Teori Semiotika Landasan Teori

semangat melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme budaya Barat. Gerakan- gerakan tribalisme tersebut lebih merupakan reaksi terhadap imperialisme dalam skala yang jauh lebih kecil, yaitu sebuah sistem otoriter yang diwariskan oleh rezim Orde Baru. Meskipun motifnya bukan antiglobalisasi, akan tetapi berbagai pengaruh global-isasi tetap saja akan mempengaruhi berbagai gerakan budaya lokal tersebut, khususnya terhadap keberhasilan kegagalannya, positif negatifnya dan berkelanjutankematiannya dimasa depan.

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini bersandar pada tiga teori budaya yang relevan dengan topik berspektif Kajian Budaya. Pertama, teori semiotika yang ditempatkan sebagai grand theory yang terutama diaplikasikan mengkaji tanda-tanda dalam presentasi estetik sendratari, khususnya makna-makna budaya yang direfleksikannya. Kedua, teori eksistensialisme untuk menyangga keberadaan para pelaku budaya dalam tanggung jawab kemanusiaannya sebagai insan berbudaya. Ketiga, teori hegemoni untuk dijadikan sandaran teoritis bagaimana dominasi globalisasi dan hegemoni pemerintah terhadap ekspresi budaya lokal, khususnya berkaitan dengan keberadaan Sendratari Mahabharata PKB. Ketiga teori tersebut diaplikasikan secara eklektik sesuai dengan masalah, fungsi dan kedudukannya.

