Pesta Kesenian Bali Konsep

Pnadawa dan Dropadi menempuh hidup “sanyasin” atau mengasingkan diri dan meninggalkan dunia fana. 17 Mahaprastanikaparwa. Kitab Mahaprastanikaparwa menceritakan kisah perjalanan Pandawa dan Dropadi ke puncak gunung Himalaya, sementara tahta kerajaan diserahkan kepada Parikesit, cucu Arjuna. Dalam pengembaraannya, Dropadi dan para Pandawa kecuali Yudistira, meninggal dalam perjalanan. 18 Swargarohanaparwa. Kitab Swargarohanaparwa menceritakan kisah Yudistira yang mencapai puncak gunung Himalaya dan dijemput untuk mencapai surga oleh Dewa Indra. Dalam perjalanannya, ia ditemani oleh seekor anjing yang sangat setia. Ia menolak masuk surga jika disuruh meninggalkan anjingnya sendirian. Si anjing menampakkan wujudnya yang sebenanrnya, yaitu Dewa Dharma.

2.2.3 Pesta Kesenian Bali

PKB adalah sebuah wahana pelestarian dan pengembangan kesenian Bali. Melalui arena ini aneka ragam kesenian Bali dilestarikan dan dikembangkan dalam interaksi budaya serta dinamika zaman globalisasi. Sendratari Mahabharata sebagai ekspresi seni modern yang ditampilkan hampir sepanjang penyelenggaraan PKB merepresentasi sebuah pergulatan seni dan budaya masyarakat Bali masa kini. Demikian pula gagasan dan penyelenggaraan PKB sendiri, disambut, ditanggapi, dan dikritisi oleh masyarakat Bali dengan beragam sisi pandang. Tanggapan yang beragam dari masyarakat Bali memperkokoh eksistensi PKB hingga kini, sebagai arena pergulatan seni dan budaya yang banyak menarik perhatian. Ketika bulan Juni-Juli tiba, sejak lebih dari 30 tahun yang lalu, masyarakat Bali memberikan apresiasi tinggi terhadap penyelenggaraan PKB. Pesta yang pada intinya menampilkan keragaman seni dan budaya Bali itu dikenal hingga ke pelosok desa dan bahkan sampai di daerah pegunungan. Art Centre Taman Budaya Bali, pusat diselenggarakannya pesta seni itu, bagaikan magnet yang mampu menyedot masyarakat datang mengunjunginya dari seluruh penjuru Bali. Beragam sajian seni yang digelar disimak dan dinikmati masyarakat penonton. Kendati demikian, gagasan, penyelenggaraan dan perjalanan PKB tak jarang disertai dengan kritik-kritik yang tajam dari para seniman dan budayawan. Keterlibatan para seniman dan budayawan tersebut menjadi arena pergulatan seni dan budaya yang penting di Bali. Adalah legitimasi Perda Nomor 7 Tahun 1986 yang mengukuhkan dan menjamin keberlangsungan peristiwa budaya yang diawali pada tahun 1979 itu. Lebih dari itu, sejatinya pesta seni akbar yang digagas Gubernur Bali Prof. Dr. Ida Bagus Mantra ini, hingga pada penyelenggaraannya yang ke-30 ini, mendapat perhatian luas bukan saja dari masyarakat Bali namun juga mengundang penampilan pelaku seni nasional bahkan hingga partisipasi insan-insan seni internasional. Di kalangan para seniman Bali sendiri, PKB telah menjadi arena berkesenian yang bergengsi. Gairah berkesenian para seniman Bali cenderung meningkat apabila mendapat kepercayaan tampil di arena PKB. Pementasan bentuk-bentuk seni tradisi komunal ditampilkan secara fanatik oleh masyarakat pendukungnya. Begitu pula genre seni kreasi, digarap dan disajikan sarat dedikasi dan penuh kesungguhan oleh para pelakunya. Para seniman alam di desa-desa hingga kalangan seniman akademis di lembaga pendidikan formal kesenian menempatkan ajang PKB sebagai wahana berkesenian yang prestisius. Beragam khasanah kesenian Bali ditampilkan dengan bangga oleh komunitas seni atau pendukungnya masing-masing, apakah itu seni tradisi yang masih natural atau seni tradisi-kreasi yang sedang menggeliat hingga seni yang bernuansa kontemporer, semuanya mendapat kesempatan dan peluang ditampilkan di arena PKB. Upaya penggalian dan langkah-langkah pelestarian terhadap ekspresi seni yang patut direvitalisasikan dan diaktualisasikan, tak sedikit yang diproyeksikan dalam konteks penampilan di gelanggang PKB. Semangat pengembangan yang dirangsang dalam PKB memunculkan kreativitas dan inovasi seni yang diantaranya menjadi tontonan