipun HAM sudah diakui secara universal, akan tetapi hal ideal tidak selalu terwujud dalam kehidupan nyata masyarakat. Pelanggaran- pelanggaran atas HAM dalam segala bentuk dan macam tingkatannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat, masih saja dilakukan di dunia ini. Meskipun secara kuantitatif peristiwa pelanggaran-pelanggaran itu hanya sebagian kecil saja 1 Hamid Awaludin, HAM , Politik, Hukum, Kemunafikan Internasional, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2012, hlm. 60 Universitas Sumatera Utara dibandingkan peristiwa penghormatan dan perlindungan HAM, artinya masih banyak yang menghormati daripada melakukan pelanggaran terhadap HAM. 2 1. Adanya abuse of power dalam kerangka asosiasi dengan pemerintah; Secara etimologis, istilah pelanggaran hak asasi manusia, merupakan terjemahan dari gross violations of human rights yang pada dasarnya merupakan tindak pidana sebagaimana tindak pidana pada umumnya yang bersifat melawan hukum unlawful dan sama sekali tidak ada alasan pembenarnya. Palanggaran hak asasi manusia yang berat terdapat beberapa unsur, yaitu: 2. Kejahatan tersebut dianggap merendahkan martabat manusia dan pelanggaran asas-asas kemanusiaan yang mendasar; 3. Perbuatan tersebut dikutuk secara internasional; 4. Dilakukan secara sistematis dan meluas. 3 Menurut Sumaryo Suryokusumo 4 1 Maksud dan Rencana, yakni kejahatan mengenai HAM berat mengandung arti adanya maksud dan rencana dari pihak yang berwenang. Berhubung ada suatu maksud, maka pelanggaran HAM berat secara sistematik itu tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi sebaliknya hal itu merupakan tanggapan terhadap sikap yang direncanakan. bahwa ada 3 tiga unsur dalam menentukan sesuatu pelanggaran sebagai pelanggaran berat: 2 Kuantitas, unsur kedua ini berkaitan dengan banyaknya korban dan banyaknya pelanggaran yang terjadi. Sebagaimana dicantumkan di dalam Piagam Afrika khususnya dalam Pasal 58 misalnya, dinyatakan bahwa yang dimaksud 2 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2003, hlm 89 3 Harry Purwanto, Persoalan di sekitar Hak Asasi Manusia yang Berat di Indonesia, Yogyakarta: Mimbar Hukum No. 38VI2001 UGM, hal. 62. 4 Sumaryo Suryokusumo, Yurisdiksi Pengadilan HAM Nasional, Makalah disampaikan dalam kelas khusus pidana internasioal FH-UGM pada tanggal 8 Mei 2008, hal. 7-8 Universitas Sumatera Utara dengan pelanggaran berat adalah “pelanggaran yang mengakibatkan terjadinya korban lebih dari satu dan bisa juga melibatkan sejumlah tindakan pelanggaran”. 3 Jenis dari Hak yang dilanggar. Dalam definisi tentang pelanggaran berat menyatakan bahwa pelanggaran terhadap hak hidup, integritas atau kebebasan perorangan merupakan syarat dalam menentukan sesuatu pelanggaran sebagai pelanggaran berat. Sifatnya yang “berat” itu menunjukkan sesuatu yang dipandang dari sudut moral merupakan patut sekali dicela dan oleh karena itu akan tergantung hak mana yang dilanggar, sifat pelanggaran dan kedudukan dari pelanggaran itu sendiri. Pelanggaran hak asasi manusia dalam masa perang merupakan bentuk dari kejahatan kemanusiaan Crimes Against Humanity. Kejahatan kemanusiaan merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: 5 1 Pembunuhan; 2 Pemusnahan; 3 Perbudakan; 4 Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 5 Memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional; 6 Penyiksaan; 5 Ach. Tachir, Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. Supremasi Hukum. Vol. 2, No. 2, Desember 2013, hal. 290-291. Universitas Sumatera Utara 7 Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan strerilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat; 8 Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam Jurisdiksi Mahkamah; 9 Penghilangan paksa; 10 Kejahatan apartheid;; 11 Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. Dalam Hukum Humaniter Internasional, Konflik Bersenjata dibedakan menjadi tiga yaitu: 6 1 Konflik Bersenjata Internasional, perang melawan pemerintah penjajah fighting against colonial domination, Perang melawan pemerintah pendudukan alien occupation, dan perang melawan pemerintah yang menjalankan rezim rasialis against racist regimes dapat dikatakan sebagai perang kemerdekaan war of national Liberation. 6 Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: International Committe of The Red Cross,1999 : 22-26. Universitas Sumatera Utara 2 Konflik Bersenjata non Internasional, perang di dalam negeri perang saudara atau peperangan yang terjadi dalam satu wilayah negara. 3 Internal Disturbance and Tensions, Suatu keadaan dapat dikatakan sebagai kekacauan dalam negeri atau internal tension adalah apabila jika terjadi kerusuhan berskala besar, tindakan terorisme dan sabotase yang menyebabkan korban tewas dan luka-luka, serta adanya penyanderaan. Dalam penelitian ini yang dibahas adalah konflik bersenjata non internasional. Dalam hal Konflik bersenjata non Internasional, diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa IV 1949 yang menyatakan : Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional, yang berlangsung dalam wilayah salah satu pihak peserta agung, tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan sekurang-kurangnya ketentuan- ketentuan berikut : Orang-orang yang tidak turut serta aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta hors de combat karena sakit, luka-luka, penahanan, atau sebab lain apapun, dalam keadaan bagai manapun harus diperlakukan dengan kemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Dalam Protokol Tambahan II 1977 juga tidak ada pengertian ataupun definisi yang pasti tentang konflik bersenjata non internasional. Namun dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 lebih menekankan pada para pihak peserta agung Universitas Sumatera Utara untuk memperlakukan para korban akibat konflik bersenjata secara manusiawi dan tanpa diskriminasi. Namun ada beberapa kriteria-kriteria tentang konflik bersenjata non internasional adalah sebagai berikut. 