2.3.1 Teori Semiotika

Semua kenyataan kultural adalah tanda. Kita memang hidup di dunia yang penuh dengan tanda dan diri kitapun bagian dari tanda itu sendiri. Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud dalam memahami kehidupan. Manusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan lingkungan. Komunikasi bukan hanya sebagai proses, melainkan komunikasi sebagai pembangkitan makna the generation of meaning . Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, setidaknya orang lain tersebut memahami maksud pesan kita, kurang kebih secara tepat. Supaya komunikasi dapat terlaksana, maka kita harus membuat pesan dalam bentuk tanda bahasa, kata. Pesan-pesan yang kita buat, medorong orang lain untuk menciptakan makna untuk dirinya sendiri yang terkait dalam beberapa hal dengan makna yang kita buat dalam pesan kita. Semakin banyak kita berbagi kode yang sama, makin banyak kita menggunakan sistim tanda yang sama, maka makin dekatlah “makna” kita dengan orang tersebut atas pesan yang datang pada masing-masing kita dengan orang lain tersebut. Semiotika merupakan bidang studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja dikatakan juga semiologi. Dalam memahami studi tentang makna setidaknya terdapat tiga unsur utama yakni; 1 tanda, 2 acuan tanda, dan 3 pengguna tanda. Tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi indra kita, tanda mengacu pada sesuatu di luar tanda itu sendiri, dan bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga disebut tanda. Misalnya; mangacungkan jempol kepada kawan kita yang berprestasi. Dalam hal ini, tanda mengacu sebagai pujian dari saya dan ini diakui seperti itu baik oleh saya maupun teman saya yang berprestasi. Makna disampaikan dari saya kepada teman yang berprestasi maka komunikasi pun berlangsung. Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri Piliang, 1998:262. Semiotika menurut Berger memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure 1857-1913 dan Charles Sander Peirce 1839-1914. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi semiology. Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopi 1991:54 tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda berwujud kata atau gambar mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan level of expression dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek, dan sebagainya. Pertanda terletak pada level of content tingkatan isi atau gagasan dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Tanda akan selalu mengacu pada mewakili sesuatu hal benda yang lain yang disebut reerent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apalagi hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul penertian Eco, 1979:59. Menurut Piere, tanda representamen ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu Eco, 1979:15. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek denotatum. Ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut obyek denotatum. Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda aru dapat berfungsi bila diinterpretarikan dalam benak penerima tana melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Aritnya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segi tiga semiotik. Selanjutnya dikatakan, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan, simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar bentuk, objek referent dan konsep interpretant atau reference. Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan obyek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan. Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semiosis. Interpretan ada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya. Terkait dengan itu, Barthes seperti dikutip Iriantara dan Ibrahim 2005:118:119 mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunaannya dan nilai- nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. Teori semiotik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model semiotika Dekonstruksi-nya Derrida. Dekonstruksi, menurut Derrida, adalah sebagai alternatif untuk menolak segala keterbatasan penafsiran ataupun bentuk kesimpulan yang baku. Konsep Dekonstruksi –yang dimulai dengan konsep demistifikasi, pembongkaran produk pikiran rasional yang percaya kepada kemurnian realitas—pada dasarnya dimaksudkan menghilangkan struktur pemahaman tanda-tanda siginifier melalui penyusunan konsep signified. Dalam teori Grammatology, Derrida menemukan konsepsi tak pernah membangun arti tanda-tanda secara murni, karena semua tanda senantiasa sudah mengandung artikulasi lain Subangun, 1994 dalam Sobur, 2006: 100. Dekonstruksi, pertama sekali, adalah usaha membalik secara terus-menerus hirarki oposisi biner dengan mempertaruhkan bahasa sebagai medannya. Dengan demikian, yang semula pusat, fondasi, prinsip, diplesetkan sehingga berada di pinggir, tidak lagi fondasi, dan tidak lagi prinsip. Strategi pembalikan ini dijalankan dalam kesementaraan dan ketidakstabilan yang permanen sehingga bisa dilanjutkan tanpa batas. Dekonstruksi membuka luas pemaknaan sebuah tanda, sehingga makna-makna dan ideologi baru mengalir tanpa henti dari tanda tersebut. Munculnya ideologi baru bersifat menyingkirkan “menghancurkan” atau mendestruksi makna sebelumnya, terus- menerus tanpa henti hingga menghasilkan puing-puing makna dan ideologi yang tak terbatas. Berbeda dari Baudrillard yang melihat tanda sebagai hasil konstruksi simulatif suatu realitas, Derrida lebih melihat tanda sebagai gunungan realitas yang menyembunyikan sejumlah ideologi yang membentuk atau dibentuk oleh makna tertentu. Makna-makna dan ideologi itu dibongkar melalui teknik dekonstruksi. Namun, baik Baurillard maupun Derrida sepakat bahwa di balik tanda tersembunyi ideologi yang membentuk makna. Sendratari adalah kristalisasi estetik dari keragaman seni pertunjukan Bali. Komponen utamanya terdiri dari seni tari, karawitan dan pedalangan. Masing-masing komponen itu, khususnya seni tari dan karawitan bersumber dari keanekaragaman rumpun seninya. Tata penggarapan tari dalam sendratari berorientasi pada seni pertunjukan Bali seperti drama tari klasik gambuh, arja, topeng, dan seni kebyar. Begitu pula tata karawitannya, selain memakai media lebih dari satu ensambel gamelan juga ide- ide iringan yang dibuat banyak berdasrkan atau terinspirasi dari bentuk-bentuk komposisi gamelan yang lebih tua atau komposisi modern yang sedang berkembang. Musiknya mengambil lagu-lagu ritual yang diolah secara esensial untuk menjadi kesatuan dalam sendratari Bandem, 1996:63. Teori keragaman Derrida dengan prinsip dekontruksi, merombak dan mencipta adalah sehaluan dengan sendratari kolosal PKB. Derrida sangat menekankan keanekaan cara berpikir dan pendekatan terhadap teks yang ada dengan memproklamasikan kebebasan untuk mengeksplorasi realitas atau teks yang akan membawa pada keragaman makna atau polisemi Lajar dalam Sutrisno, 2005:173. Sendratari kolosal PKB sebagai sebuah teks adalah wadah berkesenian yang terbuka dengan keragaman seni, gagasan, bahkan latar belakang budaya para pelakunya. Dekontruksi dalam makna segala upaya melakukan kebebasan interpretasi sangat relevan dalam proses kreatif penggarapan sendratari kolosal PKB. Para koreografer dan komposer diberikan ruang interpretasi terhadap koreografi dan komposisi yang disusunnya. Demikian pula para dalang, kendati terikat dengan skenario, bukan terkekang untuk beriprovisasi, memasukkan interpretasinya dan mengkontektualisasikan pesan-pesannya sesuai dengan daya kreativitasnya. Merombak dalam makna membuat perubahan-perubahan dengan tujuan untuk pencapaian hasil yang lebih baik ditoleransi dalam proses penggarapan sendratari kolosal PKB. Merombak dalam makna menghindar dari suatu permolaan juga terlihat dalam sendratari kolosal ini. Sepanjang PKB, dari tahun ke tahun, masing-masing garapan dengan lain yang berbeda-beda, selalu ditata secara baru. Dinamika kreativitas dan inovasi dalam sendratari kolosal mengemuka dengan karakter estetik dan artistiknya masing-masing. Mencipta adalah menjadi semangat penting dalam sendratari kolosal PKB. Cipta sebagai dinamika kebudayaan, dalam sendratari kolosal merupakan prinsip konseptual yang merupakan wahana menantang bagi para kreator seni pertunjukan ini seperti koreografer, komposer, dan dalang. Daya cipta para penata itu sangat menentukan kualitas masing-masing sendratari. Apresiasi, respek dan kontrol penonton ikut memacu gairah para seniman sendratari kolosal PKB mencipta dan mencipta, baik secara kolektif maupun dalam konteks tanggung jawab penciptaan secara individu.

2.3.2 Teori Eksistensialisme