primadona masyarakat. Pementasan sendratari kolosal dan festivalparade gong kebyar, adalah dua bentuk seni pertunjukan favorit masyarakat Bali di arena PKB. Sendratari Ramayana dan Mahabharata yang digelar di panggung terbuka Ardha Chandra, setidaknya hingga 15 tahun penyelenggaraan PKB menjadi suguhan seni pentas yang selalu mengundang berjubelnya lebih dari 5000 penonton. Festivalparade gong kebyar bahkan lebih dahsyat. Festivalparade dalam format kompetisi gamelan dan tari duta masing-masing kabupatenkota se-Bali ini selalu mengundang antusiasisme para penggemar seni pertunjukan ini. Pementasan yang disajikan secara mabarung sarat dengan rivalitas dan fanatisme. Seni pertunjukan memperoleh porsi terbesar sejak awal PKB. Penonton dapat menyaksikan sendratari kolosal atau gegap gempita festival gong kebyar di panggung terbuka Ardha Candra. Masyarakat penggemar tari klasik legong dan tari kreasi misalnya dapat menyimak pertunjukan kesenian itu di panggung tertutup Ksirarnawa. Penonton dapat pula menikmati drama tari arja dan gambuh di Wantilan. Atau masyarakat menggemar tari joged, janger, dan genjek dapat mengerumuninya di kalangan sederhana Angsoka dan Ayodia. Bahkan penonton dapat pula menikmati pertunjukan ngelawang di areal Taman Budaya. Lima materi pokok yang disajikan dalam setiap program penyelenggaraan PKB yaitu pawai, pagelaran, lomba, pameran, dan sarasehan, pada tiga materi pertama didominasi oleh seni pertunjukan seperti seni tari, karawitan, dan teater. Sedangkan seni rupa, baik seni rupa murni maupun terapan menunjukkan eksistensinya pada pokok materi pameran. Seminar seni yang melibatkan lintas seniman dan budayawan, membahas topik-topik kontesktual dan relevan tentang kebudayaan dimana kesenian dengan segala dimensinya dijadikan fokus dialog. Pagelaran puspa warna seni pertunjukan ibarat lokomotif yang menarik gerbong kesenian lainnya menuju stasiun PKB. Ketika PKB dimulai pada tahun 1979 bukannya tanpa tantangan. Kala itu, tak sedikit tokoh-tokoh masyarakat yang mengkritisi dan menyangsikan gagasan yang digulirkan Ida Bagus Mantra tersebut. Namun kenyataannya kemudian berkata lain. Perhelatan seni terbesar di Bali ini tak pernah jeda menciptakan vibrasi cerah terhadap keberadaan seni dan budaya masyarakat Bali. Setidaknya, strategi kebudayaan masyarakat Bali ini telah memberikan harapan terhadap tujuan digelarnya PKB yaitu untuk memelihara, membina, melestarikan, dan mengembangkan seni budaya; mengkaji konsep-konsep dan masalah-masalah kesenian Bali; menggali, mendorong, dan mengembangkan kreasi dan kegiatan seni budaya yang tidak bertentangan dengan keperibadian masyarakat dan bangsa; mendorong, memberikan kesempatan perkembangan promosi usaha-usaha di bidang seni budaya dan kerajinan rakyat; serta memberikan hiburan yang sehat bagi masyarakat. Menyimak perjalanannya sejak awal hingga kini, lima tujuan yang dijadikan idealisme .penyelenggaraan PKB tersebut telah menujukkan hasil yang positif. Tampak tujuan kelima yaitu sebagai wahana hiburan telah menunjukkan hasil kongret. Fungsi seni sebagai objek dan subjek kegirangan hati cukup kondusif dapat dirasakan masyarakat penonton dalam pesta seni tersebut. Pawai pembukaan PKB disaksikan ribuan orang dan dihadiri oleh pejabat negara. Beragam pagelaran seni diminati kalangan anak-anak hingga orang dewasa. Lomba-lomba seni diikuti dan ditonton dengan penuh gairah. Pameran kerajinan rakyat bahkan disajikan amat agresif. Tradisi menonton sebagai media hiburan di tengah masyarakat Bali tampak terartikulasi baik di arena PKB. Seni tontonan yang biasanya di tengah masyarakat dinikmati secara komunal, di panggung-panggung Taman Budaya Bali disaksikan secara netral. Posisi masyarakat penonton yang datang ke arena PKB sungguh- sungguh menjadi penonton yang apresiatif. Sudah menjadi kodratnya, jagat seni adalah media fleksibel yang integral dengan moralitas. Salah satu tanggung jawab moral dari kesenian adalah