7 a Pertikaian terjadi di wilayah pihak peserta agung; b Pertikaian terjadi antar angkatan bersenjata pihak peserta agung dengan kekuatan bersenjata pihak yang memberontak dissident; c Kekuatan bersenjata pihak yang memberontak ini harus berada di bawah satu komando yang bertanggung jawab; d Pihak pemberontak telah menguasai sebagian wilayah negara sehingga dapat melaksanakan operasi militer secara berlanjut; e Pihak pemberontak dapat melaksanakan ketentuan Protokol II 1977. Hukum humaniter terdiri dari Hukum Jenewa dan Hukum Den Haag. Hukum Jenewa mengatur perlindungan terhadap korban perang, sedangkan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Kedua ketentuan hukum tersebut merupakan sumber hukum humaniter yang utama selain konvensi-konvensi lain yang telah disebutkan terdahulu. Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa terhadap setiap bentuk pelanggaran yang terjadi dalam konteks perang, negara harus mengambil langkah- langkah hukum; menyiapkan pengadilan untuk menuntut, mengadili dan menghukum pelaku, tidak terbatas hanya pada pelanggaran berat konvensi. 8 7 Ibid, hal. 27. 8 Sriwiyanti Eddyono. Tindak Pidana Hak Asasi Manusia dalam RKUHP. ELSAM dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, Jakarta, 2007, hal. 16. Sementara Protokol Tambahan Konvensi Jenewa 1949 1977 menegaskan bahwa Universitas Sumatera Utara di samping bertanggungjawab untuk mengadili dan menghukum pelaku, negara juga berkewajiban untuk memberi kompensasi jika diminta oleh korban. Atas pemberian kompensasi ini, tidak hanya terhadap kejahatan perang tapi pelanggaran lainnya di mana korban merasa dirugikan. Hukum atau Konvensi Jenewa mempunyai empat perjanjian pokok. Keempat Konvensi Jenewa 1949 tersebut adalah: I. Genewa convention for the amelioration of the condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field. II. Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. III. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War. IV. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War. Keempat konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977 ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan: I. Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict Protocol I; II. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, And Relating to the Protection of Victims of Non International Armed Conflict Protocol II; Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahan dari Konvensi-Konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai Universitas Sumatera Utara penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit dan korban karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, Sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non internasional. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3 tentang ketentuan yang sama pada Keempat Konvensi Jenewa 1949, yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. 9 Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tidak boleh dikurangi non derogable rights, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tidak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip atau perlakuan non diskriminasi, larangan penyiksaan torture, larangan berlaku suratnya hukum pidana seperti yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian kontrak, perbudakan, perhambaan, larangan penyimpangan Dengan demikian maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya, yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia. 9 Wahyu Wagiman, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia. Seri Bahan bacaan Khusus HAM untuk Pengacara. Bandung: Alumni, 2005, hal. 82. Universitas Sumatera Utara berkaitan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang diumumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang semestinya, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat 1 d Konvensi Jenewa 1949. 10 Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu pihak agung penandatangan, tiap pihak dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata merea serta mereka tidak lagi turut serta karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu.” Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada pihak “peserta agung’ untuk tetap menjamin perlindungan kepada tiap individu dengan mengesampingkan status belligerent menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu. 11 Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga: 12 10 Geoffrey Robertson QC, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2002, hal. 18. 11 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994, hal. 28. 12 Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 53. Universitas Sumatera Utara a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan. b. Penyanderaan. c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama yang menghina dan merendahkan martabat. d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab. Walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa: 1. Dengan adanya Pasal 3 ini, tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa senjata yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3. 2. Pasal 3 tidak mengurangi hak pemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut Undang- Undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata di dalam negeri negara peserta, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan. Ketentuan mengenai lamanya perlindungan diberikan, misalnya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 5 dari Konvensi III mengenai Perlakuan terhadap Tawanan Perang, yang berbunyi: Konvensi ini akan berlaku bagi orang-orang yang disebut dalam Pasal 4 sejak mereka jatuh dalam kekuasaan musuh hingga Universitas Sumatera Utara saat pembebasan dan pemulangan mereka terakhir. Bilamana timbul keragu- raguan apakah orang-orang yang telah melakukan perbuatan yang bersifat perbuatan permusuhan dan telah jatuh dalam tangan musuh termasuk dalam golongan-golongan yang disebut dalam Pasal 4, maka orang-orang demikian akan memperoleh perlindungan dari konvensi ini, hingga saat kedudukan mereka ditentukan oleh pengadilan yang kompeten”. 13 1. Spesifikasi Penelitian Dari ketentuan yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa saat jatuhnya orang-orang yang dilindungi konvensi ke tangan musuh ditawan adalah saat dimulai berlakunya pemberian perlindungan kepada orang-orang sebagaimana yang ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1949.

1.6. Metode Penelitian