menciptakan kedamaian lahir batin dan menawarkan kontribusi pada kontruksi bangunan karakter spiritual manusia. Bahkan lebih jauh lagi bahwasannya seni mampu memanusiakan manusia, sebab seni dipercaya mampu membuat manusia arif, memperhalus budi pekerti, mendekatkan manusia bukan saja kepada sesamanya namun juga kepada yang menciptakan kehidupan itu sendiri. Di Bali, berkesenian adalah sebuah persembahan bahkan totalitas hidup itu sendiri. Seni sebagai sebuah persembahan memancarkan auranya dalam PKB. Budaya ngayah dalam konteks seni persembahan kiranya turut berperan menyangga eksistensi pesta seni tersebut. Pada masa kini, budaya ngayah terasa hadir, selain masih berlangsung dalam kaitannya dengan iman keagamaan, ngayah berkembang pada entitas yang lebih luas yakni kepada penguasa masa kini, termasuk berkesenian dalam PKB. Konteks PKB dengan eksistensi seni yang muncul di tengah masyarakat Bali dapat secara gamblang dilihat pada perhatian luas dan keterlibatan generasi tua dan muda, laki dan perempuan, dari masyarakat kebanyakan hingga pejabat pemerintah pada gong kebyar dan forum festivalnya. Festival gong kebyar itu tak sedikit menggiring anak-anak dan remaja Bali menjadi pemain gamelan dan penari penuh harapan yang sekaligus bangga melakoninya. Festival itu juga menjadi inspirasi bagi kaum wanita Bali, khususnya kalangan ibu-ibu, tak mau kalah menggeluti gong kebyar di lingkungannya masing-masing. Festival dalam format kompetisi itu juga memunculkan trend gamelan berukir rumit dengan prada berbinar pada gong kebyar milik sekaa-sekaa gamelan atau sanggar-sanggar seni pertunjukan. PKB berimbas konstruktif bagi iklim berkesenian di pulau kesenian ini. Kesenian langka yang terpinggir atau pingsan dibangkitkan lagi atau direaktualisasikan. Secara vertikal, misalnya muncul kreativitas bahkan inovasi seni yang memberi binar dan memperkaya khasanah kesenian Bali. Semua ini mengangkat prestise kesenian itu sendiri dan mempertebal kepercayaan diri masyarakat Bali yang sebelumnya konon dulu sempat merasa rendah diri terhadap nilai-nilai seni tradisinya sendiri. Aspirasi para seniman dan masyarakat Bali pada umumnya terhadap PKB sangat menggembirakan. PKB sebagai sebuah wadah penggalian, pelestarian, dan pengembangan kesenian, di sisi lain telah menunjukkan kontribusi yang positif, secara kualitatif dan kuantatif, terhadap keragaman eksistensi kesenian Bali. Namun kemajuan teknologi, khususnya kian strategisnya peran televisi yang menyajikan hiburan rumahan merupakan tantangan berat PKB. Aspirasi yang apresiatif terhadap apa yang disajikan dalam pesta seni itu tampak kurang berpengaruh terhadap budaya menonton di tengah masyarakat Bali yang kini cenderung bersifat individual mengurung diri di rumah, dimanja oleh si kotak ajaib televisi yang menyajikan beraneka hiburan. Penyelenggaraan PKB pada diharapkan masyarakat Bali dapat memberikan pengayoman terhadap para seniman, perlindungan terhadap eksistensi kesenian, dan menumbuhkembangkan apresiasi seni masyarakat penonton. Aspek finansial para seniman PKB sudah sewajarnya juga mendapat perhatian serius. Respek yang besar pengayom seni telah terbukti cukup signifikan peranannya bagi keberadaan jagat kesenian. Di masa lalu tak bisa dipungkiri bahwa banyak kelahiran dan kebesaran para seniman didukung oleh tradisi pengayoman itu. Dulu, juga harus diakui tak sedikit cipta seni dan perjalanan suatu kesenian dikondisikan oleh para pelindung seni dan seniman tersebut. Walaupun tidak setiap seniman yang vertiosik adalah berkat dukungan pelindung seni dan kendatipun tak setiap cipta seni nasib dan kualitasnya karena sokongan sponsor, namun antara seni dan seniman dengan maesenas di sisi lain pernah menjalin komunikasi dan persahabatan yang intim. Interaksi yang positif ini memberikan kontribusi bagi perkembangan kesenian dan munculnya maestro- maestro seni. Kedermawanan kepada seniman dan seni adalah dedikasi yang luhur Jika ditengok kebelakang, bentuk kedermawanan terhadap seni dan seniman subur berkembang pada zaman kejayaan raja-raja. Struktur sosial pada waktu itu memberikan kemungkinan hal itu berlangsung. Keputusan-keputusan terpenting yang mengatur kehidupan negara, masyarakat dan orang-seorang diputuskan oleh raja, kaum aristokrasi dan para agamawan. Demikian pula halnya tentang kekuasaan dan kekayaan, didistribusikan dan dikelola oleh mereka. Jadi wajar bila para sponsor seni dan seniman muncul dari kalangan itu karena pusat-pusat dinamik promosi seni berkembang di lingkungan mereka, di keraton atau puri. Kini, pengayoman itu, semestinya dapat diperankan PKB di tengah pergulatan budaya global-lokal sekarang ini I Wayan Puja Antara, wawancara 16 Nopember 2014. Pergulatan budaya global-lokal adalah ibarat persinggungan arus sungai yang deras dengan sebuah mata air jernih di tepiannya. Bagaimana proses interaksi antara sungai deras itu adalah pergulatan yang sulit dihindarkan antara budaya global dengan budaya lokal. Dialektika global-lokal adalah dialog antara globalisasi dengan nilai-nilai tradisi lokal atau pertemuan dan silang budaya global dengan lokal. Secara konseptual, global globalisasi mengacu pada pengertian penyatuan dan intensifikasi kesadaran sebuah dunia secara keseluruhan. Konsep akan globalisasi menurut Robertson 1992, mengacu pada penyempitan dunia secara insentif dan peningkatan kesadaran kita akan dunia, yaitu semakin meningkatnya koneksi global dan pemahaman kita akan koneksi tersebut. Di sini penyempitan dunia dapat dipahami dalam konteks institusi modernitas dan intensifikasi kesadaran dunia dapat dipersepsikan refleksif dengan lebih baik secara budaya. Pada hakikatnya globalisasi adalah proses yang ditimbulkan oleh sesuatu kegiatan atau prakarsa yang dampaknya berkelanjutan melampaui batas¬batas kebangsaan dan kenegaraan ; dan mengingat bahwa jagad kemanusiaan ditandai oleh pluralisme budaya, maka globalisasi sebagai proses juga menggejala sebagai peristiwa yang melanda dunia secara lintas-budaya Dalam gerak lintas-budaya terjadi berbagai pertemuan antar-budaya yang sekaligus mewujudkan proses saling-pengaruh antar-budaya, dengan kemungkinan satu fihak lebih besar pengaruhnya ketimbang fihak lainnya. Pertemuan antar-budaya memang menggejala sebagai keterbukaan fihak yang satu terhadap lainnya; namun pengaruh-mempengaruhi dalam pertemuan antar-budaya itu tidak selalu berlangsung sebagai proses dua-arah atau timbal-balik yang berimbang, melainkan boleh jadi juga terjadi sebagai proses imposisi budaya yang satu terhadap lainnya; yaitu, terpaan budaya yang satu berpengaruh dominan terhadap budaya lainnya. Dalam praktiknya globalisasi memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Dalam globalisasi terjadi suatu proses di mana antarindividu, antarkelompok, dan antarnegara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara. Dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara. Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek nilai nilai values yang dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek kejiwaanpsikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai nilai dan budaya tertentu keseluruh dunia sehingga menjadi budaya dunia atau world culture telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa barat ke berbagai tempat di dunia ini Lucian W. Pye, 1966 . Namun, perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan. Ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan berkembangnya pertukaran kebudayaan internasional. Penyebaran prinsip multikebudayaan multiculturalism, dan kemudahan akses suatu individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.Berkembangnya turisme dan pariwisata.Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.Berkembangnya mode yang berskala global, seperti pakaian, film dan lain lain.Bertambah banyaknya event-event berskala global. Terjadinya pertemuan lintas budaya dalam globalisasi sulit dicegah. Pertemuan ini di satu sisi dinilai memberikan manfaat, tetapi di sisi lain melahirkan kekhawatiran. Munculnya kekhwatiran terhadap kelestarian budaya suatu suku bangsa atau bangsa adalah alami, karena kebudayaan adalah acuan dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dibela dan dipertahankan kelestariannya. Kehadiran pengaruh-pengaruh kebudayaan global di Indonesia dapat ditelusuri dari masa ke masa sejak dari zaman pra sejarah sampai kedatangan pengaruh kebudayaan Barat. Jika ditinjau dari segi waktu, dapat dikatakan bahwa pengaruh kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia sudah masuk di Indonesia sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Budaya global global culture adalah sebuah konsep yang menjelaskan tentang mendunianya berbagai aspek kebudayaan yang didalam ruang global tersebut terjadi proses penyatuan, kesalingberkaitan dan kesalingketerhubungan. Oleh sebab itu budaya global sering diidentikkan dengan proses penyeragaman budaya atau imperialisme budaya. Meskipun demikian, konsep budaya global berbeda dengan gagasan kebudayaan dalam pemikiran Waller Stein tentang sistem dunia world system, yang didalamnya kebudayaan dilihat sebagai sesuatu yang selalu mengacu pada gagasan, nilai, kepercayaan, dan simbol-simbol yang relatif eksplisit dan dianut secara umum, berdasarkan konsensus tertentu yang mengikat. Didalam sistem dunia tersebut – yang dibentuk lebih dominan oleh motif dan kepentingan ekonomi – kebudayaan tidak dianggap determinan di dalam bentuk masyarakat dunia Piliang, 2004: 285. Budaya global, pada kenyataannya bukanlah konsep genealogis yang menjelaskan sebuah fenomena kebudayaan yang lahir atau mengakar pada sebuah teritorial tertentu, sebagaimana misalnya ketika kita membicarakan budaya Jawa. Budaya global, sebagai sebuah konsep, jauh lebih abstrak dan lebih kompleks. Dalam kerangka inilah Roland Robertson dalam Piliang, 2004: 285 melihat budaya global sebagai fenomena kebudayaan yang terbentuk oleh berbagai komponen citra dan definisi-definisi yang saling bertarung dan berkonflik. Oleh sebab itulah, budaya global sering dilihat sebagai sebuah fenomena “kepentingan historis dunia yang berbahaya’’ khususnya bagi eksistensi dan keberlangsungan budaya-budaya lokal yang bersifat otentik dan asli. Featherstone dalam Piliang, 2004: 286 melihat budaya global tidak hanya dalam konteks penciptaan homogenisasi budaya, yaitu penyeragaman budaya dunia berdasarkan satu model dan strategi kebudayaan, akan tetapi juga dalam konteks familiarisasi terhadap keanekaragaman kultural yang lebih luas dan kaya. Hanya saja, familiarisasi budaya ini, pada kenyataannya tidak pernah terwujud, disebabkan para pemain utama di dalam ekonomi global, seperti International Monetary Fund IMF dan Bank Dunia, tidak mampu – atau tidak mau – memahami komplesitas relasi-relasi kultural tersebut. Ia memaksakan model budaya ekonomi yang seragam di berbagai tempat yang berbeda dan di dalam waktu yang berbeda. Kedua lembaga ini tampak berfungsi sebagai tangan- tangan Barat, yaitu sebagai pelindung nilai-nilai universal atas nama dunia yang dibentuk dalam citra dirinya sendiri. Homogenisasi budaya semacam ini dianggap oleh berbagai pihak telah menimbulkan berbagai tantangan dan ancaman bagi berkelanjutan budaya-budaya lokal di masa depan. Meskipun demikian, konsep budaya lokal itu sendiri tampaknya masih terlalu umum untuk menjelaskan berbagai kecenderungan lokal, yang dilandasi oleh keanekaragaman ideologi, seperti suku, ras, agama, daerah. Featherstone merumuskan budaya lokal sebagai “sebuah kebudayaan dari ruang yang relatif kecil yang didalamnya individu-individu yang hidup di sana melakukan hubungan sehari-hari secara face to face…penekanan adalah pada sifat kebudayaan sehari-hari yang a taken for granted, kebiasaan habits dan repetitif…. Stok pengetahuan bersama ….yang berlaku terus sepanjang masa dan dapat mencakup ritual, simbol, dan upacara-upacara yang menghubungkan orang-orang dengan tempat place dan common sense tentang masa lalu.”Budaya lokal, dengan demikian, dibentuk oleh struktur sosial yang mapan dan bentuk-bentuk hubungan sosial yang hangat, intim, personal, yang merekat berbagai komponen sosial secara kuat, yang mencakup budaya-budaya yang berlandaskan ideologi kesukaran, kedaerahan, atau keagamaan. Pertemuan budaya global dan budaya lokal menjadi sebuah persoalan ketika struktur dan berbagai bentuk kehidupan sosial di dalamnya mengalami ketidakcocokan, ketidaksetaraan, atau ketidakharmonisan satu sama lainnya - ketika pertemuan tersebut mengandung ancaman di dalamnya. Sebagaimana yang dikatakan Mike Featherstone, budaya global menjadi sebuah persoalan,ketika budaya-budaya lokal terintegrasi “ke dalam struktur-struktur yang lebih bersifat impersonal yang di dalamnya pengaturan pasar atau administrasi dijaga oleh elit-elit nasional atau para professional dan ahli lintas budaya yang mempunyai kapasitas untuk mengesampingkan proses pengambilan keputusan lokal dan menentukan nasib lokalitas”. Dapat dilihat di sini, bahwa kemunculan semangat kembali ke budaya lokal merupakan sebuah reaksi terhadap globalisasi budaya, yaitu reaksi terhadap terjadinya homogenisasi atau penyeragaman budaya secara besar-besaran di dalam berbagai bentuk, media dan produknya, yang menyebabkan menyempitnya ruang lokal dan merosotnya pamor budaya-budaya lokal, serta kekhawatiran akan kelenyapan budaya tersebut, sehingga mendorong munculnya berbagai bentuk perjuangan budaya, khususnya perjuangan representasi budaya cultural representation. Dalam hal ini, respek terhadap akar-akar budaya lokal digunakan sebagai senjata untuk menentang kekuatan impersonal, predator, dan anonim globalisasi. Istilah globalisasi, pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt , tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Menurut sejarahnya, akar munculnya globalisasi adalah revolusi elektronik dan disintegrasi negara-negara komunis. Revolusi elektronik melipatgandakan akselerasi komunikasi, transportasi, produksi, dan informasi. Disintegrasi negara-negara komunis yang mengakhiri Perang Dingin memungkinkan kapitalisme Barat menjadi satu-satunya kekuatan yang memangku hegemoni global. Itu sebabnya di bidang ideologi perdagangan dan ekonomi, globalisasi sering disebut sebagai Dekolonisasi, Rekolonisasi, Neo-Kapitalisme, Neo-Liberalisme. Dan yang lain menyebut globalisasi sebagai eksistensi Kapitalisme Euro-Amerika di Dunia Ketiga. Globalisasi adalah dunia yang semangkin terhubung satu sama lain, mengalami suatu global interconnectedness dimana terjadi pergerakan, percampuran, keterjalinan, serta interaksi dan pertukaran budaya. Kini penghuni bumi semakin terhubung satu sama lain. Dinding-dinding pembatas interaksi semakin terhubung satu sama lain. Dinding-dinding pembatas interaksi semakin berkurang perngaruhnya akibat penemuan-penemuan di bidang tekhnologi informasi. Jutaan manusia, bahkan tanpa menyadari, telah merengkuh sebuah jaringan global yang mengubah kehidupan mereka untuk selamanya. Meskipun demikian, tidak semua gerakan kembali ke kebudayaan lokal merupakan reaksi terhadap globalisasi. Berbagai gerakan kesukuan, kedaerahan, dan keagamaan yang berkembang di Indonesia akhir-akhir ini – bersama berbagai konflik yang ditimbulkannya – misalnya, bukanlah dipicu oleh sentimen antiglobalisasi atau semangat melepaskan diri dari cengkeraman imperialisme budaya Barat. Gerakan- gerakan tribalisme tersebut lebih merupakan reaksi terhadap imperialisme dalam skala yang jauh lebih kecil, yaitu sebuah sistem otoriter yang diwariskan oleh rezim Orde Baru. Meskipun motifnya bukan antiglobalisasi, akan tetapi berbagai pengaruh global-isasi tetap saja akan mempengaruhi berbagai gerakan budaya lokal tersebut, khususnya terhadap keberhasilan kegagalannya, positif negatifnya dan berkelanjutankematiannya dimasa depan.

2.3 Landasan Teori